Wednesday, April 29, 2009

Pesta Puisi: Hari Sastra Nasional Diwacanakan

Solo, Kompas - Perlu atau tidak adanya Hari Sastra Nasional menjadi wacana yang mengemuka pada acara Pesta Puisi yang diadakan di Balai Soedjatmoko Solo, Selasa (28/4). Pesta Puisi itu diselenggarakan untuk menandai peringatan meninggalnya penyair Chairil Anwar 60 tahun silam.

Penyair Raudal Tanjung Banua yang mengantar acara ”Ngobrol Bareng Sapardi Djoko Damono” mengemukakan perlunya kita memiliki Hari Sastra Nasional. Diakui, gagasan menjadikan 28 April sebagai Hari Sastra Nasional (HSN) pernah memunculkan pro-kontra. HSN, kata Raudal, bisa dijadikan momentum bagi berbagai kalangan untuk menggairahkan kehidupan sastra di Tanah Air.

”Hari Sastra Nasional bisa menjadi perayaan bagi para kreator sastra untuk terus berkarya,” ujarnya. Ditambahkan, dengan HSN, pemerintah terdorong untuk lebih memasyarakatkan sastra, antara lain menyebarluaskan buku-buku sastra di sekolah- sekolah. Untuk itu, penerbitan buku-buku sastra perlu disubsidi.

Raudal menilai, pemerintah berstandar ganda terhadap bidang budaya di Tanah Air. Di satu sisi pemerintah ingin agar masyarakat mengapresiasi sastra, tetapi tidak ada kebijakan yang mendukung ke sana, seperti pembebasan pajak kertas, pajak buku, serta keringanan pajak bagi penulis buku.

Dalam pandangan Sapardi Djoko Damono, HSN mungkin diperlukan, tetapi jangan menjadi kegiatan rutin. ”Kalau minta kepada pemerintah untuk menetapkan Hari Sastra Nasional, jangan sampai hanya menjadi kegiatan rutin, apalagi sekadar seremonial. Peringatan Hari Sastra Nasional diadakan kalau memang ada permasalahan yang perlu diangkat,” ujarnya.

Di bagian lain, Sapardi menekankan bahwa pendidikan sastra yang paling efektif adalah dengan menyodorkan sebanyak mungkin karya sastra kepada anak didik, bukan dengan teori sastra. ”Berikan mereka buku-buku sastra untuk dibaca, apa saja,” kata Sapardi, yang mengaku tidak khawatir akan kecenderungan remaja sekarang yang lebih suka membaca komik.

Menurut dia, kesalahan dalam pendidikan sastra, baik di sekolah maupun hingga perguruan tinggi, adalah terlalu banyak memberikan teori. Dalam kesempatan itu, Sapardi (69) meluncurkan buku antologi puisinya yang mutakhir, ”Kolam”. (ASA)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 April 2009

Tuesday, April 28, 2009

Budaya Iptek: Peneliti Harus Didorong untuk Menulis

Jakarta, Kompas - Peneliti dari berbagai bidang keahlian harus terus didorong untuk mencari solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Selain itu, mereka harus didorong untuk menuliskan penelitiannya sehingga tumbuh budaya iptek di kalangan masyarakat.

Anny Sulaswaty, Kepala Biro Humas Kementerian Negara Riset dan Teknologi, mengatakan hal itu di sela-sela Festival World Book Indonesia 2009 di Museum Bank Mandiri Jakarta, yang akan berlangsung hingga 17 Mei 2009.

Dalam festival tersebut, Kementerian Negara Riset dan Teknologi menampilkan dua buku terbaru berjudul Simfoni Inovasi, Cita dan Realita karya Kusmayanto Kadiman yang diterbitkan PT Foresight Asia dan buku Sains dan Teknologi, Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan dan Kebutuhan yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama.

Buku Sains dan Teknologi setebal 362 halaman merupakan kumpulan pemikiran dari 36 pakar di lingkungan KNRT. Mereka mengemukakan berbagai pemikiran yang berkaitan dengan masalah pangan dan pertanian, energi, informasi dan komunikasi, kesehatan dan obat, teknologi dan manajemen transportasi, serta pertahanan dan keamanan.

Dalam buku Simfoni Inovasi, Cita dan Realita setebal 225 halaman, Kusmayanto Kadiman yang juga Menteri Negara Riset dan Teknologi menggali inovasi yang dihasilkan sejumlah tokoh dari kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan penyelenggara pemerintahan. Menurut Kusmayanto, cita-cita bangsa ini bisa terwujud jika iptek disinergikan oleh pelaku inovasi. (YUN)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 April 2009

Monday, April 27, 2009

Langkan: Panggung Apresiasi dan Diskusi Sastra

KOMUNITAS Planet Senen Jakarta, Minggu (26/4), menggelar kegiatan kesenian untuk masyarakat dan dari masyarakat di Plaza Depan Monumen/Patung Tekad Merdeka Gelanggang Remaja, Jakarta Pusat. Kegiatan berupa ”Sehari Menulis Menyenangkan” dengan narasumber penulis dan editor buku Endry Sulistio, penyair Irman Syah, serta cerpenis Ahmad Sekhu. Adapun Senin (27/4) ini, mulai pukul 16.00, digelar teater anak dengan lakon ”Rumah Kehidupan” karya Marina. Pertunjukan musik oleh BSL, KSJI, Bewok, dan Anne Matahari. Dipentaskan pula pembacaan puisi oleh penyair dan wartawan Jakarta, serta Performance Art oleh Agus Jolly. ”Panggung Apresiasi dan Diskusi Sastra digelar memperingati Setahun Komunitas Planet Senen (KoP’S) Jakarta,” kata Koordinator KoP’S, Irman Syah, Minggu kemarin, di Jakarta. (nal)

Sumber: Kompas, Senin, 27 April 2009

Langkan: Sapardi Luncurkan ”Kolam”di Balai Soedjatmoko

MENYAMBUT Hari Puisi yang jatuh pada 28 April 2009, Balai Soedjatmoko di Solo menyelenggarakan serangkaian acara selama dua hari, Selasa (28/4) dan Rabu (29/4). Salah satunya adalah peluncuran antologi puisi terbaru karya penyair Sapardi Djoko Damono berjudul Kolam, Selasa pagi. ”Antologi puisi ini saya terbitkan dalam jumlah terbatas dan tidak dipasarkan di toko-toko buku umum,” katanya, Sabtu (25/4). Sebelumnya akan diputar film dokumenter berjudul Aku Ingin karya Toni Trimarsanto, dilanjutkan ”Ngobrol Bareng Sapardi” dan workshop penulisan puisi untuk remaja. ”Pesta Puisi 2009” ini akan dimeriahkan dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, juga pementasan teater-puisi. Kegiatan dengan acara serupa akan digelar di hari kedua, Rabu. (ASA)

Sumber: Kompas, Senin, 27 April 2009

Media Literasi: Harus Tegas, Membatasi Anak Menonton Televisi

Jakarta, Kompas - Orangtua harus tegas membatasi anak-anak menonton televisi karena banyak program televisi yang tidak cocok dan bahkan berdampak buruk pada anak. Di sisi lain, waktu anak untuk menonton televisi ternyata lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jam belajar anak di sekolah per tahun.

Hal itu terungkap dalam acara seminar guru bertajuk ”Media Literasi; Literasi Abad 21”, Minggu (26/4). Seminar tersebut rangkaian dari kegiatan World Book Day 2009 yang dimotori oleh Forum Indonesia Membaca.

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Santi Indra Astuti, mengatakan, berdasarkan survei Unicef (Badan PBB Untuk Anak-anak) pada tahun 2007, anak-anak Indonesia menonton televisi lima jam sehari atau 30-35 jam per minggu atau 1.560-1.820 jam per tahun. Adapun jam belajar di sekolah rata-rata 1.000 jam per tahun, dengan 220 hari efektif belajar dalam setahun.

Psikolog dan pengamat pendidikan, Najelaa Shihab, mengatakan, orangtua tidak bisa menghindari kepungan televisi, game dan internet yang pasti menarik buat anak. Karena itu, orangtua harus ”melek media” sehingga bisa memilih program televisi, game, dan situs di internet yang sesuai buat anak, dengan usia dan pendidikannya. Orangtua juga harus tegas menekankan disiplin bagi anak-anaknya saat menonton televisi, baik program maupun waktunya. (INE)

Sumber: Kompas, Senin, 27 April 2009

Sunday, April 26, 2009

Buku: Aceh Jauh Sekali

• Judul: Syair Panjang Aceh (Syahie Panjang Aceh)
• Penulis: Sunardian Wirodono
• Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta, 2009
• Tebal: 416 halaman

SEBELUM pemberontakan Aceh Merdeka meletus pada 1976, di Medan sudah masyhur dua lelucon tentang seorang Aceh yang pergi tamasya untuk pertama sekali ke kota itu.

Kata yang punya cerita, si tokoh Aceh tak lupa membawa dua rencong untuk melindungi diri. Medan asing sekali dan jangan lupa Medan adalah kota keras. Tetapi, malang benar, dua rencong di pinggangnya itu tak kuasa melindungi dompetnya dari pencopet.

Lelucon di atas kemudian bertaut dengan lelucon lain, ketika orang Aceh hendak menonton bioskop. Saat orang Aceh itu menyerahkan karcis ke tangan petugas, dia tak habis pikir kenapa tiketnya dirobek? Kembali lagi dia ke loket. Mungkin sudah untuk kesekian kali karcis dirobek. Baru ketika herannya tumpas dan dia bertanya, penjelasan pun didapat, tetapi sial sekali film yang hendak dia tonton sudah selesai….

Pesan dari dua lelucon di atas cukup jelas, yaitu Medan sebagai salah satu kota niaga paling penting di Indonesia dan disulap Orde Baru sebagai pusat kemajuan di Pulau Sumatera, pernah jauh sekali dari Aceh, asing dan tak dikenali sehingga kerap membuat pengunjung dari Aceh takjub. Atau bisa juga kita lihat dari sudut lebih ekstrem, pandangan peninggalan Hindia Belanda awal abad ke-19: tak banyak yang diketahui orang luar tentang Aceh dan orang-orangnya, kecuali bayangan samar tentang kawasan penuh rawa yang dihuni tukang tenung dan perompak. Mereka kolot, tak bisa dipercaya serta fanatik, dengan demikian terbelakang.

Pandangan ini kemudian menjadi salah satu dalih etis bagi Hindia Belanda menyeret Aceh agar lebih dekat dengan peradaban lewat perang yang mahal dan melelahkan.

Namun, perang 40 tahun itu tak membuat Aceh menjadi lebih dekat dengan Hindia. Setidaknya Snouck Hurgronje percaya, para penghafal nahu dipercayai orang-orang Aceh dapat berbicara dengan pepohonan adalah bukti betapa muskilnya sekadar membujuk orang Aceh merengkuh peradaban dan meninggalkan ilmu gaib warisan nenek moyangnya.

Perlu kehati-hatian

Setelah Indonesia berdiri dan Aceh berada di dalamnya, apakah Aceh menjadi lebih terang untuk dilihat dan diketahui dari sejumlah sudut yang lain?

Dalam novel ini—romantika kehidupan dan pengalaman Fikri, gerilyawan muda GAM yang kerap terlibat dalam perdebatan fundamental dan ideologis kenapa Aceh menuntut merdeka baik dengan dirinya maupun sesama anggota GAM atau kadang saat mengalami halusinasi didatangi Cut Nyak Dhien menjelang ditandatanganinya perjanjian damai antara GAM dan Indonesia—terasa sekali usaha menembus kepekatan itu. Setidaknya saya menemukan ada dua cara yang ditempuh penulis buku.

Pertama, kerja keras penulis dapat kita lihat dari pemberian catatan kaki untuk penerjemahan bahasa Aceh ke Indonesia serta penjelasan istilah dan kutipan, daftar rujukan, dan foto tentang Aceh masa silam. Itu ditambah penegasan penulis dalam pengantar: dalam ranah kreatif, saya kira tidak menjadi persoalan ketika seorang Sunda melahirkan karya novel mengenai mitos dan tradisi Papua (hal 12).

Penulis novel adalah orang Yogyakarta. Saya setuju dengan penandasan itu, tetapi apa boleh buat pada lead, halaman dan frasa pertama saya langsung berjumpa dengan kesalahpahaman etnografi. Sebuah syair seudati: alaikom salam adue’ puteh di/ Saleum gatabri mameh lon rasa/ Sijuk ban ie lam pucok on, dijadikan lead untuk prolog. Dan frasanya sebagai berikut: Fikri kaget terbangun oleh suara didong yang mengiang-ngiang di telinganya (hal 15)—maksudnya adalah oleh syair seudati di atas.

Saya tidak akan peduli apabila alih aksara bahasa Aceh itu ke dalam bahasa Indonesia tidak terlalu tepat, sama halnya saya akan mengabaikan kalau penulis di dalam catatan kakinya menyebut didong adalah salah satu syair Aceh—dan memang kedua ketidaktepatan itu yang terjadi. Masalahnya, bahasa Aceh berbeda dengan bahasa Gayo.

Sebuah teks, sekalipun dulunya adalah risalah propaganda yang penuh kebencian, kebohongan, atau kabar palsu untuk mengecoh persepsi musuh, di masa depan teks tersebut dibenarkan untuk dilihat sebagai arsip sejarah. Hanya kehatian-hatian dan ketelitian penafsirlah yang dapat menyelamatkannya dari kesimpulan.

Penulis tampaknya tidak ada pilihan lain sebab Aceh terlalu gelap dan jauh. Maka, penulis mencoba membingkai novel ini dengan informasi sejarah di Aceh beserta tokoh-tokohnya. Dengan melekatkan senarai informasi tersebut dengan baik pada sekujur pikiran tokoh-tokoh di dalam novel ini bisa dilihat sebagai usaha kedua bagi penulis untuk menembus kegelapan Aceh. Juga atas kegelapan yang menudungi riwayat Muzzakir Manaf.

Dulu Tengku Muzzakir Manaf adalah bekas Panglima Tinggi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Kini dia memimpin Partai Aceh. Tidak banyak yang saya ketahui tentang dirinya kecuali secara umum Manaf salah seorang dari generasi Libya terpuji serta tidak pernah mengalami pembuangan politik di Eropa. Sementara dalam novel ini Muzzakir Manaf sebagai panglima tinggi AGAM diceritakan sempat mengasingkan diri ke Swedia (hal 75).

Lalu apakah keberadaan Manaf sejauh yang saya ketahui menjadi lebih penting daripada informasi terbaru yang saya dapat dalam novel ini? Sebab, dalam masa perang yang penuh pengacauan informasi dan propaganda bisa saja informasi yang saya terima tidak sepenuhnya tepat, mungkin saja Manaf memang tinggal di Eropa, dan kabar yang saya ketahui tentang dia yang pernah mengendalikan ribuan tentara AGAM di hutan Aceh adalah bagian dari propaganda tentang dirinya dan gerakannya. Dan, bukankah yang sedang kita hadapi adalah novel? Dan, novel adalah fiksi, sementara semua fakta baik tentang tokoh maupun latar tempat di dalam karya fiksi kalis dari anggapan apakah memang benar adanya atau beradanya. Mungkin itu sebabnya untuk mencegah betapa berbahayanya informasi yang dikutip dari propaganda perang pada mukadimah novel ini penulis sudah menjelaskan hal itu: sesungguhnya, meski berdasarkan fakta-fakta, cerita ini adalah fiksi belaka (hal 9).

Terhadap sejumlah informasi sejarah dan etnografi ini barangkali yang membuat Nano Riantiarno pada endorsement buku menyebut, buku dipersiapkan dengan observasi sangat detail. Tetapi, tak ayal observasi sangat detail (tetapi belum tentu cermat) ini menjadi beban bagi tokoh-tokoh novel.

Tokoh utama Fikri, misalnya, tidak hidup dengan pikirannya, melainkan dihidupi seluruh informasi sejarah yang bersinggungan dengan Aceh. Rujukan sejarah, baik yang dipikirkan Fikri maupun yang dia terima dari tuturan orang kedua (tentu yang lebih tua) yang kemudian disanggah atau dia benarkan, bahkan membuat Fikri tidak berdaya mematikan televisi. Padahal, di dalam deskripsi jelas disebutkan berulang-ulang, suara TV sangat cerewet (hal 20, 36, 37 dan 39). Barangkali hal ini bukan masalah bagi Fikri yang beruntung didatangi arwah Cut Nyak Dhien, seperti halnya laku sufi yang lazim kejatuhan ilham di tengah riuh-rendahnya suasana pasar.

Jadi, terhadap tokoh yang tidak mampu membunuh bunyi yang mengganggu gendang telinganya menjadi sangat sulit memberi alasan kepada dirinya tentang kenapa dia bisa terlibat dalam perang yang kejam, tetapi sebaliknya dia dapat menyanggah ayahnya dengan tangkas waktu mereka berdebat tentang faedah apa yang dapat dipetik dari perang yang lama.

* Azhari, Pedagang Buku di Toko Buku Dokarim Banda Aceh

Sumber: Kompas, Minggu, 26 April 2009

FSJ, Bukan Festival Kangen-kangenan

-- Bonari Nabonenar

SUATU hari dalam sebuah surlek (surat elektronik) cerpenis Beni Setia menulis: ''Kenapa tak ada orang Jawa yang merasa terpanggil untuk nguri-nguri bahasa dan sastra Jawa dengan memberi dana dan kepercayaan yang sama pada PS (Majalah Bahasa Jawa Panjebar Semangat) atau JB (Jaya Baya), misalnya? Apa komunitas Jawa yang mayoritas penduduk Indonesia itu tak menghasilkan manusia berbudaya yang tertarik untuk mendinamisasi sastra Jawa dengan hadiah tahunan? Kenapa Bengkel Muda Surabaya bisa masuk jadi pos anggaran APBD Surabaya, mengalahkan DKS (Dewan Kesenian Surabaya) yang formal top-down building, tapi PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) tidak --padahal institusi ini strategik memberi hadiah tahunan yang mendinamisasi kreativitas sastrawan muda Jawa?''

Surat itu menunjukkan betapa Beni Setia sebegitu gelisahnya terhadap kondisi sastra Jawa saat ini. Seirama dengan kegelisahan saya dan kawan-kawan penggiat sastra Jawa pada umumnya. Menariknya, karena Beni lahir dan besar di dalam kultur Sunda dan mengakrabi Jawa karena kemudian ia menikah dengan gadis Jawa yang lalu membawanya ke Caruban, kota kecil di pinggiran Madiun. Sebagai orang ''Jawa baru'', saya tahu Beni jauh lebih vokal daripada kebanyakan orang Jawa yang ''Jawa deles'' yang sebagian besar masih bersikap nrima. Terlalu nrima.

Memangnya sehebat apa para pengarang/penyair atau sastrawan Jawa hingga perlu diberi hadiah? Apakah urusannya kalau sastrawan muda bermunculan, produktif/kreatif, atau sebaliknya, mampet? Bukankah tidak ada wawancara rekrutmen karyawan yang men-syarat-kan kemampuan berbahasa Jawa kecuali untuk penyiar radio/televisi lokal? Bukankah ketika pemerintah daerah menganjurkan atau bahkan mewajibkan pengalokasian waktu untuk pelajaran bahasa Jawa bagi siswa SD dan SMP, banyak yang diam-diam menggantinya dengan pelajaran bahasa asing, terutama bahasa-bahasa milik negara yang potensial kita setori pekerja rumah tangga?

Siapa pula yang akan peduli seandainya Jaya Baya dan Panjebar Semangat itu kukut? Jika pertanyaan itu diperjelas arahnya: Apakah yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk dua buah ''monumen'' kebudayaan Jawa yang kebetulan ada di tengah-tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya itu?

Ketika menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Timur, Prof Dr Setya Yuwana Sudikan mengemukakan gagasan untuk menyubsidi para penulis Jawa. Caranya, memberikan bantuan dana kepada redaksi agar honor sebuah tulisan di majalah berbahasa Jawa tidak hanya seperlima atau bahkan sepersepuluh honor tulisan berbahasa Indonesia. Tanpa perlu memperhatikan berapa tiras masing-masing, dengan perbandingan itu kita tahu betapa miskinnya majalah-majalah berbahasa Jawa itu. Jangankan meng-online-kan diri melalui situs berbayar, mengongkosi pemeliharaan di situs gratisan saja tampaknya mereka tidak mampu.

Hingga saat ini subsidi untuk penulis Jawa itu masih berhenti sebagai gagasan. Para penulis/sastrawan Jawa sering menjadi penting hanya ketika ada penelitian.

Kini saatnya penulis/sastrawan Jawa berkonsolidasi untuk menyadari peran apa yang bisa diambil agar tidak menjadi penggerutu terus. Sebelum ini, ada puluhan bahkan ratusan pernyataan yang menyayangkan sikap ''menangisi'' keberadaan sastra Jawa itu. Ini bukan saatnya kita berkeluh kesah. Bukan saatnya menggerutu. Apalagi menangis. Kita boleh marah, asalkan tahu persis bahwa kita layak marah. Tetapi, itu nanti. Kini, mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan.

Apa saja yang bisa kita lakukan sekarang? Festival Sastra Jawa (FSJ) yang bakal digelar di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, 17 - 18 Juni 2009, diupayakan menjadi langkah awal bagi para ''pembela'' sastra Jawa yang tak mau lagi hanya menggerutu, berkeluh-kesah, dan menangis. Momen itu sekaligus menjadi ajang konsolidasi dan bukan sekadar media kangen-kangenan seperti halnya forum-forum semacam.

Kelak, kalau para pembela sastra Jawa sudah benar-benar solid, Festival Sastra Jawa menjadi agenda tahunan untuk menuju forum silaturahmi budaya yang lebih besar (berskala nasional) yang bisa dinamakan Festival Sastra Etnik Nusantara. Semoga tak hanya mimpi. (*)

* Bonari Nabonenar, Penggagas FSJ 2009, bonarine@yahoo.com

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 April 2009

Saturday, April 25, 2009

Lebih dari 20 Naskah Kuno Diduga Raib

Solo, Kompas - Setelah arca batu dan perunggu yang hilang, kini giliran koleksi naskah kuno Museum Radya Pustaka Solo, Jawa Tengah, diduga raib menyusul amburadulnya pengelolaan perpustakaan museum tersebut. Lebih dari 20 naskah kuno yang sebelumnya tercatat di katalog kini tidak jelas keberadaannya. Beberapa di antara naskah tersebut merupakan karya agung (masterpiece).

Hingga Kamis (23/4), pihak pengelola Museum Radya Pustaka masih berharap koleksi naskah kuno tersebut tidak hilang karena ada kemungkinan beberapa naskah dipinjam orang dan belum dikembalikan. Pihak yang meminjam diharapkan segera mengembalikan ke Museum Radya Pustaka.

Naskah kuno kembali mendapat perhatian pascakedatangan Indonesianis (peneliti studi tentang Jawa) dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, Nancy K Florida di Solo.

Pada tahun 1982, Nancy menyelesaikan katalog yang berisi daftar buku dan naskah kuno di Museum Radya Pustaka. Dalam kunjungan tersebut, Nancy mengecek koleksi naskah dalam katalog yang disusunnya. Sebelum pulang, Nancy menyampaikan kepada staf perpustakaan museum bahwa ada lebih dari 20 naskah kuno sudah tidak ada, termasuk tiga naskah kuno yang merupakan karya agung, yakni Serat Ong Ilahe’ng, Primbon Mangkuprajan, dan empat jilid Buku Werna-werni Sinjang.

”Kami juga sudah periksa di berbagai tempat, tetapi tidak ada buku-buku kuno itu,” kata staf perpustakaan Museum Radya Pustaka, Kurnia Heniwati.

Ketua Komite Museum Radya Pustaka Winarso Kalinggo menyatakan belum tahu apakah naskah-naskah itu hilang atau dipinjam orang.

”Kami belum melapor ke polisi dan akan melalukan pencarian dulu,” kata Wakil Ketua I Komite Museum Radya Pustaka Sanjata.(EKI/SON)

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 April 2009

Insan Renaisans Kembangkan Budaya

Jakarta, Kompas - Perjalanan suku bangsa Nusantara, dan kemudian bangsa Indonesia, sarat diwarnai dengan budaya unggul. Oleh karena itu, semangat sadar budaya inilah yang sebaiknya juga mewarnai upaya untuk meningkatkan derajat dan martabat bangsa selanjutnya. Pesan itulah yang menjadi tema seminar ”Kebudayaan Indonesia Kunci Perekat Bangsa” yang berlangsung di Museum Indonesia TMII Jakarta, Jumat (24/4).

Budayawan Sri Hastanto dalam paparannya mengakui, oleh karena luas wilayahnya, Indonesia juga memiliki ragam budaya yang sangat bervariasi. ”Kesatuan politik relatif dapat dilaksanakan, misalnya (dalam wujud) bahasa kesatuan bahasa Indonesia dan dasar negara Pancasila. Namun membentuk kesatuan budaya jauh lebih rumit. Kita tidak dapat dengan serta-merta membuat budaya Indonesia dengan mencampur seluruh seluruh budaya yang ada pada suku-suku bangsa,” katanya menjelaskan.

Karena itu pula ditampilkannya wayang (yang dipaparkan oleh Ketua Senawangi Solichin) dan keris (oleh Haryono Haryoguritno) oleh salah seorang peserta dipandang perlu diperluas karena keduanya baru merepresentasikan budaya Jawa.

Masa lalu dan masa depan

Jejak kebesaran tanah Nusantara seperti dikemukakan pakar kebumian ITB, Johan Arif, telah dapat ditelusuri hingga zaman prasejarah. Jejak itu, selanjutnya oleh antropolog UI, Hariani Santiko, masih berlanjut hingga abad ke-17.

Bila pada era pra-RI ada banyak tokoh yang bisa disebut ”insan renaisans”, sekarang ini juga dibutuhkan insan-insan renaisans yang—menurut Sri Hastanto—mampu mengapresiasi budaya-budaya yang dimiliki oleh suku-suku Nusantara.

TMII sendiri dalam memperingati HUT ke-34 menyelenggarakan Festival Indonesia yang selain Pameran Renaisans Nusantara juga menampilkan pameran 33 provinsi, pameran produk unggulan daerah, kuliner Nusantara, serta pergelaran kesenian daerah serta pesta rakyat 18-26 April 2009. (NIN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 April 2009

Bahasa dan Kita: Antara Kepraktisan dan Kesahihan Bahasa

-- Suhatri Ilyas

HINGGA saat ini, setelah 81 tahun dinyatakan dalam Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia kita masih memiliki kekurangan yang cukup mengganggu, paling tidak ketakseragaman dalam penulisan kata. Ada juga sebenarnya kerancuan-kerancuan dalam struktur dan pemaknaan. Namun, ketakseragaman penulisan kata itu paling mudah terlihat, termasuk oleh kalangan awam.

Dalam suatu kesempatan, teman saya yang orang asing pernah bertanya, "Kalian menuliskan praktik itu /praktek/ atau /praktik/, sih?" Tentu saja saya bernafsu mejelaskannya dengan panjang lebar, meski saya akhirnya tetap tak yakin dia merasa puas.

Dalam suatu diskusi berkala Forum Bahasa Media Massa (FBMM) awal Oktober tahun lalu, yang mengambil tema penyerapan kata-kata bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, terlihat sekali betapa belum tuntasnya mekanisme penyerapan kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, khususnya bahasa di media massa.

Yang menarik, dalam diskusi itu muncul dua sikap dalam menghadapi kesalahan-paling tidak ketakseragaman-berbahasa tersebut. Sikap pertama, berbahasa itu hendaknya yang praktis-praktis saja sesuai dengan keindonesiaan kita, baik pelafalan, penulisan, maupun pemaknaan.

Sementara yang kedua, menganggap harus ada kepastian bahasa dengan terlebih dahulu melihat kasahihan dan ketepatan melalui kajian, bahkan diperlukan penelusuran secara etimologis, misalnya terhadap suatu kata. Dan kita, menurut kelompok ini, harus hati-hati dalam hal ini, agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan yang bisa menimbulkan penafsiran berbeda.

Namun, walau ada perbedaan dalam memandang penyerapan kata-kata asing itu, ada satu hal yang disepakati bersama dalam diskusi tersebut, yaitu perlunya konsistensi dalam menggunakan unit-unit bahasa seperti kosa kata, struktur, pemaknaan -- teristimewa di mediamassa -- karena forum ini teramat efektif menyosialisasi sebuah kata baru.

Justru itu, masalah yang relatif lebih banyak diperdebatkan karena semua orang bisa berkomentar akibat semua orang bisa menilai--adalah penulisan kata -- tersebut. Ini karena memang gamblang dilihat ketidakkonsistenan (perbedaan) dari satu media ke media lainnya, bahkan satu wartawan ke wartawan lainnya.

Kata praktik, satu media konsisten menggunakan kata praktik dengan alasan secara etimologis dan struktur memang bisa dibuktikan bentuknya yang benar adalah praktik, yakni dari kata practice atau dalam struktur berpadanan dengan praktikum (bukan praktekum).

Hal yang sama terjadi pada kata objek, dari bahasa Inggris kata /object/ masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi objek, bukan objek. Tetapi ada media yang terus menggunakan objek. Masih ada banyak kata lain seperti asas (selalu ditulis azas), izin (selalu ditulis ijin), dollar dan dolar, serta barrel dan barel.

Belum lagi kata-kata serapan baru, baik dari bahasa Arab, Inggris, Belanda, China, maupun dari bahasa Jepang dan Rusia. Termasuk penulisan nama, yang kadang-kadang kalangan media cukup tak berdaya karena nama-nama asing itu (banyak kasus nama-nama dari bahasa Arab) masuk ke Indonesia melalui bahasa Inggris. Di sini kita mengenal nama Mamoud Abbas, Mohammed Khoudury, bahkan nama seterkenal bin Laden.

Dalam kasus ini persoalan menjadi sulit karena untuk nama ini si pemillik nama diperbolehkan untuk menulis bebas sebagaimana yang diinginkan (dalam bahasa disebut arbitrer dan dalam puisi disebut licentia poetica)). Seperti Mohammed Khoudury, bisa jadi namanya memang begitu, kan itu haknya. Tapi kita terganggu karena dalam bahasa Arab kita tidak mengenal huruf /o/ dan /e/, yang ada hanya /a/, /i/, /u/. Jadi, mestinya hanya Muhammad Khudariy, Mahmud Abbas, dan lain-lain. Dengan demikian, seyogianya memang harus punya wawasan kebahasaan dalam hal ini sehingga kita tidak ikut-ikutan salah dalam hal ini.

* Suhatri Ilyas, Penyelaras Bahasa Sebuah Penerbitan

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 25 April 2009

Problem Utama Dunia Sastra Kita

-- Edy Firmansyah

PROBLEM utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.

Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah "bidang pekerjaan" paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah "orang gila".

Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.

Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.

Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.

Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra "sampah".

Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.

Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.

Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.

Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?

Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah "binatang jalang" sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.

Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 25 April 2009

Wednesday, April 22, 2009

Langkan: Siswa SD Luncurkan Buku Puisi

UTOMO Soconingrat, murid kelas IV SD Islam Al Fallah Jambi, 26 April mendatang akan meluncurkan buku kumpulan puisinya: Dua Pintu Kita, di Teater Arena Taman Budaya Jambi. Buku yang diberi kata penutup oleh ahli sastra dari Universitas Jambi, Sudaryono, itu dinilai sebuah karya langka. ”Imbas kelangkaan itu sering kali puisi anak yang diterbitkan menjadi kontribusi ’sejarah perpuisian’,” kata Sudaryono yang juga seorang penyair, Rabu (22/4) di Jambi. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 23 April 2009

Distribusi Buku ke Luar Jawa Masih Sulit

Jakarta, Kompas - Distribusi buku ke luar Jawa masih sulit. Karena itu, masyarakat di luar Jawa membutuhkan dukungan sumber daya lokal untuk menumbuhkan minat baca.

Hal itu dikemukakan oleh Ketua Forum Indonesia Membaca sekaligus Direktur Festival World Book Day Dessy Sekar Astina kepada pers dalam perayaan World Book Day 2009, Selasa (21/4). Dessy mengatakan, akses terhadap buku masih menjadi kendala utama dalam menumbuhkan budaya membaca.

Berkaitan dengan Hari Buku Sedunia, tahun ini untuk keempat kalinya Forum Indonesia Membaca kembali menggelar perayaan World Book Day. Perayaan diselenggarakan pada 23 April hingga 17 Mei 2009 setiap Sabtu dan Minggu di Museum Bank Mandiri, Jakarta.

World Book Day atau Hari Buku Sedunia jatuh setiap tanggal 23 April.

Berbagai kegiatan, seperti pameran, pelatihan, diskusi, lomba hingga pertemuan komunitas, akan digelar dalam perayaan yang tahun ini mengambil tema ”Membaca untuk Cinta”.

”Kami ingin menyebarkan kecintaan membaca kepada orang- orang terdekat, terutama keluarga,” ujar Dessy. (INE)

Sumber: Kompas, Rabu, 22 April 2009

Monday, April 20, 2009

Yuyun Terima Penghargaan Goldman 2009

Jakarta, Kompas - Aktivis lingkungan dari Denpasar, Bali, Yuyun Ismawati, bersama lima aktivis yang bekerja di akar rumput dari Amerika Serikat, Gabon, Banglades, Rusia, dan Paramaribo terpilih sebagai penerima Penghargaan Lingkungan Goldman 2009, semacam Nobel di bidang lingkungan. Anugerah khusus itu diserahkan di San Francisco Opera House, AS, hari Senin (20/4) pukul 17.00 waktu setempat.

”Saya sama sekali tidak menyangka mendapat penghargaan ini. Selama ini saya melakukan apa yang menjadi perhatian khusus saya saja,” kata Yuyun saat dihubungi di San Francisco dari Jakarta, Minggu (19/4) waktu Indonesia. Keenam pemenang berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS.

”Seperti pendahulunya, para penerima Penghargaan Goldman ini amat mengesankan. Mereka berhasil menghadapi rintangan yang tampaknya tak terpecahkan,” ujar pendiri Penghargaan Goldman, Richard N Goldman, seperti dikutip dari siaran pers The Goldman Environmental Prize.

Penghargaan ini memasuki tahun ke-20 yang diberikan setiap tahun kepada para pejuang lingkungan di tingkat akar rumput. Sejak dimulai tahun 1989, penghargaan ini sudah diberikan kepada 133 aktivis dari 75 negara.

LEAD Fellow

Yuyun, salah satu fellow dari Program Leadership on Environment and Development (LEAD Programme) Indonesia, adalah orang Indonesia ketiga yang menerima penghargaan ini.

Ibu dua anak itu dengan lembaga Bali Fokus melakukan solusi berbasis masyarakat untuk pengelolaan sampah yang memberi peluang kerja bagi warga berpenghasilan rendah dan memberdayakan warga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.

Bersama sejumlah aktivis, ia juga mengembangkan Indonesia Toxics-Free Network (ITFN) yang di antaranya menyoroti perhatian pemerintah yang kurang terhadap isu-isu limbah berbahaya dan beracun berikut dampak publiknya.

”Indonesia terlalu santai, padahal ada banyak hal yang patut dikhawatirkan terkait isu limbah beracun,” katanya.

Pemenang lain

Lima penerima penghargaan lainnya adalah Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan).

Olga yang juga LEAD Fellow mengubah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Eropa Timur, Kaukasus, dan Asia Tengah menjadi kekuatan potensial untuk mengidentifikasi dan memusnahkan bahan kimia beracun warisan Uni Soviet.

Marc Ona yang hidup di atas kursi roda memimpin upaya publik untuk mengungkap korupsi di balik konsesi pertambangan milik Pemerintah China yang mengancam ekosistem hutan hujan tropis di negaranya.

Maria, Bob bersama warga berjuang menentang industri batu bara yang menghancurkan puncak gunung untuk menguruk lembah. Adapun Rizwana pimpin perjuangan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya industri pembuangan kapal.

Wanze dan Hugo adalah anggota komunitas ”Maroon”—didirikan komunitas budak Afrika —yang menentang penebangan di lahan tradisional mereka.(*/MH/GSA)

Sumber: Kompas, Senin, 20 April 2009

Sosok: Menjaga Budaya Banjar Lewat Buku

-- M. Syaifullah

RUMAH Syamsiar Seman di Jalan Anggrek 2 Kebun Bunga, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, bisa dikatakan sederhana. Ruang tamu tempat tinggal penulis yang menggeluti budaya Banjar di Kalsel dalam 33 tahun terakhir ini bersahaja. Di ruangan ini hanya ada satu set meja lengkap dengan kursi tamu. M Syaifullah

Hal yang membedakan rumah Syamsiar dengan rumah lain di sekitarnya adalah adanya lemari kaca berisi sekitar 50 buku. Buku-buku itu bukan koleksi perpustakaan pribadi, melainkan buah karya si empunya rumah yang menggeluti budaya Banjar.

”Setiap tahun rata-rata saya membuat satu sampai dua buku terkait budaya Banjar,” katanya.

Bagi kalangan peneliti budaya, arsitek, teknik sipil, hingga mahasiswa yang berminat mendalami arsitektur, seni ukir, dan rumah adat Banjar, nama Syamsiar-lah yang menjadi rujukan utama.

Pria kelahiran Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, ini awalnya dikenal karena menerbitkan dua buku yang khusus membahas rumah adat dan arsitektur Banjar. Kedua buku itu adalah Rumah Adat Banjar terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1982) serta Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan (2001) yang dibuatnya bersama Ir H Irhamna dari Ikatan Arsitek Kalsel.

Selain memiliki kekhasan dalam seni arsitek dan seni ukir, masyarakat Banjar juga memiliki tradisi lisan yang kuat. Namun, tradisi lisan tersebut terancam punah karena sedikit sekali yang sudah dibukukan.

Tradisi lisan Banjar lebih banyak dilestarikan secara turun-temurun. ”Saya berusaha menjaga budaya Banjar dengan membuat buku dari tradisi lisan yang berkembang,” katanya.

Beberapa kalangan menyebut Syamsiar sebagai budayawan atau pemerhati budaya Banjar. Tentang hal ini dia berkata, ”Ah, itu kan mereka yang memberikan julukan.”

Akan tetapi, julukan itu terasa pantas disandang Syamsiar Seman. Sebab, hingga saat ini, penerima penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta (1999) dan Borneo Award (2000) itu adalah salah satu penulis lokal yang paling produktif.

Untuk cerita rakyat, misalnya, Syamsiar telah menghasilkan lebih dari 12 judul buku. Terkait dengan pantun dan peribahasa Banjar, ada tiga buku.

Selain itu, ia juga membuat tiga jilid buku Lancar Basa Banjar yang menjadi buku pegangan sekolah dasar di Kalsel. Masih ada lagi tiga buku karya Syamsiar tentang Islam dan budaya Banjar.

Dia juga menulis buku tentang beberapa tokoh semasa Kerajaan Banjar dan saat kemerdekaan, di antaranya Hassan Basry, Bapak Gerilya Kalimantan, yang diterbitkan Lembaga Studi Perjuangan dan Kepahlawanan Kalsel (1999).

Tulisan tangan

Syamsiar sudah menekuni dunia tulis-menulis sejak duduk di kelas II SMP di Barabai. Tulisan pertamanya adalah cerita rakyat, Batu Benawa di Barabai, dimuat di majalah Kunang-Kunang terbitan Balai Pustaka (1952).

”Saya tidak diberi honor untuk tulisan itu, tetapi dikirimi buku Siti Nurbaya dan majalah yang memuat tulisan saya. Itulah yang membuat saya terus menulis,” katanya.

Sebelum usia 40 tahun, Syamsiar tak mengkhususkan diri menulis buku tentang budaya Banjar. Dia justru lebih banyak menulis cerita pendek, puisi, dan pantun. Selain media lokal, beberapa tulisannya pada kurun tahun 1955–1986 juga dimuat sejumlah surat kabar dan majalah di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Syamsiar sedikitnya sudah menulis 78 puisi, 146 cerpen, 9 naskah drama, 6 lagu nasional dan daerah, 327 artikel, 58 makalah tentang budaya Banjar, dan sekitar 50 buku terkait arsitektur, seni, dan cerita rakyat Banjar.

”Sebagian tulisan itu saya buat dengan tulisan tangan,” katanya.

Di usia lanjut, Syamsiar masih membuat buku dengan tulisan tangan. Tulisan tangan itu dia serahkan kepada penerbit untuk diketik ulang, kemudian dibukukan. Dia tak memilih penerbit di Jawa, tetapi penerbit lokal di Banjarmasin, mengingat besarnya biaya untuk itu. Dia beruntung karena selalu ada penerbit lokal yang mau menerbitkan karyanya dengan cetakan di bawah 1.000 eksemplar.

”Saya menerbitkan buku-buku itu dengan modal sendiri. Paling banyak setiap cetak sekitar 500 eksemplar. Kalau habis, baru dicetak lagi. Alhamdulillah, dari buku-buku inilah rezeki datang,” ungkapnya.

Dulu, untuk memasarkan buku-buku itu, Syamsiar harus mendatangi satu per satu toko buku di Banjarmasin. Kini, toko buku besar seperti Gramedia di Banjarmasin secara rutin mengambil buku-buku budaya Banjar itu.

”Saya ikut senang. Ini berarti semakin banyak generasi muda di Kalsel yang mau mempelajari budaya lewat buku,” ucapnya.

Buah observasi

Buku-buku karya Syamsiar bukanlah hasil riset mendalam seperti yang dilakukan para peneliti. Buku-buku itu hasil observasi dan wawancara langsung dengan obyek yang ditulisnya.

Kepandaian menulis guru SD dan dosen di beberapa universitas di Banjarmasin ini terasah karena ia pernah menjadi wartawan. Syamsiar menjadi wartawan setelah mendapat kursus wartawan Pro Patria Yogyakarta selama 10 bulan pada 1956. Dia lalu bergabung dengan beberapa surat kabar dan majalah lokal.

Pengalamannya di dunia wartawan hingga tahun 1989 antara lain menjadi reporter Masyarakat Baru di Samarinda, koresponden Sinar Islam di Jakarta, koresponden Suara Pemuda Medan, dan menulis untuk majalah Pembina di Surabaya.

Syamsiar juga pernah menjadi wartawan Suara Kalimantan, wakil redaksi pada majalah mingguan Waja Sampai Kaputing, wakil pimpinan majalah seni dan budaya Bandarmasih, dan pemimpin redaksi pada buletin Keluarga Berencana di Banjarmasin.

”Saya sekarang sedang menyusun buku terkait makanan tradisional Banjar. Sedikitnya ada 41 macam kue khas yang ada di Banjar. Informasi itu saya dapatkan dari mendatangi beberapa warung yang menjual wadai (kue) Banjar. Sambil nongkrong di warung, saya bisa mendapatkan bahan-bahan untuk tulisan,” katanya.

Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Syamsiar itu tampak sederhana. Namun dia berkeyakinan, dengan observasi langsung justru dia bisa memperkaya informasi tentang budaya yang akan ditulisnya.

Data Diri

• Nama: Syamsiar Seman
• Lahir: Barabai, Kalimantan Selatan, 1 April 1936
• Profesi: Penulis budaya Banjar
• Pendidikan: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
• Pengalaman Kerja:- Guru sekolah rakyat sampai kepala sekolah dasar - Pegawai Kantor Gubernur Kalsel (1963-1974)- Eselon III BKKBN Kalsel (pensiun 1992)- Dosen Luar Biasa Fakultas Sospol Unlam (1977-1979), Fakultas - Dakwah IAIN Antasari (1979-1988), dan beberapa perguruan tinggi - swasta di Banjarmasin- Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Negara pada Institut Administrasi - Bina Banua (1982-1985)
• Organisasi:- Sekretaris Dewan Kesenian Daerah Kalsel (1971-1977)- Ketua Badan Koordinasi Kesenian Indonesia Kalsel (1978-1980)- Anggota Pengurus Kesenian Daerah Kalsel (1994-kini)- Anggota Lembaga Budaya Banjar Kalsel (1997-kini)
• Penghargaan:- Penghargaan Sastra dari Gubernur Kalsel (1977)- Penghargaan Windu Kencana Jakarta (1984)- Penghargaan Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya Kelas III - dari Presiden (1989)- Penghargaan Tanda Kesetiaan Dwi Kencana Jakarta (1990)- Penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia (1999)- Borneo Award (2000)

Sumber: Kompas, Senin, 20 April 2009

Kehidupan Masyarakat: Pergeseran Budaya di Jalan Kota

-- Ridha al Qadri*

”Hasrat melihat kota didahului maksud menikmatinya.” (Michel de Certeau,The Practice of Everyday Life)

Di jalan kota, budaya masyarakat dicirikan oleh konsumsi. Terutama ketika orang mudah terhubung dengan beragam produksi ruang, yakni bermacam wilayah sosial dan kultural. Produksi ruang di sekitar jalan merupakan tanda atas masyarakat pascaindustri di mana pasar produksi materi dan nonmateri merangsang praktik konsumsi. Ridha al Qadri

Di samping produksi ruang, di sekitar jalan kota jamak dengan media ”tontonan” (spectacle) seperti iklan, advertensi, pariwara, atau reklame yang membawa persuasi dan kode-kode kultural.

Dulu, di jalan kota orang mudah menemukan relasi dalam struktur sosial. Sekarang, jalan kota dimanfaatkan sebagai pasar dan panggung ”tontonan”.

Iklan, warung, toko, dan barang konsumsi menjadi tanda ketika jalan dibentuk sebagai wilayah untuk dinikmati, bukan manusia yang hendak ditemui. Dengan demikian, praktik kultural masyarakat di jalan kota sekarang ini lebih dipengaruhi budaya materi dan visual.

Budaya materi

Sekitar tahun 1918, Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk pelesir di jalan kota Solo. Dalam novel Student Hidjo itu, mayoritas orang yang menyusuri jalan kota cenderung berkunjung ke situs budaya.

Dia menggambarkan keramaian masyarakat yang ingin menyaksikan ”bioscoop” dan wayang orang di Sriwedari. Bahkan menjelang pertemuan pertama Syarekat Islam pun, menonton wayang orang menjadi salah satu pilihan.

Pilihan Sriwedari itu memberi tafsiran bahwa ruang publik di sekitar jalan kota waktu itu dipahami sebagai daerah penting untuk menciptakan interaksi sosio-kultural.

Kota Solo zaman itu, begitu pula kota-kota lainnya di negeri ini, tentu saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sekarang, orang menyusuri jalan kota bukan karena mencari sesuatu yang bersifat kultural. Sekarang orang menyusuri jalan kota karena dorongan yang bersifat konsumtif. Pada akhirnya, jalan kota sebagai ruang publik bukanlah sebagai tempat berinteraksi sosial lagi seperti dulu.

Perubahan jalan kota menjadi ruang pasar berbagai komoditas tersebut menciptakan perangkap dan pendangkalan komunikasi antar warga kota. Kalaupun terjadi interaksi bukan bersifat personal, tetapi didasarkan pada kepentingan konsumsi.

Budaya visual

Di samping praktik konsumsi yang dikarakterkan budaya materi, di jalan kota, warga juga didorong untuk ”mengamati” hal-hal yang berciri visual, gambar, image, atau tontonan.

Semua visualitas, seperti yang tampak pada iklan, bangunan, alat transportasi, film, fashion, dan makanan, berpotensi memproduksi wacana mengenai apa saja dan demi kepentingan siapa saja.

Ciri-ciri bangunan dan tata perkotaan, dan juga gambar-gambar pada iklan, merupakan ruang representasi yang kerap dilekati kode-kode visual tertentu. Guy Debord menyebut kondisi sosial ini sebagai ”masyarakat tontonan”, society of the spectacle. Iklan berkonsentrasi pada kesadaran umum terhadap komoditas konsumsi.

Melalui reklame, masyarakat diarahkan pada realisasi keinginannya, melebihi kebutuhannya. Misalnya, iklan sebuah sampo rambut dengan model perempuan cantik, yang disertai metafor dan kiasan khusus, berpotensi memproduksi makna- makna yang beragam dan berbeda-beda mengenai arti perempuan yang dianggap ideal.

Dengan demikian, segala hal yang berpotensi merepresentasikan segala sesuatu secara visual merupakan teks-teks retoris yang memengaruhi pikiran.

Tiap tatanan visual bukanlah medium yang membuat pengamat sekadar memperoleh informasi, tetapi, pengamat lebih dikonstruksi demi mengonsumsi makna, sebelum mengonsumsi komoditasnya. Proses penikmatan berlangsung ketika sekian teks visual tersebut dikemas sebagai teks yang polisemis atau multitafsir.

Apa yang dikonsumsi dari teks visual ini adalah makna, bukan materi. Teks visual, atau tontonan, merupakan budaya konsumsi dari bermacam makna.

Akibatnya, praktik spasial di jalan kota lebih ditentukan oleh apa yang ditekankan Michel de Certeau tentang arti konsumsi dan mengamati ketika ”berjalan di kota”, bahwa ”hasrat melihat kota didahului maksud menikmatinya” (1984: 92).

Kenikmatan material dan visual merupakan implikasi dari teks budaya kota yang dominan. Selanjutnya, tiap menyusuri jalan kota orang mau tidak mau mesti tunduk pada persuasi budaya materi dan visual. Meskipun praktik spasial itu menggunakan alat transportasi, seperti peringatan Afrizal Malna dalam bagian puisinya ini: ”dalam mobil, ketika makna tak perlu lagi dicari dalam puisi…24 jam menyusun tubuhmu dari bau plastik terbakar” (Puisi ”24 Jam Siaran dalam Mobil”).

* Ridha al Qadri, Studi Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM, Aktif di Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi, Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

40 Tahun STF Driyarkara: Mau Bertanya, Mau Mendengarkan

-- St Sularto

NAMA kawasan Jembatan Serong di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur, mengadopsi visi-misi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Lokasi sekolah tinggi, tertua sebagai lembaga pendidikan tinggi filsafat di Indonesia itu, terletak di dekat Jembatan Serong, jembatan berbentuk menyerong persis di mulut gang kampus STF Driyarkara.

Memasuki kampus yang kini sedang diperluas dan dilakukan penambahan bangunan bertingkat, tak ada kesan megah dan mewah. Sederhana! Melani Budianta, dosen Universitas Indonesia, menyaksikan masih banyak mahasiswa datang bersepeda, sesuatu yang kini digalakkan di berbagai kampus megah.

Membaca buku, kata Melani, dia punya kesan tersendiri. Pada saat istirahat mahasiswa tidak duduk ngobrol dan ngerumpi, tetapi masuk perpustakaan. Yang kedua itu dibantah Romo M Sastrapratedja, Ketua STF tahun 1980-1984 dan kini pengajar di sana, ”Dulu waktu istirahat banyak yang masuk ke perpustakaan, ya, tetapi untuk cari udara sejuk. Sekarang hanya sedikit, lebih banyak yang ngobrol-ngobrol.”

Romo Simon Petrus L Tjahjadi, rekan dosennya, menambahkan, ”Ya, dulu dan sekarang mereka masuk ke perpustakaan waktu jam istirahat, untuk ngadem. Di kelas panas, tak ber-AC, di perpustakaan dingin.”

Soal sepeda dan ngadem terkait kutu buku menunjukkan kekhasan kampus STF Driyarkara. Kekhasan lain, dulu pada awal- awal tahun ajaran di pintu masuk ada wayang Bima, sekarang sudah dicopot. ”Tak tahu alasannya, tapi Bima, kan, mungkin karena bersosok besar, selain tentu karena idola Romo Franz Magnis-Suseno,” kata Ketua STF Driyarkara Eddy Kristianto.

Bebas simbol

Berbeda dengan kampus lain, kampus STF Driyarkara bebas simbol keagamaan. Didirikan oleh konsorsium Keuskupan Agung Jakarta, Ordo Fransiskan (OFM) dan Societas Iesu (SJ) —tentu saja berlabel Katolik—di sana tak ada salib atau kapel.

Sesuai maksud awal didirikan, 1 Februari 1969, sekolah ini membuka diri sebagai komunitas yang inklusif dan pluralis. Para mahasiswa Muslim pun kerasan. Tak ada diskriminasi, kata mantan Ketua STF Driyarkara, J Sudarminta, seperti dikutip majalah Hidup (25/2/07). Kehadiran mereka ikut menjembatani kelompok-kelompok atau gagasan-gagasan yang saling berseberangan dan saling mengeksklusifkan. Sesuai semangat Driyarkara, tekanan pendidikan pun untuk menumbuhkan mahasiswa berpikir kritis.

Mahasiswa dan dosen didorong aktif peduli terhadap permasalahan bangsa. Wajar kalau sebagian mahasiswanya adalah aktivis.

Seperti disampaikan Sastrapratedja, beberapa orang suka menyatakan diri sebagai mahasiswa atau lulusan STF Driyarkara, padahal hanya ikut beberapa kali kuliah atau ikut ekstension. Menjadi mahasiswa STF bisa meningkatkan harga jual. Artinya, dia tidak lagi hanya tempat pendidikan calon-calon pastor, tetapi juga kaderisasi tokoh-tokoh masyarakat, seiring pula dengan gejala orang ”bercas-cis-cus” kosakata filsafat.

Dalam terbitan yang sama, menarik komentar Budhy Munawar Rachman, pemikir muda Muslim yang memperoleh gelar S-1 dan S-2 dan kini sedang menyelesaikan S-3 di sana. ”Kalau boleh disebut secara langsung pendidikan yang saya peroleh di STF telah menjadikan saya sebagai Muslim liberal,” katanya.

Baginya STF mempersiapkan dia terus mengembangkan pemikiran Islam yang diperlukan dalam mendorong kemajuan bangsa Indonesia, khususnya dalam pengembangan demokrasi dan hubungan antaragama.

Berpikir intelektual

Di tengah belantara lembaga pendidikan tinggi, STF Driyarkara bagi Bambang Hidayat ibarat oase Ibu Kota. Kehadirannya tidak saja sebagai oase dalam arti fisik, terletak di tengah perkampungan dan terbebas dari hiruk pikuk Jakarta, tetapi terutama dalam aura dunia pendidikan tinggi yang mengidap wabah komersialisasi. ”Pendidikan di negeri ini secara tidak langsung telah dianggap sebagai aset perdagangan,” katanya dalam seminar reflektif di STF Driyarkara, 28 Februari lalu.

Padahal, kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan itu, sumber kekuatan dan kepercayaan sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak dari penampilan fisik, tetapi penciptaan kapasitas menghargai nilai hakiki ungkapan intelektual, daya cipta manusia dan ungkapan.

Sudah sepantasnya pada usia 40 tahun, setelah berhasil mengukuhkan kepentingan intelektual dalam filsafat dan teologi, STF berjuang menjadikan diri sebagai universitas bangsa bukan semata-mata universitas kebangsaan; sebuah nation’s university yang mengandung nilai-nilai kebangsaan Indonesia.

Entakan ahli astronomi Bambang Hidayat itu menjadi pelecut para penyelenggara lembaga pendidikan, mahasiswa, bahkan kolega STF Driyarkara. Berpikir kritis sebagai salah satu ciri intelektual, dibangun lewat filsafat yang selalu dirangsang bertanya dan menggugat, menjadi semacam tuntutan mutlak kepakaran intelektual. Setiap lembaga pendidikan diharapkan menghasilkan lulusan yang berpikir intelektual, kata Karlina Supelli, filosof yang saat ini aktif mengembangkan program S-2 dan S-3 STF Driyarkara.

Keraguan Rama N Driyarkara, ahli ilmu filsafat yang berhasil memopulerkan filsafat, kini terjawab. Filsafat bisa menjadi komoditas yang layak jual, mempertajam dan memperkuat kerangka berpikir ilmu-ilmu positif yang berpikir ke hal-hal yang produktif lewat ilmu-ilmu filsafat yang lebih reflektif, dengan cara mempertanyakan dan menggugat. Pendirian STF yang dulu diperuntukkan terutama untuk studi filsafat calon-calon pastor sebelum menempuh studi teologi menjadi milik masyarakat.

Studi teologi

Sejarah kehadiran STF tercatat untuk terutama sebagai bagian dari pendidikan calon-calon imam Jesuit. Mereka tidak lagi belajar filsafat di Poona, India, atau berbagai kota di luar, tetapi cukup di Jakarta. Pada era awal, sejalan pula dengan keinginan agar setidak-tidaknya mereka yang umumnya berasal dari pedalaman dan pedesaan, sebelum studi lanjut pernah mengenyam hidup di Jakarta, Ibu Kota negara yang kelak menjadi bagian karya pelayanan mereka.

Sekarang STF pun menyelenggarakan studi teologi. ”Tetapi semangat Driyarkara terutama dalam mengasah kepekaan pada kemanusiaan tetap dihidupkan dan dijadikan sumber inspirasi,” kata Sudarminta.

Pernyataan Sudarminta sejalan dengan tema yang ingin disasar peringatan 40 tahun STF. ”STF ingin menyapa masyarakat dengan mendengarkan mereka. Setelah 40 tahun terus-menerus bertanya dan menggugat, STF ingin mendengarkan,” kata Eddy Kristianto.

Dikatakannya, ada dua segi yang mau ditingkatkan, yakni segi akademik dan organisasi manajemen. STF mau memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dalam mengajak masyarakat berpikir kritis lewat perkuliahan dan jenjang-jenjang pendidikan.

Adakah mazhab STF? ”Mazhab STF? Wuah-wuah, wuah!,” komentar Rama Setyo Wibowo dan Rama Th Sarjumunarso, dua dosen yang sehari-hari tinggal di kampus STF. ”Ilmu itu tidak pernah tunggal. Setiap pendapat atau mazhab selalu merefer dan diperkaya oleh ide atau pemikiran yang lain. Sekolah Frankfurt misalnya, sebagai mazhab tidak dihasilkan dan disuarakan oleh seorang Theodore Adorno,” sanggah Setyo Wibowo.

Jadi? Yang diinginkan STF bukanlah sebuah mazhab pemikiran, tetapi sebuah cara berpikir yang kritis sebagai refleksi atas perkembangan masyarakat lewat pemikiran-pemikiran besar para tokoh filsafat. Karena itu, di sini ada kelompok-kelompok studi Habermas, Malebranche, dan lain-lain.

”STF perlu kembali ke semangat awal, yaitu sebagai pusat training intelektual dan bukan jadi pesantren atau seminari, karena hal itu akan membuat para calon pastor menjadi tidak terpelajar ketika 10 tahun mereka berkarya sebagai pastor,” tambah Rama Herry Priyono.

Dengan 122 mahasiswa filsafat, 167 mahasiswa teologi, 53 mahasiswa magister filsafat, 30 peserta matrikulasi dan 10 mahasiswa program doktor, kini STF sudah meluluskan tiga doktor filsafat. Setahun peringatan 40 tahun usianya, dirayakan dengan serangkaian acara. Di antaranya seminar ”STF Bertanya dan STF Mendengarkan”, peluncuran buku dan pada tanggal 18 dan 19 April ini pementasan Rapat Rakyat oleh Teater STF Driyarkara dengan sutradara Adi Kurdi di Teater Kecil, TIM.

Setelah 40 tahun bertanya, sudah waktunya STF mendengarkan!

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

Cuma 2 Persen Warga ke Museum

JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat yang berkunjung ke berbagai museum di Tanah Air setiap tahunnya cuma 2 persen dari jumlah penduduk. Karena itu, dicanangkannya Tahun Kunjungan Museum 2010, perlu dibuat berbagai terobosan. Museum harus tampil beda, muncul dengan new brand.

Demikian benang merah yang mengemuka pada Diskusi Tahun Kunjungan Museum 2010 yang digelar Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kamis (16/4) di Museum Bank Mandiri, Jakarta. Tampil sebagai panelis Direktur Ullen Sentalu Museum, KRT Thomas Haryonagoro.

KRT Thomas Haryonagoro mengatakan, kesan museum di masyarakat selama ini adalah tidak atraktif, tidak aspiratif, tidak menghibur, dan pengelolaan seadanya. ”Keberadaan museum belum mampu menunjukkan nilai-nilai koleksi yang tersimpan kepada publik. Kondisi sumber daya manusia di museum pun memprihatinkan. Edukator (programmer) kurang profesional, kehumasan (public relation) lemah, kurang aktif. Pemasaran stagnan,” ungkapnya.

Secara terpisah Direktur Museum Ditjen Sejarah dan Purbakala Intan Mardiana mengatakan, berkaitan dengan Tahun Kunjungan Museum 2010, Hari Museum akan dirumuskan. ”Kalau Hari Museum Internasional setiap 18 Mei, maka untuk Indonesia akan dirumuskan apakah berdasarkan penanggalan berdirinya museum yang tertua di Indonesia atau ada hal lain,” katanya.

Saat ini jumlah museum di Indonesia tercatat 281 dan diperkirakan akan terus bertambah. Museum tersebut antara lain tersebar di Jawa Tengah sebanyak 41 museum, DKI Jakarta 62 museum, dan DI Yogyakarta 32 museum.

Menurut Intan, diberlakukannya otonomi daerah menyebabkan museum lebih banyak terpinggirkan dan kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Karena itu, agar permuseuman di Indonesia lebih bergairah perlu dilakukan berbagai terobosan. (NAL)

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

Opini: Masa Lalu Indonesia-Belanda

-- Satjipto Rahardjo

Waardoor Java blijven kan de kurk waarop Nederland drijft— membuat Jawa tetap sebagai gabus, tempat Belanda mengapung (1829)

PERTEMUAN negara- negara anggota G-20 baru-baru ini membuka kembali masalah pemberian bantuan negara kaya terhadap negara berkembang.

Pada tahun 2009, semua orang akan melihat potret Indonesia dan Belanda dalam bingkai masa kini. Itu amat wajar karena potret tersebut merupakan realitas yang jelas di depan mata. Potret itu memperlihatkan Belanda sebagai negara industri yang kaya, sedangkan Indonesia sebagai negara terbelakang, miskin, penerima bantuan, dan seterusnya. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa keadaannya tidak selalu seperti itu.

Jika gambar tersebut ditarik mundur hingga abad ke-19, secara ekstrem dapat dikatakan, andai kata tidak ada Indonesia (Hinda-Belanda), Belanda tidak akan menjadi seperti sekarang, bahkan sudah lama bangkrut dan terhapus dari peta bangsa-bangsa di dunia. Saat itu, Indonesia adalah malaikat penolong bagi Belanda yang berada di ambang kebangkrutan.

Sayang artikel ini baru ditulis sekarang. Andai kata ditulis beberapa abad lalu, gaungnya akan terdengar keras karena sesuai dengan realitas. Jika kini kita mengatakan Indonesia pernah menjadi malaikat bagi Belanda, orang hanya akan mesam-mesem sebab kenyataan di depan mata menunjukkan, Belanda sekarang adalah negara yang makmur, donatur bagi negara lain, sedangkan Indonesia sebaliknya.

Tulisan ini ingin sedikit menghibur bangsa saya dengan mengatakan, Indonesia bukan bangsa yang sungguh-sungguh ”papa dan nestapa”, tetapi suatu ketika Indonesia dalam sejarah pernah menjadi malaikat yang menyelamatkan suatu bangsa dari kebangkrutannya.

”Kultuurstelsel”

Disertasi adalah sebuah karya tulis yang jujur dan teruji. Karena itu, saya ingin menggunakan sebuah disertasi yang ditulis di Belanda untuk membuktikan kalimat-kalimat di awal tulisan. Disertasi itu ditulis Teun Jaspers (1980) berjudul Rechtspreken in de maatschapij — Een onderzoek naar opvattingen over plaats en functie van de rechtspraak in het Nederlandse economische, sociale en politieke bestel van het einde van de achttiende tot het begin van de twintigste eeuw. (Mengadili dalam masyarakat — Suatu penelitian terhadap pendapat-pendapat mengenai tempat dan fungsi pengadilan dalam tatanan ekonomi, sosial, dan politik Belanda sejak akhir abad kedelapan belas sampai awal abad kedua puluh).

Teun Jaspers menulis, betapa morat-marit keadaan sosial dan ekonomi Belanda pada waktu itu yang sudah mendekati ”negara yang bangkrut”. Keadaan keuangan sangat mengkhawatirkan (zorgwekkende toestand), posisi Amsterdam sebagai sentra perdagangan makin merosot (gestadige achteruitgang), dan lain- lain.

Keadaan itu terjadi karena Belanda mendapat hantaman dari datangnya era industrialisasi sehingga harus menata kembali sistem ekonomi, sosial, dan politiknya. Dalam hal inilah Belanda kedodoran dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, seperti Inggris dan Jerman.

Dalam situasi demikian, Belanda mulai melirik Indonesia (Jawa) dan ingin menarik sebanyak mungkin keuntungan dari wilayah jajahannya yang kaya itu (meer profijt uit te trekken). Jawa dapat disulap menjadi sumber yang kaya dengan produk- produk pertanian yang jika dijual di dunia akan memberikan keuntungan besar bagi kas negeri Belanda yang hampir kosong. Maka, diterapkan sistem kultuurstelsel (1829) di bawah Gubernur Van den Bosch. Ini adalah suatu bentuk pertanian yang diselenggarakan pemerintah (gouvermementslandbouw), di mana pemerintah mewajibkan dan memaksa para petani di Jawa untuk menanam tanaman tropis yang laku keras di pasar internasional.

Petani di Jawa, yang secara tradisional hanya bertanam padi, dipaksa menanam tanaman seperti kopi, gula, dan indigo. Perubahan yang dipaksakan itu kelak menimbulkan akibat serius, seperti terjadinya kelaparan di kalangan petani.

Dalam keadaan kepepet itu, kekuasaan negara menggandeng bisnis dan eksploitasi. Bagaimana nasib bangsa yang dieksploitasi itu tidak penting sebab yang lebih penting adalah negeri Belanda jangan bangkrut. Sistem tanam paksa itu berlangsung sukses dan uang pun mulai mengalir deras ke kas Belanda. Belanda menjadi amat bergantung pada sistem tanam paksa atau eksploitasi kekayaan Indonesia. Sistem kultuurstelsel menjadi satu-satunya sistem andalan yang menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Pada saat itu terkenal tamsil, Jawa adalah gabus di atasnya Belanda mengapung (waardoor Java blijven kan de kurk waarop Nederland drijft).

Pada saat itu juga terkenal ujaran Indie verloren, rampspoed geboren (kehilangan Indonesia, maka datanglah malapetaka bagi Belanda). Orang sekarang boleh mengatakan itu semua adalah cerita masa lalu. Tetapi, keadaan saat itu benar-benar mencekam bagi Belanda, dan Indonesia amat bermurah hati membiarkan Belanda yang nyaris bangkrut bergayut di pundaknya.

Bangsa yang terpuruk

Dengan mengalirnya uang, kehidupan sosial dan ekonomi Belanda yang sudah mulai bangkrut itu bangkit dan berjaya kembali. Pelabuhan Amsterdam sebagai stapelhandel tidak jadi tenggelam. Banyak pembangunan yang kemudian dapat dilakukan, seperti penurunan pajak, perbaikan infrastruktur seperti kereta api dan kanal, serta perluasan pendidikan. Itu semua berkat kekayaan Indonesia dieksploitasi dan mengalir ke Belanda.

Yang amat menyakitkan adalah kemakmuran dan kejayaan kembali Belanda harus ditebus dengan pengorbanan petani. Petani Jawa harus berpindah tradisi dengan menanam tanaman produksi yang laku keras di dunia, harus mengalami kelaparan (hongersnood) yang serius. Dari menanam padi untuk keperluan sendiri ke menanam tanaman produksi ekspor adalah perubahan cara tanam yang besar dan itu memukul mereka.

Citra tentang Indonesia kini adalah bangsa yang terpuruk dan menengadahkan tangan ke atas, meminta bantuan asing, termasuk Belanda. Tetapi, jangan terlalu sedih, bangsaku. Sejarah telah mencatat jasamu yang begitu heroik dengan menyelamatkan suatu bangsa dari jurang kebangkrutannya.

* Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

Sunday, April 19, 2009

Lingkaran Setan Pesimisme

INDONESIA hari ini adalah ruang di mana pesimisme telah menjadi sebuah lingkaran setan. Lingkaran yang berkumpar dan menghisap setiap optimisme yang dijanjikan. Jika pun ada, optimisme itu tak lebih dari melulu sekadar jargon seperti yang dihembuskan banyak elite dan kepentingan. Akhirnya optimisme jargon sejenis ini alih-alih melahirkan sebuah utopia, justru mempertebal pesimisme itu. Dan betapa absurdnya hidup dengan rasa pesimis, terlebih lagi itu terjadi di tengah sebuah bangsa.

Dan di tengah situasi inilah terasa betapa mahal dan sulitnya sebuah optimisme, meski berbagai perubahan telah terjadi. Di lapangan politik, optimisme akan demokrasi ternyata tak bisa memberi harapan dan utopia apa pun. Masyarakat tanpa utopia adalah masyarakat yang hanya akan bergerak untuk berbagai kepentingan yang temporer. Seperti para intelektual yang asyik dalam ruangnya sendiri, demikian pula para elite dan politisi.

Alih-alih menjadi esensi demokrasi, pemilu terkesan hanya menjadi cara untuk meminta partisipasi publik demi mendapatkan pembenaran atas oportunisme politik para elite. Dan ini seluruhnya terjadi, ironisnya, di tengah perangkat demokrasi yang begitu lengkap.

Inilah yang makin mempertebal garis lingkaran setan pesimisme. Sebaliknya, optimisme pun semakin sulit untuk dicari ruangnya. Berbagai peristiwa lebih mengancam berbagai harapan ketimbang menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Tapi optimisme pasti dan mesti ada. Baik seluruhnya ini dipahami sebagai sebuah masa transisi, proses menjelang menuju ke arah yang lebih matang. Optimisme juga bisa dicari kembali ke belakang, di tengah kebijakan-kebijakan lama masyarakat lokal.

Demikian pandangan yang mengemuka dari seniman-budayawan tentang bagaimana sulitnya kini mencari ruang bagi optimisme Indonesia ke depan di tengah seruan-seruan optimisme yang melulu hanya menjadi jargon. Aktor dan sutradara teater Benny Yohannes memandang, bagaimana lingkaran setan pesimisme yang terjadi tak lepas dari konteks budaya politik yang dipengapi para oportunis politik yang memanipulasi demokrasi sehingga melulu hanya menjadi jargon politik.

"Publik melihat dan menyangka itulah demokrasi, padahal itu bukan esensi demokrasi. Demokrasi direduksi maknanya untuk kepentingan oportunisme politik dan inilah yang tidak memberikan kepercayaan pada publik," ujarnya.

Oportunisme politik adalah tabiat yang mengisolasi politik dari kepentingan-kepentingan publik, yang ironisnya lewat pemilu, publik diminta untuk berpartisipasi. Akibatnya pemilu hanya menjadi alat bagi mental-mental oportunis untuk melakukan pembenaran atas apa yang mereka lakukan. "Inilah yang sebenarnya membuat publik tidak lagi antusias dengan pemilu. Dan inilah yang menjadi biang keladinya," ujar Benny.

Senada dengan Benny, penyair Acep Zamzam Noor membaca gejala oportunisme politik itu sebagai gejala mental para elite di tengah perangkat demokrasi yang demikian lengkap. Demokrasi menurutnya tidak melulu bergantung pada perangkat, tapi juga bergantung pada mental dari para elitenya.

"Secara perangkat demokrasi, Indonesia ini sudah begitu lengkap. Bahkan mungkin kedua setelah Amerika Serikat. Dari mulai MPR, Presiden, DPR, DPD, juga tata-cara pemilihan langsung. Tapi karena dipegang oleh orang-orang yang mentalnya tidak demokratis, maka semua tidak ada artinya. Lihat saja DPR, malah merepotkan rakyat," katanya.

Sedangkan budayawan Prof. Jakob Sumarjo melihat pesimisme yang terjadi demikian kompleks. Ia melihat bahwa soalnya tidak hanya bergantung pada mental para elite, tapi juga strategi kebudayaannya. Inilah yang tidak pernah dimiliki Indonesia. Yang ada hanyalah strategi intelektual yang hanya dikonsumsi kalangan intelektual itu sendiri.

"UUD 1945 itu disusun oleh orang-orang yang tahu kebudayaan, seperti Supomo dan Muhammad Yamin. Supomo itu ahli hukum adat Indonesia. MPR itu adalah kekuatan rakyat, raja yang tidak berkuasa. Ini sama dengan konsep masyarakat Sunda lama, di mana resi dipandang sebagai raja yang tidak memegang kekuasaan. ," tuturnya.

**

JIKA Acep Zamzam Noor tetap merasa optimis bahwa lingkaran setan pesimisme ini kelak akan terurai setelah proses transisi seperti sekarang terlewati, Benny Yohannes merasa tak yakin. Pandangannya berangkat dari pengamatan betapa tidak adanya seorang pun negarawan dan elite politik di negeri ini yang memiliki visi lebih jauh ke depan.

"Sampai sekarang saya tidak melihat adanya negarawan dan elite yang memiliki karakter yang jelas dengan orientasi pada penciptaan-penciptaan infrastruktur politik. Dulu ada konsep sosialisme politik dalam bentuk koperasi yang digagas Bung Hatta. Atau Nationalism Building Bung Karno. Itu semua adalah insfrastruktur politik yang membuat publik merasa terlibat," tutur Benny.

Dalam realitasnya sekarang, para politisi hanya bisa melakukan duplikasi dari jargon-jargon di antara mereka. Artinya, para politisi sekarang tidak belajar pada pemikiran-pemikiran visioner para pendahulunya. Namun demikian, dalam pandangan Benny, demi sebuah optimisme harus ada ihtiar agar warga negara bisa menolong dirinya sendiri. Publik harus melakukan revitalisasi atas kemampuan dirinya. Hanya soalnya apakah itu bisa, sebab publik kadung hidup dengan dan dalam mental patronase?

"Betul. Itulah lingkaran setannya," kata Benny.

Pesimisme yang sama juga dari pandangan Prof. Jakob Sumarjo. Dunia pendidikan dan perguruan tinggi juga tak bisa diharap akan bisa memberi sebuah optimisme. Terlebih dengan perilaku para intelektualnya seperti sekarang. Namun demikian, bukanlah lalu pesimisme yang terjadi sekarang sebagai sebuah harga mati. Optimisme itu sesungguhnya bisa dilacak dan diperiksa kembali di antara jejak panjang etos budaya masyarakat lokal pada suatu masa di belakang.

"Tapi ironisnya etos lokal inilah yang justru ditinggalkan, seperti hukum adat yang digantikan hukum positif negara. Padahal dalam masyarakat adat, ketua adat jauh lebih dipatuhi ketimbang camat. Ini adalah salah satu kesalahan dari para intelektual kita yang tak pernah mau belajar pada sejarah. Masa depan selalu dianggap lebih baik ketimbang masa lalu," kata Prof. Jakob Sumarjo.

Sedangkan optimisme Acep Zamzam Noor berangkat dari keyakinannya bahwa situasi pesimisme seperti sekarang terjadi sebagai sebuah proses yang panjang. Ia yakin Indonesia akan keluar dari lingkaran setan pesimisme demokrasi seperti terjadi sekarang. Soalnya adalah bagaimana mengembalikan spirit politik ke dalam ranah budaya, bukan sebagai akal bulus.

"Saya optimis, ke depan budaya demokrasi di Indonesia akan lebih baik. Yang terjadi sekarang, seperti Pemilu 2009 ini, baik dipahami sebagai latihan atau proses pendidikan yang bagus bagi perubahan ke depan. Tapi ini memang memerlukan waktu yang lama," ujar Acep. (Ahda Imran)**

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009

Dam, Dam, Dam

-- Yopi Setia Umbara*

AWALNYA saya tidak terlalu tertarik dengan esai Damhuri Muhammad (selanjutnya disebut Dam) yang berjudul "Kesadaran Puitis & Politik" yang diterbitkan di suplemen Khazanah di Pikiran Rakyat (Minggu, 5 April 2009). Karena, untuk sebuah esai judul macam itu biasa banget, kurang provokatif. Atau, mungkin Dam sengaja memilih judul itu, supaya tulisannya terkesan up to date. Maklum, pada waktu itu menjelang pemilu.

Setelah saya baca perlahan-lahan, ternyata isinya cukup berani juga, kalau tidak ingin disebut sembrono. Barangkali, seberani para calon legislatif yang berebut simpati rakyat untuk kursi yang terbatas. Dam begitu enteng, seolah tanpa tekanan, dan tanpa pertimbangan mengesampingkan beragam estetika puisi lain. Sementara, ia begitu khusyu mempromosikan estetika puisi karya Binhad Nurrohmat dalam antologi Demonstran Sexy (2008) sebagai karya yang membumi.

Dam memang gelisah juga kritis dengan perkara politik, seperti pertanyaan di awal esainya berikut ini, "Bagaimanakah semestinya sastrawan menyikapi keriuhan retorika politik yang belakangan ini tampak mentereng?" Sebuah kalimat tanya yang mengesankan kebijaksanaan dan keberpihakan Dam pada rakyat. Seakan-akan dalam pandangannya, sastrawan tidak mampu menyelamatkan negeri yang terombang-ambing situasi politik ini.

Namun, kemudian Dam terpancing untuk memaksakan opininya yang tidak sepakat dengan estetika puisi yang menurutnya, "…apalah gunanya sebait sajak yang hanya mampu menggambarkan setetes embun yang jatuh di helai daun, atau hujan bulan November yang mengingatkan ia pada serpihan-serpihan yang hilang. Mengawang-awang, tak membumi, sesekali bahkan utopia…" Pernyataan semacam itu semestinya tidak perlu diungkapkan oleh seorang Dam yang rajin menulis esai, juga seorang cerpenis itu. Bukankah Dam seorang sastrawan juga?

Mengenai empat sajak Binhad yang dipromosikan Dam sebagai karya yang membumi, bukanlah persoalan rumit. Sebab pilihan estetika merupakan komitmen dan konsekuensi setiap orang untuk memilih jalan puisi yang hendak ditempuhnya. Akan tetapi, ketika Dam mempromosikan sebuah estetika, lantas menggugat estetika yang lain tanpa ampun, apalah bedanya ia dengan politisi yang digugatnya.

Barangkali Dam lupa, bahwa sajak bukanlah kendaraan untuk menyampaikan suatu gagasan tertentu secara gamblang. Atau, Dam yang kecewa dengan fenomena politik yang bebal ini lantas mengambinghitamkan sajak-sajak yang menurutnya tidak membumi itu. Lalu, Dam menghukum para penyair, pencipta karya-karya yang sukar, dengan dalih kepentingan rakyat yang sukar memahaminya.

Sementara, Dam sendiri cukup ragu-ragu, ketika menentukan sajak Binhad berjudul "Sumpah Penyair". Menurutnya, "alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar begitu memukau sebagai slogan…. Lantas ia menyebutkan bahwa Binhad mendekonstruksi "syarat rukun" pencapaian estetika puisi. Ah, naif sekali Bung Dam ini. Seolah-olah konsep semacam sajak Binhad belum pernah ada sebelumnya. Tapi, saya percaya, sebagai perajin esai Dam tentu membaca karya Widji Thukul atau Rendra.

Pernyataan-pernyataan yang disodorkan Dam, tentu saja penting untuk diperhatikan, apalagi diluruskan. Sebab cara Dam memandang sajak dan mendudukkannya, seolah-olah menganggap karya-karya yang lain sebagai bersalah. Bahwa sajak-sajak yang heroik lebih baik, ketimbang sajak-sajak yang ditulis di bilik yang gelisah dengan penghayatan riwayat hidupnya.

Sedemikian tertekankah Dam? Terseret untuk menyampaikan opini yang sarkastik, di tengah-tengah situasi sosial-politik yang tidak membahagiakan ini. Sehingga dengan entengnya, ia menafikan segala kemungkinan bahasa-yang sarat simbol dan makna-sebagai medium utama karya sastra. Jika dunia sastra diharapkan mampu memberikan kesadaran politik kepada rakyat, jangan dengan menyederhanakan persoalan, dong.

Mental pragmatis seperti inilah justru yang dapat menyakiti dunia sastra sendiri. Selalu menganggap bahwa rakyat kecil adalah pembaca awam dunia sastra. Tapi mempersempit kesempatannya memasuki dunia sastra dari berbagai jalan. Setiap karya sastra dengan estetika seperti apa pun, merupakan jalan masuk bagi setiap orang untuk membaca karya sastra, kemudian berupaya memahaminya. Memahami dalam hal ini, bukan menafsirkan, tetapi bagaimana karya sastra yang dibaca memberikan kesan tertentu bagi pembacanya (setiap pembaca pasti paham tentang hal ini).

Memang, di akhir tulisannya, Dam menyerahkan pilihan kepada pembaca untuk memilih karya macam apa pun untuk dibaca. Akan tetapi, Dam tetap menegasikan jenis estetika puisi. Dam keukeuh menyatakan, mana estetika yang "berguna" dan "tidak berguna" bagi rakyat.

Maka, jika Dam ingin berbicara perkara "guna" atau "fungsi", mau tidak mau ia harus bicara konsep paling sederhana dari puisi atau untuk apa puisi diciptakan. Meski, dalam konteks ini Dam berbicara perkara tentang kesadaran puitis dan politik. Dari zaman baheula sekali pun, pusi merupakan ekspresi seseorang dengan media bahasa, yang berguna sebagai penyucian diri.

Oleh karena itu, setiap estetika puisi yang dikreasi setiap penyair dengan kerja kerasnya, tentu saja akan berguna jika kita membacanya dengan mata dan hati yang terbuka. Sebab, segala peristiwa dan fenomena sosial politik yang tampak dan terasa dampaknya, secara reflektif akan memengaruhi setiap orang untuk tumbuh dengan kesadarannya masing-masing. Begitu juga kesadaran pada sesuatu yang puitis, atau bahkan perkara politik sekali pun. Dengan demikian, puisi tidak akan dilantunkan dalam kesia-siaan, meminjam kata-kata Pablo Neruda, penyair Chili paling dihormati di Amerika Latin, pada pidatonya saat menerima Nobel tahun 1971.

* Yopi Setia Umbara, penyair, bergiat di ASAS UPI Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009

Kartini dan Kesadaran Berbahasa

-- Wildan Nugraha*

LEPAS dari sosoknya yang bagi sementara pihak sangat lekat dengan kepentingan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, kesadaran berbahasa Kartini agaknya menjadi salah satu faktor yang membuatnya terus dikenang. Tanggal ulang tahunnya, 21 April, di negeri ini identik dengan namanya; nama seorang perempuan ningrat yang lahir di Jepara pada 1879.

Dalam salah satu suratnya kepada Stella Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan bahwa selain bahasa Belanda yang sudah dikuasainya, dia pun ingin pula mahir berbahasa asing lainnya, yakni bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Bukan karena agar pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulisnya.

Antara lain lewat kesadaran berbahasa itulah Kartini menemukan ketidakberesan dalam masyarakatnya. Meski dikungkung adat, mata Kartini lebar terbuka melihat dunia luas di luar Jepara, teristimewa kepada dunia Barat, dan hal itu menyuburkan daya kritis dalam nuraninya. "Adat sopan santun orang Jawa amat sukar," ujar (Raden Ajeng) Kartini kepada Stella dalam surat bertanggal 18 Agustus 1899.

Tentang feodalisme yang sangat mengakar di lingkungannya Kartini menggambarkan, misal, bila adiknya sedang duduk di kursi dan dia berjalan melewatinya, maka sampai kakaknya berlalu sang adik harus turun duduk di tanah sambil menundukkan kepalanya. Sementara, seorang gadis Jawa yang baik jalannya harus perlahan-lahan dengan langkah yang pendek-pendek seperti siput layaknya. Lalu dalam hal berbahasa pun, Kartini menyadari bahwa bahasa yang bertingkat-tingkat di lingkungannya itu menghadirkan sekat-sekat kemanusiaan: seseorang akan "berdosa" bila memakai bahasa Jawa rendah (ngoko) kepada sembarang orang.

Akan tetapi, Kartini bukan seorang "radikal". Dia tidak lantas membenci kejawaannya. "Boleh jadi seluruh badan kami sudah dijiwai pikiran dan perasaan Eropa; tetapi, darah, darah Jawa yang hidup dan mengalir hangat dalam tubuh kami ini, sekali-kali tidak dapat dihilangkan. Kami merasainya pada harum kemenyan dan semerbak bunga, pada lagu-lagu gamelan, pada irama angin ketika meresak pucuk-pucuk pohon kelapa, pada dekut perkutut, pada waktu batang padi bersiul, saat lesung padi berdentung-dentung," ungkap Kartini dalam satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon. Pun, Kartini menghargai orang tua dan kakak-kakaknya dengan menuruti semua adat Jawa dengan tertib. Tapi sebagai sebentuk perlawanan, kata Kartini kepada Stella, "Mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnya adat itu."

Salah satu hal yang ditekankan Kartini adalah mengenai pencerahan akal budi, sebuah inti dari pemikiran modern yang tengah berkembang di Eropa pada masa itu, yang membayang kuat di benak Kartini. "Kemajuan peradaban," katanya kepada Nyonya Ovink-Soer, "didapat bila kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan." Lantas, soal mempertinggi derajat budi manusia, Kartini kerap menyoal ihwal kesadarannya dalam berkeyakinan.

Kepada Stella dalam suratnya bertanggal 6 November 1899, misalnya-dan terbaca juga dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon-Kartini melihat bahwa kepada masyarakat di tempatnya keteguhan taklid lebih kuat ditanamkan ketimbang keteguhan yang dilandasi kesadaran. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai keyakinannya bila tidak mengenalnya, ungkapnya. "Orang-orang di sini diajarkan membacanya, tapi tidak diajarkan maknanya," katanya. "Pikirku, itu pekerjaan gila." Banyak lagi Kartni menuliskan kegundahannya mengenai realitas di sekelilingnya yang dengan tersirat dia sandarkan kepada keyakinannya. "Papa orang yang tidak dapat mengerti, bahwa kecuali ada keluhuran dalam derajat dan pangkat, masih ada keluhuran lain yang meniadakan segala-galanya," tulisnya kepada Nyonya Abendanon, 13 Agustus 1900.

Kesadaran berbahasa memang merupakan sesuatu yang penting. Dalam hal Kartini, kesadaran ini tak bisa dilepaskan dari kebiasaannya berkorespondensi dengan sahabat-sahabat penanya. Mungkin kita bisa menganggap semua peristiwa yang dialami seseorang sebagai peristiwa yang acak; dan kebiasaan menulis sebagai salah sebuah upaya merefleksikan peristiwa-peristiwa acak tersebut. Mengutip Bambang Sugiharto (1996), bahasa dapat membantu memperdalam peristiwa-peristiwa acak seseorang lewat refleksi dan dengan mengangkat segala hal partikular ke taraf konsep yang bersifat umum. Deskripsi membantu agar pengalaman menemukan bentuknya; dia dapat mengangkat makna tersembunyi di dalam input indrawi yang acak-acakan saat seseorang mengalami sesuatu peristiwa, dan dengan begitu deskripsilah yang menjadikan seseorang memahami pengalaman, atau yang membuat segala peristiwa acak menjadi "pengalaman".

Bambang Sugiharto mencontohkan, misalnya, pengalaman membaca buku bisa berubah banyak manakala seseorang harus membuat ulasan tentangnya. Tulisan ulasan yang dibuat itu dengan sendirinya akan mengintensifkan pengalaman membaca dengan mengangkatnya ke taraf refleksi. Maka Kartini, bila demikian, dengan surat-suratnya yang luar biasa dia kerjakan, setidaknya jika betul selama empat atau lima tahun terakhir masa hidupnya-dia wafat dalam usia 25 pada 17 September 1904-seakan tidak berhenti melakukan refleksi atas "peristiwa-peristiwa acak" yang didapatkannya sehari-hari.

Gagasan-gagasan kritis Kartini, terutama tentang pentingnya pendidikan, posisi sentral kaum perempuan dalam masyarakat yang beradab, dan nilai-nilai filosofis transendental didapatkan dari kekayaan pergaulan dan bacaannya; hal yang mungkin sukar dia peroleh bila tidak disokong oleh kesadarannya dalam berbahasa. "Bahasa adalah rumah tempat tinggal sang Ada," kata Martin Heidegger (1889-1976). Bila benar, demikian sahut Bambang Sugiharto, maka bahasa adalah rumah bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, menjadi semacam "substansi" tertentu. Dengan kata lain, pengalaman itu tidak bermakna bila tidak menemukan "rumah"-nya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata bahasa adalah ibarat kerang yang kosong tanpa kehidupan.***

* Wildan Nugraha, cerpenis bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandu

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009

Mari Bersikap "Opsimis"!

-- Bambang Q-Anees*

DI tengah situasi akhir-akhir ini, apakah yang mendorong kita untuk tetap optimistis?

Agak susah menjawabnya. Semua ihwal seperti mendesak kita untuk terpuruk dalam ketidakberdayaan. Politik kini hanya ritus tanpa perjuangan, (organisasi) agama terlihat linglung menemukan umatnya tanpa kendali ditelan krisis, ekonomi semakin tak berdaulat, alam raya semakin menunjukkan kemarahannya, sementara itu pendidikan pun seperti lumpuh.

Rabindranath Tagore pernah menulis puisi, pada setiap anak yang dilahirkan ada pesan khusus dari Tuhan: kehidupan akan terus berlangsung. Puisi ini mirip dengan petuah orang tua ketika anaknya ragu akan kemampuan membiayai hidup barunya setelah memiliki anak, "Terima saja, setiap anak akan membawa rezekinya sendiri, kita hanya dititipi amanah Tuhan untuk mengurus, sisanya serahkan pada Gusti Allah". Begitu simpel, lalu kehidupan berjalan begitu saja.

Sungguh. Pada saat genting seperti ini, ingin sekali memiliki pola pikir sederhana seperti orang-orang di kampung. Misalnya, ketika beras tak ada, beberapa orang kreatif di kampung -tanpa protes dan mengeluh- menciptakan beras dari jagung, singkong, ubi, bahkan dari nasi bekas. Semuanya itu bagi saya adalah kreativitas yang lebih hebat daripada analisis kecukupan gizi atau pemerataan ekonomi.

**

MUNGKIN benar analisis para penolak modernisme bahwa dosa utama pemikiran modern adalah mengajarkan prinsip yang terlalu optimis. Di depan sana, dengan merujuk Hegel, secara pasti akan ada keberhasilan, kegemilangan umat manusia dalam kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya. Kita terlalu pintar dengan ilmu modern, semuanya dapat dipahami, kemudian dirancang dan bila perlu dimanipulasi sesuai dengan apa yang kita anggap "harus".

Bila saja kepala kita tidak menggunakan kacamata modern, melainkan kacamata tradisi yang "menyesuaikan diri" dengan gerak alam, kepesimisan tak bakal hadir dan menghancurkan benak kita. Lihatlah prinsip orang Baduy, pendek jangan disambung, panjang jangan dipotong, semua ada manfaatnya masing-masing. .

**

MENOLAK keoptimisan bukan berarti pesimis. Seorang teman, Khairul di website SEPIA, mengajukan sinergi antara optimis dan pesimis, yaitu opsimis. Merujuk pada buku Man`s Search for Meaning karya Victorl F. Frankl ditemukan fenomena bahwa mereka yang terlalu optimis dalam menjalani penderitaan mengalami nasib naas: putus asa. Sementara mereka yang masih menjaga api pesimisme di tengah keoptimisan dapat bertahan hidup lebih lama.

Opsimisme adalah optimisme yang diimbangi kemampuan menerima kenyataan sehari-hari yang mengkhawatirkan. Opsimisme adalah sikap optimis untuk keadaan jangka panjang sekaligus pesimis untuk realita saat ini. Opsimisme adalah sikap seorang panglima perang yang begitu yakin akan kemenangan perjuangannya (optimis), namun ia selalu berusaha menyusun strategi dan berjuang keras untuk kondisi yang dihadapinya (pesimis).

Maka di tengah situasi yang maha melemahkan ini, satu-satunya pilihan adalah bersikap opsimis. Karena diam-diam, saat ini, kita dipenuhi oleh orang-orang yang begitu saleh.

Untuk mengentalkan sikap opsimisme, mungkin kita harus berguru pada Muhammad Yunus (pendiri Grameen Bank). Pada pidatonya di upacara wisuda di Massachusetts Institute of Technology (6 Juni 2008), ia menyatakan beberapa catatan mengenai membangun perekonomian di tengah krisis.

Pertama, tidak memercayai analisis pesimis dari teori-teori, "dalam menjalankan Grameen Bank saya melanggar prinsip dasar kapitalis -maksimalisasi laba". Prinsip ini menyatakan bahwa kebahagiaan bisnis terkait pada besarnya laba yang diperoleh, uang menjadi tujuan sekaligus sarana. Namun, bagi Yunus, bagi manusia yang-hidup-nyata memperoleh uang adalah sarana, bukan tujuan. Oleh karena itu, Yunus memberikan pinjaman pada orang-orang yang disingkirkan oleh bank, kini bank itu berkembang pesat - bank ini memiliki 130 juta nasabah di seluruh dunia.

Kedua, memfokuskan diri pada upaya-upaya sederhana untuk mengatasi masalah sosial di tingkat yang terbatas. Yunus menyatakan, "Mengatasi persoalan besar tidak selalu harus lewat tindakan raksasa, atau inisiatif global atau bisnis besar."

Bagi Yunus, krisis adalah peluang untuk mengundang semua orang menjadi manusia penuh kasih sayang. Yunus menambahkan, "Sengeri apapun tampaknya persoalan ini, janganlah kalian mengkerut dikalahkan oleh ukuran mereka. Persoalan besar seringkali hanyalah pelebih-lebihan persoalan kecil. "

Mari kita optimis....eh opsimis!***

* Bambang Q-Anees, dosen Filsafat dan Teologi UIN Bandung dan Mahasiswa S-3 UPI Bandung.


Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009

Dosa-dosa Demokrasi

-- Yasraf Amir Piliang

SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, "sistem demokrasi" dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai "masalah" ketimbang "solusi", "ekses" ketimbang "pencerahan", "disorder" ketimbang "order".

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi "kendaraan" menuju "anarkisme".

Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun "optimisme" secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan "pengubah", "progresif", "dinamis", dan "transformatif", sehingga ketimbang dianggap sebagai "duri" di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai "energi perubahan" ke arah yang lebih baik.

**

MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai "dosa" kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas "kebebasan" dan "kedaulatan" (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu "kuat" (strong state), sementara masyarakat terlalu "lemah" (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga "kebebasan" tak mampu "dikelola" dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).

Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai "kebebasan eksperimentasi politik" dan "komunikasi politik", dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi "meruntuhkan maknanya sendiri", yang menggiring ke arah "demokrasi nihilistik", yaitu permainan bebas "citra politik", yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada "desubstansialitas politik", yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik. "Rekayasa citra" (political imagineering) mengambilalih "rekayasa sosial" (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada "ketercabutan politik" dari realitas masyarakatnya sendiri.

Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi "melampaui" (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah "berlebihan", "keterlaluan" atau "ekstrimitas". Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: "kebebasan" yang berlebihan, tuntutan "hak" (right) yang melampaui kapasitas, "tindakan" yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi "hiper-demokrasi" (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh "melampaui" batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990). "Hiperdemokrasi" adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.

Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi "hiper-demokrasi" itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.

**

MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks "kebebasan" (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi "duri" dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap "makna" kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat "individual" atau "sosial"? Apakah ia "tanpa batas" atau "terbatas"? apakah ia bersifat "absolut" atau "relatif"?

Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut "kebebasan penuh". Pemahaman terhadap "keterbatasan kebebasan" inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.

Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan "pendulum", antara "kebebasan" (individu, komunitas, masyarakat) dan "regulasi" (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik "keseimbangan ideal" di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, "keran" kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.

Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan "kebebasan" (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.

Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah "individualisme". Politik yang berwatak "individualisme" menjadikan individu sebagai "inisiator" dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun "kepercayaan" masyarakat melalui "politik pencitraan" (politic of image). Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan "citra diri", sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam "reposisi" subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.

Demokrasi yang direduksi menjadi "permainan citra" akan menciptakan "demokrasi tak efektif", karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui "permainan citra", dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia "riil", karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan "demokrasi yang efektif"?

**

UNTUK menghasilkan "demokrasi yang efektif", dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya "reinterpretasi demokrasi". Perlu upaya "pengayaan demokrasi" secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari "etika kekuasaan" yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.

Pertama, "etika de-individualisme". Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan "titik sentral" kekuasaan. Komunitas yang menjadi "inisiator" dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan "kepercayaan" (trust) yang dibangun, ditempa dan "diuji" di dalam "praksis" sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari "kuasa", tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui "nilai-nilai komunitas" inilah "budaya malu" dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.

Kedua, "etika ketulusan", yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak "politik ketaktulusan", di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi "moral kebaikan" (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.

Ketiga, "etika merayakan keutamaan" (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan "keutamaan" yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.

Keempat, "etika dialogisme" (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam "demokrasi dialogis" (dialogical democracy), di mana ada "pertukaran gagasan" (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan "retorika satu arah", yang berkembang selama ini.

Kelima, "etika kejujuran". Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak "politik ketakjujuran", di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan "kebenaran" (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan "kesadaran palsu" (false consciousness) .

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi "kearifan lokal" dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam "ruang politik riil", bukan "imagologi virtual". Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka "perilaku menyimpang" dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***

* YASRAF AMIR PILIANG, Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009