-- Andi Suruji
TIDAK ada persatuan, kedamaian, dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Ketidakadilan membuat frustrasi, lalu memicu manusia berkonflik, berperilaku anarki menggilas perikemanusiaan. Maka, rakyat pun rindu berjumpa keadilan itu.
Acap kali kemiskinan dituding sebagai kambing hitam penyebab masyarakat frustrasi dan cepat marah, lalu mengekspresikannya dengan tindakan anarki. Tetapi terlupakan bahwa kemiskinan terjadi antara lain karena ketidakadilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kelima Pancasila, itu pun masih sebatas kata magis dan retorik. Rindu rakyat berjumpa keadilan kian membuncah.
Di jalan-jalan raya, misalnya, ketidakadilan amat terasa. Tidak ada ruang bagi pejalan kaki, jalur khusus motor dan sepeda. Kalau di jalan raya saja belum tampak, bagaimana keadilan bisa tumbuh subur di wilayah dan aspek kehidupan yang tidak terlihat, padahal nyata terasa jauh dalam hati nurani rakyat. Pencuri kakao, pencoleng sehelai kaus, bisa diproses hukum secepat kilat dengan hukuman yang nyaris tidak masuk akal.
Hukum yang tidak adil itu justru mencabik-cabik logika dan rasa keadilan manakala koruptor kakap yang merampas kemanusiaan yang adil dan beradab bisa melenggang bebas. Tersangka korupsi bisa terpilih memimpin lembaga eksekutif dan legislatif.
Kebijakan pemerintah pada masa lalu sering kali dinilairasakan diskriminatif dan membekas sampai kini. Dalam hal perlakuan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil, ketimpangan pembangunan di Jawa dan luar Jawa, kawasan timur dan kawasan barat, sekadar contoh nyata ketidakadilan itu.
Perasaan diperlakukan tidak adil itulah yang membuat sebagian orang Aceh ”berontak” dan menuntut kemerdekaan, mencederai harga mati NKRI. Papua tetap ”memanas”, juga karena perasaan ketidakadilan. Papua dan Aceh merasa kekayaan alamnya dikuras habis, tetapi tidak seimbang nilai yang dikembalikan untuk membangun dan memakmurkan perikehidupan mereka.
Bagaimana negara (pemerintah) bisa mengatakan sudah berlaku adil manakala banyak di antara orang suku Dayak tak punya lahan sejengkal pun, sementara hutan dan lahan beserta seisi perut bumi Kalimantan telah dikapling pemodal sampai jutaan hektar luasnya karena kolusi yang koruptif.
Pijakan pertama
Ibarat tangga menuju puncak peradaban kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dengan Pancasila dan keindonesiaan kita yang bhinneka tunggal ika sebagai dasarnya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya menjadi anak tangga pertama yang harus dipijak. Keadilan—dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin terhadap rakyatnya—dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan bermufakat mencari solusi persoalannya. Keadilan akan membuat bangsa lebih mudah menyatukan kekuatan membangun kemakmurannya yang bermartabat.
Keadilan juga akan mempertebal rasa kemanusiaan dan saling mencintai sesama ciptaan Tuhan. Keadilan juga bisa membuat setiap orang tenang beribadah tanpa harus ketakutan tiba-tiba diserang kelompok lain yang berbeda keyakinan.
Ketika ketimpangan sosial semakin mencolok dalam kehidupan sehari-hari, keadilan memang harus ditegakkan dengan pembelaan dan pemihakan kepada mereka yang lemah dan tak beruntung. Sikap dasar, komitmen, pemimpin sangat menentukan. Kuncinya adalah keberpihakan dan pembelaan demi rasa keadilan.
Muhammad Yunus dari Banglades menerima Hadiah Nobel Perdamaian bukan karena ia turun ke medan perang mendamaikan mereka yang berkonflik. Ia dianugerahi kehormatan itu karena pembelaannya terhadap orang miskin melalui pemberian kredit mikro tanpa agunan kepada mereka yang tidak punya sumber daya sampai terentaskan dari kemiskinan. Ia menciptakan rasa keadilan, menghindari konflik, memupuk perdamaian, dan mengangkat martabat kemanusiaan.
Dalam konteks keindonesiaan kita, itulah hakikat demokrasi ekonomi yang tercantum ”walau hanya sekali” dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Implementasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya tecermin dalam setiap aturan, kebijakan, dan praktik penyelenggaraan pemerintahan (negara). Kebijakan dan aturan- aturan hukum, terutama yang menyangkut eksploitasi dan pengelolaan sumber daya nasional, khususnya sumber daya alam, harus berpihak kepada kepentingan nasional dan rakyat banyak. Bukan kepada golongan tertentu, apalagi jika lebih berpihak kepada kepentingan asing.
Sumber daya alam nasional bukanlah warisan untuk kita, melainkan amanah yang dititipkan kepada generasi sekarang untuk diwariskan kepada generasi mendatang. Janganlah kita mewariskan hutan gundul dan lahan kering kerontang. Tegakah kita meninggalkan tumpukan utang kepada mereka? Tentu kita tidak mau menorehkan catatan sejarah bahwa negeri ini dulu kaya raya, tetapi nyatanya generasi mendatang lebih banyak miskin dari sekarang.
Kita mengingatkan kembali, betapa mulianya pemimpin yang berpikir dan bertindak adil dalam setiap langkahnya, tidak hanya memikirkan diri, kelompok, dan golongannya serta masa jabatannya.
Kita patut merenungkan anggaran negara terus meningkat berkali-kali lipat, utang kian menumpuk, tapi orang miskin tetap tak berkurang signifikan, pengangguran tetap panjang, dan pekerja informal makin berjubel.
Lalu, apa artinya pertumbuhan ekonomi tinggi, produk domestik bruto kian membesar, tetapi hutan makin gundul, isi perut bumi dan laut makin habis terkuras, tetapi rakyat banyak tak beranjak makmur.
Keadilan sosial menjadi utopia karena dikorup oleh pemimpin yang serakah dan tak tahu diri, pemodal yang asosial dan nirsolidaritas. Cukuplah sudah keadilan dipidatokan. Terlalu picik menerjemahkan keberpihakan dan pembelaan hanya dengan memberikan subsidi dan membagikan bantuan langsung tunai kepada mereka yang miskin.
Generasi mendatang memerlukan garis dan arah kebijakan nasional sekarang ini yang kuat untuk mengangkat mereka dari keterpurukan dan membangun martabatnya berlandaskan amanat konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara ini.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment