JAKARTA, KOMPAS - Dalam sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah pemimpin kontroversial; diperdebatkan orang, menjadi pokok persengketaan, dipuja oleh para pengagumnya, dihujat, ditangkap, dan dibunuh oleh lawan-lawan politiknya. Cuma sayangnya, tak banyak generasi muda kelompok usia 18-25 tahun yang mengenal Sjahrir.
Padahal, sejak 1930-an Sjahrir menyatakan sikap antifasis, antitotaliter, dan antifeodal. Ia prihatin melihat sebagian pemimpin kaum koperator awal 1940- an sangat pro-Jepang. Padahal, sebenarnya Jepang lebih kejam daripada Belanda sebagai penjajah. Sjahrir memutuskan untuk aktif menegakkan RI yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Kenyataan itu diungkapkan wartawan senior dan pelaku sejarah, Haji Rosihan Anwar, dalam orasinya pada Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture, yang digelar Akademi Jakarta, Senin (30/3) malam di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Paparan tentang ”Relevansi Sjahrir bagi Indonesia Mendatang”, yang disampaikannya, dinilai sejumlah tamu yang hadir sebagai sebuah pencerahan tentang ketokohan dan peran Sjahrir dalam sejarah perjuangan bangsa, yang 5 Maret lalu hari kelahirannya genap 100 tahun.
Menurut Rosihan, Sjahrir memperlihatkan keterampilan politik, integritas dan ketajaman analisis politiknya. Rosihan dengan jernih menjelaskan posisi Sjahrir dalam sejarah perjuangan bangsa. Juga hubungan batin Sjahrir dengan rakyat. Termasuk bagaimana tidak senangnya Sjahrir disanjung-sanjung. Dia menolak kultus individu. Dia demokrat sejati. Dan sosok Sjahrir yang demikian relevan bagi masa depan bangsa.
Rasa kemanusiaan
Selain mengungkapkan riwayat hidup Sjahrir dan hubungan batinnya dengan rakyat secara gamblang, Rosihan juga memberikan masukan pemikiran dengan gambaran tentang kemajuan luar biasa pertumbuhan ekonomi China dan India, sementara penduduknya di atas satu miliar jiwa.
”Jika Indonesia tidak mau tercecer dan mau masuk ke dalam golongan the Rise of the Rest dalam perjalanan bangsa ke depan, kita harus memberikan perhatian pada kegiatan ekonomi,” ujarnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 1 April 2009
No comments:
Post a Comment