PESAN yang disampaikan Presiden Amerika Serikat periode 1933-1945 itu, seperti dikutip dalam buku berjudul ”Ethics, the Heart of Leaderships” (Joanne B Ciulla/ed, 2004), menggambarkan pentingnya moralitas bagi seorang pemimpin. Siapa pun yang menjadi pemimpin sebuah bangsa, sebagai perluasan pemahaman pesan Roosevelt sebagai Presiden AS, seharusnya bisa diklarifikasi rekam jejaknya terkait moralitas itu.
Anak-anak di Tugu Proklamasi, Jakarta. (KOMPAS/ PRIYOMBODO)
Pendiri bangsa ini (founding fathers) juga memerhatikan moralitas yang baik itu. Bahkan, aspek moral itu diutamakan sehingga sila keempat dari Pancasila jelas memperingatkan hal itu, yakni ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Hanya pemimpin yang bermoral baik yang bisa memimpin demokratisasi di negeri ini dengan hikmat dan kebijaksanaan.
Dalam kisah pewayangan, Mahabaratha atau Ramayana, jelas digambarkan hanya kaum pandita (orang suci) dan satria yang bisa mencerminkan kebijaksanaan itu. Bahkan, dalam kisah Kresna Duta, seorang satria pun, seperti Prabu Kresna, titisan Dewa Wisnu, yang melambangkan kebijaksanaan, bisa lepas kendali dan tiwikrama (berubah menjadi raksasa) saat lingkungannya tidak memungkinkan untuk bersikap hikmat dan bijaksana. Namun, ia bersedia disadarkan dan kembali pada jati dirinya.
Pengamat politik Yudi Latif mengingatkan pentingnya moralitas itu. Ia menyebutkan, moralitas pemimpin akan menjadi moralitas rakyatnya jika pemimpin mampu mengomunikasikan (Kompas, 9/6/2009).
Tiga sifat utama
Terkait sirkulasi kepemimpinan, suka tak suka, sampai kini negeri ini masih dipengaruhi filosofi kekuasaan Jawa. Hal ini tak bisa dihindari, selain karena mayoritas penduduk negeri ini dari Jawa, juga Presiden hampir selalu dari Jawa. Dikotomi dan perpaduan kepemimpinan nasional, Jawa dan luar Jawa, sampai hari ini masih hidup dalam kepercayaan masyarakat.
Falsafah kekuasaan Jawa bisa dipakai siapa pun. Memaknai secara luas dari Tahta untuk Rakyat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang pemimpin, dalam menggerakkan demokrasi, seharusnya disemangati gelar yang melekat dalam diri sultan, yakni senopati ing ngalaga, ngabdurrahman sayidin panatagama, dan kalifatullah. Sultan HB IX adalah salah satu figur pemimpin yang bisa mewujudkan falsafah kekuasaan itu, ketika ia tak hanya masih menjadi raja Keraton Yogyakarta, tetapi juga saat dalam pemerintahan nasional, termasuk menjadi wakil presiden.
Senopati ing ngalaga menyiratkan makna panglima di medan perang. Saat negeri dilanda peperangan, ia tidak hanya duduk di istana, melainkan turun ke medan pertempuran bersama dengan pasukan dan rakyatnya untuk mempertahankan kedaulatan. Perang fisik semacam ini kini tak ada lagi. Namun, bukan berarti peran seorang pemimpin sebagai senapati tak ada lagi.
Bangsa ini masih dihadapkan pada persoalan klasik, terkait dengan kemiskinan dan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Lapangan kerja masih terbatas sehingga angka pengangguran masih tinggi. Di sisi lain, tenaga kerja Indonesia di luar negeri, khususnya tenaga kerja wanita, sering kali mengalami penganiayaan yang bahkan berujung pada kematian mereka. Di dalam negeri, beberapa saat terakhir, rakyat dibayangi ketakutan ”ledakan” tabung gas. Korban sudah berjatuhan akibat ledakan gas dalam rumah tangga itu.
Tentu sebagai senapati, seorang pemimpin tak hanya berwacana untuk menolong rakyatnya. Ia harus melakukan kerja nyata, seperti dalam pertempuran di medan perang (ing ngalaga). Tanpa turun tangan langsung dan kerja nyata, ”kemenangan” dari kemiskinan dan keterbelakangan tak pernah dapat teraih.
Sebagai ngabdurrahman sayidin panatagama, seorang pemimpin adalah ”orang suci” penata agama dan keyakinan rakyatnya. Peran ini mendapatkan tempat di negeri ini karena pendiri bangsa ini tak pernah memaksudkan Indonesia sebagai negara agama. Sebab itu, sepantasnya pemimpinnya mampu berada di atas semua golongan, diterima semua agama. Siapa pun yang memimpin, sebagai sayidin panatagama, umat dari mana pun terayomi.
Peran pemimpin sebagai orang suci yang mengayomi umat beragama itu kini kian mendapatkan tempat saat umat beragama yang minoritas merasa terancam kemerdekaannya untuk menjalankan ibadat meski agamanya diakui resmi di negeri ini. Di sisi lain, ada sebagian umat menebar teror dengan mengatasnamakan agama. Memang tak mudah bagi siapa pun yang memimpin negeri ini untuk memainkan peran ini. Namun, bukan berarti peran itu tak mungkin dilakukan, asalkan dengan kerja yang nyata.
Seorang pemimpin, siapa pun dan di mana pun tempatnya, ia adalah orang pilihan di antara warga lainnya. Ia bak utusan Allah, perpanjangan peran Allah di dunia ini (kalifatullah). Sebagai wakil Tuhan, tentu orientasinya menyejahterakan rakyat, menjaga umat, dan mewujudkan amar makruf nahi mungkar. Ia mengajak melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sebagai ”wakil” Allah di dunia, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tentu seorang pemimpin tidak bisa mengedepankan ambisi dan keakuannya. Dalam dirinya hanya ada pemikiran dan niat untuk mewujudkan kesejahteraan umat yang kini menjadi tanggung jawabnya. Tak ada lagi nafsu untuk memperkaya diri atau keluarganya, serta nafsu atas kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini adalah tantangan yang paling berat bagi seorang pemimpin.
Adakah kini pemimpin yang memiliki ketiga keutamaan itu sehingga bisa menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik? Sebenarnya tak sedikit figur di negeri ini yang menampilkan keutamaan itu. Namun, mereka tidak mudah untuk tampil ke panggung kepemimpinan nasional karena terhalang hegemoni partai politik dan kepentingan sesaat dari kekuasaan. Peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate menyebutkan, kehadiran tokoh yang memiliki keutamaan sebagai pemimpin, termasuk kaum muda itu, terkalahkan oleh kuatnya budaya oligarki dan paternalistis serta besarnya nafsu politik elite partai politik (Kompas, 28/4).
Bahkan, aktivis lintas agama Djohan Effendi menyebutkan, yang tampak sekarang adalah kecenderungan mencari kedudukan dan memperoleh kesempatan, dan bukan oleh dorongan idealisme perjuangan. Padahal, politik adalah medan pengabdian (Kompas, 27/7).
Walaupun demikian, jangan pernah berhenti berharap. Apalagi, ada keyakinan kondisi politik negeri ini, beserta kepemimpinannya, masih dalam masa transisi. Jadi, harapan demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sampai kini masih tetap ada dan harus terus dijaga supaya tetap ada.
(tri agung kristanto)
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment