-- Damhuri Muhammad*
BAGAIMANA semestinya sastrawan menyikapi keriuhan retorika politik yang belakangan ini tampak semakin mentereng? Perlukah seorang penyair menyelami realitas politik yang ingar-bingar dan penuh intrik itu -setidaknya melibatkan sebentuk kesadaran politik dalam gairah kepenyairannya atau sebaliknya-sebagaimana petuah Julian Benda (1928)- karena sudah "ditakdirkan" untuk mencari kepuasan di ranah kesenian, dan oleh karena itu, para penyair seyogianya menjauh dari zona kesadaran politik. Agar lelaku kepenyairan tetap terjaga, tidak terkontaminasi efek kuasa politik yang sejak dari perkembangan yang paling purba telah dianggap ancaman laten.
Tapi, apalah guna sebait sajak yang hanya mampu menggambarkan setetes embun yang jatuh di atas sehelai daun, atau hujan bulan November yang mengingatkan ia pada serpihan-serpihan yang hilang. Mengawang-awang, tak membumi, sesekali bahkan utopia. Ada atau tak adanya bait-bait cengeng itu tidak akan berpengaruh pada fenomena kebimbangan massal lantaran imbauan-jika tidak bisa disebut "tekanan"-untuk menegaskan sebuah pilihan, di saat kita sedang mengalami krisis kepercayaan yang semakin banal. Jangankan pada orang yang belum dipilih, yang nyata-nyata sudah terpilih pun sukar dipercaya. Itu sebabnya ongkos kampanye melonjak tinggi. Sejatinya, bila ada trust, tentu ongkos politik tidak akan mahal sebagaimana kini.
Janji-janji pun diikrarkan, segala modus dan siasat dikerahkan, termasuk dengan membeli kepercayaan itu dengan harga tinggi. Segala macam retorika berhamburan. Sebagaimana penyair, para politisi pun membacakan "puisi" di hadapan khalayak, guna menyentuh perasaan, meraih simpati hingga akhirnya terpanggil untuk menjatuhkan pilihan.
Lalu, di mana para penyair semestinya tegak berdiri? Berpangku tangan sembari menonton dari puncak menara kepenyairannya? Atau turun gunung, lalu merancang semacam budaya tanding guna mengimbangi retorika politik yang kerap menyesatkan itu?
Inilah ketegangan yang disuarakan oleh sajak-sajak dalam antologi Demonstran Sexy (2008), karya Binhad Nurrohmat. Alih-alih takut terkontaminasi oleh efek kuasa politik, sajak-sajak Binhad justru sedapat-dapatnya menyekutukan kesadaran puitis dengan kesadaran politik. Meski dengan persekutuan dua sumbu kesadaran itu sajak-sajaknya menjadi sangat sederhana, cair, dan menyehari, misalnya: Dari pemilu ke pemilu/Undang-Undangnya selalu baru/kayak orang ganti baju/Dari pemilu ke pemilu/banyak kontestannya yang baru/Ada yang asli dan palsu.
Tidak ada yang asing, apalagi rumit, dalam sajak "Pemilu Modis" itu, hingga gampang dicerna siapa saja, termasuk kelompok anti-puisi sekali pun. Tapi, ekspektasi puitis tentu tidak sekadar mampu melakukan simplifikasi puisi-dari gelap menjadi terang, dari kabur menjadi terang, dari keruh menjadi jernih-lebih jauh, tentu tidak harus terjerumus pada hal-hal remeh dan tak berkedalaman, sebagaimana lelaku retorik para politisi yang hendak disanggahnya. Ada benarnya tinjauan pakar sosiologi politik, Yudi Latif, yang menulis epilog untuk antologi itu, bahwa relasi penyair dengan realitas politik sesungguhnya bukan tanpa persoalan. Bila kurang waspada, efek kuasa politik bisa lebih dominan daripada otoritas kepenyairan itu sendiri.
"Tak ada penulis yang kebal dari `jaring laba-laba` politik," begitu kata Luisa Valenzuela, sastrawan Argentina, "Dunia bernapas politik, makan politik, berak politik."
Tengoklah sajak "Sumpah Penyair" karya Binhad: Penyair Indonesia, berani hidup tanpa uang pensiun/Penyair Indonesia, tidak menjual harga diri puisinya/Penyair Indonesia, menjaga kerukunan rumah tangga/ Penyair Indonesia, tidak suka berdusta kepada rakyat/ Penyair Indonesia, pantang mencuri harta masyarakat/Penyair Indonesia, setia menjunjung martabat bangsa/ Penyair Indonesia, mendukung pemimpin yang bijak/ Penyair Indonesia, menebarkan cinta ke seluruh dunia.
Alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar begitu memukau sebagai slogan. Bukankah ini bahasa politik yang telah menyaru ke dalam tubuh puisi? Dalam batas-batas tertentu, sajak ini lebih terasa sebagai kesadaran politik ketimbang kesadaran puitis itu sendiri. Inilah salah satu bukti perihal efek kuasa politik terhadap lelaku ujaran para penyair. Itu pula sebabnya, Mudji Sutrisno, dalam sebuah diskusi baru-baru ini, mengungkapkan bahwa sajak-sajak Binhad dalam buku itu berada di posisi yang tarik-ulur antara "puisi sejati" dan "puisi yang terlibat". Bila ditimbang sebagai "puisi sejati" ia mendekonstruksi semua "syarat-rukun" yang mengabsahkan sebuah pencapaian estetika puisi. Tapi bila diposisikan sebagai "puisi yang terlibat" ia tidak menegaskan sebuah usungan ideologi sebagaimana "puisi-pusi terlibat" lazimnya.
Sebegitu gamblangnya muatan sajak-sajak itu, penyair Radhar Panca Dahana sampai-sampai dengan sumringah menantang; "Kalau hanya segitu, saya bisa menulis 30 puisi dalam sehari." Lain lagi dengan Yudi Latif, sajak-sajak pendek seperti Tuhan, beri aku kekuasaan/Kekuasaan, beri aku uang (Munajat Pejabat), sepadan dengan gejala instan dari gaya hidup generasi SMS, yang sangat berpeluang untuk jatuh menjadi slogan dan pamflet. Di sini, lagi-lagi lelaku ujaran puitis tak berdaya menandingi kuatnya arus kuasa politik. "Sajak-sajak Binhad itu hendak memperlihatkan gairah estetisasi puisi atau justru terjebak pada estetisasi politik?" begitu Mudji Sutrisno mempertanyakan.
Namun, di sebalik semua tudingan perihal kegamblangan-bila tidak bisa disebut kedangkalan-itu, bagaimanapun juga, antologi Demonstran Sexy itu telah berjasa membumikan puisi, menjadi rumusan teks yang bisa dicerna siapa saja, puisi menjadi mampu memperkenalkan dirinya sendiri, tidak seperti puisi-puisi yang konon berselera tinggi, yang bahkan setelah diulas oleh sejumlah kritikus, tetap saja gelap, bahkan di mata para penyuka puisi sekali pun. Tengoklah pula sajak "Menjelang Pemilu": Ayo dukung saya!/Ayo coblos saya!/Bersama kita bisa/gratiskan sekolah yang sudah roboh gedungnya/Bersama kita bisa/menangkapi semua koruptor lantas melepasnya/ Bersama kita bisa/mewujudkan negara kita paling miskin sedunia/Please, saudara-saudara!/Siapa berani pilih saya? Jitu. Tanpa basa-basi. Langsung ke pokok soal. Tajam.
Maka, hanya ada dua pilihan; puisi sejati, tapi rumit, mbulet, dan hanya berguna bagi kritikus dan segelintir penyuka puisi belaka, atau sajak-sajak gamblang dan sederhana ala Binhad-meski dianggap slogan atau pamflet-tapi sangat berguna bagi rakyat jelata? Tuan pilih yang mana?***
* Damhuri Muhammad, cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 April 2009
No comments:
Post a Comment