-- Wahyu Heriyadi
FIAT justitia ruat caelum atau yang lebih dikenal dengan tegakkan hukum walaupun langit runtuh, merupakan kalimat yang sering disebut oleh orang-orang yang berprofesi di bidang hukum. Laman Wikipedia mencatat kalimat berbahasa Latin tersebut menurut Charler Sumner, politisi Inggris di abad 19, diambil dari epos Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), epos ini diprasastikan oleh Arian, bukunya Operasi Militer Alexandria mencatatkan drama ini. Pada zaman Romawi, kalimat tersebut juga dikatakan berasal dari drama Piso's Justice oleh Seneca penyair Romawi dalam De Ira (On Anger). Dalam cerita tersebut, kalimat fiat justitia ruat caelum dimaksudkan sebagai alasan pembenar untuk menghukum siapa saja asalkan ada hukuman yang telah ditetapkan.
Sastra, memang seakan tidak berada pada wilayah yang membantu ilmu hukum atau diberi titik taut apabila kita membuka-buka lagi buku pengantar ilmu hukum karena dalam perkembangannya ilmu hukum positif ini dipengaruhi August Comte yang memperkenalkan studi fisika menjadi paradigma di ilmu sosial. Di sini hukum sangat dipengaruhi pandangan positivisme yang seakan tidak menempatkan sastra ataupun fiksi ke dalamnya. August Comte mengandaikan bahwa objek studi itu benda mati, bisa menjadi bahan refleksi betapa ilmu hukum positif mengafirmasi kerangka teoretis itu.
Namun bukan berarti sastra dikesampingkan begitu saja dalam perkembangan hukum. Justru kemudian hukum dan sastra merupakan sebuah gerakan interdisipliner dalam perkembangan pengetahuan, metode, dan pendekatan keilmuan.
Meskipun buku-buku mengenai bahasa hukum telah ada, wilayah hukum dan sastra tidak bertempat dan berkenan di sana. Bahasa hukum berdasar pada alasan hukum dan cara berpikir hukum. Sebab, dalam bahasa hukum, sejalan dengan pola hukum yang normatif dan positifistik.
Awaludin Marwan (2009) dalam tulisannya Dekonstruksi Teks Hukum; Ketika Derrida Memikirkan Hukum, mengungkapkan bahwa ilmu hukum positif mengumpamakan objek studi itu benda mati, sehingga Wetboek van Stafrecht (yang diterjemahkan oleh Moeljatno menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menerjemahkan konsep itu dalam pasal "barang siapa". Kata "barang siapa" ini memberi isyarat bahwa paradigma ilmu hukum positif telah terpengaruh kuat ajaran Comte. Objek studi yang memprioritaskan kepastian, seperti fisika bersyaratkan benda mati. Ketentuan "barang siapa" dalam KUHP diandaikan seperti manusia yang ditranformasikan dalam benda mati, sehingga hati nurani-moralitas-hasrat tidak mendapat tempat. Kata "barang siapa" juga menunjukkan penggunaan metafora yang mengibaratkan manusia seperti benda mati. Mungkin dengan metode tersebutlah �kepastian� dapat dijamin, dan barangkali inilah yang mengilhami ide subtansial asas kepastian hukum.
Derrida mengemukakan bahwa teori itu adalah tak ubahnya metafora. Tak ada bedanya antara teori dengan sastra puisi dan novel karena semua mengungkapkan pengandaian yang diwakilkan dalam bahasa. Betapapun hebatnya teori, ia tak bisa meninggalkan metafora, dan itu membuat novel dengan teori sama kedudukannya. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang lebih baik. Dua bentuk tulisan tersebut memiliki derajat yang sama. Dua-duanya sama-sama menggunakan metafora. Begitupun dengan hukum, di mana teks perundangan dan putusan hakim tak bisa dilepaskan dari metafora, ia tetap sarat dengan metafora.
Namun, ketika Marwan mengungkapkan the Death of Author apabila dikatkan dengan hukum berarti menjadi matinya negara, tak luput dan lebih mengena adalah matinya pembuat peraturan (the death of legislator) atau matinya putusan hakim (the death of yurisprudence). Di sini baik itu legislator maupun yurisprudensi adalah author.
Gary Minda dalam bukunya yang terbit tahun 1995, Postmodern Legal Movements: Law and Jurisprudence at Century's End, membagi jurisprudential movements tahun 1980an sebagai berikut: Hukum dan ekonomi, critical legal studies (CLS), legal feminist theory, hukum dan sastra, critical race theory. Semua itu bermuara dari gerakan CLS yang diproklamasikan pada 1977 pada sebuah konferensi ahli hukum di University of Wisconsin, Madison, AS. CLS menerapkan gagasan, teori dan filsafat post-modernisme pada studi hukum. Banyak teori dari ilmu-ilmu lain digunakan dan diterapkan untuk memajukan teori hukum, termasuk teori sastra.
Hukum dan Sastra ini mulai berkembang sejak bukunya James Boyd Whites yang berjudul The Legal Imagination: Studies in the Nature of Legal Thought and Expression terbit tahun 1973. Whites merupakan profesor di bidang hukum, bahasa Inggris, dan studi klasik di Universitas Michigan. Buku tersebut mengembangkan pemikiran bahwa studi sastra seharusnya dimasukkan ke dalam pendidikan hukum karena dalam beberapa karya sastra terdapat tema tentang hukum dan pengadilan.
Melalui Cultural Backround of The Legal Imagination (2006), White mengemukakan hubungan antara hukum dan seni bahasa berawal dari sejarah Eropa. Seperti di Yunani dan Romawi, pakar hukum umumnya adalah ahli dalam retorika sebab retorika merupakan pokok dari pendidikan di Eropa hingga sekitar abad ke 17 sehingga kepercayaan pada pendidikan yang baik di bidang humaniora pada masa lalu adalah penting untuk perkembangan hukum.
Di Eropa, universitas yang terdapat fakultas hukumnya secara alamiah terhubung ke filsafat, sejarah, filologi, dan teologi.
Selain istilah hukum dan sastra (law and literature) juga dikenal istilah hukum dan fiksi (law and fiction). Tulisan Kurniawan (2002) tentang hukum dan fiksi. Hukum dan fiksi ini dibagi ke dalam hukum menyambangi fiksi (law as literature) kemudian fiksi menyambangi hukum (law in literature). Kurniawan mengungkapkan penggunaan istilah hukum dan fiksi agar lebih lentur dalam pengelompokannya. Namun istilah fiksi hukum yang dikemukakan Kurniawan nantinya tumpang tindih dengan teori fiksi hukum yang mengungkapkan bahwa apabila suatu peraturan telah ditetapkan, seluruh masyarakat dianggap telah mengetahui.
Hukum dalam sastra (law in literature), pandangan ini penekannya adalah tema hukum dalam wilayah sastra. Maka fokusnya adalah buku-buku karya sastra yang bertemakan hukum karena buku sastra bertemakan hukum itu akan bermanfaat untuk memahami hukum. Sebuah pertanyaan mendasar hukum dalam sastra ini, misalnya, apakah Apologia karya Socrates, drama Merchant of Venice karya Shakespeare, novel-novel karya John Grisham, Serat Cabolek karya Yasadipura, Carita Pondok karya Ahmad Bakri, Cerita Buntak karya Asarpin dapat memberi tahu kita untuk memahami hukum?
Hukum sebagai sastra, pandangan ini membaca hukum melalu pendekatan kajian dan teori sastra, analisis dan kritik sastra. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan ilmu-ilmu bidang lain ke dalam hukum. Metode yang dilakukan adalah memahami teks hukum melalui pendekatan interpretasi, analisis dan kritik sastra. Sebuah bentuk pencarian untuk menerapkan metode kritik sastra kepada teks hukum.
Richard Weisberg dari Cardozo Law School menyarankan bahwa dikotomi antara law in literature dan law as literature untuk saat ini dapat ditinjau dengan cara Law in Literature sebagai agenda untuk memperkaya khasanah pendidikan ke arah perspektif law as literature. Buku-buku fiksi hebat pada abad 19 dan 20, ternyata menawarkan tradisi hermeunitik yang responsif terhadap post-modern dalam menginterpretasi hukum. Tetapi Ronald Dworkin, Stanley Eugene Fish, dan Owen Fiss menolak penyatuan dikotomi antara law in literature dan law as literature.
Studi-studi tersebut dimaksudkan untuk menyediakan pendekatan alternatif dalam studi hukum. Karena dominasi paradigma legal positivisme sebagai studi hukum arus utama dianggap tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat jika hanya mengandalkan paradigma legal positivisme. Sehingga hubungan antara hukum dan sastra saat ini adalah tak terbantahkan.
Wahyu Heriyadi, peminat critical legal studies, lulusan Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment