Friday, September 30, 2011

Mitos September Kelam

-- Abu Su’ud

PENULIS bukan orang yang meyakini kebenaran adanya hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari atau bulan sial sehingga artikel ini tidak untuk meyakinkan orang lain bahwa September adalah bulan penuh kesialan. Semua itu tidak lain hanya sebuah catatan akhir September 2011, kebetulan bersesuaian dengan Syawal, ketika umat Islam merayakan Hari Kemenangan atau Idul Fitri setelah menjalani masa berpantang atau upawasa selama Ramadan.

Meskipun demikian tidak dimungkiri bahwa dalam sejarah masa lalu pada bulan September beberapa negara mengalami hari sial atau hari berkabung. Tiap tahun mereka menaikkan bendera setengah tiang untuk memperingatinya. Orang Israel misalnya, mengenal The Black September, berkaitan dengan pembunuhan atletnya dalam acara perhelatan olahraga sedunia, Olimpiade. Bangsa Amerika baru saja memperingati 5 tahun Tragedi 9/11.

Peristiwa 9/11 memicu penyerbuan pasukan Sekutu ke negeri Saddam Hussien dan juga Afghanistan, yang dianggap tempat persembunyian Usamah bin Ladin. Tragedi di New York itu terjadi pada 11 September 2006, dan kebetulan angka 911 merupakan kode pertolongan darurat bagi negara Amerika karena merupakan nomor telepon instansi pertolongan darurat.

Selama 30 tahun bangsa Indonesia pun selalu memperingati peristiwa G30S/ PKI yang memakan korban perwira militer yang dikenal anti-PKI dan kritis terhadap Bung Karno. Ketujuh korban yang disebut Pahlawan Revolusi menjadi tumbal dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tragedi itu juga terjadi dalam bulan September, tepatnya tanggal 30 malam sampai dini hari esoknya.

Bung Karno lebih suka menyebutnya Gestok atau Gerakan 1 Oktober. Sejarah mencatat bahwa tragedi berdarah itu diikuti dengan pembunuhan ribuan anak-anak bangsa, dan Bung Karno menyebutnya revolusi telah memakan korban anak-anak bangsa. Lalu berita yang mengabarkan beberapa musibah transportasi air yang merenggut nyawa. Dalam masyarakat muslim ada keyakinan bahwa waktu dan tempat lahir, jodoh, ataupun cara serta tempat kematian seseorang, menjadi rahasia Allah. Manusia tidak bisa menentukan lebih dahulu.
Semacam Mitos

Adapun di kalangan masyarakat China ada semacam harapan tentang kelahiran dan kematian, yang tempatnya bisa dipilih. Kalau lahir sebaiknya di Suzhou karena ada sungai kecil nan indah; kalau sudah besar dan berpacaran sebaiknya mengunjungi dan bermain di Hangzhou karena ada danau yang elok; kalau mau makan pilihlah Guangzhou karena banyak koki yang sangat ahli; dan kalau mati pilihlah Liuzhou karena di sana ada jati bermutu untuk peti mati.
Konon menurut televisi, pembunuh paling utama manusia adalah serangan jantung dan stroke. Yang kedua adalah alat transportasi. Sekarang di Indonesia ada semacam mitos bahwa alat transportasi umum membuat penumnpang lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Esa. Sepanjang perjalanan mulut berkomat-kamit membaca doa, mohon keselamatan. Kenapa itu terjadi? Karena banyak alat transportasi umum tidak laik jalan, karena perlengkapan alat keselamatan tidak tersedia. Kalau penumpang akhirnya selamat sampai tujuan, pastilah itu sebuah kebetulan.

Malakul maut tak hanya menjemput manusia ketika dalam perjalanan, ia juga bisa datang ketika manusia tengah berdemonstrasi menuntut hak atas sadumuk bathuk sanyari bumi, lalu peluru petugas nyasar mencabut nyawa. Lebih celaka lagi kalau kematian atau musibah datang ketika manusia tengah memohon ampunan pada Tuhan. Tiba-tiba malakul maut datang dengan meletuskan bom. Kalau memang berniat bunuh diri, lakukan saja di tempat sepi, jangan mengajak orang lain mati atau cedera di rumah Allah.
Untungnya kepolisian kita sigap dan jeli mendeteksi sang pembawa bom itu. Dengan sigap pula bisa tahu pelakunya salah satu dari daftar pencarian orang (DPO-ini istilahnya aparat). Lalu Menko Polhukam mengatakan bahwa itu terjadi karena teroris ‘’mengambil inisiatif’’. Aparat keamanan tidak tahu karena teroris tidak berkomunikasi sehingga aparat pun tidak bisa mengantisipasi aksi teroris. Semoga bulan Oktober tidak lagi kelam. (10)

Abu Su’ud, sejarawan, guru besar emiritus Unnes, guru besar IKIP PGRI Semarang

Sumber: Suara Merdeka, Jumat, 30 September 2011

Letak Kesaktian Pancasila

-- A Kardiyat Wiharyanto

KITA semua pantas merasa malu, jika di antara kita masih ada yang menyimpan pikiran dan obsesi yang terkotak-kotak dan ingin menonjolkan kepentingan pribadi atau kelompoknya di atas kepentingan nasional. Sikap seperti itu bukan hanya menunjukkan langkah mundur, namun sudah merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa ini.

Sayangnya, nilai-nilai Pancasila tersebut sampai saat ini belum diamalkan secara maksimal oleh para pemimpin negeri ini. Pada rezim Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Saat ini Pancasila juga hanya jadi jargon.

Disadari atau tidak, nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sudah menjadi kabur. Sebagai warga bangsa yang mencintai bangsa dan negaranya, kita perlu terus berusaha mengembalikan Pancasila sebagai dasar dan arah paradigmanya. Kalau tidak, Pancasila itu cenderung untuk dilupakan, bahkan mungkin hendak ditinggalkan.

Moment penting Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Ke-46, 1 Oktober 2011 ini, perlu dijadikan refleksi, bagaimana bangsa Indonesia saat ini menggunakan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah saatnya rakyat terpanggil untuk merevitalisasi Pancasila yang sedang berada di ambang bahaya itu. Sebagai dasar negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau ideologi maka mustahil bagi suatu bangsa untuk mempertahankan survivalnya dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.

Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkritisasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang demokratis harus tetap dalam kesatuan dan persatuan.

Hasrat politik untuk bersatu tidak diimposisi dari atas, akan tetapi merupakan pergerakan kemasyarakatan, di mana semua kelompok masyarakat bangsa yang majemuk ini ikut serta secara aktif. Dalam kaitan itu, dalam sanubari masyarakat perlu terus ditumbuhkan keyakinan bahwa bangsa ini hanya bisa disatukan dengan Pancasila.

Jiwa dan semangat Pancasila lahir dari pertemuan hasrat dan kehendak politik pergerakan masyarakat dan dari kesadaran pada pendiri negara ini. Dari kancah perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara itulah ditemukan formulasi kearifan kenegarawanan dalam falsafah negara Pancasila. Di dalamnya, semua orang dan semua kelompok masyarakat yang majemuk itu memperoleh tempat. Semangat yang demikian itu wajib kita perjuangkan agar semua lapisan masyarakat semakin memperoleh tempat dalam perumahan Republik.

Penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.

Kiranya perlu disadari pula bahwa kebhinnekaan maupun kesatuan-persatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi disintegratif belum hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, merangkul kebhinnekaan sekaligus kesatuan-persatuan.

Pancasila amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinnekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebhinnekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebhinnekaan dalam kesatuan-persatuan, dan kesatuan-persatuan dalam kebhinnekaan. Di sinilah letak kekuatan Pancasila.

Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebhinnekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih kebhinnekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.

Kerangka dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebhinnekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, tidak berfungsi sebaliknya.

Ketika diputuskan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, semua kelompok dalam masyarakat terikat satu sama lain dalam satu kesatuan-persatuan secara politis. Meski tetap mantap tapi kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak. Sudah ada interaksi yang dinamis, namun pada umumnya masih dalam bentuk interaksi antar-kotak, yang tidak jarang justru mengganggu proses kebhinnekaan. Menghadapi permasalahan inilah justru diperlukan pendekatan dan pola tindakan baru dalam kebersamaan demi keselamatan seluruh rakyat, terutama saat-saat bangsa kita sedang berupaya memberantas korupsi, kekerasan dan penghancuran lingkungan hidup.

Bertolak dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita dengan manifestasi ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan Pancasila. Di sinilah letak kesaktian Pancasila.

A Kardiyat Wiharyanto, dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sumber: Suara Karya, Jumat, 30 September 2011

Dialog Eliminasi Konflik Sosial

-- Arif Dwi Hartanto

IRONI tragedi bila melihat berbagai gejolak sosial melanda negeri ini. Yang paling up-date tentu saja perihal kerusuhan yang sudah menjadi patogen akut yang malah menyajikan corak kulturalisme tradisional. Kerusuhan ibarat peristiwa beruntun tanpa muara penyelesaian yang terang benderang. Berbagai kasus masih menyajikan persoalan yang sama, yakni sektarianisme, fanatisme sempit, rasis, hingga perbedaan konsep dalam berbudaya. Tentu saja yang terakhir adalah peristiwa tawuran massa pelajar hingga bentrok ribuan warga dan berbagai peristiwa kerusuhan di sejumlah pelosok negeri ini.

Sesungguhnya hal ini melambangkan kerapuhan dinamika sosial atau kelompok yang dalam konteks sosiologis lebih bertendensikan pada kekerasan dan perilaku bar-bar. Jauh dari kata 'adab' atau beradab yang dapat membangun suatu peradaban. Yang perlu diperhatikan, dalam negara yang pluralis seperti ini pelembagaan masyarakat menjadi persoalan episentrum ketika orientasi nilai dari interaksi berbagai aktor sangat rentan pada perbedaan konsep. Apalagi, perbedaan mereka dalam menyikapi berbagai hal terjadi melalui segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, maupun budaya, bahkan sampai kepada pemahaman terhadap teologi agama secara normatif dan substantif.

Padahal, mental yang beradab sesungguhnya berkorelasi kuat pada kesejahteraan. Bukan sekedar retorika ataupun hanya seonggok fondasi spiritual fanatisme beragama, namun lebih kepada action yang berujung pada kinerja produktivitas dan toleransi antar-pemahaman. Dalam konteks demikian, membangun negara yang beradab, dan tentunya peradaban, akan mengantarkan pada kesejahteraan, dan itu jelas sudah tertuang dalam Pancasila.

Namun demikian, kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Patogen kesejahteraan semisal kemiskinan, kekerasan, radikalisme, yang akan sangat berbahaya bila terjadi pembiaran maka dapat berujung 'perpecahan'. Perpecahan juga menjadi penyakit pembangunan. Misalkan saja, pembangunan secara ekonomi yang sudah mapan selama berpuluh-puluh tahun bisa saja luluh lantak dalam sekejap karena disintegrasi bangsa, khususnya dalam masyarakat multiagama dan etnisitas seperti Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah lemah atau hilangnya pengawasan dan pembentukan kelembagaan sebagai mediator dalam wadah pembentuk nasionalisme yang berlegitimasi kuat. Hal ini menjadi rongrongan yang empuk dari radikalisme dan terorisme yang menjadi ancaman laten negeri pluralis seperti ini.

Bila ditilik dalam kacamata historis, berbagai permasalahan mengenai isu-isu perpecahan berbasis sektarianisme sudah sangat akrab. Yang perlu diingat, pada dasarnya Indonesia memiliki keragaman etnis dan agama sejak awalnya, dan setiap etnis dan agama mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri.

Dalam konsepsi multikulturalisme, semua ini dapat membawa persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan individual untuk memasuki wilayah umum atau publik/ negara. (L Berger, 1988)

Maka, titik permasalahannya sebenarnya terdapat pada perbedaan pandangan yang ekstrem, dalam artian tidak dicarikan titik temu antara dua atau beberapa kalangan. Padahal, kehidupan dunia menimbulkan banyak sekali perselisihan dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, kita bisa berpecah pendapat dan berujung perselisihan.

Untuk mampu menyatu, maka harus dilakukan dialektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk peduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Secara sosiologis dan psikologis, mencari solusi pada gilirannya akan berurusan dengan tema, interaktif, transaksional, dan benturan ide-ide. Maka, perspektif dan ranah dialog merupakan salah satu cara untuk saling memahami, mencari titik temu, dan menyelesaikan permasalahan.

Dialog juga mengajarkan pada kenyataan tentang pluralisme dalam berkehidupan. Pluralisme mengajarkan pada cara pandang yang mau mengerti serta memahami perbedaan. Cara pandang yang ada adalah untuk mengonstruksikan sebuah pemahaman yang lebih komprehensif terhadap khasanah perbedaan. Istilah lain yang erat hubungannya dengan pluralisme adalah inklusifisme. Kata ini secara definisi adalah sebagai cara pandang yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Karena, inklusifisme secara substantif berarti memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya pluralisme.

Dialog merupakan jalan untuk meredam suatu konflik sehingga menyajikan suatu permasalahan ke arah kebenaran. Melalui dialog, kita bisa mengarahkan akal manusia kepada hakekatnya. Dialog yang beretika juga akan membuat kita dapat diterima, didengar, dan dihormati manusia.

Berbagai bentuk dialog sangat perlu dilakukan dan dimaksimalkan secara kontinuitas dan berkesinambungan dengan rasa pengertian dalam kerja sama. Kerja sama di sini untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari sudut pandang etnis, ras, dan agama. Karena masalah kerja sama itu sendiri lahir dalam kaitan perbedaan yang berhubungan langsung dengan ras maupun agama.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa harus diperlukan suatu dialog yang kuat dan konstruktif dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya dalam era pembangunan suatu bangsa untuk menuju penguatan integrasi kesatuan dan kesejahteraan. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat kerja sama untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari fanatisme pribadi.

Dalam menyikapi hal tersebut, membangun teologi non kekerasan dalam memecahkan suatu masalah lewat sebuah dialog mutlak diperlukan. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa spirit non-kekerasan merupakan titik konvergensi paling nyata antara semua umat. (Helmanita, 2003)

Arif Dwi Hartanto
, peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Brawijaya

Sumber: Suara Karya, Jumat, 30 September 2011

Pendidikan Berbasis Pluralisme

-- Rudyono Darsono

ADA persoalan krusial yang masih kerap muncul di ranah bangsa yang kini memasuki usianya yang ke-66, yakni persoalan pluralisme.

Kekerasan berlatar belakang suku, agama, atau kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan jatuhnya korban, bahkan mengancam disintegrasi bangsa, adalah indikasi jelas tentang masih adanya persoalan bangsa yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas.

Bukan tidak mungkin itu akan menjadi persoalan abadi, jika pluralisme tidak dikelola dengan baik.

Pengelolaan pluralisme ini bukan saja menyangkut penataan pluralisme itu sendiri secara benar, seperti mencegah munculnya konflik dalam keanekaragaman yang mengancam keutuhan dan kemajuan bangsa, tetapi yang paling penting adalah membangun dan mengembangkan pluralisme dengan postur tubuhnya yang pas sesuai dengan format republik ini.

Salah satu media yang paling penting dalam pembangunan dan pengembangan pluralisme adalah media pendidikan. Ini karena pendidikan merupakan media pencerdasan anak-anak bangsa untuk membangun masa depan bangsa dan negara.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa gagalnya pembangunan masa depan bangsa di bidang apa pun, terutama karena gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu.

Jika kita ingin mencapai perikehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai, yang menghargai pluralisme, maka hal itu mesti dimulai dari anak didik. Gandhi mengatakan, “If we to reach real peace in this world shall have begin with children.”

Paradigma Pendidikan

Esai ini mengemukakan persoalan bagaimana mengemas pluralisme bangsa ini lewat jalan pendidikan. Pendidikan harus ditempatkan pada garda paling depan dalam mendekonstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi pendidikan yang tepat untuk mendukungnya.

Konstruksi pendidikan dalam Orde Baru yang berbasiskan penyeragaman identitas budaya bangsa, misalnya harus dikaji dan mesti disesuaikan dengan paradigme reformasi, yaitu paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa.

Kegagalan Orde Baru dalam menggagas dan mengimplementasikan paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme tersebut dapat terlihat lewat berbagai distorsi yang muncul ke permukaan. Distorsi pertama dimengerti sebagai sebuah doktrin yang senantiasa dijadikan pembenaran bagi terjadinya konflik antaragama yang tak jarang didekati secara represif.

Fenomena eksklusivisme masih sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Para pendidik pun seperti tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi kenyataan yang eksklusif itu.

Perbedaan teologis yang substansial dari setiap agama tidak dihormati secara proporsional dalam kurikulum dan praktik pendidikan. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian tidak diperjuangkan untuk menata pluralisme dengan cara menghormati perbedaan-perbedaan yang ada, dan persoalan pluralisme diselesaikan secara elegan.

Namun, sayangnya semua masalah yang muncul kerap diendapkan dengan cara-cara yang represif. Akhirnya, semua itu pun hanya ibarat menyimpan bom waktu yang kemudian meledak dalam aneka kekerasan berlatar agama dan etnis seperti yang terjadi pada awal reformasi, bahkan hingga sekarang.

Kedua, pendidikan kita cenderung mengedepankan truth claim ketimbang truth exchange. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah yang membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya.

Anak didik tidak diberi ruang cukup untuk menguji kebenaran lainnya, seperti kebenaran teologis yang ada pada agama lainnya. Akhirnya, anak didik menjadi kurang kritis terhadap setiap masalah dan aneka macam nilai yang ada dan tidak kreatif dalam mengelola hidup.

Lebih dari itu, praksis pendidikan yang indoktrinatif juga kerap mendominasi kesadaran murid, dan itu terasa sekali di perguruan tinggi.

Tidak disadari, itu tidak lebih merupakan suatu praktik penindasan terselubung, bersifat nekrophilis –meminjam istilah Erich Fromm, yang artinya bahwa sistem pendidikan itu tidak mengarahkan murid kepada cinta akan kehidupan dan/atau terhadap segala sesuatu yang berkembang, tetapi lebih kepada segala yang bersifat mekanis, sehingga mereka menghadapi hidup ini secara mekanis pula.

Ingat bahwa pendidikan adalah suatu proses sosial, sehingga pendidikan sebaiknya dipahami juga sebagai proses humanisasi, yaitu usaha agar seluruh sikap dan perilaku, serta aneka kegiatan seseorang bersifat manusiawi.

Di situ pula pendidikan dikatakan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya lahir batin, dengan karakter dan watak kebangsaan yang kuat dan bersifat plural. Dengan begitu, dari situ anak didik dapat diarahkan untuk lebih tahu dalam menghargai dan menghormati aneka macam nilai dalam masyarakat seperti nilai pluralisme.

Perubahan Paradigma



Kini, tidak ada jalan yang lebih tepat selain bahwa realitas plural kemajemukan kita harus mendapat perhatian yang memadai dalam dunia pendidikan kita.

Pendidikan agama, sebagai contoh, tidak boleh disejajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dengannya.

Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa yang berdiri berlandaskan pada Pancasila yang mengagungkan pluralisme itu.

Karena itu, pendidikan kita harus dikembangkan kepada ranah pluralisme untuk merangsang daya pikir dan kreativitas anak didik, serta kepada realitas dinamika masyarakat, bukannya menciptakan menara gading yang tercerabut dari akar kehidupan masyarakat plural.

Sistem pendidikan, metode, dan cara belajar-mengajar pun harus diarahkan kepada pembentukan pola pikir dinamik, kreatif, dan pluralis bagi siswa dan mahasiswa, agar di dalam diri mereka tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati.

Dalam hal ini, untuk mengubah paradigma dan metodologi pendidikan harus ada kebijakan pendidikan yang tegas, bahkan radikal, dari para pemegang kebijakan negara, yaitu dengan mengubah secara fundamental pendidikan sebagai subjek dinamika realitas kehidupan masyarakat.

Dengan demikian siswa dan mahasiswa dapat memahami dan mengelola realitas pluralisme bangsa secara tepat.

Rudyono Darsono
, Ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945, Jakarta.

Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 30 September 2011

Indonesia Butuh Mitigasi Konflik

-- Keith Hargreaves

SEBERAPA sering Anda membawa payung ketika melihat awan hitam di langit? Apakah Anda pernah membawa pakaian tambahan untuk liburan sesuai keadaan cuaca yang berbeda dari biasanya?

Hal inilah yang disebut tindakan mitigasi; mempersiapkan diri untuk suatu kejadian yang mungkin atau tidak mungkin terjadi, tetapi jika tidak, dapat menimbulkan masalah serius.

Sementara itu, menjadi basah dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai adalah hal yang menyebalkan dan biasanya tidak mengancam nyawa; ada peristiwa lain yang lebih serius dan bisa disebut sebagai tindakan mitigasi.

Istilah mitigasi ini sering digunakan dalam kaitannya dengan bencana alam. Indonesia telah belajar banyak dari tsunami yang melanda Aceh dan saat ini di beberapa daerah berbahaya di Aceh sudah memiliki sistem peringatan dini yang dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya tsunami, sebagai bagian dari strategi mitigasi.

Penduduk Ternate juga telah menyosialisikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan memasang papan iklan yang sangat besar di setiap sudut kota, untuk mengingatkan mereka ke mana mereka harus pergi apabila terjadi bencana gempa bumi dan tsunami.

Pengelola gedung pencakar langit telah memberikan pelatihan untuk peristiwa kebakaran, gempa bumi, atau bahaya lainnya terhadap para penyewa gedung, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kunci utama yang perlu diingat adalah tindakan mitigasi ini tidak mencegah terjadinya bencana.

Kita tidak bisa mengatur kapan bencana atau gempa bumi akan terjadi. Namun kita dapat mempersiapkan diri untuk mengurangi kerusakan yang akan terjadi. Ini adalah inti dari mitigasi yang baik.

Untuk menunjukkan betapa pentingnya mitigasi yang baik, saya telah melakukan penelitian terhadap dua gempa bumi yang terjadi di tahun yang sama, dengan kekuatan yang hampir sama besarnya dan di sekitar kedalaman yang sama, tetapi di negara berbeda.

Penelitian ini menunjukkan bahwa negara dengan mitigasi baik, di mana bangunan yang kokoh dan teratur ditegakkan, pelatihan rutin dilakukan, dan masyarakatnya dilatih mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan, kerusakan atas kehidupan manusia dapat diminimalkan. Dalam hal ini hanya tiga orang tewas.

Di negara dengan mitigasi yang kurang, di mana tidak ada bangunan kokoh dan tidak tahan gempa, 37.000 orang tewas. Perbedaannya sangat mencolok.

Karena gempa bumi dan bencana alam lainnya bisa terjadi setiap saat, mitigasi adalah proses berkelanjutan yang tidak dapat dihentikan, bahkan jika belum ada bencana alam untuk waktu yang lama. Dalam pengertian ini, mitigasi adalah kisah yang tidak pernah berakhir.

Buatan Manusia

Akan tetapi mitigasi yang penting justru ketika bencana adalah buatan manusia, misalnya dalam bentuk konflik antardesa atau perkelahian antarkelompok yang bersaing.

Kita harus belajar dari kejadian-kejadian di Ambon, bom bunuh diri di Surakarta, dan beberapa kejadian yang sering terjadi untuk melihat bahwa di beberapa komunitas setidaknya isu kekerasan antar-masyarakat tampaknya hanya menghilang sejenak.

Ancaman insiden berikutnya atau wabah selalu ada. Dalam hal ini mitigasi tidak hanya mungkin, tetapi sangat penting. Kekerasan komunal dapat dengan sangat cepat lepas kendali dan akan banyak korban yang berjatuhan.

Tokoh masyarakat di Ambon sangat menyadari hal ini. Selama ini jika ada kejadian apa pun mereka segera bertemu dengan anggota komunitas mereka, kemudian diberikan pengarahan singkat atas kejadian-kejadian yang pernah terjadi guna mencegah kesalahpahaman dan masalah lebih lanjut.

Pertemuan diadakan dengan media untuk menunjukkan bahwa masalah sedang ditangani. Namun ini bukan mitigasi, ini adalah reaksi.

Apa yang tidak dilaporkan adalah jumlah kejadian yang merupakan bagian dari proses mitigasi pada masa non-kekerasan. Contohnya termasuk membangun kepercayaan di antara tokoh masyarakat dan antarmasyarakat sendiri melalui kegiatan sosial dan budaya bersama atau pertukaran kunjungan yang mengingatkan setiap komunitas kemanusiaan yang lain.

Acara budaya yang melibatkan semua usia dan semua masyarakat dapat membantu mempererat hubungan. Mengajak orang-orang muda yang paling kritis dalam hal konflik sangatlah penting.

Namun, pemerintah daerah harus melihat berapa banyak dana yang mereka harus keluarkan untuk peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Ambon, sebelum kejadian terakhir, yang mungkin sangat sedikit. Ketika masyarakat sudah berdamai, pemerintah yakin kalau masalah sudah berakhir.

Dengan berjalannya waktu, pendanaan untuk mitigasi bencana buatan manusia dihilangkan. Dan tidak ada seorang pun akan berpendapat bahwa hanya karena gempa bumi tidak terjadi selama bertahun-tahun maka ancaman gempa besar telah pergi.

Yang pasti ini akan memperburuk efek dari gempa yang mungkin akan terjadi. Jadi, mengapa kita tidak berpikir dengan cara yang sama dengan konflik atau bencana buatan manusia secara lebih luas?

Masyarakat dan pemerintah berada dalam penyangkalan atas konflik, yang dapat kita lihat dan merupakan bagian alami dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat tidak setuju pada banyak hal. Begitu juga dengan keluarga dan individu.

Tetapi kekerasan yang berasal dari konflik adalah cerita lain sama sekali. Kekerasan tidak alami. Kekerasan membuat seseorang kehilangan anggota keluarga dan masyarakat menjadi terpisah.

Setiap orang harus mengurangi pemasalahan yang berakibat pada kekerasan komunal dengan mendukung peristiwa komunal, dengan membuka hati orang-orang untuk merayakan perbedaan alih-alih menghukum orang, keluarga, dan masyarakat karena berbeda. Perbedaan adalah rahmat.

Keith Hargreaves
, bekerja sebagai Kepala Bagian Konsultan Internasional di Strategic Asia Indonesia, salah satu perusahan konsultansi Indonesia di bidang kebijakan dan fasilitas bisnis ke bisnis di antara negara China, India and Indonesia


Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 30 September 2011

Thursday, September 29, 2011

Pendidikan Antikorupsi

-- N Mursidi

"Tujuan besar pendidikan itu bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan." (Herbert Spencer)

SUDAH tak terhitung lagi sekolah dan lembaga pendidikan di negeri ini didirikan. Juga tidak terhitung pula lulusan yang dihasilkan, seperti teknisi, menteri, hakim, polisi, tentara, dosen, guru dan sejumlah tenaga profesional bergelar Ir, MA, PhD dan bahkan profesor. Tetapi, yang menjadi persoalan, kenapa Indonesia justru kian terpuruk serta dilanda korupsi yang cukup akut dan bahkan terkesan tak bisa disembuhkan?

Terbongkarnya kasus korupsi di sejumlah lembaga, dan badan pemerintahan, telah menjadi bukti bahwa "pendidikan" di negeri ini belum mampu menjadi obat mujarab dalam pemberantasan korupsi. Padahal, bukan rahasia lagi, mereka yang melakukan korupsi rata-rata orang-orang yang berpendidikan.

Sejarah mencatat, bagaimana peranan pendidikan telah mengubah dunia dan peradaban. Maka, tidak berlebihan, kebesaran peradaban (kebudayaan) Mesir Kuno, Sumeria, India, China dan Yunani masa itu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan para pendidik yang "menggali" sumber ilmu pengetahuan dari ajaran dan risalah yang termaktub di dalam kitab-kitab suci. Nama tokoh-tokoh besar seperti; Budha, Confusius, Lao Tzu, Socrates, Plato, serta Aristoteles, dikenal sebagai orang-orang besar yang mengubah bangsa dan dunia lewat jalur pendidikan yang disebarkan kepada generasi-generasi berikutnya.

Lebih dari sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan dan kebenaran, satu hal penting yang diajarkan mereka adalah pentingnya pendidikan sebagai sarana penyadaran. Penyadaran di sini meliputi "sadar diri", sadar terhadap lingkungan, serta sadar akan makna dan tujuan hidup. Socrates dalam pengajarannya menerapkan prinsip-prinsip universal yang tidak lepas dari prinsip kebenaran, keindahan, serta kebaikan secara umum dengan tidak lupa melibatkan kesadaran anak didik. Prinsip-prinsip itu pula yang kemudian dilanjutkan oleh Plato.

Tokoh pendidikan lain yang mengumandangkan pentingnya penyadaran dari tujuan pendidikan tidak lain adalah Foerster. Dia adalah seorang pedagog yang melihat tujuan pendidikan dengan menandaskan akan arti pembentukan karakter. Karena, dengan pembentukan karakter, subyek (baca: anak didik) akan memiliki mentalitas yang kuat selain ditunjang dengan "intelektualitas" (rasio) dalam memahami sebuah masalah.

Tujuan pendidikan dari sang pedagog Foerster itu yang telah dilupakan dalam penyelenggaraan pendidikan di negara Indonesia ini sehingga korupsi tak berkurang, meski lulusan dari bangku sekolah dan Perguruan Tinggi berjibun dan bergelimang. Memang, tidak sedikit negeri ini memiliki orang yang berpengetahuan tinggi tapi anehnya toh korupsi masih tidak bisa dikendalikan. Kenapa? Karena tiadanya karakter yang kuat dalam pribadi siswa.

Penyenggaraan pendidikan kita lebih menitikberatkan "kecerdasan akal", dan mengesampingkan emosi dan karakter. Akibatnya, tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan komitmen yang tinggi pada upaya dan kesadaran dalam bertindak.

Lebih parah lagi, penyelenggaran pendidikan kemudian menjadi semacam industri. Tak pelak, kalau segalanya diukur dengan uang (materi). Alih-alih, pendidikan akan dapat menjadi ruang publik memberantas tindak korupsi, justru pendidikan bahkan "sarat muatan korupsi". Satu kenyataan yang sulit diingkari dan sudah jadi rahasia umum adalah "suap" dalam seleksi calon PNS.

Kalau pada awal seleksi, seorang guru sudah melakukan penyuapan, maka tak mustahil dalam proses belajar selanjutnya akan berlangsung keadaan yang tak sehat. Tak ayal, jika, guru kemudian ingin mengembalikan modal (suap) yang telah dikeluarkan pada awal masuk dengan menghalalkan segala cara. Praktik penjualan buku yang bisa disebut memaksa murid, manipulasi nilai rapor, menjadi calo penerimaan murid baru dan lain sebagainya.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa itu, mungkin sangat pas untuk menggambarkan potret wajah pendidikan kita. Kalau guru sudah berani menilap uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah), maka murid pun sudah barang tentu akan berperilaku lebih bobrok, semisal tawuran, nyontek, dan melakukan penyuapan bila rapornya jelek. Rapor pun bisa disulap jadi sederatan rupa yang bisa ditentukan dengan sejumlah uang yang ditawarkan.

Itulah wajah pendidikan negeri ini yang bopeng, kropos dan sarat muatan korupsi? Karena itulah, meski lulusan dari lembaga pendidikan di negara kita bertitel atau bergelar insinyur, master, doktor dan profesor, tapi korupsi toh berjalan terus. Bagaimana membuat pendidikan kita menjadi sarana penyadaran, terutama dalam memberantas korupsi?

Dengan "wajah pendidikan" kita yang buruk muka, maka sudah seharusnya digalakkan revolusi pendidikan. Apalagi, sejak reformasi bergulir di negeri ini, nyaris pendidikan tak tersentuh gerakan angin reformasi. Salah satu upaya untuk melakukan reformasi pendidikan adalah dengan menerapkan pelajaran 'antikorupsi'.

"Pendidikan antikorupsi" sudah digulirkan oleh Basuki Sugito, seorang guru di SMPK, Kudus, Jateng. Pelajaran ini tak sekedar mampu "mengebrak kurikulum", namun bahkan telah "menabuh" genderang perang melawan korupsi lewat jalur pendidikan. Tentu, "pendidikan antikorupsi" ini merupakan aplikasi lebih jauh dari tujuan pendidikan Foerster, di mana pembentukan karakter dengan memberikan penguatan komitmen, loyalitas dengan tidak menyontek, masuk sekolah "tepat waktu", disiplin dan melakukan tindakan berkepribadian baik.

Kalau pendidikan antikorupsi ini diterapkan di seluruh sekolah - sebagaimana yang telah diterapkan di negara Kamboja -, bukan mustahil, korupsi di negeri ini akan bisa dicegah sejak dini lewat jalur pendidikan.

N Mursidi, peneliti pada Pusat Kemajuan Kebudayaan Jakarta

Sumber: Suara Karya, Kamis, 29 September 2011

Masih Ada Sekolah Rusak

-- Siti Muyassarotul Hafidzoh


KASUS sekolah rusak dengan infrastruktur yang sangat terbatas layak mendapat sorotan serius masyarakat dan pemerintah. Bagaimana generasi bangsa bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik kalau infrastruktur sekolah sangat miskin, bahkan sudah banyak yang rusak.

Marilah kita menengok kondisi ruang kelas sekolah SD dan SMP yang rusak. Sebanyak 20,97% ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06%. Sampai tahun 2011, ruang kelas yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Sementara di SMP ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. (Kemendiknas, 2010).

Kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang terurai belum termasuk sekolah swasta yang tidak terdata jumlahnya. Belum lagi, sekarang banyak sekali bencana yang menerpa berbagai daerah di Indonesia. Selain mengakibatkan banyak rumah penduduk rusak berat dan ringan, juga banyak ruang kelas dan sarana pendidikan dalam kondisi memprihatinkan. Dalam konteks ruang kelas yang rusak, pemerintahan Presiden SBY sudah menjanjikan akan menyelesaikan ruang kelas yang rusak sampai batas akhir 2008. Tetapi sampai tahun 2011 ini, masih banyak sekolah yang rusak dan infratruktur yang sangat terbatas.

Intruksi Presiden pernah menetapkan perlunya pembatasan pembangunan gedung, rumah dinas dan pemangkasan biaya administrasi negara. Tetapi, fakta riil di lapangan makin banyak sekolah yang masih terabaikan, khususnya sekolah swasta. Kondisi ini tambah ganjil, karena wakil rakyat ternyata akan menikmati gedung mewah senilai Rp 1,138 triliun. Walaupun mendapat protes keras dari rakyat, tetapi pembangunan gedung wakil rakyat tetap berlangsung. Kritik rakyat hanya sekedar angin lalu saja. Wakil rakyat bukan lagi mengemban amanat rakyat, melainkan mengemban amanat kepentingan yang melekat dalam diri masing-masing dan partai politiknya.

Para pejabat negara ini ternyata mempunyai kepekaan yang rendah dalam peningkatan pendidikan bangsa. Kualitas pendidikan bangsa ini masih diabaikan demi kepentingan politik dan bisnis semata. Pendidikan hanya menjadi jargon kala elite politik sedang kampanye. Kala mereka sudah duduk di kursi kehormatan, mereka alpa bahwa kursi tersebut mereka raih dari janji-janji yang tak pernah dipenuhinya.

Kursi itu ternyata bukan kursi kehormatan, tetapi keangkuhan dan kerendahan yang dipelihara demi ambisi kekuasaan. Mereka seolah tak mengerti bahwa kesengsaraan masih diderita rakyat. Bahkan, mereka lupa bahwa dirinya wakil rakyat, bukan wakil partai politik, bukan pula wakil kepentingan kelompok sesaat.

Rendahnya kepekaan elite politik kita akibat hilangnya kepercayaan politik, sehingga terjadi skeptisisme politik. Yasraf A Piliang (2011) melihat kepercayaan politik antara rakyat dan politisi merupakan modal sosial paling penting untuk membangun kemajuan proses demokratisasi. Kepercayaan merupakan ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku reguler, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dihormati bersama.

Kemampuan sebuah negara bangsa masuk dalam jejaring pergaulan lebih kompleks bergantung kepada tingkat kepercayaan yang mampu dibangunnya. Ketika kultur yang diperlukan untuk membangun kepercayaan tak mendukung, seperti KKN, kekerasan, pemborosan uang negara, maka fondasi kepercayaan dalam sistem demokrasi akan rapuh. Kepercayaan memberikan vitalitas dan optimisme sebuah bangsa dalam membangun masa depan.

Sayang sekali, kepercayaan (trust) pemerintah-masyarakat atau masyarakat-pemerintah sekarang sudah tergerus oleh kepentingan sesaat. Satu sama lain sudah hilang kepercayaannya. Yang terjadi kemudian adalah skeptisisme berdemokrasi. Politik yang skeptis hanyalah melahirkan pesimisme, konflik, ketidakharmonisan, prasangka, dan bentuk negatif lainnya yang membuat buruk sangka satu dengan lainnya.

Ketakpercayaan, kata Yasraf, akan melahirkan kecemasan (anxiety) dan ketakpastian (insecurity), yang mengurangi kepercayaan diri dan optimisme. Kecemasan membuat masyarakat hampa dan lunglai dengan dirinya sendiri. Ketakpastian menjadikan masyarakat lahir dalam keadaan tak ada orientasi dan tujuan yang jelas.

Di tengah kekalutan demikian ini, kaum elite dan rakyat Indonesia perlu menjadi ksatria. Menjadi manusia, menurut Indra Tranggono (2011), sejatinya harus menjadi ksatria. Politikus harus berani menjadi pejuang, petarung sejati, ksatria, bukan pecundang, pialang atau makelar. Ksatria adalah mereka yang berjuang teguh dengan prinsip dan berani dengan resiko atas amanah atau tugas yang diemban. Ksatria tak mau memilih tugas, yang enak atau tidak enak, populer atau tidak populer, bergaji tinggi atau rendah, mendatangkan pujian atau cercaan. Semua yang dilakukan ksatria merupakan pilihan yang dijalankan berdasarkan keyakinan dan prinsip teguh yang dipegangnya.

Para anggota DPR, pemerintah dan rakyat Indonesia harus menjadi ksatria. Pendidikan Indonesia yang masih semmrawut sekarang ini membutuhkan para ksatria yang berani berjuang dengan teguh untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan. Karena, dari pendidikan inilah akan lahir ksatria-ksatria hebat yang akan memperjuangkan Indonesia dengan penuh kesungguhan. Sebagai 'kawah candradimuka', sekolah akan menjelma sebagai ruang penempaan yang mencetak kader bangsa yang penuh vitalitas, optimisme dan keyakinan untuk kemajuan bangsanya.

Bung Karno berkali-kali mengingatkan bangsa Indonesia bahwa 'Indonesia tidak butuh para pecundang. Pecundang hanya akan menjilat tanah airnya sendiri. Indonesia lahir untuk para ksatria yang berjuang tanpa pamrih demi Indonesia raya'.

Siti Muyassarotul Hafidzoh
, Peneliti pada program Pasca-Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Sumber: Suara Karya, Kamis, 29 September 2011

Banalitas Moral dan Binalitas Politik

-- Thomas Koten

PEMIKIRAN filsuf politik Nicolo Machiavelli tentang “politik dan moral tidak ada hubungan”, senantiasa dipertentangkan dan dibenci oleh para filsuf dan ahli politik moral. Namun di Indonesia pandangannya sangat digandrungi para politikus kita, dan dengan gamblang dipraktikkan dalam kehidupan politik.

Sepertinya, para politikus kita terkesan pula menjauhi tesis politik yang digaungkan para filsuf moral seperti Hannah Arendt, Eric Weil, atau Vittirio Hoesle yang menekankan bahwa antara politik dan moral itu, bukan saja tidak dapat dipisahkan, tetapi juga tidak boleh dipertentangkan.

Arendt, misalnya mengatakan, politik–yang berkaitan dengan kebaikan umum (bonum commune–pada dirinya mengandung bobot moral. Sementara itu, Vittorio Hoesle (1997) menegaskan, hakikatnya politik dan moral sulit dipisahkan, dan jangan pernah dipisahkan.

Kemudian Eric Weil yang selalu mengambil posisi bertentangan dengan Machiavelli, mengatakan bahwa politik merupakan suatu gerak yang mesti berangkat dari moral. Bahkan, keberadaan moral dalam politik menjadi sangat penting karena akan mengetuk nurani.

Oleh karena itu, seperti kata Vittorio Hoesle lagi, sulit dibayangkan bila politik tanpa moral. Ini karena politik menjadi bernilai dan bisa dinilai selama ada kandungan moral, sehingga seorang politikus pantas disebut politikus kalau ia bermoral.

Jadi sepatutnya seorang politikus yang tampil di hadapan publik atau di tengah masyarakat, hidupnya sesuai dengan nilai-nilai moral. Ini karena dimensi moral harus merupakan dasar rasionalitas praksis politiknya.

Nafsu Materi dan Kekuasaan

Celakanya, para politikus kita selalu menjauhkan moral dari praksis politiknya, dan tak pernah mendasarkan visi dan misi pada postulat moral. Itu bisa dilihat dari berbagai indikasi keterlibatan mereka dalam kasus suap, korupsi, politik uang, senang berpelesiran ke luar negeri, dan lain-lain.

Kesemuanya sungguh mempertontonkan kerja politik seperti pasar yang sekadar meraup untung secara material. Pemilu pun tidak lebih sebagai pasar tumpah kekuasaan. Banyak tontonan pembodohan yang mereka perlihatkan.

Dengan pembodohan-pembodohan politik yang dipertontonkan itu, para politikus mengalihkan perhatian publik yang sungguh tahu bahwa politik itu tidak lain memberikan pencerdasan bagi masyarakat dan menyejahterakan rakyat lewat pelayanannya.

Tragisnya, para politikus kita tidak pernah memiliki motif pelayanan dalam berpolitik sebagai wujud keluhuran politik, sekaligus etika politik tertinggi. Tulis Harry Truman, “Politik–politik luhur–adalah pelayanan publik.

Tidak ada kehidupan atau pekerjaan tempat manusia menemukan peluang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik dan bermartabat.”

Praksis politik yang mengesampingkan pelayanan publik, hakikatnya mengekspresikan sebuah banalitas moral dalam politik. Banalitas moral, yaitu praksis yang tidak secara sungguh memerhatikan nilai-nilai moral.

Banalitas moral politik berarti politik menjadi dangkal, sia-sia. Politik yang hanya mengobarkan pencitraan juga masuk dalam kategori ini, karena itu semua bernilai rendah, banal, dan tidak esensial.

Mengapa? Karena tatkala politik yang hanya mengedepankan pencitraan, mempertontokan pesona diri, dengan mengeksploitasi berbagai fetisisme, untuk memenuhi hasrat rendah (desire) manusia, seperti materi dan kekuasaan yang bersifat pragmatis-temporal, hanya demi penyenangkan rakyat dan melenggangkan citra kekuasaan, sesungguhnya itu hanya menghasilkan model-model politik atau wujud-wujud politik yang mengandung banalitas moral politik.

Banalitas moral politik (banality of politics morals) telah menciptakan wajah politik atau ruang-ruang publik politik yang dipenuhi segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal, dan tidak populer dus tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Untuk itu, terjadilah kekerdilan politik karena rakyat tidak dibimbing menuju kecerdasan dan kesejahteraannya.

Pengagungan politik pencitraan dan ditambah lagi dengan watak dan perilaku korupsi dan suap yang selalu dipertontonkan itu, membuat politik kita di negeri ini bukan saja banal, tetapi juga binal-jahat dan kejam.

Binal atau jahat karena politik tidak hanya rakus uang dan kuasa, tetapi juga penuh nafsu. Menyitir Bony Hargens, terungkapnya perilaku mesum di DPR atau di kalangan politikus adalah kemerosotan politik.

Ini tidak hanya ditandai banality of politics, tetapi juga oleh banalitas yang mendekatkan manusia pada hakikat alamiahnya sebagai homo sexus.

Politikus yang tidak menyadari ciri banal dan binal-jahat, dengan kejahatan politik yang mereka lakonkan, tetapi malah kerap menggeser pornoaksi dari ranah moral ke politik praktis, sungguh jelas merendahkan marbatat politik dan menisbikan prinsip moralitas dalam politik.

Perilaku politik berkadar moral rendah, dibarengi korupsi dan suap serta semuanya berjalan secara sistematis di tataran elite politik hingga ke lapisan masyarakat bawah secara berjemaah.

Hal ini membenarkan apa yang dikatakan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil). Adalah suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala masif, dipraktikkan sebagai sesuatu yang otomatis, sistematis, hampir sama sekali tidak memperlihatkan rasa bersalah.

Itulah suatu kondisi binal yang disebut Arendt sebagai the desert world. Suatu tatanan di mana hampir semua unsurnya tidak mampu lagi meratapi dan melawan penyelewengan dan kejahatan terhadap esensi politik, seperti pelayanan atau pengabdian. Pertanyaan, bagaimana menjelaskannya lebih lanjut? Dan bagaimana kita dapat keluar dari kejahatan politik itu?

Masa Depan Politik Pangsa

Terasa sangat sulit keluar dari kejahatan politik–binalitas politik, karena kejahatan politik itu sudah berjalan secara sistematis, dengan balutan kerahasiaan kejahatan tersendiri. Ini karena kerahasiaan kolektif memungkinkan suatu kelompok mengikat kelompok lainnya untuk saling menutupi kesalahan.

Dengan kata lain, karena defisit moral pribadi itu berjalan secara general-kolektif, akan sulit mengurai dan menghapus kejahatan politik itu. Para pemimpin politik sendiri yang diharapkan menjadi teladan dan dapat membersihkan kejahatan politik justru menjadi pelaku kejahatan itu, dengan egoisme dan ketamakan.

Untuk itu, apa yang harus dilakukan? Masa depan politik kebangsaan akan terus menjadi suram jika pemimpin politik menanggalkan sensitivitas moral dari proses penyelenggaraannya, dengan terus merakit kehidupan moral yang banal.

Hanya saja dalam situasi ini kita masih mengharapkan munculnya kepekaan etis untuk mengutamakan hajat hidup orang banyak di atas pamrih kekuasaan individu maupun kelompok, sambil terus berusaha mengedepankan atau menjalankan kekuasaan secara jujur, tulus, dan bertanggung jawab.

Harapan ini tentu sangat sulit realisasinya, tetapi kita toh tetap yakin bahwa kebaikan itu cepat atau lambat akan muncul, entah lewat pemimpin politik yang mana.

Itu lantaran kita yakin pula tidak ada seorang pun di negeri ini yang ingin membiarkan proses pembusukan itu terus berjalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, hingga negeri ini tertiarap, lalu terbujur kaku dan mati.

Thomas Koten, Direktur Social Development Center.


Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 29 September 2011

Wednesday, September 28, 2011

Bom dan Gejala Heterofobia?

-- Satrio Wahono

INDONESIA kembali berduka! Setelah sekian lama terpukau melihat keberhasilan aparat penegak hukum menggulung jejaring-jejaring terorisme berkedok agama, kini muncul kembali bom bermotifkan sama. Sasarannya kali ini, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Ledakan bom bunuh diri itu terjadi usai para jemaat menyelesaikan kebaktian kedua pada Minggu sekitar pukul 11.00 WIB, menewaskan pelaku dan melukai tak kurang dari 22 orang yang sedang melaksanakan ibadah di sana.

Tak pelak, ini merupakan tamparan serius yang kesekian kali bagi ikhtiar kita merajut kembali jejaring kerukunan antarumat beragama yang telah begitu koyak sepanjang perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, di samping mengusut tuntas jejaring teroris mana yang bermain dalam tragedi ini, kita perlu pula menelisik akar filosofis di balik maraknya kembali aksi pemboman yang menyasar tempat-tempat ibadah.

Sejatinya, tak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Hanya saja, setiap agama tak pelak memiliki klaim akan kebenaran universalnya (claim to universal truth) sendiri. Dari sinilah, muncul kemungkinan konflik dan persepsi permusuhan kepada agama lain.

Apabila klaim ini kemudian mengeras (reified) lewat pendidikan nilai-nilai agama yang sektarian, eksklusif, sempit, dan menakut-nakuti, maka akan timbul identitas khas kelompok yang merasa diri paling benar. Untuk menegaskan identitas itu, mereka merasa harus memosisikan diri secara diametral dengan pihak lain, termasuk kaum beragama di luar agama mereka.

Dengan kata lain, pandangan keagamaan yang sektarian pada hakikatnya mengidap gejala penyakit heterofobia. Yaitu, gejala atau suasana mental-kejiwaan yang merasa takut (fobia) terhadap ancaman pihak yang berbeda (hetero) terhadap eksistensi mereka. Nah, demi menepis rasa ketakutan itu, para pengidap heterofobia ini biasanya akan berusaha menghancurkan pihak yang berbeda itu. Ringkasnya, mereka berusaha menghancurkan objek yang menimbulkan rasa takut mereka supaya objek itu tidak terlebih dahulu menghancurkan mereka.
Adapun pangkal dari heterofobia bisa bermacam-macam.

Pertama, aspek ekonomi. Kondisi ekonomi yang kian menghimpit dapat membuat massa akar-rumput (grass roots) rentan sebagai sasaran rekrutan para ideolog radikal. Pasalnya, kondisi kepapaan ekonomi membuat orang merasa rendah diri (inferior) dan bersikap penuh curiga terhadap orang lain. Artinya, kondisi inferioritas ekonomi berujung pada rasa kepercayaan diri yang rendah (low self-esteem) dalam diri seseorang.

Pada gilirannya, orang-orang seperti ini akan menjadi laksana pengembara kehausan yang mendapatkan air tatkala menemukan satu bentuk ideologi yang menjanjikan dunia alternatif utopis nan indah seperti surga. Meskipun, 'harga tiket' yang harus dibayar demikian mahal berupa aksi jihad menyempal beraroma kekerasan seperti pemboman bunuh diri.

Kedua, aspek pendidikan. Selama ini pendidikan agama selalu menekankan pada kekhasan klaim atau pengakuan kebenaran masing-masing agama. Memang ini tidak salah karena akan menghalau bahaya relativisme agama di mana semua agama dianggap benar atau sama saja.

Hanya saja, proses sosialisasi pendakuan ini selalu menengok ke dalam (inwardly looking), bukannya sesekali menengok ke luar (outwardly looking). Maksudnya, proses sosialisasi dan pendidikan agama itu melulu bersibuk pada 'kehebatan' ajaran masing-masing agama seraya menafikan bahwa agama lain juga memiliki kekayaan nilai dan etik yang sepatutnya dihormati.

Alhasil, proses seperti ini menyuburkan intoleransi dan mengobarkan semangat paling benar sendiri. Sehingga, menyitir filsuf eksistensialis Emmanuel Levinas, Yang Lain dianggap tak berwajah sehingga dia layak ditindas dan dihancurkan.

Berbekal analisis di atas, sekurangnya ada dua solusi yang berfokus pada dua hulu soal heterofobia.

Pertama, negara sedari sekarang sudah harus mewujudkan program-program perbaikan ekonomi yang lebih konkret dengan efeknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, negara mesti mewujudkan program-program sosial dasar seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), akses kredit mudah, perumahan murah, dan pendidikan terjangkau. Juga, menciptakan proyek-proyek padat karya, contohnya proyek infrastruktur, yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sehingga, mayoritas masyarakat dapat merasa diri mereka lebih bermartabat dan penuh percaya diri.

Kedua, institusi pendidikan kita seyogianya mulai mengkaji kemungkinan mengajarkan apa yang disebut etika global atau global ethics oleh filsuf terkemuka Hans K|ng. Yakni, etika yang mengambil inspirasi dari nilai-nilai etik luhur berbagai sumber, termasuk berbagai agama. Ini bukan berarti etika global merupakan agama baru. Sebaliknya, etika global hanyalah sebuah filsafat moral praktis yang memberikan ruang bagi terjadinya dialog antarsumber etik, termasuk antaragama.

Dengan pelajaran etika global, siswa dan juga kita semua akan mendapatkan wadah untuk belajar memahami bahwa semua agama memiliki energi etik yang sama-sama bisa dimanfaatkan untuk mengatasi isu-isu global, semisal masalah lingkungan, korupsi, terorisme, dan sebagainya. Pada gilirannya, ini akan berbuah pada sikap toleransi dan saling menghormati antaragama tanpa perlu terjerumus ke dalam relativisme agama.

Dengan begitu, semoga kita tidak perlu menyaksikan bumi Pertiwi menangis kembali karena ulah segelintir orang yang mengatasnamakan versi kebenarannya sendiri! Sebab, mengutip tokoh kemanusiaan Mahatma Gandhi, pada hakikatnya semua manusia adalah bersaudara.

Satrio Wahono, sosiolog, Magister Filsafat UI

Sumber: Suara Karya, Rabu, 28 September 2011

Tuesday, September 27, 2011

Jihad dan Ideologi Teroris

-- Moh Kholil Aziz

JIHAD merupakan istilah yang dihubungkan dengan perjuangan moral (dan kadang-kadang dengan senjata), dan bentuk umum dari oposisi fundamentalis terhadap para penganut modernitas untuk melawan orang-orang yang dianggap tidak beriman. Jihad merupakan sebuah metafor perjuangan anti-Barat dan anti-universalis. Semua diperjuangkan orang-orang militan dan fundamentalisme sebagai perjuangan permanen. Mereka adalah militan, apakah itu dalam penggunaan kata-kata dan ide atau surat tuntutan, atau dalam kasus ekstrem adalah 'peluru'.

Mereka berjuang melawan masa kini atas nama masa lalu. Mereka memperjuangkan konsepsi dunia agama melawan sekularisme. Mereka berjuang dengan senjata apa pun, kadang-kadang meminjam dari lawan, memilih senjata dengan hati-hati agar tidak ketahuan identitasnya. Mereka merasa berjuang melawan pelaku kecurangan dengan menganggap berada di bawah lindungan Tuhan. Karena, mereka juga berasumsi bahwa perjuangan mereka suci, sehingga merasa tidak akan kalah walaupun belum dimenangkan.

Jihad selalu dianggap sebagai perjuangan suci melawan kekufuran. Menghalalkan pembunuhan atas musuh-musuh mereka. Ini merupakan perang besar atas budaya dan nilai-nilai berlandaskan ideologi masing-masing dalam memandang realitas kehidupan. Pelestarian ideologi dan moralitas ini tidak mempunyai pilihan lain, selain peperangan untuk mengamankan masa depan agar kembali seperti masa lalu.

Masa depan seperti masa lalu yang anti-pluralis, monokultur, dan mempesona dalam pandangan mereka. Masa depan dengan nilai-nilai homogen yang mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan sesuai tatanan dan menjalani kehidupan yang sederhana. Meski, terkadang harus dengan jalan kekerasan/ teror.

Kemudian, kelompok minoritas ini membentuk komunitas yang dianggap teroris dengan ideologi dasar fundamentalisme dan terorisme. Menurut John Hamling dalam The Mind of the Suicide Bomber (Kompas, 2004), kekerasan yang terkait dengan terorisme bisa didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya meliputi faktor-faktor sebagai berikut.

Cinta, demi cinta orang bisa mengorbankan hidupnya. Heroisme (kepahlawanan), hal yang bisa terjadi dalam kasus peperangan di mana orang rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan yang lain.

Keputusasaan atau kehilangan harapan

Kegilaan, bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (gila) yang merupakan bagian dari ritus supernatural karena kematian tidak bisa dielakkan dan bersifat sementara. Lainnya, adalah eskapisme, bahwa kematian kadang dilihat sebagai upaya berlari menghindar dari kenyataan. Kebanggaan, yang berarti bahwa seseorang bisa melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti.

Ketenangan dan ketenteraman, yakni pengorbanan diri merupakan tindakan syahid dan religius untuk mendapatkan kebahagiaan, dan fanatisme, suatu sistem kepercayaan yang kaku, sempit, dan keras bisa menuntut penganutnya melakukan bunuh diri untuk sebuah "perjuangan".

Jika mencermati pandangan John Hamling di atas, pergerakan teror selama ini erat kaitannya dengan mindset atau ideologi pemikiran. Oleh karena itu, di samping aspek penegakan hukum, perang melawan terorisme harus juga dilakukan dengan melemahkan dan mematikan mindset atau ideologi terorisme.

Ideologi terorisme melihat kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuannya, zaman modern diartikan sebagai ladang jihad dan masa perang. Ideologi ini selalu dilestarikan dalam pikiran sekelompok teroris, yang kemudian membentuk sikap, dan pada akhirnya menjadi sebuah perilaku (aksi teror) yang menghalalkan segala bentuk kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Fanatisme yang dibangun dari akar fundamentalisme mempunyai catatan buruk dalam sejarah sejak digaungkannya jihad dalam memerangi komunisme Uni Soviet oleh Amerika Serikat, Pakistan dan Arab Saudi. Sejak saat itu, jihad dan mati syahid mulai disalah-fahami dalam ideologi mereka, yaitu jihad yang memperbolehkan membunuh anak-anak, perempuan dan ratusan orang tidak bersalah kendati tidak berkaitan dengan misi mereka.

Tak tanggung-tanggung, jargon mereka "kembali ke Al-Qur'an dan Al-Hadits" dengan semangat fundamentalisme yang sangat eksklusif, menutup diri, rigid, anti-dialog, dan menutup penggunaan rasio dalam masalah agama. Sehingga tercipta ideologi kaku seperti katak dalam tempurung. Akibatnya, terjadi kemiskinan intelektual. Paket Islam yang mereka kenal berputar dalam arena fikih dan teologi semata. Mereka dengan mudah mencap dan melabeli kolompok lain seperti, haram, bid'ah, dan kafir. Hal ini diakibatkan oleh karena mereka serba eksklusif dan tidak mau menimba ilmu kekayaan tradisi dan khazanah keislaman yang melimpah.

Teologi dan ideologi semacam ini masih terus mereka pertahankan dan mengendap di balik kecenderungan fundamentalisme-konservatif di kalangan kaum teroris. Konservatifisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan paripurna.

Maka, dalam memberantas terorisme harus dimulai dengan penegakan hukum yang tegas, menelusuri akar ideologi terorisme dan membasminya. Bila tidak demikian, terorisme tidak akan pernah selesai walaupun sudah ratusan atau bahkan ribuan teroris ditangkap dan ditembak mati oleh polisi.

Moh Kholil Aziz, Ketua Forum Studi Teologi Islam (Forstis), Surabaya

Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011

Membangun Manajemen Antikekerasan

-- Thomas Koten

BERDASARKAN teori terorisme, ada begitu banyak latar belakang lahirnya terorisme, seperti ekonomi, sosial dan politik. Yang paling banyak, menurut Michael Foucault dan Derrida, adalah terorisme berlatar belakang politik. Karena itu, dikatakannya, terorisme merupakan pesan ekstrem dari kalangan sindikat anarkisme sosial dan politik di tengah krisis ekonomi dan politik dengan menghalalkan segala cara.

Khususnya, terorisme berlatar belakang politik, umumnya bertolak dari persaingan politik, dendam politik atau sebagai cermin ketiadaan demokrasi akibat dari pemerintahan yang represif. Artinya, pemerintahan yang represif dapat menggiring masyarakat ke arah kehidupan yang tanpa perdamaian. Kedamaian dan ketenteraman di bawah pemerintahan yang represif, kerap dikatakan hanyalah semu atau sekadar kamuflase. Karena, di dalam pemerintahan yang represif, tidak tumbuh dialog, keterbukaan dan toleransi yang substansial. Yang ada adalah ketenangan yang dibungkus kecurigaan.

Karena itu, muncullah opini bahwa demokrasi harus dibangun, tetapi harus lebih dulu melenyapkan pemerintahan otoriter yang represif agar kedamaian esensial dapat tercipta di tengah masyarakat. Ternyata, meskipun pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoriter itu rontok dan demokrasi pun sudah sekian lama dibangun, tetapi terorisme terus saja tumbuh dengan aksi teror bom yang tanpa henti.

Ironisnya, persaingan dalam perebutan kekuasaan yang terbungkus ambisi pribadi, kerap mencipakan konflik internal dan tak jarang melahirkan aksi terorisme. Belum lagi, aksi terorisme yang kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Dan, sebenarnya dengan terus menerus terjadinya aksi terorisme itu, bangsa ini terutama para aparat keamanan negara sudah berpengalaman dalam mencegah atau mengatasinya. Namun, mengapa para aparat keamanan negara selalu kecolongan? Atau, apakah terorisme itu dilakukan oleh negara untuk maksud tertentu?

Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan mengatakan bahwa bangsa ini, terutama aparat negara belum memiliki manajemen antikekerasan. Padahal, sebagai sebuah negara besar dan sangat majemuk serta demokratis, bangunan manajemen antikekerasan yang membingkai demokrasi, merupakan sesuatu yang mutlak dibangun, supaya terorisme mudah dicegah, aksi kekerasan dapat diantisipasi, demokrasi substansif dapat tercipta dan kedamaian dapat terbangun di negeri ini.

Masalahnya, partai politik yang salah satu tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan ikut menciptakan ketenangan politik, ternyata dalam realitasnya juga hanya menjadi jembatan ambisius pragmatis untuk meraih dan merengkuh kekuasaan. Ambisi politik yang tidak terkirakan untuk menang dalam perebutan kekuasaan, menyeret para politisinya ke sikap fanatisme sempit, sehingga kadang-kadang orang pun curiga jangan-jangan aksi kekerasan atau terorisme yang terjadi selama ini, ada juga keterlibatan unsur-unsur politik.

Di samping itu, para agamawan yang diharapkan menciptakan ketenangan di kalangan umat, kerap juga menjadi obor pembakar emosi masyarakat yang kemudian melahirkan kekerasan berlatar belakang agama itu. Agama-agama yang sesungguhnya sangat mencintai perdamaian, akhirnya tercoreng wajahnya dan berubah menjadi agama-agama berwajah kekerasan. Umat beragama yang sangat mencintai perdamaian dan toleransi serta ingin hidup tenteram pun terus terusik, tidak berdaya dan hanya menggerutu.

Dengan demikian, mimpi rakyat untuk tercipta budaya damai, dengan praksis kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang bermartabat, hanyalah terpahat di dinding kosong tanpa makna. Kita pun hanya bertanya, apakah keadaan seperti ini terus dibiarkan tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah terorisme dan kekerasan serta menciptakan perdamaian sejati menuju masyarakat dan bangsa yang berkeadaban?

Teologi Anti-kekerasan

Untuk mencegah munculnya aksi terorisme atau kekerasan lainnya, maka sangat diperlukan suatu bangunan 'teologi antikekerasan'. Sebuah bangunan teologi yang senantiasa menghargai kehidupan dalam diri setiap insan di dunia. Teologi yang dibangun dengan mengemban aksi dialog, aksi solidaritas, sekaligus mempersempit ruang kesalahpahaman, iri dan dengki yang kesemuanya telah menjadi sumber kekerasan dan pemicu aksi teror.

Dialog dan solidaritas sebagai wadah teologi antikekerasan ini mesti diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan, yang sekaligus mencerminkan kuatnya 'teologi baru' yang bisa menggiring masyarakat plural yang memiliki aneka kepentingan berbeda kepada suatu kehidupan bersama yang damai dan beradab. Sebuah teologi antikekerasan yang terus menerus dikembangkan untuk menciptakan perdamaian yang menyeluruh. Teologi antikekerasan ini juga diserap masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat seluruhnya dan menyenyawa dalam dimensi kehidupan ekonomi, sosial dan politik agar tercipta aneka kehidupan yang damai.

Teologi antikekerasan menjadi penting, karena dengan teologi ini, kekerasan ditempatkan dalam bingkai religius, yaitu terbangunnya keharmonisan dan keselarasan yang bebas dari kekerasan. Dan, teologi antikekerasan juga dijadikan sebagai tantangan untuk mewujudkan utopia iman dalam dialektika dengan realitas kekerasan dan kejahatan politik, bahkan juga ekonomi dan sosial. Karena, di dalam teologi antikekerasan itu juga hakikatnya tersembul utopia-profetisme iman yang terus membawa pesan perdamaian dalam setiap lini kehidupan, terutama lini politik yang senantiasa memperanakkan terorisme. ***

Thomas Koten, seorang sarjana filsasat dan teologi, Direktur Social and Development Center

Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011

Sunday, September 25, 2011

Sastra Biner

-- Beni Setia

DUA tahunan yang lalu, seorang teman dari temannya temanku meneruskan SMS dari seorang kawan dari kawannya temanku itu, bunyinya sederhana sekali: “Akhirnya saya memutuskan menolak tawaran ikut UK Intl. Literary Biennale 2009".

TIDAK ada yang istimewa dari SMS yang diterima pertengahan Maret ini, selain seseorang tak nyaman atau tak bisa hadir pada satu acara, dan karenanya ia menolak undangan buat berpartisipasi dalam acara itu.

Wajar—setidaknya dari sistem nilai Barat yang mengutamakan kebebasan dalam payung laissez faire. Secara proporsi: Bukankah si undangan itu hanya harapan untuk ikut dan berpartisipasi, karena si pihak pengundang menempatkan sang terundang di posisi yang lebih tinggi—sesuai dengan kerja kurasi pemilihan—, dan karenanya ia siap kalau ditolak karena pihak sang terundang tidak sempat atau punya keberatan. Selesai. Dan jaring relasi antara mereka seharusnya tetap aman. Komunikasi seharusnya tetap OK—tak perlu dibebani oleh sikap ewuh-pakewuh yang sangat Timur.

Celakanya, sesuatu yang seharusnya eksklusif hanya ada di antara pihak terkait itu mendadak menjadi rahasia umum, memasuki wilayah publik karena si teman dari kanca kawannya temanku itu mengirimkan SMS antara "sahabat" itu pada sembarang orang. Ini mungkin bersikaitan dengan eksistensi pola berkubu dan perkubuan yang saat itu sedang mengutub, terbentuk dan menguat dalam khazanah sastra—lebih tepatnya: elite sastrawan—Indonesia. Oleh sebab itu, hal yang wajar dan personal itu mendadak mendapat penguatan—politisasi—, demi mengekalkan adanya gejala peretakan, penentangan, dan peperangan demi hegemoni.

Sekaligus muncul fenomena mengerikan ketika satu persaingan berubah menjadi pertentangan dan peperangan semi-terbuka, yakni terjadinya pengerasan sikap fanatik, yang memanjakan instink fundamentalistik dengan selalu memisahkan segala hal ke dua kutub yang bersihadapan—aku dan kau, kami dan mereka. Semua dipersihadapkan agar sesegera mungkin saling meniadakan—seperti asumsi emansipatorik pertentangan kelas ciptaan Karl Mark—, dan karenanya semunya hidup dalam logika biner—ya atau tidak, kau atau aku, serta kami dan mereka. Logika primordial, yang primitif tapi tetap asyik kala ada dipakai buat mengertak dalam rangka memilih teman dan mengisolasi musuh—yang dilakukan George W. Bush sebelum menyerbu Afghanistan dan Irak.

***



KETIKA logika biner diadaptasi dan dioperasionalkan di dalam khazanah sastra (Indonesia), yang terjadi adalah pemilahan kawan dan lawan, lantas bergerak ke konteks si kreator apa dan bersimain di tataran konsep kreasi serta trend karya macam apa—seperti ide sastra wangi yang diperhadapkan dengan kesalehan dan motalitas itu. Opini dilancarkan agar di satu saat semua orang (seperti) melakukan kesepakatan buat menolak dan menghujat, tapi tidak beranjak buat lebih cerdas dengan suntuk menguji konsep kreatif, ide estetik, model ekspresi, dan landasan filosofi yang ditolaknya. Dan karenanya tak beranjak untuk menajamkan penetangan dengan karya alternatif dengan menghadirkan tema dan cara ungkap yang orsinil, yang kemudian terjadi malah hanya pelabelan dan penggadangan pada individu kreator tertentu dengan tidak terlalu peduli pada pencapaian kualitas karya.

Tidak lagi penting aspek kenapa A ditulis dari sudut ini sehingga efek XXX itu muncul, dan masyarakat tersesat dalam aroma XXX tanpa bisa sampai pada substansi aspek engagement penghadiran A secara khas sehingga ada efek XXX. Tidak peduli kalau XXX itu sampiran untuk manifesto individual atau semikomunitas dari diskusi dan bacaan yang pro-E yang sengaja dijadikan isi. Dan kritik sastra menjadi sangat tak sehat. Bahkan ayat UU Anti-Pornografi pun diakomodasi dengan penerapan yang amat bertendens, atas dasar instink agresif biner—tidak berlandaskan (janji) potensi liberal: harus dan wajib diberikan kesempatan buat memperdebatkan apa yang dikandungnya. Adaptasi UU Anti-Pornografi menjadi tak bersifat hukum tapi teramat agamawi, bersifat imanah tanpa ada toleransi dan kemungkinan untuk dialog.

Mutlak biner dengan menarik garis tegas: Kalau tak sepaham, tidak seiman, kalau tak tunduk, termasuk ingkar, dan kalau masih terus milih ingkar, bisa diperangi atas nama jihad fi sabilillah—kami memerangi bukan karena kebencian tapi karena sayang ingin menyelamatkan, sekaligus kami berani memberikan hidup, darah, dan nyawa kami karena peperangan ini membuka gerbang kesahidan yang dijanjikan.

Pendekatan agamawi yang tegas menempatkan: kalian bersama Dajjal, kami bersama Allah swt.—sebagai kafilah yang dipimpin (nabi). Bahkan bila di dunia ini tetap tidak patuh dan tidak sempat terhukum, di akhirat kalian akan kekal menderita—demi menghindari itu kami sekuat tenaga menyadarkan kalian dengan pedang.

***

PADAHAL logika dan praktek apresiasi—sebagai kemungkinan yang diabaikan logika sastra biner—selalu menghadirkan ruang di antara dinding benar menurut tafsir apresiasi dan dinding salah secara tafsir apresiasi. Sesuatu yang tidak dipertentangkan tapi didiskusikan. Sebuah wilayah kelabu di mana setiap orang bebas berpendapat dan menyatakan tindakan penafsiran lanjutan dengan menjauhi dinding mutlak tidak benar dan absolut benar. Karenanya apresiasi melegalkan keberadaan ruang arbitrasi, sebuah diskursus pengadilan, di mana pihak yang mencoba menarik setiap teks ke dinding tak benar mau ikut saat diajak pihak yang menariknya ke dinding benar. Adaptatif.

Pengayoman objektivitas membuat tafsir biner agamawi terurai, ruang arbitrasi terbentuk, dan dialog membuat energi ngotot penghukuman mereka di tegal diskursus. Celakanya logika polemik (sastra) biner yang menjerat dalam fanatisme agamawi itu, telah dianggap wajar dan bahkan seharusnya—agar energi peretakan, penentangan, dan peperangan di antara kelompok sastrawan menguat. Tapi apakah di dunia susastra ada pujangga nomor satu mengikuti fakta ilmu silat yang memang cuma ada memiliki satu pendekar dan seribu korban? Tidak peduli sejak tiga puluh tahunan lebih Emha Ainun Najib nyaris sepakat dengan bilang, "Cuma diperlukan satu Chairil Anwar untuk nisan sekian penyair gagal."

Tak salah bila tiba-tiba saya merasa ada yang tak proporsional dari hiruk pikuk sastra Indonesia terkini—kegaduhan tanpa diskursus yang tidak memperkaya konsep sastra dan munculnya kreasi alternatif. Hiruk pikuk di tataran personal—bukan ide. n

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 September 2011

[Buku] Gagasan Besar yang Remuk Redam

Judul : Taman Api

Pengarang: Yonathan Rahardjo

Penerbit : Pustaka Alvabet

Cetakan : I, Mei 2011

Tebal : 216 hlm


GAGASAN besar acap lebih menggoda pengarang untuk diketengahkan ketimbang peristiwa-peristiwa kecil. Padahal gagasan besar mempunyai banyak risiko kegagalan jika tidak didukung perangkat yang cukup untuk mewujudkannya. Inilah yang terjadi dengan novel Taman Api garapan Yonathan Rahardjo.

Novel ini mengangkat kisah kaum minoritas seksual, khususnya banci. Novel yang mengusung tema tentang kaum minoritas seksual (LGBT: lesbian, gay, biseksual, dan transgender) memang sudah banyak ditulis. Terutama tentang percintaan sesama jenis, seperti Lelaki Terindah (lelaki dengan lelaki) karya Andrei Aksana dan Garis Tepi Seorang Lesbian besutan Herlinatiens (perempuan dengan perempuan)—untuk menyebut dua judul yang paling populer.

Namun, tentang banci, waria, dan kompleksitas persoalan yang menelikung kaum tersebut, rasanya masih langka. Banci, dalam novel Taman Api merupakan sumbu yang meletupkan kisah yang lebih luas, menyeret wilayah agama, bisnis busuk sekelompok dokter bedah kelamin, kebengisan Polisi Pamong Praja terhadap komunitas banci, sampai penjaja obat kecantikan.

Diceritakan, di sebuah negeri bernama Tanah Air, sindikat kelompok dokter pimpinan Dokter Shahrul, seorang dokter ahli bedah kelamin, dengan memanfaatkan kesatuan Polisi Pamong Praja dan kelompok agama garis keras, melakukan pemberantasan waria yang mangkal di taman-taman kota.

Mereka menangkapi waria, menginterogasi, dan mengedukasi mereka tentang virus HIV—penyebab penyakit AIDS, dan penyebarannya. Tidak hanya itu, sindikasi dokter ini kemudian membius mereka dan mengoperasi secara massal kelamin para waria tersebut menjadi wanita sempurna. Untuk mencapai tujuannya mereka menciptakan chip multifungsi yang dieksperimentasikan di dalam tubuh para banci melalui operasi kelamin. Chip ini mampu mempercepat pengubahan sifat maskulinitas ke femininitas, memonitor pergerakan tubuh, dan merekam pembicaraan. Seluruh data kirim melalui satelit dengan sistem komputerisasi. Melalui chip itu pula mereka akan mendapatkan data perkembangan penyebaran virus HIV. Berdasar data ini, mereka punya alasan kuat memberantas banci layaknya penyakit.

Di sisi lain, ada Dokter Ranto, seorang ahli bedah kelamin juga. Ia menjalankan bisnis penjualan banci elite ke luar negeri. Untuk menjalankan bisnisnya ia memperalat Tari, dengan menjadikan waria kelas menengah itu istrinya. Dibantu Tari, Dokter Ranto mencari banci tercantik yang belum melakukan operasi kelamin. Tari yang tanpa sadar diperalat Ranto berjuang membela hak-hak kaum waria yang sering diperlakukan tidak adil melalui pembentukan asosiasi banci. Ada pula tokoh Reta, seorang pengusaha salon yang melakukan praktek penyuntikan silikon cair ilegal yang merupakan kekasih Dokter Ranto.

Namun, dalam sebuah kejadian tidak disengaja, Priyatna, penjaja obat (medical representatif) yang diam-diam juga seorang tranvestite membongkar semua persekongkolan tersebut. Operasi kelamin massal terhadap waria jalanan dilaporkan ke polisi oleh asosiasi para banci yang didampingi Dokter Ranto. Reta kemudian kabur lantaran praktek suntik silikon cair yang dilakukannya menewaskan seorang banci. Kasus ini tak ayal menyeret Dokter Sahrul, karena dialah pemasok silikon cair ilegal.

Begitulah ringkasan novel Taman Api. Begitu kompleks dan penuh gagasan besar. Namun, sayangnya novel kedua Yonathan Rahardjo, novelis yang juga dokter hewan yang pernah memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta lewat novel Lanang (2006) ini, kurang berhasil—untuk tidak mengatakan gagal—mengeksekusi gagasan besar tersebut menjadi novel yang padu dan enak dinikmati.

Penyajian secara filmis yang digunakan sebagai strategi bertutur, alih-alih mengantarkan pembaca mendapatkan visualisasi rentetan adegan dramatis serta gambaran karakter tokoh-tokohnya secara detail dan bernyawa, yang terjadi justru mengganggu kenikmatan pembaca mengikuti kisah. Penuturan terasa tersendat dan terjadi pengulangan saat menjelaskan identitas tokoh-tokohnya. Pengulangan yang sangat mengganggu juga terjadi dalam adegan saat kelompok dokter mengedukasi para waria perihal penyebaran virus HIV dan gejala-gejalanya, (hal 81-83).

Atmosfer dunia kaum banci yang antara lain ditandai melalui cara mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sangat khas milik mereka, nyaris tidak berbekas. Dialog yang terjadi antarmereka terdengar kaku dengan menggunakan kata-kata bahasa Indonesia yang sempurna. Sehingga gagasan besar akhirnya berhenti menjadi sekadar gagasan. Bahkan kemudian menelan kepedihan nasib kaum waria yang semula hendak diusungnya. Pengarang gagal menarik khalayak pembaca berempati pada nasib kaum waria yang terdiskriminasi. Di titik ini terlihat minimnya bekal pengetahuan yang dimiliki pengarang tentang dunia waria.

Akan lebih menarik kiranya jika Yonathan lebih fokus mengeksplorasi pergulatan kejiwaan kaum waria melalui peristiwa-peristiwa sederhana keseharian mereka. Ketimbang mengusung gagasan besar, tapi berakhir remuk redam.

Aris Kurniawan
, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 September 2011

Saturday, September 24, 2011

Teater IKJ Berani Tampilkan "BOM" ke Shanghai

-- Linda Sarmili

TEATER IKJ bawa "BOM" ke Shanghai Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta akan mengusung cerita BOM ("BOMB") yang dilhami cerita pendek karya sastrawan terkemuka Indonesia Putu Wijaya ke Shanghai, China dalam rangka mengikuti sebuah festival internasional.

Festival yang bertajuk "6th International Experimental Theatre Festival" itu akan berlangsung sepekan, 23-30 September 2011."Ini adalah ajang bergengsi bagi jurusan teater IKJ di dunia internasional," kata pemimpin rombongan keberangkatan IKJ, Egy Massadiah.

The International Experimental theatre Festival diselenggarakan Shanghai Theatre Academy sejak tahun 2001. Sejak digelarnya, festival ini menarik perhatian luas dari berbagai penggiat dan pengamat teater dari berbagai negara, seperti Jerman, Kanada, Jepang, Norwegia, Belanda, Amerika dan sebagainya. Pada festival tahun ini akan tampil peserta antara lain Shanghai Theatre Academy China, The Norwegian Theatre, Compagnie Soulier Barnes France, Cambridge School of Weston USA, Jack Elliott Productions USA, Beijing Theatre China, Korean National University of Arts dan Institut Kesenian Jakarta, Indonesia.Kegiatan ini dinilai telah sukses mempromosikan pertukaran budaya antarbangsa dalam hal teater.

Selama festival yang berlangsung di kampus Akademi Teater Shanghai, akan digelar pula sejumlah pementasan lain, di antaranya pementasan produksi teater dari organisasi dan sekolah teater kelas dunia, serta simposium mengenai teater dan kebudayaan.

Jumlah rombongan IKJ sebanyak 13 orang terdiri dari para mahasiswa teater, alumni serta 3 orang pengajar/dosen. Bom sendiri akan tampil sebanyak 3 kali yaitu pada tanggal 25 September malam hari dan 26 September pada siang hari dan juga malam hari.

Akan tetapi, pihak Teater IKJ memiliki keterbatasan biaya yang yang cukup besar karena penyelenggara hanya menanggung akomodasi dan transportasi lokal, sementara tiket pergi-pulang dan biaya latihan yang cukup besar harus ditanggung sendiri.

"Karena itulah kita berharap adanya partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak pencinta seni pertunjukan di tanah air," kata Egy.

Pertunjukan BOM yang disutradarai Bejo Sulaktono yang juga Ketua Jurusan Teater IKJ ini memang tidak membawa pesan tetapi melahirkan kesan. Kesan bisa bermacam-macam dan bersifat multi tafsir untuk sebuah peristiwa. Pertunjukan ini tidak verbal, tetapi penuh visual yang bernafaskan kekayaan tradisi Indonesia. Musik, gerak olah tubuh berikut protes-protes atas kegaduhan dunia akan membalut pergelaran yang akan berlangsung 60 menit tersebut. Semua berlangsung senyap namun terasa mengiris iris.

"Para aktor akan menjadi kuas yang akan melukiskan cerita di atas panggung. Mereka akan menciptakan sebuah lukisan yang menggambarkan peristiwa yang terkini di dunia ini," kata Egy seraya menambahkan bahwa pertunjukan ini sarat dengan isu isu dunia seperti perdamaian, perpecahan, kudeta, global warming, serta terselip pula hirup pikuk perselingkuhan politik.

"Semuanya tersaji dalam bentuk visual, kami meminimalkan bahasa verbal," lanjut aktor senior Teater Mandiri ini.

Egy mengatakan, tidak ada fokus, semua peristiwa terjadi di semua sudut panggung, sehingga penontonlah yang akan menciptakan fokus tersebut. "Semacam kehidupan dalam cinta yang penuh misteri, ujungnya tidak tertebak.Ini semacam teror mental, semacam bom yang ada di mana mana dan bisa meledak kapan saja," kata Egy.

Pertunjukan tersebut didukung antara lain, Robinsar H Simanjuntak, Ucok Siregar, Vero Hasan, Firsty, Anie Novianti, Shendy P, Eric, Rico, Yamin, Putra dan Asbar.

Egy menambahkan lewat forum bergengsi ini, Teater IKJ berharap dapat mengibarkan panji panji kebudayaan tradisi Indonesia seraya berperan serta mengenalkan Indonesia melalui forum teater. Melalui karya teater "BOM" ini pihak Teater IKJ berharap dapat membagikan sebuah perenungan terhadap negeri yang dilanda "BOM" tak berkesudahan.

Mereka juga yakin komunitas teater bukan hanya tempat bermain dan bertemu, tetapi juga mengasah dan menempa manusia menjadi mandiri, berdisiplin, punya arah dan paham bekerja sebagai sebuah tim.

Ambisi menampilkan BOM di Shanghai semata-mata untuk menjadikan teater sebagai kantong yang mengolah generasi muda Indonesia siap unjuk kebolehan di bidang seni budaya di forum internasional. Untuk memupuk keberanian itu dibutuhkan pekerja-pekerja yang ulet, setia dan terlatih. Tak hanya cerdas, tetapi juga bijak, gesit dan memiliki kepekaan yang tinggi pada dunia seni budaya dan kemanusiaan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 September 2011

Tuesday, September 20, 2011

Menganalisis “Lagu” Kalangan Peduli Kebudayaan

-- Nelson Alwi

LAGU relatif lama yang hampir selalu didendangkan kalangan peduli kebudayaan (di) Tanah Air berisi tututan agar institusi yang mengurus kebudayaan berdiri sendiri, di bawah payung panji bernama Kementerian Kebudayaan. Hal tersebut juga menghangat dalam acara “Keprihatinan Budaya” yang digelar Wisran Hadi (alm) dan Darman Moenir di Auditorium Museum Sumatera Barat, Padang, beberapa waktu dulu.

Dikotomi kebudayaan dan kepariwisataan yang berkorelasi di lingkup Kemenbudpar sejauh ini disinyalir mengalami degresi, mengakibatkan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tergerus dan terdegradasi, bersisa menjadi komoditas pariwisata bersifat murahan.

Tak terbantahkan, kondisi demikian tersebab keidakmampuan Kemenbudpar memanage sinkretisasi dan atau menyingkronkan perihal kebudayaan dan kepariwisataan. Pengelola kebudayaan dan kepariwisataan di negeri ini memang tidak atau belum kompeten memilah, mengolah, memposisikan apalagi mensinergikan kedua bidang tugasnya secara efektif.

Namun menurut hemat kita, kita juga harus fair mencermati kurenah sebagian pelaku budaya atau seniman budayawan serta akademisi terkait yang tak konsisten menjaga identitas kebudayaan.
***

Kebudayaan merupakan konkretisasi dari daya, cipta, karya dan karsa (ke)manusia(an). Identitasnya dapat diketahui terutama melalui keberhasilan kita dalam menerjemahkan atau memberi arti keberadaan berbagai produk kebudayaan —baik yang berupa benda (tangible) maupun yang tak benda (intangible)— yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari (ke)hidup(an) serta pola pikir masyarakat pendukungnya. Artinya, identitas kebudayaan dimaksud tidaklah yang secara eksplisit atau eksklusif bertali-temali dengan kemasalampauan yang didasari citra masyarakat statis. Karena sesuai dengan sifat atau roh kebudayaan itu sendiri, eksistensi dan atau identitasnya diharapkan berkembang sejajar dengan dinamika kemajuan masyarakat yang berlangsung terus-menerus, secara berkesinambungan.

Dengan demikian, durasi teater rakyat randai yang diperpendek misalnya, menjadi sesuatu yang relatif. Esensinya, seberapa besar produk kebudayaan seperti kesenian randai berhasil lagi berdaya-guna, langsung maupun tidak, bagi masyarakat (ke)banyak(an) dewasa ini? Sesuai konteks perlu pemikiran, bagaimana supaya seniman dan atau orang-orang randai kreatif mengemas pertunjukannya sehingga menjadi domain yang tak asing bagi penonton —tak ubahnya dengan Kelompok Srimulat atau Ketoprak Humor yang piawai menyiasati situasi dan kondisi zaman.

Tapi masalahnya, terkadang pelaku budaya bisa saja terjebak sekaligus tergiring ke lingkar diktum yang lepas dari pandangan kebudayaan berorientasi jauh ke depan, seperti pernah dibanyolkan Deddy “Miing” Gumelar. Pada suatu kesempatan pelawak yang kini jadi Anggota DPR RI itu mengatakan bahwa kegagalan karya seni selama ini disebabkan karena senimannya tidak mengerti selera masyarakat. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa “pasar”-lah yang menentukan keberhasilan karya seni. Padahal, seharusnya justru seniman melalui karyanya yang mesti berperan mengubah atau memperbaiki selera rendahan masyarakat.

Lantas pertanyaan kita sekarang adalah, di manakah pelaku budaya begitupun para akademikus berdiri? Untuk menjawabnya diperlukan sikap tegas dan visi yang jelas mengenai elan hidup berkebudayaan! Apakah pelaku budaya serta akademisi sekadar bermain-main dengan kebudayaan, atau sebaliknya menghormatinya?!

Sikap pelaku budaya maupun para akademikus yang mengemuka selama ini mencerminkan iktikad yang ambivalen: mencela kesalahkaprahan Kemenbudpar tetapi dalam waktu berdekatan berkolaborasi dan aktif mendukung kegiatannya. Dalam bahasa yang lain pelaku budaya cenderung terpengaruh suasana alias tidak habis-habisan mempertaruhkan idealismenya, sementara beberapa akademikus yang (pernah) berkiprah di lembaga itu malah terbawa arus dan atau memilih mengundurkan diri —bukannya bermanuver di dalam sampai dipecat lantaran ngotot memperjuangkan gagasan dan pendiriannya.

Kita kira hal terurai di atas itu yang luput dari pengamatan kalangan peduli kebudayaan yang disebut di awal tulisan ini. Apalagi, mendirikan sebuah kementerian di Republik ini akan memakan biaya sangat besar, yang dihabiskan tidak pertama-tama untuk mendanai subjek kelolaan tetapi lebih untuk kelengkapan fisik dan finansial jajaran pejabat di kementerian yang baru dibentuk. Karenanya desakan untuk memisahkan pengurusan kebudayaan dari Kemenbudpar terasa hambar, lantaran tidak didasari (peng)kajian yang komprehensif.
***

Bicara Kemenbudpar yang dituding telah mencederai hakikat dan nilai-nilai kebudayaan jelas tak lepas dari peran(an) serta kecakapan orang-orang atau pamong, yang menggerakkannya. Indikasi yang valid yang menunjukkan minimnya apresiasi jajaran Kemenbudpar, terutama dalam memajukan sekaligus menggairahkan sektor kebudayaan dan kepariwisataan, setidaknya terbukti dengan gonjang-ganjingnya dan atau terancam alias akan terhapusnya event “Pekan Budaya” dari agenda Disbudpar Provinsi Sumatera Barat pada tahun anggaran 2011 ini —sekalipun selama ini acara itu dicap acak-acakan dan dikecam banyak pihak.

Mempromosikan kepariwisataan Tanah Air dengan cara memboyong tim kesenian ke luar negeri pun bisa dinilai identik dengan pengatasnamaan atau eksploitasi kebudayaan dan pemborosan bernuansa proyek aji mumpung pelesiran para pejabat yang mengurus kebudayaan dan kepariwisataan. Argumentatif, yang berdialog dan menyaksikan pertunjukan kesenian kita di luar sana tak lebih dari segelintir orang Indonesia, pengamat, perwakilan instansi terkait serta pelaku pariwisata negara yang dikunjungi.

Dengan kata lain, usaha memajukan kepariwisataan berbasis kebudayaan tidak didukung kiat yang elegan. Justru itu, gaungnya pun mengambang, lemah, dan tak bakal menuai hasil maksimal. Kalender event kebudayaan dalam konteks kepariwisataan dipajang di persimpangan jalan atau di halaman kantor Disbudpar. Leaflet atau brosurnya ditumpuk di atas meja karyawan —bukannya didistribusikan ke dan melalui biro-biro perjalanan dan atau disebar di bandara-bandara internasional.

Sesuai zaman relevan sekali sekiranya Kemenbudpar mendayagunakan media internet. Target bakal mudah dijaring dengan informasi berupa teks serta foto di dunia maya itu. Sebagaimana diketahui, penduduk negara maju yang menjadi sasaran institusi kebudayaan dan kepariwisataan, di samping punya kebiasaan menabung untuk berwisata juga sudah cukup lama akrab dengan internet.

Tetapi kenyataannya hingga kini web dan atau situs Kemenbudpar tetap kerdil. Kenapa peralatan canggih alias mesin informasi berakselerasi tinggi bahkan dengan fasilitas touch screen atau e-kiosk information yang begitu menawan tampilannya tidak dioptimalkan, cuma (di)jadi(kan) mainan atau dibiarkan nganggur menghiasi sudut-sudut ruang kantor pemerintah?

Jawabnya adalah karena kita masih kagok menggauli kemutakhiran. Sulit memungkiri, kapabilitas maupun kemangkusan pengelola(an) sektor kebudayaan dan kepariwisataan di negeri ini, dalam berbagai hal, masih memprihatinkan. Dan menurut hemat kita di sinilah pokok persoalan yang sesungguhnya.

Apapun (nama) departemen yang bakal mengurus kebudayaan dan atau kepariwisataan, selagi orang-orang yang beraktivitas di lembaga tersebut belum kapabel, selagi pelaku budaya atau seniman budayawan serta para akademikus yang seharusnya concern dan solid memelihara (ke)hidup(an) kebudayaan tetap bersikap seperti selama ini, maka “nasib” kebudayaan kita tidak akan berbeda jauh dari sekarang.

Nelson Alwi, pegawai Museum Adityawarman Padang, Sumatera Barat. Menulis esai di berbagai media. Tinggal di Padang

Sumber: Riau Pos, 20 September 2011

Sunday, September 18, 2011

[Buku] Etika Publik di Negeri Korupsi

Judul : Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politis

Penulis : Haryatmoko

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Tebal : 217 halaman



INDONESIA memang negeri ganjil, negeri “sakit nalar” dan alpa etika publik. Para pejabat publik dan politisi tampil dalam kenecisan pakaian dan pencitraan politis tapi kerap mengabaikan makna diri sebagai pemikul tanggung jawab. Mereka bergerak di kekuasaan dengan pelbagai pamrih dan risiko. Korupsi adalah fakta dari ketidakbecusan menerima amanah, kegagalan mendefinisikan peran dan dedikasi demi negeri.

Buku ini hadir untuk mengingatkan, memberi seruan-seruan reflektif tentang kondisi Indonesia dan ikhtiar membenahi diri. Haryatmoko menghendaki bahwa etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik. Rancangan ini diacukan pada fakta-fakta ironis: konflik kepentingan, korupsi, birokrasi berbelit. Semua fakta membuat Indonesia bangkrut, luka, dan apes. Pengajuan diskursus etika publik dimaksudkan sebagai refleksi tentang standar moral atau norma dalam menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam agenda menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.

Gapaian dari penerapan etika publik adalah "upaya hidup baik", "membangun institusi-institusi berkeadilan", dan "integritas publik". Idealitas ini kerap senjang dengan realitas. Kita bisa ajukan kasus skandal korupsi ala Nazaruddin, pemalsuan surat MK, mafia-calo anggaran di DPR, dan kisruh integritas di KPK. Semua menampilkan wajah buram politik Indonesia. Uang jadi rebutan, jabatan manjadi pijakan untuk melanggar hukum dan moral, kekuasaan jadi klaim-klaim konflik kepentingan. Etika publik terabaikan oleh nafsu uang dan kekuasaan, pamrih picik dari nalar sesat dan keruntuhan moral.

Puncak dari semua praktek merugikan pelayanan publik adalah korupsi. Tindakan melanggar hukum, etika politik, dan kemanusiaan ini sudah jarang menimbulkan jera. Banalitas korupsi adalah tanda dari ketiadaan rasa bersalah dalam diri koruptor. Impunitas pun memberi cerminan arogansi koruptor. Wabah korupsi, wabah pengeroposan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika publik mutlak diperlukan untuk mengurusi aib-aib di Indonesia. Etika publik memungkinkan bagi pembentukan institusi adil demi melawan korupsi.

Korupsi akut justru bersarang di partai politik. Haryatmoko menengarai partai politik turut menjadi penentu kebangkrutan negara dan derita rakyat. Pendanaan partai politik adalah pemicu korupsi. Praktek ini susah diberantas karena relasi dan alibi politik. Faktor kebutuhan dana besar jadi dalil kunci bagi orang-orang di partai politik melakukan korupsi saat menduduki jabatan-jabatan strategis di ranah eksekutif atau legislatif. Partai politik cenderung mendorong dan melindungi tindak korupsi demi eksistensi dan pragmatisme kekuasaan. Pola ini membuktikan bahwa korupsi adalah kejahatan struktural. Korupsi menjadi acuan tentang ketiadaan integritas, transparansi, akuntabilitas, dan komitmen pelayanan publik. Mereka justru mengeksploitasi, merampok, dan menghinakan rakyat.

Haryatmoko mengingatkan alpa atas etika publik membuat para pejabat publik cenderung tidak peka bila merugikan pihak-pihak lain dan negara. Mereka juga tidak peduli terhadap korban dan diskriminatif dalam memperlakukan warga negara. Semua ironi ini telah tergelar di Indonesia, negeri rapuh oleh selebrasi korupsi. Kita mungkin telah memanjatkan doa, menghujat, demonstrasi, atau berdiskusi tentang korupsi selama puluhan tahun tapi wabah ini tak lekas usai. Korupsi menjadi menu berita setiap hari, membuat nalar kita amburadul, dan mengumbar aib dalam lakon politik.

Etika publik menjadi gambaran dalam memutuskan kebijakan publik. Mekanisme ideal ini jarang berlangsung di Indonesia. Dimensi etis kadang terkalahkan oleh pamrih politis, finansial, dan kepentingan pragmatis. Kita pun mafhum bahwa sekian kebijakan publik di negeri ini justru diskriminatif, merugikan, dan mencederai moralitas publik. Haryatmoko menganggap semua itu akumulasi kesalahan moral, hukum, dan politik. Kesalahan membuat rakyat menanggung derita, memikul beban berat tanpa perlindungan moral dan politis. Tindakan resistensi pun dilakukan demi revisi, perubahan, atau pembaharuan kebijakan. Protes dan saran kadang membentur formalitas, pembakuan nalar politik oleh para pejabat. Etika publik jarang menjadi pertimbangan primer. Kita mengalami realitas-realitas buruk ini tapi susah mengelakkan diri. Etika publik seolah catatan kaki, seruan di tepian deru politik pragmatis.

Kita memerlukan para pejabat dengan integritas bersandarkan etika publik. Seleksi para pejabat dan mekanisme pengawasan memang telah diberlakukan kendati masih rawan memunculkan celah-celah tindak korupsi. Intergritas pribadi dalam pelayanan publik turut ditentukan melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Haryatmoko menjelaskan integritas adalah hasil dari pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan demi implementasi etika publik. Agenda semaian publik pun menjadi keniscayaan agar Indonesia tidak diartikan sebagai “surga para koruptor” atau negeri bangkrut tanpa moralitas. Begitu.


Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 September 2011

Saturday, September 17, 2011

Media dan Jurnalisme Warga

-- Selvi Diana Meilinda

Baru-baru ini saya langsung didatangi pimpinan cabang sebuah bank BUMN ternama di Indonesia beserta pihak terkait lainnya. Mereka datang untuk mengucapkan permohonan maaf sekaligur terima kasih atas reportase pelayanannya yang saya tulis di blog Kompasiana. Reportase itu sama sekali tidak saya rencanakan, hanya kebetulan kejadian berlangsung dan saya ada di tempat kejadian. Dengan menggunakan alat seadanya yakni kamera ponsel saya mendokumentasikan kejadian di tempat tersebut, lalu saya membaginya dalam bentuk tulisan di blog pada hari itu juga. Tak disangka tak dinyana, reportase saya itu dibaca lebih dari tujuh ribuan pembaca dalam waktu cepat dan mendapat respons secara resmi dari pihak yang saya tulis serta membuka diri terhadap komentar publik atas reportase yang saya tuliskan tersebut. Apa yang saya lakukan ini biasa dikenal dengan jurnalisme warga.

Jurnalisme warga atau citizen journalism muncul karena inisiasi aktif dari warga masyarakat. Konsep ini memberikan ruang bagi masyarakat siapapun untuk membagi cerita, kritik, pengalaman, dan lainnya untuk disiarkan dalam media massa. Terlebih lagi semakin luasnya jaringan internet ke seluruh penjuru dunia, peralatan dan kecanggihan ponsel yang mempermudah dan mempercepat koneksi seseorang dengan internet di manapun dan kapanpun ia berada kian hari kian variatif. Arus komunikasi dan informasi pun menjadi tak berjarak dan berjeda lagi. sehingga jurnalisme warga bergerak dan berakselerasi dengan percepatan luar biasa. Semua orang telah bebas mewartakan apa yang dialaminya, disukainya, dibencinya maupun diinginkannya kepada publik.

Di Indonesia, jurnalisme warga ini justru berawal dari stasiun radio Elshinta sejak tahun 2000 yang memberikan kesempatan kepada para pendengarnya untuk mengirimkan berita melalui sms ataupun telepon langsung dan disiarkan secara langsung pula. Tanpa bayaran apa pun, dengan semangat aling membantu dan tak ingin ada orang lain yang celaka, membuat orang berlomba-lomba memberikan informasi yang ada di sekitarnya, contohnya jalanan macet, pohon tumbang, cuaca ekstrim, dan info kecelakaan, hingga kini Elshinta punya 100 ribu lebih reporter warga.

Awalnya media lain seperti stasiun TV, media cetak, website di Indonesia terlihat masih enggan untuk mengadopsi jurnalisme warga dalam praktek jurnalisme mereka karena takut kehilangan kredibilitas, reputasi, dan problem etika jurnalistik. Akan tetapi dipicu sekitar tahun 2004 seorang korban tsunami Aceh yang meliput sendiri tragedi yang menimpanya lalu disiarkan oleh televisi swasta nasional terbukti berita tersebut mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis professional. Atau prestasi lainnya baru-baru ini, terlepas dari kontroversinya, seorang bloger dan jurnalis warga Iwan pilliang berhasil mewawancarai seorang Nazaruddin tersangka kasus korupsi paling di cari saat itu.

Tentu saja tak semua masyarakat penggiat jurnalisme warga ini mempunyai keahlian dan latar belakang jurnalistik yang mumpuni layaknya jurnalis professional atau wartawan pada umumnya. Kenyataannya terkadang jurnalis warga tidak bisa memenuhi kaidah dalam penginformasian berita yang baik dan benar sesuai dengan teknik dank ode etik reportase berita. Akan tetapi, jurnalisme warga ini memberikan sumbangan positif bagi media ketika kenyataannya seorang wartawan tidak selamanya selalu hadir atau kemungkinan datang terlambat dalam sebuah peristiwa.

Sebagai seorang yang selalu mempraktikkan jurnalisme warga ini dalam sebuah blog, ada beberapa hal yang perlu saya garis bawahi terkait baik buruknya dengan semua kontroversinya. Pertama, jurnalisme warga ini memang terbukti efektif untuk melaporkan dan menyiarkan pengaduan terkait layanan publik tertentu. Terbukti, sehari setelah laporan di blog saya tentang layanan salah satu bank BUMN, responsivitas langsung mereka tunjukkan. Mungkin berbeda ceritanya jika kita buat pengaduan secara internal, tak secepat itu respons yang mereka berikan karena tak ada tekanan perhatian khalayak di sana.

Kedua, menjadi jurnalis warga tidak ada yang memberikan garansi kemanan dan kenyamanan bagi kita. Ketika kita melaporkan sebuah reportase terkait peristiwa, lembaga atau orang tertentu, siap-siap kita menuai hal buruk jika lembaga atau pihak-pihak tertentu merasa terusik dengan reportase tersebut. mulai dari teror via ponsel kita hingga ancaman lewat jalur hukum. Sebagai jurnalis warga, masalah seperti ini harus diselesaikan dan dirasakan sendiri, karena memang independen tanpa lembaga pers yang menaungi dan tak ada pula kartu pers yang dimiliki.

Ketiga, jurnalisme warga memang rentan sekali ditunggangi oleh kepentingan tertentu, manipulasi data dan fakta untuk memfitnah atau pencitraan suatu lembaga atau perorangan secara berlebihan. Oleh karena itu, verifikasi berita menjadi hak mutlak para pembaca dan penikmat berita.

Pada akhirnya, tidak bisa dimungkiri bahwa akhir-akhir ini jurnalis warga terlihat semakin sering melaporkan berita dari sumber yang sebelumnya tidak terjangkau oleh wartawan profesional. Semakin media mengakomodasi publik tentunya semakin termotivasi publik untuk menyisihkan waktu untuk mengirimkan berita. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat yang memiliki keahlian tertentu akan mempertahankan reputasinya dengan mengecek dan memverifikasi berita yang mereka buat seperti yang dilakukan wartawan profesional. Dalam situasi demikian, media tidak akan kehilangan kredibilitas malahan menaikkan citranya sebagai media publik. Kuncinya adalah menemukan warga yang memiliki keahlian tertentu untuk menjadi jurnalis warga bagi media.

Selvi Diana Meilinda
, Bloger Lampung, Mahasiswa Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Publik UGM

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 September 2011 21:39