-- Trisno Sutanto*
”Pertarunganku adalah dengan Kristianitas di dalam jiwaku sendiri.” Rodrigues, dalam Silence
Saya masih ingat, walau samar-samar, ketika pertama kali saya menemukan novel Shusaku Endo, ”Silence”. Waktu itu musim dingin menjelang Natal 1991 di salah satu pojok ”second hand bookstore” di East Lansing, kota cantik di tengah Michigan, Amerika Serikat.
Novel Silence melebihi seluruh harapan saya ketika membeli. Sepanjang musim dingin itu saya membacanya dan terperangah melihat bagaimana Endo mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan. Dan saya gembira, kini saya kembali menemukan Silence dalam versi Indonesia.
Tentu saja, sebagai novel, Silence selayaknya dibaca juga sebagai novel. Bukan traktat teologis atau kajian historis. Endo sengaja mengambil periode Kirishitan, yakni Jepang pada abad ke-16 dan 17 ketika kekristenan mengalami masa penindasan paling buruk, untuk melukiskan pergulatan teologis yang sudah lama menghantuinya. Dan justru karena itu, Silence memiliki nilai lebih ketimbang sekadar novel historis.
Dalam esainya Kirishitan and Today (1992), Endo memberi dua alasan mengapa periode itu sangat penting baginya sebagai novelis, walau ia mengaku bukan sejarawan. Pertama, Perang Dunia II menempatkan Endo pada posisi sulit karena perang itu seakan menghadapkan kekristenan yang diimani sebagai musuh atas dirinya sendiri sebagai orang Jepang. Kedua, konflik itu rupanya punya akar sangat dalam, bahkan eksistensial. ”Sebagai seorang Jepang, saya selalu merasa tidak cocok dengan kekristenan yang sudah terbaratkan—bukan pada kekristenan itu sendiri, melainkan pada bentuk kekristenan tertentu yang ditempa peradaban Barat.”
Karena itulah, Endo perlu menengok pada bagaimana orang Kristen Katolik menghadapi penindasan berat. Periode Kirishitan, yang sekaligus menandai titik pertemuan awal Jepang dengan kebudayaan Barat, memberi banyak bahan. Bagi Endo, menulis tentang periode gelap itu ”bukan sekadar eksotisme, tetapi masalah mendesak bagi iman dan cara hidup saya”. Novel Silence (asli: Chimmoku, 1969) adalah cermin pergulatan iman Endo.
Kepada majalah Kumo, Endo mengaku ia berulang kali ingin meninggalkan iman Katoliknya, tetapi tidak mampu. Ketidakmampuan itu, baginya, memperlihatkan bagaimanapun juga sebagian iman Kristen sudah mendarah daging dalam dirinya walau ia dibaptis (atau lebih tepat: dipaksa baptis) pada usia sangat muda.
”Tetapi, di hati saya masih saja ada perasaan kekatolikan itu sesuatu yang dipinjam, dan saya mulai bertanya-tanya, seperti apa saya sebenarnya,” kata dia. ”Saya rasa, inilah ’rawa-rawa’ Jepang dalam diri saya. Sejak pertama kali mulai menulis novel, sampai hari ini, konfrontasi antara saya yang Katolik dan saya yang ada di bawahnya bisa diibaratkan pengulangan baris yang sama, yang terus-menerus berkumandang dalam karya saya. Saya merasa harus mencari jalan mendamaikan keduanya” (hal 19).
Dengan itu, Endo menyentuh persoalan mendasar yang selalu menghantui siapa pun yang ingin serius mempertanggungjawabkan imannya: sampai sejauh mana iman itu berakar, bertumbuh, dan berbuah dalam dialog dengan budaya lokal, dan bukan hasil imperialisme kultural ataupun teologis. Endo sangat serius dalam soal ini. Salah satu karya lainnya, A Life of Jesus (asli: Iesu no shogai, 1973), menceritakan kembali kisah Yesus yang diimaninya, ditujukan bagi orang Jepang yang asing dengan bahasa dogmatis kristiani. Hasilnya suatu potret jujur, sederhana, dan menyentuh figur Yesus yang serba rentan atau bahkan bisa disebut ”gagal”, tetapi setia menjalani rencana keselamatan Allah sampai titik akhir.
Kebisuan
Sisi kerentanan manusiawi Yesus inilah yang menjadi fokus refleksi iman Endo. Yesus yang diimaninya adalah figur yang kalah, dibuang, dihina, dan bahkan mati disalib sebagai pemberontak di mata Romawi dan terkutuk di mata pemuka agama Yahudi.
Itu juga potret Kakure Kirishitan, orang Kristen yang terpaksa harus menyembunyikan identitas iman mereka di tengah penindasan, lewat tokoh Sebastian Rodrigues—diambil dari tokoh historis Giuseppe Chiara, misionaris yang datang ke Jepang tahun 1643.
Plot cerita Silence sangat sederhana. Lewat kabar burung, Rodrigues mendengar Christovao Ferreira, misionaris Yesuit yang pernah menjadi gurunya, meninggalkan imannya setelah mengalami ”lubang penyiksaan” di Nagasaki. Kabar ini membuat panik dan bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup rohani umat. Karena itu, Rodrigues bersama teman-temannya meminta dikirim menjadi misionaris ke Jepang.
Setelah bertahan beberapa lama, akhirnya Rodrigues ditangkap Inoue, Gubernur Chikugo yang licin dan kejam, akibat pengkhianatan Kichijiro. Perlahan-lahan Rodrigues harus menyaksikan umat yang dilayaninya mati demi mempertahankan iman. Yang mengguncang iman Rodrigues adalah fakta Tuhan tetap membisu di hadapan kematian yang seakan sia-sia (hal 154).
Kebisuan Tuhan! Problem teodise itulah yang terus muncul pada hampir sebagian besar novel Silence. Kebisuan itulah, bukan pengalaman di ”lubang penyiksaan” mengerikan, yang membuat Ferreira meninggalkan imannya. ”Dengarkan!” kata Ferreira kepada Rodrigues. ”Aku ditempatkan di sini dan aku mendengar suara orang-orang itu dan Tuhan tidak berbuat apa-apa. Tuhan tidak bertindak sedikit pun. Aku berdoa dengan sepenuh kekuatanku. Tetapi, Tuhan tidak berbuat apa-apa” (hal 263).
Ferreira sudah mengambil sikap dan sampai pada kesimpulan, ”Negeri ini ibarat rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri,” kata dia kepada Rodrigues. ”Dan rawa ini keadaannya lebih parah daripada yang bisa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa ini, akarnya mulai membusuk, daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda kristianitas di rawa-rawa ini” (hal 234). Karena itu ia meninggalkan imannya, termasuk sumpah selibatnya, serta berusaha menjadi orang Jepang.
Sementara pada Rodrigues, protagonis Endo, kita menemukan sikap lebih bernuansa. Rodrigues juga mengalami pengalaman kebisuan Allah yang mengerikan, dan bahkan menginjak-injak fumie, gambar wajah Yesus atau Bunda Maria di atas lempengan perunggu, bukti penyangkalan imannya. Apa yang mendorong dia menginjak fumie justru suara Kristus. ”Injaklah! Injak!” kata wajah di fumie itu padanya. ”Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salibku” (hal 269).
Lewat kutipan itu, menurut Emi Mase-Hasegawa dalam esainya, Inter-Religio 43, (Summer 2003), Endo sesungguhnya sedang menggugat pandangan kekristenan Barat yang terlalu mengagungkan syuhada dan sekaligus memberi pemahaman kristologi alternatif. Bagi Mase-Hasegawa, Tuhan tidak membutuhkan syuhada yang mati bagi-Nya. Karena itu, Tuhan tetap membisu. Itu tidak berarti Ia tidak menyertai umat-Nya. Dialog batin Rodrigues dengan Allah di akhir Silence menegaskan hal itu:
”Tuhan, aku benci kebungkamanmu.”
”Aku tidak bungkam. Aku ikut menderita di sampingmu.” (hal 295)
Menurut saya, persis problem teodise, kebisuan Tuhan dan visi kristologi alternatif inilah yang membuat Silence selalu memikat dibaca lagi dan lagi. Bahkan, Martin Scorsese berniat mengadaptasinya menjadi film tahun ini. Karena Endo mengajukan pertanyaan sangat krusial bagi kita—bila kita memang sungguh-sungguh mau tetap beriman, bahkan di tengah kebisuan Allah menyaksikan tragedi kemanusiaan.
* Trisno S Sutanto, Mahasiswa STF Driyarkara dan aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama, Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 12 April 2009
1 comment:
Aku pertama kali mendengar tentang Shusaku Endo saat membaca buku Philip Yancey, The Jesus I Never Knew. Pergulatan dia yang orang Jepang, tetapi pengikut Kristus, ini mirip dengan pergulatan orang Indonesia Kristen.
Post a Comment