-- P Ari Subagyo
INIKAH tujuan perjuangan kita? Inikah tujuan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 kita? Inikah tujuan UUD ’45 kita? Inikah visi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata, dengan pengorbanan nyawa jutaan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan kita?"
Rentetan pertanyaan itu mengawali pidato imajiner Soekarno bertajuk ”Ke Mana Indonesia Melangkah?” yang tersimpan di Youtube. Suaranya mirip sang proklamator, ditingkah retorika dan gairah bernyala-nyala. Pidato imajiner itu dikreasi sejumlah anak muda untuk merefleksi 64 tahun Indonesia Merdeka tahun lalu.
Terpancar kegelisahan, kekecewaan, kegeraman, sekaligus gugatan atas langkah negara-bangsa ini yang (semakin) tak tentu arah. Bertebaran kata ”kita”. Ini tidak lazim. Menurut temuan Hooker (1993), pidato-pidato Presiden Soekarno minim kata ”kita”. Presiden Soeharto-lah yang lebih suka menggunakan ”kita” karena motif partisipatif.
Ada apa dengan ”kita”? Apa yang sesungguhnya kita rayakan dalam ritual tujuh belasan?
Semiotika ”kita”
Tak semua bahasa memiliki kata ganti orang jamak sejenis ”kita” dan antonimnya ”mereka”. Namun, semua komunitas bahasa membedakan konsep ”kita” dan ”mereka”. Jadi, sesungguhnya manusia memiliki bawah sadar untuk berpikir inklusif-eksklusif. ”Kita” mewakili paradigma insklusif, sedangkan ”mereka” mewakili nalar eksklusif. ”Kita” merepresentasikan kebersamaan, sedangkan ”mereka” menunjukkan keterpisahan.
”Kita” dan ”mereka” sama-sama berunsur ”aku” (ego). Dalam ”kita”, setiap ”aku” rela melebur diri sebagai ”kita” yang satu, inklusif, solider, tanpa kehilangan hakikatnya sebagai ”aku” individual. Dalam konteks membangun Indonesia sebagai ”kita”, ikrar Soempah Pemoeda, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” hanyalah sebagian dari banyak wacana obsesif tentang ke-kita-an Indonesia.
Namun, dalam ”mereka”, masing-masing ego enggan melebur diri menjadi ”kita” inklusif. Setiap ”aku” bersikukuh dan memahami ”aku lain” sebagai ”dia”. Ke-kita-an sebatas ”kita” eksklusif—yakni ”kami”—yang angkuh, soliter, saling mengasingkan, terpisah, dan terkucil karena digerakkan motif-motif primordial dan ego yang bebal. Akhirnya justru terbangun ke-kami-an dan ke-mereka-an.
Krisis ke-kita-an
Krisis ke-kita-an—dominasi ke-kami-an dan ke-mereka-an—itulah yang tengah melanda jiwa bangsa ini. Agenda-agenda penting lalu terbengkalai. Langkah Indonesia menjadi tak tentu arah. Sekadar bukti, korupsi sebagai musuh terbesar ”kita” begitu sulit diberantas. Saat lembaga tertentu—kepolisian, kejaksaan, kehakiman, parlemen, parpol, dan sejumlah kementerian—terendus sebagai sarang koruptor dan mafia peradilan, segera terbangun tembok-benteng ”kami” yang mengatasnamakan spirit-solidaritas korps.
Akibatnya, unsur-unsur lain bangsa ini tidak diperhitungkan karena ditempatkan sebagai ”mereka”. Spirit luhur sebagai satu bangsa tergusur oleh spirit korps ke-kami-an yang sempit-eksklusif. Solidaritas diganti solitaritas. Ke-kita-an Indonesia pun terkubur bersamaan dengan terbenamnya sebagian Sidoarjo oleh lumpur.
Menyelamatkan ke-kita-an
Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 bukan sekadar peristiwa politik, melainkan juga peristiwa sosial-budaya. Momen heroik di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, itu, selain menandai kemerdekaan politis, pun merupakan maklumat tentang lahirnya sebuah ke-kita-an bernama negara-bangsa Indonesia.
Ke-kita-an Indonesia menawarkan sekaligus menuntut kesadaran bahwa negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah ruang publik (public sphere, Offentlichkeit). Ruang publik adalah sebuah ruang sosial yang terbentuk lewat komunikasi dan interaksi sosial.
Habermas maupun Hannah Arendt—dalam ulasan Budi Hardiman, ed. (Ruang Publik: Melacak ”Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, 2010)—mengaitkan ruang publik dengan aktivitas suatu komunitas bahasa (Sprachgemeinschaft) dan akal sehat (sensus communis) manusia.
Indonesia telah memenuhi syarat ruang publik. Pertama, adanya bahasa Indonesia yang memungkinkan warga berkomunikasi dan berinteraksi. Kedua, adanya keterbukaan sehingga seluruh warga bebas beropini melalui berbagai forum dan media. Namun, ada kurangnya, yakni akal sehat (baca: kesadaran) tentang ke-kita-an Indonesia.
Karena minim kesadaran, minim pula komunikasi dan interaksi sosial. Akibatnya, minim empati dan belarasa (compassion) sebagai sesama anak bangsa. Lalu, minim pula keterlibatan dan tindakan dalam menangani berbagai persoalan bersama.
Tengoklah kemacetan di Jakarta. Saat macet, sesungguhnya terbentuk ”forum” warga. Ada begitu banyak orang (terpaksa) berkumpul di jalanan. Namun, mereka tidak saling berkomunikasi. Masing-masing berdiam dalam zona nyamannya. Interaksi yang terjadi justru saling berebut celah, mencuri kesempatan dalam kesempitan. Mereka berubah menjadi kerumunan yang kehilangan kesadaran sebagai warga dan ke-kita-an.
Padahal, kesadaran akan melahirkan tindakan nyata untuk mengakhiri kemacetan. Misalnya, para pemilik perusahaan—yang turut pula menjadi korban kemacetan—berani memindahkan tempat usahanya ke tempat-tempat lain di Indonesia. Toh di mana pun—tanpa mengabaikan kalkulasi-kalkulasi ekonomis—sama-sama berada dalam ke-kita-an Indonesia.
Ilustrasi yang sama berlaku untuk kasus lumpur Lapindo, ledakan (tabung) gas, hingga pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Terjadi ”kemacetan”, tetapi pihak-pihak yang bertanggung jawab justru mendahulukan ke-aku-an atau ke-kami-an sambil mendesakkan ke-mereka-an untuk melibas ke-kita-an.
Hati semakin teriris. Dalam kemacetan, apa merek motor dan mobil yang berderet itu? Dalam mal-mal yang mengepung kemacetan, barang-barang yang terpajang buatan siapa? Bukankah terjadi kontestasi ke-mereka-an? Sudahkah kita merdeka sekarang?
Merayakan kemerdekaan Indonesia mestinya menyelamatkan ke-kita-an. Tanpa upaya itu, merayakan kemerdekaan Indonesia hanyalah merayakan ke-mereka-an.
Dirgahayu Indonesia. Sekali mer(d)eka tetap mer(d)eka?!
P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment