-- Ayu Sulistyowati
RIBUAN kata dan kalimat Bali dikumpulkannya hampir selama 20 tahun. Itu semua hanya demi satu kata, ”lestari”! Dia adalah Prof Dr I Gusti Made Sutjaja MA, penyusun kamus bahasa Bali-Inggris-Indonesia.
I GUSTI MADE SUTJAJA (KOMPAS/AYU SULISTYOWATI)
Kamus itu dia kerjakan dari yang sederhana, dicetak sendiri, hingga yang eksklusif hasil cetakan Pustaka Balipost dan Periplus Singapura. Bahkan, cerita-cerita rakyat Bali pun dia alihbahasakan ke bahasa Inggris, dan sudah tersusun di perpustakaan Congress Australia.
Meski begitu, ia masih memimpikan adanya kamus digital yang mampu menyediakan istilah apa pun dan dari tahun berapa pun dengan cara mudah. ”Biar dengan sekali ketuk tombol enter di komputer, apa yang diminta langsung tampil.” Mewujudkan mimpi itulah yang kini tengah ia garap di kamar kerjanya.
Awalnya, Sutjaja, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), prihatin pada generasi sesudah dirinya yang kurang peduli dengan bahasa ibu sendiri, meski dalam keseharian mereka berdialog dengan bahasa Bali dalam strata apa pun (umum-alus-lumrah).
Berangkat dari rasa malu, terutama kepada orang asing yang fasih berbahasa Bali, ia bertekad menyusun kamus bahasa Bali yang lengkap. ”Bayangkan, sewaktu saya kuliah di Australia, eh orang Australia yang menjadi teman kuliah pintar sekali berbahasa Bali. Duh, saya malu,” katanya.
Maka, mulai tahun 1980-an, hampir setiap hari dia mengumpulkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga cerita rakyat asli Bali, baik berupa buku maupun di lontar dengan tulisan aksara Bali. Ia terus menggali kata-kata hingga sastra Bali.
Terinspirasi salinan kamus Kawi-Balineesch-Nederlandsch karya Dr HN Van Der Tuuk (17 Agustus 1893) pemberian temannya, Sutjaja semakin terpacu. Setelah mengumpulkan kata demi kata, kamus Balinese-English, English-Balinese pun diterbitkan Percetakan Balipost. Tahun 1990 kamus itu dijual seharga Rp 30.000 per buku.
Penyusunan kamus itu berlanjut sampai enam tahun kemudian dengan berbagai penyempurnaan, dari hanya ribuan kata menjadi puluhan ribu kata. Tak henti-hentinya Sutjaja berusaha mengumpulkan berbagai sumber dan referensi mengenai semua hal yang berhubungan dengan Bali. Cerita rakyat dari lontar hingga geguritan Bali (semacam gending macapat di Jawa) pun rajin dikumpulkannya.
Ruang kerja itu menjadi tempat Sutjaja menyelesaikan kamus besarnya dan memeriksa pekerjaan para mahasiswa. Baginya, pekerjaan menjadi pengajar bukan hal biasa karena sejak lepas SMA, sekitar tahun 1964, ia sudah mengajar bahasa Inggris di Yayasan Saraswati, milik ayahnya.
Berita radio
Mengapa Sutjaja memilih bahasa Inggris daripada mendalami sastra Bali? Selain karena saat itu di Unud baru ada Fakultas Hukum dan Sastra, juga sebab sehari-hari dia sudah terbiasa mendengar bahasa Inggris.
Kefasihannya berbahasa Inggris bermula dari sang ayah yang suka mendengarkan berita berbahasa asing di radio. Sutjaja terpengaruh, dia lalu mengikuti ”kursus” bahasa Inggris yang diudarakan radio BBC London. Hasilnya, meski masih siswa SMP ia sudah lancar berbahasa Inggris.
Bagi Sutjaja, kebiasaannya berbahasa Inggris harus menghasilkan sesuatu untuk tanah kelahirannya, Pulau Dewata. Arah menyusun kamus itu sebenarnya sudah muncul pada 1970-an. Saat itu ia suka menuliskan satu kata bahasa Bali lengkap dengan padanan bahasa Inggris dalam bentuk kartu-kartu. Namun, karena belum tahu kegunaannya, ia tak menyimpannya.
Maka, ketika keinginannya untuk menyusun kamus bahasa Bali-bahasa Inggris muncul lagi, kali ini Sutjaja lebih rajin menyimpannya. Dia bertekad kamus itu harus diwujudkan.
Bahkan, setelah kamus karyanya dicetak dan diedarkan pun, Sutjaja mengaku tak pernah menyangka catatan- catatan yang dibuatnya berdasarkan kata-kata dalam lontar, cerita rakyat, atau budaya Bali yang dia alihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, bisa menjadi referensi di sejumlah perpustakaan di negara lain.
Investasi jangka panjang
Sayang, penghargaan dari jerih payahnya selama ini umumnya justru datang dari negara lain. ”Saya tidak tahu apakah bangsa ini belum bisa menghargai budaya? Karena semua hal itu disamakan dengan biaya atau barang dagangan. Padahal, ini terkait pendidikan yang seharusnya diperhatikan dan menjadi investasi jangka panjang,” katanya serius.
Sutjaja yang sudah menghasilkan puluhan tulisan dan alih bahasa Bali ke dalam bahasa Inggris ini prihatin pada kondisi bangsa dan menyayangkan generasi muda yang tak dibekali budaya dan pendidikan dengan benar.
”Jika saya larut dalam jurang ketidakpedulian, lalu siapa yang menyusun (kamus itu)? Kebetulan saja saya yang pertama menyusun kamus untuk versi Bali-Indonesia-Inggris,” ujarnya.
Sambil mendengarkan musik, Sutjaja terus bekerja. Pengalaman berharganya yang tak terlupakan adalah menjadi penyunting kamus Balinese-English dari Pater Norbert Shadeg terbitan Periplus, 2007. Selain itu, dia juga bangga kamusnya dicetak Periplus pada 2009.
Semua yang dia dapatkan kini diperoleh dengan perjuangan. Ia pun berusaha menerapkan hal sama kepada mahasiswanya. ”Saya bukan Sinterklas. Jadi, marilah kita membuat karya tulis atau penelitian yang serius dan berguna,” pesan Sutjaja.
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment