-- Sri Hartati Samhadi
BULAN Agustus ini genap 65 tahun kita merdeka. Pertanyaannya, sudahkah 65 tahun pembangunan ini membawa kita semakin mendekati gambaran Indonesia sebagaimana kita inginkan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa? Khususnya, gambaran ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagaimana dijabarkan dalam sila kelima Pancasila?
Komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan sila kelima benar-benar diuji di era iklim persaingan bebas dan globalisasi sekarang ini. Berbagai perjanjian bilateral dan multilateral dalam kerangka integrasi perekonomian regional atau global mengikat negara-negara pada kesepakatan dan aturan-aturan main baru, yang tak jarang menabrak kepentingan nasional.
Di era persaingan ini, negara tak lagi leluasa memberikan perlindungan atau skema proteksi pada petani, buruh, nelayan, pengusaha, industri, atau perekonomian dalam negerinya. Peran asing semakin besar, dengan adanya tuntutan prinsip perlakuan sama untuk lokal dan asing dalam berbagai bidang.
Tidak heran, tak sedikit dari kita menuding sistem kapitalis, persaingan bebas, dan globalisasi sebagai penghancur sendi-sendi ekonomi dan kedaulatan negara dalam mewujudkan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat.
Liberalisasi pasar, privatisasi, dan masuknya kepentingan asing atau tekanan asing menyebabkan banyak sektor yang seharusnya dikuasai negara karena menguasai hajat hidup rakyat banyak, tak lagi berada di bawah kekuasaan negara. Nasib bangsa diserahkan ke tangan pasar. Di kita, rezim utang luar negeri membuat negara semakin tak berkutik untuk menentukan sendiri kebijakan yang sesuai untuk rakyatnya.
Akibatnya, dalam banyak hal, kita semakin menjauh dari apa yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita meski tak jarang persoalannya lebih banyak ada pada kita sendiri.
Dalam kasus Indonesia, persoalannya lebih pada salah mengelola momentum globalisasi, bahkan kita cenderung kebablasan. Ada sekuen-sekuen dalam tahapan liberalisasi yang kita langgar karena perangkap ketergantungan pada utang luar negeri membuat kita tak berkutik pada tekanan asing.
Salah satunya, liberalisasi sistem devisa dan liberalisasi perdagangan dan investasi yang terlalu cepat dan eksesif. Ini membuat perekonomian menjadi sangat terbuka, sementara pada saat yang sama kita tak menyiapkan rambu-rambu pengamannya sehingga rentan terhadap setiap kejutan dari luar.
Dalam banyak kasus, kita belum melihat kegigihan pemerintah memperjuangkan kepentingan domestik. Negara cenderung menyerahkan semua pada pasar dan membuka pasar tanpa melihat kesiapan di dalam negeri. Akibatnya, kita hanya menjadi pasar. Investasi asing yang masuk lebih banyak terkonsentrasi pada kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang sangat besar atau eksploitasi sumber daya alam (SDA), bukan pada produksi barang manufaktur untuk ekspor.
Kita juga tak memaksimalkan semua mekanisme proteksi dalam rezim global, padahal dimungkinkan dan banyak negara lain melakukan.
Terkait perlindungan kepentingan rakyat, kita melihat komitmen negara dengan dipertahankannya Pasal 33 UUD 1945 dalam amandemen konstitusi. Bahkan, pasal ini diperkuat. Namun, kadang kala persoalannya bukan pada ada atau tidak adanya amanat konstitusi, tetapi lebih pada komitmen kita untuk mewujudkannya. Pengakuan hak atas sandang, pangan, papan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak bagi setiap warga negara dijamin konstitusi, tetapi sejak lama konstitusi dan dasar negara hanya jadi pajangan.
Praktik monopoli dan penyerobotan aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh swasta berbeking kuat penguasa, sudah lama berlangsung. Prinsip demokrasi ekonomi yang menumpukan pembangunan pada tujuan kesejahteraan sebesar-besarya untuk rakyat juga masih tataran cita-cita.
Saat ini tidak mudah melacak jejak dalam kebijakan publik ataupun dalam politik anggaran kita yang benar-benar dijiwai semangat ideologi negara kita. Bahkan, ada kecenderungan, beban kegagalan negara dalam menyediakan kebutuhan publik secara efisien, ditransfer ke kelompok paling lemah dalam perekonomian, yakni rakyat kecil.
Jalur yang benar?
Sekarang ini, sudah menjadi semacam kelemahan kita untuk cepat menepuk dada dan mengklaim bahwa kita sudah on the right track.. Alasannya, karena kita mampu bangkit dari salah satu negara termiskin di awal kemerdekaan dan paling tepuruk pada krisis 1998, menjadi salah satu dari 20 perekonomian terbesar dunia, dan diprediksikan akan masuk lima besar dunia pada 20-40 tahun mendatang.
Namun, pada saat bersamaan kita seperti dihadapkan pada satu kegamangan besar. Kita tak berdiri dengan kaki dan fondasi solid dan kokoh untuk masuk ke sana.
Salah satu cara paling mudah mengetahui posisi kita adalah membandingkan rapor kita dengan negara-negara lain. Dibandingkan kebanyakan negara lain, kita memiliki semua modal untuk menjadi negara besar. Kita punya SDA melimpah, dan dengan penduduk 230 juta lebih, Indonesia adalah pasar ke-16 terbesar dunia. Secara geografis kita juga berada di tengah- tengah di kawasan dengan pertumbuhan ekonomi terpesat dunia.
Namun, kita gagal menjadikan itu sebagai kekuatan kita.
Berbeda dengan kebanyakan negara lain di kawasan, setelah periode singkat pertumbuhan rata-rata di atas 7 persen akhir 1980-an hingga awal 1990-an yang ditopang utang, investasi dan harga minyak tinggi, kita seperti masuk dalam perangkap pertumbuhan ekonomi rendah.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi dua dekade terakhir, menurut laporan Harvard Kennedy School Indonesia Program, hanya 5,5 persen. Bahkan, kalau angka kontraksi pertumbuhan 1998 dimasukkan, pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) per kapita per tahun hanya sedikit di atas 2 persen.
Belum lagi kalau kita melihat komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi, sebagian adalah sektor konsumsi dan jasa. Tak mengherankan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran berjalan begitu lambat. Data terakhir Badan Pusat Statistik bahkan menunjukkan pertumbuhan impor sudah melampaui pertumbuhan ekspor, dan impor ini bukan lagi didominasi barang modal atau bahan baku, tetapi barang konsumsi.
Dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) terbaru, kita sebenarnya berpotensi untuk bisa tumbuh 8 persen asal kendala-kendala pertumbuhan seperti buruknya infrastruktur, tingginya korupsi dan red tape bisa teratasi. Beberapa tahun lalu, sejumlah laporan lain juga menyatakan hal senada. Akan tetapi, sampai sekarang kita masih berkutat di persoalan yang sama.
Kunci mengatasi kemiskinan dan pengangguran sebenarnya gampang saja, yakni membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Artinya, seluruh energi bangsa harus dikerahkan ke sana. Paradigma kebijakan pembangunan kita sejak Orde Baru hingga sekarang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi tinggi, dengan harapan pemerataan akan terjadi dengan sendirinya.
Namun, dalam praktiknya itu tak terjadi. Pada era reformasi bahkan lebih parah, pertumbuhan rendah dibarengi kecenderungan kian lebarnya jurang kaya-miskin.
Ada langkah afirmatif melalui kebijakan pro-growth, pro-oor, dan pro-job. Namun, hasilnya belum banyak terlihat di lapangan, antara lain karena programnya sendiri banyak yang tak berjalan. Ketergantungan utang yang masih tinggi dan maraknya korupsi dan kebocoran, juga membuat investasi sosial dan infrastruktur fisik terkorbankan.
Pertumbuhan penciptaan lapangan kerja Indonesia adalah salah satu yang terendah di antara negara-negara besar berpendapatan menengah. Selama era reformasi, menurut Chris Manning, setiap persen pertumbuhan PDB hanya mampu mencetak separuh dari lapangan kerja yang bisa diciptakan pada periode pra-krisis.
Berbagai laporan daya saing global dan sejumlah diskusi besar yang diselenggarakan Kompas melihat kita semakin kehilangan arah dan daya saing. Penyebabnya, pembangunan yang terlalu mengandalkan pada eksploitasi SDA dan mengabaikan investasi jangka panjang pada sumber daya manusia, seperti kesehatan dan pendidikan, serta pembangunan infrastruktur fisik skala besar.
Kita kalah dalam penguasaan teknologi dan kapasitas manajerial. Kita juga lemah dalam membangun basis kekuatan kelas menengah terdidik yang kuat. Terjadi disorientasi dalam berbagai kebijakan ekonomi dan kebijakan publik. Birokrasi dan kelembagaan mengalami kelumpuhan. Dalam kasus ledakan elpiji, negara bahkan terang-terangan mempertontonkan kegagalan.
Dunia dan tantangan globalisasi berubah dengan cepat. Kita—seperti disebutkan dalam laporan Harvard Kennedy School Indonesia Program—juga berubah, tetapi negara lain di kawasan berubah jauh lebih cepat sehingga kita tertinggal dari perekonomian-perekonomian paling dinamis Asia Timur.
Dalam perebutan arus investasi asing langsung, kita juga kalah dibandingkan Vietnam, Thailand, Malaysia, India, dan Filipina. Begitu pula dalam industri manufaktur, sektor infrastruktur, dan pendidikan. Satu-satunya sektor di mana Indonesia lebih maju dalam integrasi global adalah di sektor keuangan. Namun, lebih sering ini justru mendatangkan ”bencana”.
Dalam indikator dasar sosial kita tertinggal dari negara-negara berpendapat menengah lain. Indonesia juga ditinggal dalam partisipasi di jaringan sistem produksi manufaktur global. Sebagai sebuah perekonomian besar, kita hanya mampu bermain di pinggiran dan menangkap remah-remahnya.
Negara besar lain di kawasan, seperti India dan China, mampu mengambil peran besar dan penting dalam jaringan produksi global, lewat lompatan-lompatan pembangunan dan penguasaan teknologi mereka.
China dengan dukungan investasi asing kian mengukuhkan diri sebagai pabrikan terbesar berbagai produk manufaktur global, sementara India pemain penting di industri IT global. Mereka dengan cepat juga mampu membangun barisan kuat kelas menengah dan entrepreneur baru, hal yang tak mampu kita lakukan sekarang ini. Padahal, di sini kuncinya mendobrak dan bersaing di pasar global.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment