Monday, December 31, 2007

Pidato Kebudayaan: Warga Minang Ditantang Tunjukkan Kearifan Budaya

Padang, Kompas - Masyarakat Minangkabau yang dikenal memiliki kearifan budaya yang luhur ditantang untuk menampilkan kebudayaan itu demi memecahkan persoalan bangsa yang kompleks. Persoalan korupsi, perbedaan antara kata dan tingkah laku, serta perkembangan mentalitas menerabas ingin cepat kaya juga ditantang untuk dipecahkan dengan kearifan lokal.

Demikian salah satu isi pidato kebudayaan Prof Dr Ahmad Syafi’i Maarif, Sabtu (29/12) di Taman Budaya Padang, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Menurut dia, masyarakat Minangkabau mempunyai sejumlah ungkapan yang sarat makna, mulai dari berbagai petatah-petitih hingga gurindam. Namun, berbagai produk kearifan budaya ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi persoalan bangsa, seperti sulitnya mencari orang jujur, amanah, dan dipercaya.

Persoalan ini, lanjut Syafi’i, juga pernah diulas antropolog Koentjaraningrat dalam penelitiannya tahun 1970. Hasil penelitian itu antara lain mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama usahawan, ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memerhatikan proses. "Persoalan ini terus berlangsung hingga sekarang," kata Syafi’i, kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, itu.

Syafi’i melihat belum ada keberanian untuk bersikap melawan sifat yang sudah mengurat-akar di masyarakat secara umum. "Minangkabau, negeri elok, sudah lama menantikan anak-anaknya agar berani menyimpang dari pola umum yang korup, yang sedang melilit batang tubuh Indonesia sekarang, tetapi alangkah sukarnya," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Kendati sulit, Syafi’i mengatakan, perlawanan harus tetap dilakukan. Salah satu yang dibutuhkan adalah ada stamina spiritual yang tidak boleh kendur.

Kultur berdebat


Di sisi lain, Syafi’i juga melihat historis kekuatan masyarakat Minangkabau, yang terletak pada kemampuan berdebat, bahkan di forum dunia dalam upaya membela martabat bangsa dari segala pelecehan dan pencibiran. Sayangnya, kemampuan diplomasi itu semakin luntur.

"Kita tidak lagi memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh, seperti dulu diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Soedjatmoko, Adam Malik, Roem, LN Palar, Mochtar Kusumaatmadja, dan nama-nama lain. Orang Minang yang dikenal jago bersilat lidah dan terkenal dengan bidal ’takilek ikan dalam aie, alah tantu jantan batinonyo’ atau ’alun takilek alah tabayang’ (terlintas ikan dalam air, sudah tentu jantan betinanya, atau belum terlihat sudah terbayang) merupakan modal utama untuk berdebat dengan penuh percaya diri," katanya.

Menurut Syafi’i, kearifan lokal yang dikawinkan dengan unsur budaya rantau inilah yang melahirkan diplomat-diplomat andal untuk bersilat lidah di forum internasional. (ART/NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Desember 2007

Festival Teater: Naskah Asli Masih Kurang

Jakarta, Kompas - Pementasan teater di Indonesia jarang menggunakan naskah drama karya sendiri atau naskah asli. Padahal, banyak masalah sosial di Tanah Air yang bisa diangkat dan menjadi kritik sosial yang membangun.

Tokoh teater senior, Putu wijaya, Sabtu (29/12), mengatakan, ada kecenderungan di beberapa kelompok teater untuk menggunakan karya penulis asing karena lebih bergengsi dan berkualitas bagus.

Dalam Festival Teater Jakarta (FTJ) 2007 yang diadakan Di Taman Ismail Marzuki pada 21-31 Desember menjadi bukti. Dari 18 finalis, hanya tiga kelompok yang menggunakan naskah asli.

Menurut Putu, yang juga Ketua Dewan Juri FTJ 2007, ada dua keuntungan yang didapat dari penulisan naskah drama. Pertama, semakin banyak naskah drama yang dibuat akan semakin memacu perkembangan teater. Kedua, naskah drama buatan Indonesia semakin mengenalkan budaya dan realitas bangsa.

Joind Bayu Winanda, sutradara Teater Amoeba, mengangkat ”Macbeth”, sebuah karya klasik William Shakespeare. Namun, di ajang FTJ ini, ia mementaskannya dalam versi modern. Para pemainnya tidak menggunakan jubah dan pedang, tetapi jas dan pistol layaknya mafia.

”Saya harus mengangkat sesuatu yang beda. Apalagi kebanyakan penonton adalah mahasiswa,” kata Joind. Ia juga mengaku terpengaruh film Romeo + Juliet (1996) garapan Baz Luhrmann yang juga ber-setting kota masa kini.

Sementara itu, sutradara Teater Gonjang-Ganjing yang juga finalis FTJ, Rini Threesia, mengatakan, kelompoknya belum memiliki satu naskah sendiri pun. ”Saya belum berpikir untuk menulis naskah karena takut jika nanti tidak bisa mewakili realitas sosial yang ada,” kata sutradara yang mementaskan karya Tennessee Williams.

Ia berencana untuk menulis naskah setelah mementaskan dua cerita lagi. Ia mengaku belum bisa menulis naskah dan sekaligus menjadi sutradara. (A04)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Desember 2007

Sunday, December 30, 2007

Demokratisasi Pasar

-- Ilham Khoiri

DUNIA sastra di Indonesia tahun 2007 diwarnai makin menguatnya pasar dan industri penerbitan. Sejumlah novel tercetak belasan kali dengan angka penjualan mencapai ratusan ribu eksemplar. Uniknya, pengarang karya sastra "pop" itu berasal dari luar lingkaran komunitas sastra "serius" yang biasa kita kenal.

Salah satu nama yang menyedot perhatian adalah Andrea Hirata. Tiga novelnya yang diterbitkan Bentang, Yogyakarta, mencapai rekor penjualan tinggi. Hingga akhir tahun 2007 ini, novel Laskar Pelangi (yang terbit pertama kali pada September 2005) sudah dicetak 15 kali dengan total sekitar 200.000 eksemplar. Sang Pemimpi (cetakan pertama Juli 2006) terjual sekitar 30.000 eksemplar, sedangkan Edensor (cetakan pertama Mei 2007) laku sekitar 15.000 eksemplar.

"Ketiga novel itu meledak, terutama pada pertengahan sampai akhir tahun 2007 ini. Total omzet (kotor)-nya mencapai sekitar Rp 4 miliar. Kini Laskar Pelangi sedang difilmkan dengan sutradara Riri Reza," kata Gangsar Sukrisno, CEO Bentang Pustaka.

Ketiga novel itu merupakan memoar perjalanan hidup Andrea sendiri, seorang anak buruh pabrik timah asal Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Laskar Pelangi adalah geng sejumlah siswa di kampung nelayan. Bersama satu kawannya, pemuda itu mengembara ke Jakarta, kuliah di Universitas Indonesia, lantas melanjutkan S-2 di Universite de Paris Sorbonne, Perancis.

Nama lain yang melejit, Habiburrahman El Shirazy. Novelnya, Ayat-ayat Cinta (cetakan pertama tahun 2005) kini sudah masuk cetakan ke-30 dengan total penjualan sekitar 300.000 eksemplar. Karya berikutnya, Ketika Cinta Bertasbih I (cetakan pertama awal 2007), terjual sekitar 80.000 eksemplar, dan Ketika Bertasbih II (cetakan pertama pertengahan 2007) terjual 50.000 eksemplar.

Ayat-ayat Cinta yang diterbitkan Penerbit Republika itu berpusat pada tokoh bernama Fahri, pemuda asal Indonesia yang kuliah agama Islam di Mesir. Pemuda itu mewakili sosok ideal kaum Muslim, kusuk menjalankan nilai-nilai agama sebagaimana tertera dalam teks Al Quran, bahkan ketika menjalani kisah cinta.

"Ayat-ayat Cinta juga diangkat ke layar lebar dengan sutradara Hanung Bramantyo," kata Arif Budiman, Bagian Marketing Penerbit Republika.

Demokratisasi

Sebenarnya tahun 2007 ini diramaikan oleh sejumlah novel atau kumpulan cerpen lain, sebagian karya pengarang yang sudah cukup dikenal. Sebutlah beberapa di antaranya, Linguae (Seno Gumira Ajidarma), September (Yudhistira ANM Massardi), Janda dari Jirah (Cok Sawitri), Ada Seseorang di Kepalaku (Akmal Nasery Basral), Dunia di Kepala Alice (Ucu Agustini), Perantau (Gus TF Sakai), Sintren (Dianing Widya) Galigi (Gunawan Maryanto), dan Mahasati (Qaris Tajudin).

Hanya saja, dilihat dari sisi pasar, kemunculan Andrea dan Habiburrahman memang mengentak. Sebelum novelnya jadi best seller, kedua pengarang muda itu tak dikenal dalam lingkungan sastra. Andrea adalah pegawai kantor biasa di pusat PT Telkom di Bandung, sedangkan Habiburrahman berasal dari lingkungan pesantren yang tekun belajar hadits di Cairo University, Mesir.

Sambutan pasar atas novel populer karya kedua pemuda itu menegaskan, pembaca buku sastra semakin plural, meluas, dan tak lagi terpaku pada tema-tema berat yang kerap membuat kening berkerut. Laskar Pelangi memenuhi kerinduan masyarakat akan kisah hidup manusia yang menyentuh keseharian, inspiratif, serta memacu spirit untuk maju. Ayat-ayat Cinta mewujudkan idealisasi kalangan Muslim kota yang merindukan sosok pemuda yang kukuh memegang ajaran agama di tengah perubahan zaman.

Situasi itu memperkuat fenomena "demokratisasi" dalam dunia penulisan sastra di Tanah Air, yang tumbuh pesat sejak reformasi tahun 1998. Pada sisi lain, pasar mengembangkan logika sendiri dan bertambah bebas menentukan selera. Apa yang diminati pasar bisa berbeda jauh dengan apa yang diidealkan otoritas sastra yang dulu seakan dipegang kalangan sastrawan serius, kritikus sastra, serta kaum intelektual.

Industri penerbitan menangkap gejala itu, lalu segera menggarap novel-novel yang digemari masyarakat. Di sini, strategi dagang kapitalisme—yang mencakup manajemen penerbitan, pemasaran, dan promosi lewat berbagai media—ambil peran penting.

Sastra pop yang dulu direndahkan di bawah sastra tinggi kini semakin diterima khalayak luas. Bahkan, hierarki sastra pop-serius itu semakin jarang dibincangkan. Sastra yang dulu terkesan sakral sekarang semakin dekat dengan masyarakat.

Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menilai situasi sekarang menggambarkan, membaca dan menulis sastra tak lagi jadi kegiatan sakral yang hanya digumuli kalangan elite. Sekarang sastra sudah jadi gaya hidup masyarakat kota. Toko-toko buku dibangun, sebagian malah menyatu dengan kafe atau pusat perbelanjaan. Membicarakan buku dilakukan di mana-mana.

"Itu perkembangan lumayan karena sastra menjadi lebih riil, terjadi penjelajahan. Dalam dunia kontemporer seperti ini, sudah tak terlalu relevan lagi bersikukuh mempertahankan hierarki antara sastra tinggi dan sastra rendah," katanya.

Dalam kondisi begini, lebih penting membicarakan soal makna, dan itu bersifat relatif. Setiap pembaca punya keleluasaan untuk memilih buku yang menyajikan tema yang dirasa lebih dekat dan dikenal dengannya. Pembaca bakal menyukai buku yang menyodorkan himpunan gagasan yang membentuknya menjadi subyek, bukan semata kualitas bahasa, plot, atau karakter tokoh yang bagus.

"Inilah sastra yang lebih meaningful. Situasinya mirip dengan tulisan Karl May tentang petualangan di alam Indian yang sangat berarti bagi banyak generasi tahun 1960-an," tutur Seno menambahkan.

Minim kritik


Menurut Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison Jamal D Rahman, saat pasar semakin besar dan industri yang memproduksi karya-karya sastra marak, justru kritik sastra semakin lemah. Media yang memuat kritik terbatas, sedangkan kritikus sastra kurang. Akibatnya, tak ada lagi wacana yang bisa jadi pegangan dan sastra hanya mengikuti selera pasar saja.

Pada titik tertentu, situasi itu berbahaya, terutama jika pengarang benar-benar berkarya hanya untuk mengikuti minat pasar. Kalau itu terjadi, bisa jadi karya yang lahir nanti hanya mengulang-ulang. "Pengarang tidak lagi memedulikan otentisitas dirinya, originalitas, eksklusivitas, dan kebaruan dalam karya," katanya.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Desember 2007

Horison: Geliat Seni Aceh Pasca-Tsunami

DILANDA konflik disintegrasi selama puluhan tahun, dan diterjang tsunami pada 28 Desember 2004, seni-budaya Aceh tidak lantas punah. Pasca-tsunami, seni-budaya Serambi Mekah justru menggeliat bangkit. Begitu juga kehidupan sastranya. Ribuan karya kembali ditulis dan ratusan buku sastra terbit pasca-tsunami. Seni khas Aceh pun berkali-kali dipertunjukkan kembali dalam berbagai iven kesenian.

Belum lama ini, 10-13 Desember 2007, dengan tajuk Piasan Sastra Aceh, karya-karya sastra dan seni-budaya Aceh dipamerkan serta dipertunjukkan di kampus FIB UI Depok, dan dilanjutkan dengan Mini Festival Film Aceh di Studio Megaplex, Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, pada 14-16 Desember 2007.

''Kegiatan ini memperlihatkan sisi Aceh yang lain. Bukan lagi sosok beraroma konflik atau tsunami yang mengharu biru perasaan jutaan orang. Kami ingin menyajikan 'hidangan' dengan menu seni-budaya, yang selama ini hampir tak memiliki ruang yang lebar untuk mempertunjukkan dan membicarakannya,'' kata penyair Fikar W Eda, ketua panitia Piasan Sastra Aceh 2007.

Fikar mencontohkan seorang pemain rapa'i di Aceh yang lama gusar, karena tak kuasa lagi memainkan kemahirannya menabuh rapa'i. ''Konflik bersenjata telah merampas kemerdekaannya. Rapa'i itu kemudian dijadikan wadah menampung air hujan di rumahnya. Tak lama berselang, datang pula tsunami, yang menghanyutkan rumah dan rapa’inya,'' katanya. ''Piasan Sastra Aceh ini memungut rapa’i itu dan memainkannya kembali,'' tambahnya.

Tentu tidak hanya ada permainan rapa'i yang eksotik di tengah-tengah Piasan Sastra Aceh di FIB UI. Gelar seni-budaya sepekan ini seakan ingin mempertontonkan semua potensi seni-budaya Serambi Mekah, meskipun tidak seluruhnya mendapat tempat. Dari seni tradisi, misalnya, ditampilkan tari seudati, tari saman dan seni sebuku dari Gayo Lues, serta tari rubbani wahed dari Samalanga. Dipamerkan pula foto-foto panorama alam dan pertunjukan seni serta benda-benda budaya Aceh, di lobi Auditorium FIB UI.

Guna menunjukkan perkembangan sastra Aceh terkini, diluncurkan dan dipamerkan pula buku-buku karya para sastrawan Aceh yang terbit pasca-tsunami. Dan, sebagai forum aktualisasi diri, sepuluh lebih sastrawan dan penulis Aceh Azhari, Reza Idria, Fozan Santa, Salman Yoga, Ibrahim Kadir, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, D Kemalawati, Rosni Idham, Wina SW1, Rani Angraini, Ines Somellera, Ubiet, dan Zulaikha tampil untuk membacakan sajak-sajak mereka di panggung Auditorium FIB UI.

Beberapa penyair asal Aceh yang tinggal di Jakarta, serta beberapa penyair tamu, seperti Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Debra H Yatim, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan Dato’ Kemala (Malaysia) ikut meramaikan panggung pertunjukan. Pentas makin marak dengan pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Kelompok Musik Qanun, pembacaan Hikayat Prang Sabil dan Syeh Idris, serta pertunjukan seni didong dan sebuku yang unik.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Sajak (Seniman Aceh se-Jabotabek) bekerja sama dengan Pusat Tamadun Melayu UI dan FIB UI ini juga diisi pemutaran film-film tentang Aceh, serta temu pembuat dan pengisi film tentang Aceh, bersama Cristine Hakim dan Berliana Febrianti.

Sesi yang tidak kalah pentingnya adalah seminar yang mengkaji potensi dan perkembangan seni-budaya Aceh, khususnya sastra, sejak masa Hamzah fansuri hingga pasca-tsunami. Sebanyak 26 sastrawan dan pengamat sastra, seperti Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Dato’ Kemala, Tommi Christomi, Tommy F Awuy, Agus Nuramal, Muhammad Iqbal, Muhammad Lutfi, Arafat Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Debra H Yatim, Rosni Idham, Azhari, Mustafa Ismail, Fozan Santa, Wina SW, Nurdin AR, Muhammad Nazar, Reza Idria, Ibrahim Kadir, Yusza Nur Nadia, Salman Yoga, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, dan Mukhlis A Hamid, tampil sebagai pembicara dalam enam sesi diskusi.

Pembukaan acara ini, yang didahului dengan pawai seni di FIB UI, serta pidato pembukaan oleh Rektor UI, Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, berlangsung cukup meriah. Begitu juga penutupannya, yang dimeriahkan pertunjukan tari rubbani wahed dari Desa Sangso, Samalanga, Kabupaten Bireuen. ''Rubbani wahed adalah tarian sufi yang hanya hidup dan berkembang di desa tersebut,'' kata Fikar.

Upacara penutupan Piasan Sastra Aceh di FIB UI juga dimeriahkan pertunjukan grup musik Qanun, seni sebuku dari Gayo, pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, pembacaan hikayat Prang Sabil dan peluncuran buku kumpulan puisi karya 19 penyair perempuan Aceh, Lampion, serta sambutan penutupan oleh Ketua Pusat Tamadun Melayu, Dr Zulhasir Nasir.

Pada sambutannya, Zulhasir Nasir mengatakan gembira karena Piasan Sastra Aceh bisa dihadirkan di UI. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan tersebut. ''Publik menjadi lebih paham tentang kekayaan dan keberagaman seni-budaya Aceh,'' katanya.

Menurut Fikar, Piasan Sastra Aceh merupakan kegiatan sastra Aceh yang paling besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Jakarta. Sayangnya, acara ini kurang berhasil meraih pengunjung yang maksimal dari kalangan mahasiswa UI, karena mereka sedang bertarung dalam ujian semester. n ahmadun yh

Sumber: Republika, Minggu, 30 Desember 2007

Horison: Kongres Komunitas Sastra Indonesia

KONGRES Komunitas Sastra Indonesia (KSI) bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra Sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia akan digelar di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008. Acara yang didukung penuh oleh Djarum Bakti Pendidikan ini akan berupa kongres KSI, seminar nasional, orasi budaya, pementasan sastra dan seni, serta wisata budaya.

Kongres KSI akan memilih kepengurusan baru periode 2008-2010, penyusunan program kerja, dan penyampaian rekomendasi yang mencoba merespons kondisi mutakhir kesusastraan Indonesia. Orasi budaya akan disampaikan oleh Menpora Adhyaksa Dault. Sedangkan, seminar nasional akan menampilkan pembicara Budi Darma, Arswendo Atmowiloto, Dendy Sugono, Korrie Layun Rampan, Maman S Mahayana, Eko Budihardjo, Habiburrachman El-Shirazy, Shiho Sawai, Ahmadun Yosi Herfanda, Micky Hidayat, Mukti Sutarman SP, dan Idris Pasaribu.

Pementasan karya sastra akan diisi, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, Jose Rizal Manua, Parni Hadi, Diah Hadaning, Arie MP Tamba, Kurnia Effendi, Mustafa Ismail, Chavchay Saefullah, Sihar Ramses Simatupang, Fatin Hamama, dan Thomas Budi Santoso. Juga akan diisi pertunjukan wayang klithik dan terbang papat, dua bentuk kesenian tradisional yang sudah langka dari Kudus.

Menurut Ketua KSI, Iwan Gunadi, pada kesempatan itu juga akan diluncurkan buku perjalanan KSI selama hampir 12 tahun. Menurut ketua umum panitia kongres, Wowok Hesti Prabowo, dan ketua pelaksana, Mukti Sutarman SP, acara ini akan diikuti sekitar 200 pelaku sastra, pengurus cabang-cabang di berbagai wilkayah di Indonesia, serta masyarakat Kudus dan sekitarnya. Peserta juga akan mengunjungi pabrik rokok, pabrik jenang, Museum Kretek, dan Menara Kudus.

Sumber: Republika, Minggu, 30 Desember 2007

Wacana: Perspektif Jender dalam Sastra Islam (Bagian pertama dari Dua Tulisan)

-- BSW Adjikoesoemo*

DEWASA ini fenomena sastra Islami, terutama fiksi Islami, kerap menjadi wacana dalam berbagai forum diskusi dan media massa. Namun, sejauh ini belum ada tulisan atau diskusi yang secara khusus menyorot tentang perspektif jender dalam sastra Islami. Pembicaraan lebih banyak menyorot fenomena, potensi pasar, dan kekuatannya sebagai wacana alternatif untuk 'menandingi' fiksi sekuler yang belakangan juga marak di Indonesia dan umumnya ditulis oleh kaum perempuan.

Penyebutan 'sastra Islami' atapun 'fiksi Islami' sebenarnya juga masih menunjukkan wilayah yang kabur, karena sifat Islami dalam sastra bisa saja ditunjukkan oleh karya-karya sastra dari kalangan non-Muslim, seperti sajak-sajak Kahlil Gibran, Gothe, dan bahkan sajak-sajak Tagore. Jadi, tidak hanya merujuk pada karya-karya sastrawan Muslim, semisal Najib Khaelani, Rumi, Kuntowijoyo, atau para penulis fiksi dari Forum Lingkar Pena (FLP) yang berjasa mempopulerkan istilah 'fiksi Islami' itu.

Karena itu, untuk kepentingan pembicaraan prespektif jender dalam sastra Islam, saya sengaja mempertegas wilayah pembicaraan dengan penyebutan 'sastra Islam'. Sebagaimana pernah dikemukakan Ahmadun Yosi Herfanda dalam beberapa diskusi di Yogyakarta, yang dimaksud dengan 'sastra Islam' adalah karya-karya sastra yang lahir di dunia Islam dan ditulis oleh sastrawan Muslim serta menawarkan nilai-nilai yang Islami.

Dengan definisi 'sastra Islam' seperti di atas, saya akan mencoba melihat secara acak dan sepintas persepektif jender dalam sastra Islam sejak dari karya-karya Nawal el-Sadawi (Mesir) sampai karya-karya sastra Indonesia terkini, terutama oleh para perempuan penulis yang memang lebih banyak berbicara masalah jender dibanding laki-laki. Sebut saja, misalnya, karya-karya Pudji Isdriani, Helvy Tiana Rosa, Wa Ode Wulan Ratna, Asma Nadia, dan beberapa penulis FLP lainnya.

Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan).

Kenyataannya, diskriminasi jender, penempatan perempuan sebagai subordinasi lelaki, dan penempatan lelaki sebagai yang berkuasa, memang sangat kental di dunia Islam tradisional yang berbudaya patriarkhi. Budaya demikian sangat tampak di dunia Islam, sejak di kawasan Timur Tengah sampai Asia Tenggara, termasuk di Nusantara.

Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai 'pelayan' lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian 'diadopsi' secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai 'ibu kehidupan'.

Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai 'kaum kelas dua', perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.

Melihat nasib kaumnya yang sangat menyedihkan, Nawal el-Sadawi terpanggil untuk mencatat kesaksian, menyodorkan realitas pahit yang berabad-abad tersembunyi, dan mendorong proses perubahan, melalui karya sastra (novel). Karya-karyanya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia, seperti Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, dan Catatan dari Penjara Perempuan, membuka mata jutaan manusia dari dunia Islam untuk menyadari keadaan untuk melakukan perubahan. Melalui novel-novelnya, Nawal el-Sadawi hendak membebaskan kaum perempuan dari penindasan kaum lelaki.

Karya-karya Nawal el-Sadawi sudah lama (sejak awal 1990-an) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, pengaruh semangat pembebasannya belum begitu terasa dalam sastra Indonesia, termasuk yang ditulis oleh para sastrawan perempuan semacam Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Karya Helvy, seperti novel Ketika Mas Gagah Pergi, dan beberapa karya Asma Nadia, secara tidak langsung memang menyinggung persoalan jender, tetapi dengan penggambaran yang sangat lembut sehingga malah terkesan membela budaya patriarkhi.

Karya-karya lain, seperti novel Memory in Sorong, memang secara jelas juga mengangkat persoalan jender, tapi lebih terseret ke persoalan poligami. Melalui novel ini, secara tegas Pudji menolak poligami, sambil mencoba memahami kenapa seorang lelaki yang jauh dari istri terpaksa berselingkuh. Namun, ketika perselingkuhan mengarah ke pernikahan (poligami), dengan tegas sang istri menolaknya, dan kalau perlu 'melenyapkan' saingannya. Perempuan (istri) menjelma menjadi wanita yang tegar dan keras ketika harus mempertahankan suami demi keutuhan keluarganya.

Pada beberapa fiksi Indonesia terkini, yang ditulis oleh pengarang perempuan Muslim, potret perempuan sebagai kaum yang harus tunduk pada adat dan kekuasaan lelaki juga masih kerap muncul, terutama pada cerpen dan novel yang mengangkat kekayaan lokal. Sebagai contoh adalah cerpen La Runduma karya Wa Ode Wulan Ratna. Tokoh utama (perempuan) dalam cerpen ini harus tunduk pada adat untuk dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tua. Tetapi, sang gadis 'berontak' dan melarikan diri. Jadi, sudah berbeda dengan fiksi era Siti Nurbaya, saat perempuan hanya bisa pasrah dalam kekuasaan adat dan kaum lelaki.

* BSW Adjikoesoemo, Alumnus Filsafat UGM, Ketua Indonesia Bangkit

Sumber: Republika, Minggu, 30 Desember 2007

Kesenian: Penghargaan bagi Sang Maestro

PENJAGA seni budaya lokal akhirnya sedikit memperoleh perhatian dari pemerintah. Mereka mulai mendapat penghargaan sebagai maestro seni tradisi.

Encim Masnah,70,tampil percaya diri membawa tembang DI dalam Pantun Ada Carita. Diiringi musik tradisional gambang-kromong yang ditabuh maestro Ongkian dan Aan serta musik tehian yang digesek Tarlak,nenek asal Kampung Sewan,Kelurahan Neglasari, KotaTangerang,Banten,ini melenggang gemulai.

Rambut yang memutih serta garis-garis tegas yang melipat di wajah mengisyaratkan perjalanannya dengan sang waktu begitu bermakna. Selama 70 tahun itu separuh hidupnya memang telah diabdikannya untuk mempertahankan serta mewarisi musik tradisional Gambang Kromong.

Atas kesetiaan penuh pengorbanan mempertahankan serta mewarisi tradisi, dia layak menerima penghormatan berupa penghargaan maestro seni tradisi. Penghargaan ini diberikan oleh Direktorat Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Budpar) yang bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Hotel Millenium,Jakarta,pada Jumat (28/12).

Tentu tidak hanya Encim yang memancarkan senyum karena mendapat penghargaan. Tak kurang dari 26 maestro seni tradisi dari berbagai daerah mendapat penghargaan yang sama, kendati secara seremonial hanya diwakili Encim. Ke-26 maestro itu antara lain Ismail Saroeng (maestro bidang keahlian musik Serunai),Abdullah Abdul Rahman (seni tari), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak), Zulkaidah Boru Harahap (opera batak), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan),M Ali Ahmad (Pantun), Sawir St Sati (syair dan musik),Islamidar (Sampelong), Saidi H Bodong (topeng betawi), Bonang (wayang betawi) dan Mimi Rasina (tari topeng dari Indramayu).

Rata-rata usia maestro seni tradisi itu di atas 60 tahun,menyebar dari seantero Nusantara. Memang sudah saatnya masyarakat, umumnya dan pemerintah khususnya, memberikan penghormatan kepada para penjaga tradisi. Para penjaga dan pewaris tradisi itu telah berjuang tanpa pamrih mempertahankan nilai-nilai budaya.

Bagaimanapun, kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Mukhlis Paeni, jasa mereka tak terukur nilainya. Tanpa semangat juang para maestro seni itu, bisa saja kekayaan bangsa berupa nilai-nilai seni tradisional yang tersebar dari Aceh hingga Papua akan hilang begitu saja.

Kegelisahan akan hilangnya berbagai kekayaan budaya itu yang mendorong Ditjen NBSF mengembangkan program penghargaan maestro seni tradisi. Sejak Januari 2007, melalui kerja sama dengan ATL, program yang memberikan penghargaan kepada pencinta seni tradisi mulai dilaksanakan.

“Dengan penghargaan ini diharapkan pengetahuan mereka bias ditransfer kepada generasi muda,”kata Muklis. Untuk mendapatkan 27 maestro yang mendapat penghargaan pada tahun pertama ini butuh waktu panjang. Prosesnya, kata Ketua ATL Prudentia, sudah dimulai sejak Januari. Yang dilibatkan dalam proses pengajuan nama-nama pun tidak hanya Ditjen NBSF dan ATL, tapi juga taman-taman budaya serta sekolah tinggi seni yang ada di daerah. Adapun kriteria kelayakan sebagai maestro seni antara lain usia.

Mereka harus lebih dari 50 tahun dan sudah berkarya tidak kurang dari 20 tahun. Ketentuan lainnya segi kelangkaan, baik dari segi orangnya (langka/ tidak ada yang lain) juga tradisinya memang sudah langka. Adapun kriteria paling penting lain,seniman itu hidupnya tidak berkecukupan. Ibarat hidup enggan mati tak mau.

“Mereka ini butuh bantuan agar bisa hidup dan menghidupi tradisi dengan baik,”kata Prudentia. Misalnya saja, tutur Teti, panggilan akrab Prudentia, Sawir St Sati, 60,asal Sumatera Barat. Seniman yang memiliki keahlian di bidang syair dan musik ini hari-harinya berjualan pakaian. Sebagai pedagang kaki lima,dia berjalan dari satu tempat ke tempat lain.

Namun dalam kondisi itu Sawir terus memperdalam kemampuannya mendendangkan lagu-lagu Minang yang sebelumnya sudah dia pelajari saat di kampung. Berkat kemampuannya berdendang dengan iringan saluang, juga lantaran kebisaannya bermain randai, dia pun kerap diundang mengisi acara pesta perkawinan atau perjajanan lain. Ada juga maestro asal Aceh, Ismail Saroeng.

Dia salah satu seniman yang luput dari bencana tsunami. Saat seluruh hartanya terhanyut tsunami,hanya satu harta,yaitu alat musik tiup miliknya yang selamat. Di balik peristiwa itu, Ismail Sarong merasa masih diberi kesempatan untuk menjaga tradisi leluhur sebagai seniman peniup seurune kale yang kian langka. Dengan kriteria semacam tersebut,maka dari 54 kandidat yang masuk ke tim juri, yang lolos untuk mendapat penghargaan sebanyak 27 orang.

Mereka ini selanjutnya akan disantuni pemerintah dengan memberi honor seadanya, yaitu sebesar Rp1 juta per bulan. Santunan ini diberikan sepanjang mereka produktif mengalihkan pengetahuan mereka kepada generasi muda.

Mereka bisa mentransfer pengetahuan mereka kepada generasi muda melalui institusi formal seperti sekolah maupun nonformal berupa taman budaya atau sanggar. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun bisa memanfaatkan mereka. (donatus nador)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Desember 2007

Visit Indonesia Year 2008: Pariwisata Harapkan Inisiasi Daerah

BISAKAH Visit Indonesia Year (VIY) 2008 memenuhi target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebesar 7 juta orang? Pertanyaan itu menjadi pemicu keraguan sekaligus optimisme pelaksanaan dan keampuhan VIY 2008.

Dalam jumpa pers akhir tahun, Kamis (27/12), Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik mengakui target 6 juta wisman tahun ini belum bisa tercapai. Wacik memprediksi total jumlah wisman sampai akhir Desember ini sekitar 5,5 juta orang. "Karena belum mencapai target, tentunya kita perlu mengadakan evaluasi," ujarnya.

Meski demikian, nada positif tetap disampaikan Wacik mengingat angka 5,5 juta merupakan rekor baru. Sejak 1998 hingga kini, jumlah wisman terbesar terjadi pada 2004, yakni sekitar 5,3 juta orang. Berkaitan dengan hal itu, Wacik mengatakan rasa optimistisnya pada perkembangan program VIY 2008. "Kita tidak perlu ciut melihat keberhasilan negara tetangga menjaring wisman. Yang terpenting sekarang ialah menanamkan sadar wisata kepada masyarakat di pelosok negeri," tukasnya.

Untuk itu, kerja sama pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah yang memiliki destinasi wisata potensial hendaknya berupaya agar wisatawan yang sudah pernah datang mau berkunjung lagi. Masalah itu, tegasnya, bukan semata tanggung jawab departemen. "Semua tergantung kepada pimpinan daerahnya. Ada pimpinan daerah yang bersemangat menata pariwisata, ada juga yang sampai sekarang belum tergerak."

Itu sebabnya, lanjut Wacik, masih terlihat ketimpangan perkembangan pariwisata antardaerah. Pun ada jurang perbedaan kemajuan pariwisata antara Indonesia bagian barat dan timur. Dalam arti, infrastruktur dan fasilitas wisata yang tersedia di Indonesia bagian barat lebih memadai ketimbang yang ada di Indonesia timur. "Sekali lagi, kondisi itu tergantung pada kebijakan pimpinan daerah. Seharusnya, jika suatu destinasi wisata sudah banyak dikunjungi wisman, pemdanya tergerak untuk mulai mengembangkan lokasi, termasuk mencari investor," tukasnya.

Lebih jauh ia menyebutkan, sampai sekarang geliat pariwisata Indonesia bagian timur masih terbatas pada wisata bahari. Itu pun belum merata. Namun, beberapa pemerintah daerah mulai gencar melakukan promosi dan menarik investor, seperti kawasan Raja Ampat di Papua dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Seni budaya


Berkaitan dengan beberapa kasus yang berpotensi memunculkan konflik Indonesia Malaysia, Wacik menegaskan, pihaknya akan segera membuat lembaga antarpemerintah. Tujuannya ialah mengamankan kekayaan budaya tradisional.

Ia menuturkan, lembaga itu mungkin berbentuk dewan pakar yang bisa mengamankan budaya tradisional dari klaim negara lain, juga menghindari berbagai kesalahpahaman terkait dengan perpindahan dan pengaruh seni budaya.

Ia menjabarkan perpindahan suku tertentu dari negara satu ke negara lain mungkin menjadi penyebab munculnya seni budaya yang mirip, bahkan sama persis, misalnya kesenian barongsai yang juga banyak dihadirkan dalam acara-acara budaya di Indonesia. "Ini merupakan seni budaya yang dibawa para pendatang Tiongkok ke Indonesia. Tapi kita tetap menyebutnya barongsai dari Tiongkok. Bukan barongsai Indonesia. Itulah yang harus dilakukan dan ditegaskan," paparnya.

Di bidang perfilman, Wacik menilai produksi film tahun ini mengalami kemajuan cukup pesat, dengan jumlah produksi sekitar 70 film. Menurut dia, itu menggembirakan, apalagi banyak upaya mengangkat daerah sebagai potensi wisata melalui media visual jenis film.

Pada kesempatan itu, heboh slogan VIY 2008 yang berbunyi Celebrating 100 years of Nation's Awakening juga disinggung. Beberapa kalangan mengatakan slogan itu seharusnya berbunyi Celebrating 100 years of National Awakening.

Setelah mengadakan konsultasi dengan beberapa pakar bahasa, Wacik menyatakan tidak ada yang salah dari kedua kalimat tersebut. Tapi karena program VIY ini berkaitan dengan perayaan Kebangkitan Nasional yang ke-100, harusnya kalimat tersebut berbunyi Celebrating 100 years of National Awakening. Nation's awakening menurut Menteri bermakna lebih sempit dengan terjemahan harfiah kebangkitan bangsa. "Padahal yang kita maksud adalah Kebangkitan Nasional. Karena itu, departemen telah menginstruksikan pihak-pihak terkait untuk mengubah slogan tersebut," tegasnya. (Wey/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Desember 2007

Budaya: 27 Maestro Seni Tradisi Mendapat Penghargaan

JAKARTA (Media): Upaya mencegah punahnya budaya tradisi lisan, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) memberikan penghargaan kepada 27 maestro seni tradisi. Penghargaan itu diberikan kepada para seniman tradisi yang masih mengalihkan ilmunya kepada masyarakat sekitar. ''Jadi ada upaya dari maestro yang terpilih untuk melestarikan budaya itu,'' kata Ketua ATL Pudentia di Jakarta, kemarin.

Para dewan juri yang ditunjuk panitia yakni Nano Riantiarno, Mukhlis Paeni, Sardono W Kusumo, Sapardi Djoko Damono, dan beberapa anggota lainnya sempat berdebat dalam menentukan kriteria maestro. Namun akhirnya disepakati kriteria maestro ialah seniman yang berusia di atas 50 tahun dan minimal selama 20 tahun berturut-turut menekuni seni tradisi.

Maka muncullah 27 maestro terpilih yakni Abdullah Abdul Ramhan (Aceh), Ismail Saroeng (Aceh), Alistar Nainggolan (Sumatra Utara), Zulkaedah Boru Harahap (Sumatra Utara), Ibrahim Ahmad (Kepulauan Riau), Ali Ahmad (Tanjung Pinang, Riau), Sawir St Sati (Sumbar), Islamidar (Sumbar), Sahilin (Palembang), Saidi Kamaludin (Palembang), H Bodong (DKI), H Surya Bonang (DKI), Encim Masnah (DKI), Taham (Cirebon), Mimi Rasina (Indramayu), Tan Daseng (Bandung), Euik Muhtar (Bandung), Ki Sugito Adiwarsito (Yogyakarta), Kandar (Kediri), Arimun (Malang), I Made Sija (Bali), Amaq Raya (Lombok), Jeremiah Paah (NTT), Bakhtiar Sanderta (Kalsel), Serang Dakko (Gowa), Mak Coppang (Gowa), dan Sermalina Maniburi (Papua).

Menurut Pudentia, para maestro itu sudah selayaknya mendapat penghargaan dari negara. ''Mereka telah mewarisi dan menghidupi tradisi dengan jiwanya bukan karena didorong faktor-faktor yang bersifat kebendaan.''

Dalam kesempatan sama, Dirjen Nilai Budaya Mukhlis Paeni sekaligus salah satu juri mengakui pemberian penghargaan bagi para maestro agak terlambat. Akan tetapi, pemerintah akan mewujudkan gagasan itu dalam bentuk kebijakan, berupa pemberian tunjangan hidup senilai Rp1 juta per bulan.

Diharapkan tunjangan itu bisa merangsang para maestro untuk terus berkarya. ''Bantuan tunjangan hidup ini untuk mendorong mereka mewariskan kepada generasi muda. Bahkan, kita juga berencana memberikan beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa yang berminat nyantrik (berguru), dan serius menekuni seni tradisi dari sang maestro,'' jelasnya. (Eri/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Desember 2007

Saturday, December 29, 2007

Wacana: Mengembalikan Sastra ke Kekuatan Teks

-- Ahmadun Yosi Herfanda

SECARA umum, selain karya-karya sastra yang mengalami 'pembesaran' oleh media massa dan mendapatkan 'perpanjangan lidah' karena kontroversi yang dibawanya, pada tahun-tahun terakhir ini kekuatan teks sastra Indonesia memang terkesan cenderung melemah. Ada beberapa faktor yang layak dicurigai sebagai penyebabnya.

Pertama, pertumbuhan kualitas sastra Indonesia, baik secara estetik maupun tematik, memang mandeg. Artinya, secara estetik maupun tematik, karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi, cenderung stereotip sehingga sekadar menjadi media reproduksi karya-karya sebelumnya dengan sentuhan pembaruan yang tidak signifikan. Jadi, melimpahnya produksi karya sastra belum dibarengi peningkatan kualitas secara memadai. Namun, kecurigaan ini masih layak diperdebatkan, karena belum didasarkan pada penelitian yang mendalam dan komprehensif.

Kedua, masih terjadi krisis kritikus, sehingga karya-karya sastra yang unggul tidak terjembatani untuk sampai ke publik pembacanya secara baik. Sementara, rasa haus pembaca khususnya pengamat serta pecinta sastrauntuk berburu karya-karya sastra yang unggul masih terhambat sempitnya waktu dan relatif makin rendahnya daya beli mereka akibat makin mahalnya harga buku-buku karya sastra. Sedangkan untuk membaca semua karya sastra terkini yang dimuat di media massa dan majalah sastra kemungkinannya juga kecil.

Ketiga, kegiatan 'politik sastra non-teks' atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks memang cenderung meningkat. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai 'strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra' tapi lebih sebagai 'strategi pemasyarakatan diri atau kelompok' tanpa mempertimbangkan kekuatan karya.

Kalaupun ada pertimbangan, lebih pertimbangan ideologis, gang, atau kepentingan-kepentingan lain non-sastra. Akibatnya, orientasi teks tergusur oleh orientasi non-teks alias non-sastra, seperti kepentingan 'oknum', kelompok, ideologi, aliran sumber dana, dan kekuasaan gang.

Dan, keempat, karakter pergaulan sastra kita terseret oleh karakter koran ingat saat ini kita masih berada dalam era sastra koran yang memang cenderung lebih memberi tempat pada isu-isu permukaan, sensasi dan kontroversi. Akibatnya, isu-isu dari 'politik sastra non-teks' lebih mendapat ruang di media massa (koran). Begitu juga isu dari karya-karya sastra yang sensasional dan melawan arus (kontroversial).

Kalaupun kadang-kadang tetap melihat teks, maka lebih ke pertimbangan ideologis dan kepentingan pasar, sehingga teks sastra tersebut mengalami 'pembesaran media' meskipun kualitasnya masih layak diperdebatkan. Akibatnya, karya-karya sastra yang bisa jadi lebih potensial menjadi kanon malah terkubur oleh isu-isu dan wacana yang berasal dari teks-teks tersebut di atas.

Sementara, tingkat apresiasi sastra masyarakat rata-rata juga belum cukup memadai untuk memilih teks-teks sastra yang memang berkualitas dan layak 'dikonsumsi' sehingga mereka cenderung ikut larut ke dalam isu-isu dan wacana 'sastra permukaan' seperti dimaksud di atas.

Mengembalikan tradisi sastra pada 'kekuatan teks' jelas menjadi cita-cita kita bersama. Tapi, dalam situasi seperti sekarang, diera 'pasar bebas sastra' kita memang tidak cukup mengandalkan begitu saja pada 'kekuatan teks'. Perlu ada 'politik sastra' yang lebih sehat dan lebih berorientasi pada teks, agar karya-karya sastra yang memang unggul, dapat dibaca dan didorong untuk menjadi kanon serta menjadi bagian terpenting sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang kiranya perlu dipertimbangkan. Pertama, menguatkan jaringan sosialisasi sastra dengan disertai pemberian penghargaan khusus pada karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dan dipilih secara objektif untuk kepentingan sastra itu sendiri.

Kedua, menghidupkan kembali tradisi kritik sastra yang profesional dan hanya mendasarkan pada keunggulan teks, bukan hal lain di luar teks sastra. Ketiga, meningkatkan penerbitan karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dengan pemberian penghargaan tahunan berdasarkan penilaian yang benar-benar objektif dan semata untuk kepentingan sastra.

Keempat, meningkatkan apresiasi sastra masyarakat agar memiliki rasa cinta sekaligus sikap kritis terhadap karya sastra, sehingga mampu menengarai mana karya sastra yang bagus, dan mana yang buruk serta tidak layak 'dikonsumsi'. Kelima, meningkatkan kualitas sistem seleksi karya pada rubrik-rubrik sastra di media massa (surat kabar), serta media-media khusus sastra, dengan tetap memelihara semangat multikultural, dan tanpa melupakan misi pembinaan serta kaderisasi.

Keenam, meningkatkan kesadaran atas keberagaman corak estetik dan tema karya sastra tanpa melupakan pentingnya kualitas. Jadi, membangun semacam demokratisasi sastra yang sehat dan selektif, serta berorientasi pada kualitas. Dengan langkah-langkah di atas, barangkali kita pelan-pelan dapat mengembalikan tradisi sastra kita pada kekuatan teks. Bukan pada kekuatan lobi, provokasi, selera pasar semata, maupun kepentingan gang, idiologi dan mafia komunitas.

Sumber: Republika, Minggu, 23 Desember 2007

Sastra: Karya di Tengah Silang Sengkarut

SEBUAH obrolan selepas di depan Taman Budaya Kalimantan Timur seusai Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, 26 Oktober 2007 yang lalu.

Di situ ada Saut Situmorang, Isbedy Stiawan Z.S., Ari Pahala Hutabarat, Oyos Saroso HN, dan cerpenis Trianto Triwikromo. Hanya sebuah obrolan santai sambil saling berseloroh. Tapi tiba-tiba suasana menjadi serius dan panas. Dan itu dimulai dengan pertanyaan Saut yang ditujukan pada Isbedy dan Ari Pahala, "Bagaimana, enak diundang TUK?" Pertanyaan itu awalnya diladeni Isbedy dan Ari Pahala dengan gurauan dan sindiran. Akan tetapi, kemudian lama-kelamaan suasana jadi tambah panas. Saut terus berbusa-busa menerangkan sejumlah hal dan sikapnya yang cenderung menyerang komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Ketika Isbedy, Ari Pahala, Trianto, dan Oyos dianggapnya membela TUK, tiba-tiba telontarlah makian Saut, "Ah! Kalian semua tahi kucing! Bela-bela TUK!"

Kejadian itu hanyalah bagian kecil dari riuh-rendahnya silang sengkarut dalam sastra Indonesia sepanjang tahun 2007. Silang sengkarut yang tak hanya terjadi di milis, tapi juga hingga ke forum-forum diskusi sastra. Bahkan, sebuah news letter seperti Boemi Poetra pun diterbitkan untuk menegaskan bahwa hegemoni sastra itu ada dan berbahaya. Di bagian lain, sebuah polemik lama pun muncul kembali pada tahun 2007 ini, yakni perdebatan ihwal sastra, seks, dan moral. Perdebatan ini muncul sejak Pidato Kebudayaan penyair Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki (TIM) tanggal 20 Desember 2006. Penyair senior ini melontarkan apa yang disebutnya dengan Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) untuk mengidentifikasi kecenderungan sejumlah karya sastra Indonesia yang dianggapnya mengeksplorasi seksualitas. Selain Taufiq Ismail dan Saut Situmorang, juga tampil Hudan Hidayat, Mariana Aminuddin, dan Fajroel Rachman meladeni Taufiq Ismail di seberang lain. Kebebasan ekspresi sastra dan moral di situ dipertengkarkan.

Namun apa pun, seluruh silang sengkarut yang menamakan dirinya politik sastra itu, juga polemik kebebasan sastra dan moral, sepanjang tahun 2007 telah menghadirkan sebuah perkembangan menarik.

Akan tetapi, kritikus sastra Acep Iwan Saidi seolah hendak menginterupsi peristilahan politik sastra yang dilabelkan pada silang sengkarut yang selama ini terjadi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan politik sastra? Apakah ia berarti sebuah strategi untuk mencapai sesuatu? Jika benar apa yang ingin dicapainya, kualitas karya? Perjuangan mendudukkan sebuah estetika baru? Atau jangan-jangan hanya mencari popularitas semata? Ia menilai sepanjang tahun 2007 yang tampak adalah ketidakjelasan arah pemikiran. Sekelompok orang menghujat kelompok lain sebab merasa kelompok lain itu menerapkan hegemoni. Lalu melontarkan pernyataan-pernyataan emosional, bahkan sangat kasar.

Tentang GSM yang dilontarkan Taufiq Ismail, Acep Iwan Saidi memandang betapa lontaran itu tidak disertai oleh data-data tekstual.

"Jangan-jangan karya sastra yang dimaksudnya porno itu menjadi porno justru karena Taufiq menjulukinya demikian. Terus, Taufiq juga tidak mengungkapkan data sebatas mana karya-karya yang dianggapnya porno itu memengaruhi masyarakat. Saya pikir di bagian ini pendapat Taufiq justru terasa ganjil jika dihubungkan dengan apa yang bertahun-tahun ia gemborkan: bahwa para siswa sekolah dasar sampai menengah jarang sekali membaca karya sastra, jauh berbeda jika dibandingkan dengan di negeri jiran. Pemimpin-pemimpin kita juga katanya tidak dilahirkan dari generasi pembaca sastra. Nah, lho, kalau begitu, bagaimana ceritanya sampai kemudian Taufiq merasa khawatir jika karya-karya porno itu bisa meracuni masyarakat."

Moral dan etik

Di sisi lain, berbeda dengan Acep, penyair dan redaktur majalah sastra Horison, Jamal D. Rahman, memandang bahwa polemik ihwal seks dalam sastra lebih berkorelasi dengan moral dan etik sastra di tengah lingkungan sosialnya. Sebuah lingkungan sosial yang amat menyedihkan. "Kita tahu, situasi sosial kita dewasa ini penuh bencana, mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir (bandang), lumpur Lapindo, kemiskinan kian menggencet, dan lain-lain dengan ribuan korban yang masih menderita entah sampai kapan. Pertanyaan dasarnya adalah dalam situasi menyedihkan seperti itu, apakah menjadikan seks sebagai tema dalam karya sastra dapat diterima secara moral?"

Di bagian lain, Jamal pun setuju dengan asumsi bahwa silang sengkarut dan berbagai polemik yang terjadi telah menyebabkan lenyapnya karya sastra dalam perbincangan, di samping juga karena adanya sejumlah faktor yang turut melemahkannya, yakni kritik sastra, terutama kritik di media-massa. "Ya, banyak orang tidak tahu karya sastra apa yang dapat kita anggap penting di tahun 2007 ini yang dipertimbangkan dengan pemikiran, diskusi, atau polemik, Karena kritik dan media kritik sastra sangat minim, peran kritik sastra diambil alih oleh industri atau pasar. Pasarlah yang menentukan apakah karya sastra ’heboh’ atau tidak. Begitu pasar menerima karya sastra, ’heboh’-lah karya sastra itu. Tak ada karya sastra yang di-’heboh’-kan oleh kritik," tuturnya.

Sementara itu, Acep Iwan Saidi menilai bahwa sesungguhnya terdapat banyak karya menarik yang layak dan penting untuk diperbicangkan di tahun 2007 ini, ketimbang berkerumun dan menghujat.

"Saya ingin menunjukkan beberapa contoh saja melalui beberapa pertanyaan berikut: 1) mengapa sajak-sajak Joko Pinurbo dalam antologi Kepada Cium menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan sajak-sajak sebelumnya?; 2) Mengapa Acep Zamzam Noor membuat judul antologinya, Menjadi Penyair Lagi?; 3) Mengapa Andrea Hirata menjadi demikian populer, ada apa dengan Laskar Pelangi yang terbit tahun sebelumnya?; 4) Mengapa Bu Guru yang dijadikan model tokoh dalam Laskar Pelangi itu tiba-tiba menjadi populer?, dan 5) mengapa Soni Farid Maulana senang sekali menerbitkan kumpulan puisi? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini lebih layak diperbincangkan dan didiskusikan daripada berkerumun dan menghujat."

Senada dengan Acep Iwan Saidi, penyair dan esais Adi Wicaksono memandang banyak terdapat karya menarik sepanjang tahun 2007, terutama di genre yang dilabeli sastra pop. Selain semakin kuat di pasar, sesungguhnya sejumlah karya sastra pop seperti Laskar Pelangi Andrea Hirata tidaklah melulu hanya menghidangkan permasalahan cinta seperti banyak diduga. Dalam sastra pop juga terdapat permasalahan-permasalahan identitas dan pluralitas. Perkembangan sastra pop, kata dia, sekarang tidaklah bisa disamakan dengan zaman-zamannya Lupus Hilman Hariwijaya.

Perkara tafsir

Berangkat dari fenomena 2007 dan membayangkan tahun 2008 mendatang, Acep Iwan Saidi atau Adi Wicaksono sama merasa optimistis bahwa sastra Indonesia akan melahirkan karya-karya yang bagus, seraya juga sebaliknya menyimpan pesimisme yang sama terhadap perkembangan kritik sastra. Di bidang pemikiran, satu hal yang ditegaskan Acep Iwan Saidi adalah soal kritik dan tafsir atas karya. Polemik-polemik tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, menurut dia, salah satunya dipicu oleh kesimpangsiuran tafsir.

"Satu peristiwa penting yang tidak Anda tanyakan di tahun ini --padahal sangat penting-- adalah soal pemberedelan sajak ’Malaikat’ karya Saeful Badar di harian ini. Saya pikir Anda sendiri pasti mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi sebab timpangnya tafsir yang kemudian diikuti oleh tindakan sepihak yang merasa memiliki kebenaran. Ada satu pendapat umum bahwa siapa pun bebas menafsirkan karya seni sebab seni bersifat subjektif. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Semua rumah punya pintu, dan Anda harus terlebih dahulu mengetuk pintu itu jika ingin masuk ke dalamnya, kecuali jika Anda preman atau pencuri. Ini artinya, jika Anda ingin menafsir seni, Anda juga harus mengetahui ilmunya, setidaknya Anda berdiskusi dengan ahlinya. Apalagi, jika kemudian berdasarkan tafsir itu Anda mengklaim, menista, dan merusak. Anda tidak bisa menyebut buku harian sebagai novel, begitu pun saya tidak bisa menafsir sebaris ayat Alquran sebagai selarik puisi.

Islam bahkan dengan sangat jelas menyarankan bahwa setiap persoalan hendaknya diberikan pada ahlinya. Untuk itu pula sebenarnya sekolah didirikan dan disiplin ilmu disusun. Bagian penting dari soal tafsir di ruang publik--dan ini yang selalu jadi soal--tentu saja media publik itu sendiri. Media, saya pikir, harus bertindak objektif dan netral sebab ia media publik, jelas ia milik publik. Kasus sajak ’Malaikat’ yang, menurut saya, fenomena budaya paling penting tahun 2007, terutama di Jawa Barat, adalah sebuah contoh yang tidak baik. Ini kritik saya untuk Pikiran Rakyat. Saya berharap ini tidak terulang pada tahun 2008," paparnya.

Sementara itu, Adi Wicaksono memprediksi bahwa sastra pop, termasuk yang bertemakan keagamaan (Islam), akan tetap menjadi perkembangan menarik sepanjang tahun 2008 . Satu hal yang justru dicemaskannya adalah perkembangan kritik sastra. Keengganannya untuk menjamah sastra pop dan yang berkembang di berbagai daerah akan membuat kritik sastra mengalami involusi.

"Dia hanya melulu melihat ke dalam, tidak mau ke luar. Ya, seperti katak dalam tempurung," ujarnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Desember 2007

Langkan: Maestro Seni Mendapatkan Bantuan

Sebanyak 27 maestro seni tradisi berusia 56 tahun hingga 88 tahun dari berbagai daerah mendapat penghargaan dari pemerintah berupa honorarium transfer pengetahuan sebesar Rp 1 juta per orang. Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Mukhlis PaEni dalam acara Laporan Akhir Tahun Asosiasi Tradisi Lisan, Jumat (28/12), mengatakan, penghargaan diutamakan bagi pelaku seni tradisi yang nyaris punah. Mereka antara lain pelaku seni tradisi musik serunai (Aceh), opera Batak (Sumatera Utara), wayang bangsawan (Kepulauan Riau), dulmuluk (Palembang), wayang betawi (Jakarta), tari topeng (Indramayu), wayang krucil (Jawa Timur), wayang gung mamanda (Banjarmasin), dan tradisi munaba (Papua). Masnah (75), penyanyi klasik gambang kromong di Tangerang, mengatakan, dia sulit sekali mendapatkan penerusnya karena anak muda sekarang maunya serba gampang. Mukhlis mengatakan, pelestarian seni tradisi sekarang berlomba dengan waktu lantaran sebagian besar para maestro telah berusia lanjut. Diperkirakan sekitar 300-400 seni tradisi yang hampir punah. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Pudentia MPSS menambahkan, para maestro itu ibarat ensiklopedia dari seni tradisi yang mereka tuturkan. Tantangan lain ialah proaktifnya negara-negara tetangga dalam menggali seni tradisi di Indonesia. (INE)

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Desember 2007

Budaya: Nilai Kejujuran Mulai Sirna

JAKARTA (Media): Bangsa Indonesia saat ini mulai kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Hal itu membuat nilai-nilai fitrah manusia seperti kejujuran, kepedulian, dan kasih sayang juga mulai sirna di tengah masyarakat.

"Ini menjadi ancaman terbesar bangsa kita," kata Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Men PAN) Taufik Effendi saat memberikan sambutan di pembukaan Training ESQ Eksekutif Nasional Angkatan ke-65, di Jakarta, kemarin.

Hilangnya sifat kemanusiaan, lanjut Taufik, menjadi salah satu faktor penyebab tumbuh suburnya korupsi di Tanah Air. "Korupsi itu menjadi ancaman besar yang secara nyata siap menghadang kita," ujarnya.

Korupsi terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Untuk menghilangkan kesempatan itu, Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara membuat serangkaian pagar dalam bentuk enam rancangan undang-undang (RUU), di antaranya tentang etika penyelenggara negara dan pengawasan nasional. "Namun, Selama ini, sedikit yang mencoba menghilangkan niat jahat korupsi," kata Taufik.

Training ESQ yang telah menghasilkan alumni sebanyak 425 ribu lebih itu, menurut Taufik, dapat menjadi benteng moral aparatur negara sehingga niat korupsi bisa dihilangkan. "Saya yakin itu bisa dilakukan melalui pelatihan ESQ," tegasnya.

Karena itu, dalam kesempatan tersebut, Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara menjalin kerja sama dengan ESQ Leadership Center. Nota kesepahaman ditandatangani Taufik Effendi dan pemimpin ESQ LC Ary Ginanjar di Jakarta, kemarin.

"Ini sebagai sinergi pengembangan SDM dan pencegahan korupsi di lingkungan aparatur negara," kata Taufik seusai penandatangan nota kesepahaman. Sedangkan, Ary mengatakan bahagia dengan niat aparatur negara membentengi moralnya melalui ESQ. (RO/H-2)

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 29 Desember 2007

Thursday, December 27, 2007

Sosok: Pak Ali, Guru Pantun dari Bintan

Beli sepapan kain katun
Katun diukur dengan kayu
Bertutur sopan bile berpantun
Karena pantun budaye Melayu

Katun diukur dengan kayu
Kayu dibeli dari Nongsa
Pelihare pantun budaye Melayu
Rosak budaye rosaklah bangsa


Menjadi "tukang pantun" tentulah bukan cita-cita Muhamad Ali Achmad sejak kecil. Semula ia hanya mengikuti garis nasib yang mengalir, sesuai profesinya sehari-hari sebagai guru SMP di kota kelahirannya, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Memang, sejak kecil Muhamad Ali hanya punya satu cita-cita pokok: menjadi guru! Demi meraih cita-cita itu, setamat SMP ia memilih melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG).Di sini Muhamad Ali mempelajari banyak hal. Selain lewat mata pelajaran umum, ia juga dibekali ilmu tentang metode dan strategi mengajar, bagaimana menguasai kelas, hingga hal-hal menyangkut tahap-tahap perkembangan anak.

Sebagai calon guru yang dipersiapkan untuk mengajar anak-anak sekolah dasar (SD), bekal pemahaman tentang kepribadian orang lain (baca: peserta didik) lewat sejumlah mata pelajaran ilmu kependidikan yang ia terima ternyata sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi setamat SPG ia tak langsung terjun menjadi guru, tetapi meneruskan ke jenjang pendidikan guru sekolah lanjutan pertama (PGSLP).

"Kebetulan pada tahun saya tamat SPG, atas prakarsa Pak Djauzak Achmad (tokoh pendidikan di Riau, pernah menjadi Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud), dibukalah PGSLP di Tanjung Pinang. Saya melanjutkan ke sana. Di sana pula akhirnya saya bertemu jodoh," kata Muhamad Ali yang akrab dipanggil Pak Ali oleh murid dan koleganya.

(Dari Nongsa ke Sungai Jodoh
Sampai di sana membeli kain
Sudah lame mencari jodoh
Bertemu adinda langsung kawin)

Belakangan, setelah lebih dari 10 tahun berprofesi sebagai guru SMP di Tanjung Pinang, sejak awal 1970-an ia mulai kerap diminta menjadi pembawa acara di berbagai hajatan. Pada acara-acara perkawinan, kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan, hingga upacara-upacara adat, nama Muhamad Ali mulai dikenal luas sebagai master of ceremony (MC). Dalam membawakan acara, ia kerap tampil berpasangan dengan Nunung, penyiar di RRI Tanjung Pinang.

Sejak itu pula dunia pantun-memantun menjadi begitu akrab dalam kesehariannya. Memang tak bisa dihindari, mengingat untuk menjadi pembawa acara Pak Ali mulai dituntut agar bisa berpantun di setiap jeda waktu pada pergantian acara. Belum lagi pada awal dan akhir kegiatan, kebiasaan berpantun sudah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dalam setiap perhelatan di tanah Melayu.

Pantun telah menjadi hiasan dan bunga-bunga yang digunakan juru acara majelis untuk membuat ruang pertemuan "harum semerbak".

"Awalnya memang berat, tetapi lama-kelamaan pantun-pantun itu mengalir begitu saja. Seperti kata pepatah, ’ala bisa karena biasa’. Kiatnya sederhana, percaya diri, serta rajin membaca dan berlatih," ujar Pak Ali, sang guru pantun dari Pulau Bintan.

Mulai luntur

Lahir di Tanjung Pinang, 1 Maret 1941, bapak dari empat anak ini sekarang lebih dikenal secara luas sebagai pemantun ketimbang profesinya sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.

Tak aneh bila sebutan "guru pantun" pun terkadang muncul dan dijadikan panggilan lain untuk dia. Terlebih sejak ia pensiun pada 2001 (terakhir Muhamad Ali tercatat sebagai tenaga pengajar di SMP Negeri 5 Tanjung Pinang), suami Nong Azamah ini bisa dikatakan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk urusan pantun-memantun.

Dalam banyak peristiwa pinang-meminang di Tanjung Pinang, ia kerap dilibatkan oleh keluarga-keluarga yang tak terlalu pandai berpantun. Ia bisa diminta sebagai wakil keluarga yang meminang atau sebaliknya. Dalam adat resam Melayu tersebut, kemampuan berpantun menjadi penting, lantaran pemaparan isi pertemuan disampaikan dalam bahasa kias yang santun berbentuk pantun.

Di tengah arus modernisasi yang mendera kalangan generasi muda, tak terkecuali di Pulau Bintan sebagai daerah yang kerap dijuluki Melayu yang sebenar-benarnya Melayu, kebiasaan berpantun untuk mengungkapkan perasaan hati itu sudah mulai luntur.

Di tengah kondisi itulah orang- orang seperti Muhamad Ali menjadi sangat berperan. Ia pun sadar dan merasa "dipakai" di masyarakat karena pantun.

"Padahal, kalau memang mau, sebetulnya berpantun itu mudah. Gampang, cari dulu isinya baru kemudian membuat sampiran. Bagi yang belum mahir, tetapi ingin sekali berpantun, untuk pembayang (sampiran) dapat diambil dari kata-kata yang bersumber dan berunsurkan hal-hal yang ada di sekitar kita. Tak usah mencari-cari kata yang sukar didapat atau payah dimengerti. Prinsipnya sederhana, yaitu tiga M: mudah dibuat, meriah bagi pendengar, dan menarik isinya," kata Muhamad Ali.

Dengan kata lain, kemampuan berpantun tak selalu berkelindan dengan bakat dan talenta. Kemampuan berpantun bisa diajarkan. Itu artinya orang bisa belajar mengasah dirinya untuk piawai dalam berpantun. Banyak membaca, rajin berlatih, dan sering dipraktikkan menjadi kunci dalam berpantun.

Tesis ini paling tidak dibuktikan sendiri oleh Pak Ali, yang baru menekuni dunia pantun-memantun pada usia 31 tahun. Sebelum itu, ia hanya tahu dari buku-buku bahwa pantun (pada umumnya) adalah jenis sastra lisan yang terdiri atas empat baris dengan pola sajak ab-ab. Pak Ali juga sudah sejak lama paham bahwa dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi dari sebuah pantun.

Baginya, tak penting benar perdebatan klasik para ahli apakah antara sampiran dan isi memiliki hubungan atau tidak. Biarlah orang-orang seperti HC Klinkert (1868), Pijnappel (1883), van Ophusyen, Hooykas, Tenas Effendi, atau Sutardji Calzoum Bachri berteori tentang pantun, tetapi bagi Pak Ali yang terpenting adalah berpantun itu sendiri.

Seperti orang belajar bahasa Inggris, kata dia, belajar pantun juga harus selalu dipraktikkan agar terbiasa. Syukur-syukur apabila kebiasaan itu meningkat menjadi semacam "mata pencarian".

Satu hal yang selalu ia yakini, berpantun harus dengan hati senang. Oleh karena itu, Pak Ali selalu berusaha agar pantun yang ia buat berisikan hal-hal yang dapat menyegarkan pendengar.

Oleh karena itu, pantun lebih banyak ia tempatkan sebagai seni tradisi yang bersifat menghibur, bahkan ketika menyampaikan kritik sekalipun. (KEN)


Biodata

Nama: Muhamad Ali Achmad
Lahir: Tanjung Pinang, 1 Maret 1941
Pendidikan: PGSLP
Pekerjaan: Pensiunan Guru
Istri: Nong Azamah
Anak:
- Ir H Agus Ika Putra (40)
- Yuli Polina Spi (38)
- Finaliantry SE (36)
- Dessy Kurniawati Amd (34)

Sumber: Kompas, Kamis, 27 Desember 2007

Wednesday, December 26, 2007

Kesenian: Malaysia Belajar Kurikulum Seni

Bandung, Kompas - Meskipun isu klaim seni budaya yang dilakukan Malaysia pada Indonesia membuat "panas" bangsa Indonesia, hingga kini warga Malaysia tak gentar dan terus datang ke Indonesia untuk belajar kesenian. Malaysia juga aktif mengundang guru seni dari Indonesia ke Malaysia.

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 10, yang dulu dikenal sebagai Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Bandung, sejak dua bulan lalu hingga pertengahan Desember didatangi sekitar 20 guru dan pejabat Pemerintah Malaysia. Kedatangan mereka untuk mengadopsi kurikulum pendidikan seni budaya di SMKN 10. Itu karena tahun ini Malaysia baru saja membuka dua sekolah menengah bidang seni di Sarawak dan Johor.

"Waktu mereka datang dan menawarkan kerja sama, kami sudah punya strategi. Para guru SMKN 10 juga punya nasionalisme dan tidak ingin memberikan peluang kepada negara lain mencuri seni budaya daerah-daerah di Indonesia," kata Nana Munajat Dahlan, guru bidang Tari serta Metodologi Kepelatihan dan Penulisan Karya Seni, di Bandung, akhir pekan lalu. Nana juga pernah melatih penari di Brunei Darussalam.

Strategi yang dilakukan menghadapi tamu-tamu dari Malaysia, kata Nana, adalah memberikan penjelasan bahwa klaim seni budaya yang terjadi bukan semata masalah hukum. Pengklaiman seni budaya bangsa lain juga bisa berpengaruh negatif terhadap citra negara karena ada etika berkesenian yang dilanggar.

"Kami setuju jika mereka mengundang kami mengajar, tetapi yang kami ajarkan bukan kesenian daerah Indonesia. Tetapi membantu mereka memperbaiki dan mengembangkan kesenian asli masyarakat Melayu di Malaysia," kata Nana. Kerja sama tersebut akan dimulai tahun 2008 dalam bentuk silang guru. Guru yang mengajar di Malaysia akan diberi uang tiket, akomodasi, dan uang saku.

Dosen Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Nanu Muda mengatakan, Malaysia sudah gencar menyekolahkan guru dan pelajar ke beberapa negara untuk menekuni kesenian sejak 1990-an.

Malaysia juga memerhatikan kesejahteraan para senimannya. "Teman-teman saya ada yang mengajar di Malaysia dan negara-negara lain. Dari mengajar dan pentas saja gaji mereka bisa melebihi gaji profesor di Indonesia," ujar Nanu.

Arthur S Nalan, Ketua STSI Bandung, mengatakan, fasilitas berkesenian di kampusnya sudah memadai. Perhatian pemerintah pun makin membaik. Dana dari Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan untuk penelitian, hibah bersaing, dan sarana prasarana kampus terus diberikan. (YNT)

Sumber: Kompas, Rabu, 26 Desember 2007

Sunday, December 23, 2007

Esai: Perempuan dalam Sastra

-- Nurani Soyomukti*

DALAM kesusastraan Indonesia, masih sedikit kaum perempuan yang berkecimpung di bidang sastra. Dunia sastra masih didominasi kaum laki-laki.Tak heran jika cara pandang bias gender pun terjadi.

Ideologi patriarki yang mendominasi masyarakat kita nampaknya turut memengaruhi cara pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam karya-karyanya. Kontradiksi pokok masyarakat Indonesia mulai dari feodalisme (yang masih tersisa dan belum hancur), kapitalismeimperialistik, dan militerisme adalah tantangan terbesar bagi kemerdekaan perempuan.

Struktur sosial tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk penuh dosa, dilemparkan secara nista dari wilayah produktifnya ke dalam domain domestik; pernikahan seperti pelacuran yang berpilar pada kebaikhatian dan kepasrahan perempuan.

Dalam bukunya Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer menceritakan bahwa perempuan tidak lebih dari media pelatihan bagi pria menuju kesejatiannya untuk menikahi perempuan lainnya yang lebih berderajat atau bangsawan, tetapi tetap dijadikan perhiasan dalam sangkar emas, tetap menjadi alat untuk memproduksi keturunan.

Tidak lebih dari itu. Meski tragis, melalui karya itu, Pram menampilkan perempuan yang memberontak. Tokoh Srintil adalah gadis yang melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya dengan kesadaran melakoni hidup sebagai ronggeng yang dianggapnya sebagai pilihan untuk memberontak.

Humanisme realis Pram memang cukup kritis dalam melihat keberadaan struktur sosial yang membelenggu kaum perempuan. Karena itu pulalah, syaratsyarat munculnya kesadaran akan ketertindasan selalu dimiliki kaum perempuan. Pram menemukan tokoh-tokoh perempuan yang tercerahkan dalam sejarah kebudayaan Indonesia.Tradisi inilah yang sebenarnya harus dikembangkan dalam karya sastra agar berguna bagi kemanusiaan.

Tokoh Ibu yang Mencerahkan


Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah gambaran lain dari perempuan yang mengalami pencerahan; sosok yang bersahaja.

Ia mirip dengan seorang ibu dalam novel Ibundanya Maxim Gorky yang memahami dan mengerti kenapa anaknya dan anakanak muda lainnya harus berjuang membebaskan belenggu ketertindasan. Bahkan, sang ibu tersebut bukan hanya merelakan anaknya dengan tangis keharuan atas jiwa kepahlawanan.

Seorang ibu dalam novel Gorky digambarkan sebagai orangtua yang bertindak; mengirimkan surat-surat ke penjara, membagi-bagikan selebaran secara sembunyi-sembunyi.

Secara tegas, ibunda dalam karya Gorky digambarkan sebagai sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia bersama rakyat miskin lainnya hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Ibunda menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat yang memperlakukan istri secara amat kejam.

Setelah suaminya meninggal, banyak keadaan yang berubah.Ia masih punya anak bernama Pavel,yang kemudian menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu. Keterlibatan Pavel dalam politik dimulai ketika ia memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca buku dan interaksinya dengan para aktivis yang ditemuinya di tempat lain.

Awalnya, ketika dilihatnya bahwa kepribadian, komitmen, dan (utamanya) tujuan hidup anak laki-laki itu berubah, sang ibunda cemas dan khawatir padanya.Tetapi, akhirnya ia mulai dapat memahami hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya setelah kawan-kawan Pavel menyusun sebuah gerakan kemanusiaan yang juga dibicarakan di rumahnya.

Bahkan,sang ibunda haru karena sekecil kumpulan pemuda tidak mabuk-mabukan ketika mengadakan pertemuan di antara mereka. Padahal, di daerah tempat ia tinggal, bila seorang pemuda telah usai kerjanya di pabrik dan berkumpul dengan teman-temannya, kegiatan yang normal adalah minumminum sampai mabuk.

Hal baru lainnya adalah bagaimana seorang gadis kawan Pavel mengorbankan dirinya, waktunya, hanya untuk sesuatu yang abstrak, yang disebut cita-cita. Maka,dalam novel Gorky ini, seorang ibu digambarkan sebagai sosok yang produktif dan aktif dalam sejarah untuk perubahan masyarakat.

Bukan seorang ibu yang cengeng dan hanya menginginkan kesuksesan pribadi anaknya.Ibunda dalam novel Gorky ini adalah yang memiliki cinta kasih universal, menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar.Ketika Pavel dan anak-anak itu satu persatu ditangkap, bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamflet ke kalangan buruh dan tani.

Kemudian, ia dituduh sebagai pencuri oleh seorang mata-mata dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan,“ Bahkan samudra pun takkan mampu menenggelamkan kebenaran!” Pengaruh Maxim Gorky dan sastra realisme sosialis di Indonesia memang melekat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Melalui karya terbesarnya, tetralogi Bumi Manusia, Pram juga mengangkat sosok perempuan sekaligus seorang ibu di masa penjajahan yang banyak melontarkan pemikiran yang maju dan mencerahkan. Tokoh Nyai Ontosoroh yang dikonstruksi dan diidealisasi Pram juga merupakan seorang yang ikut mendukung pemikiran baru yang sedang bangkit waktu itu karena pengaruh pencerahan.

Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita bumiputra yang bernama asli Sanikem, perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi, ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan dalam menolak menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.

Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem, wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Namun bagaimanapun, Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawanan mempertahankan anaknya, meski kalah. Kekalahan adalah risiko dari pertarungan. Tetapi, semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal.

Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak, “Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!” Dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh adalah seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya,Annelis.

Bahkan, ia adalah ibu yang memberikan banyak gagasan maju yang mencerahkan anak angkatnya, Minke, seorang pemuda keturunan bangsawan Jawa yang tidak lagi mau tunduk patuh pada produk pikiran dan tindakan lama yang mencerminkan relasi ketidakadilan.

Seorang ibu, Nyai Ontosoroh, telah mendorong seorang pemuda untuk berpartisipasi dalam mendukung perubahan di sebuah negeri yang memang hendak meninggalkan zaman kegelapan. Seorang ibu dalam masyarakat transisi memiliki peran yang kuat, tidak lemah dan hanya tunduk patuh serta jatuh ke dalam kubang posisi dan peran domestik,apalagi sampai menjadi objek kekerasan suami.

Karya-karya semacam itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini.Perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut partisipasi aktif dan produktif bagi kaum perempuan adalah kebutuhan yang tak dapat ditawar. Para penulis dan pengarang (sastrawan) harus mengagendakan aktualisasi komitmen sosial kepengarangannya, terutama dari kaum perempuan sendiri yang seharusnya berada di garis depan dalam dunia kesusastraan untuk menuliskan posisi dan peran yang maju dan mendobrak budaya patriarki.

Mendobrak Kebudayaan Lama


Akhir-akhir ini memang banyak karya sastra yang menjadi tempat bagi kaum perempuan mendobrak kebudayaan lama Indonesia yang membelenggunya.Bukan lagi lelaki seperti Pram yang hadir,tetapi justru kaum perempuan sendiri yang telah menghasilkan karya sastra untuk melontarkan pemikirannya menamai relasi kesetaraan.

Sebut saja Ayu Utami yang dengan novel Saman dan Larung-nya berhasil merebut diskursus baru tentang perempuan yang memiliki hak atas tubuh dan pilihan ideologis atau keberpihakan. Nama lain seperti Jenar Mahesa Ayu,Dewi “Dee” Lestari,Rieke Dyah Pitaloka, turut membuka kembali kebekuan paham lama.

Mereka melanjutkan upaya perlawanan yang dirintis Kartini. Melalui sastra, pencerahan dimulai dan paham lama ditinggalkan. Karya-karya tersebut turut mengiringi gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Capaian legal dan formal saja tidak cukup.Memang,dibutuhkan sebuah penempatan perempuan dalam perjuangan untuk menghadapi dan menghancurkan tatanan penindasan yang kini didominasi neoliberalisme dan sisa-sisa feodalisme.

Perjuangan perempuan tidak boleh eksklusif, tetapi harus terlibat dalam perjuangan massa rakyat, mengarahkan serangan ideologis,dan programatiknya untuk menyerang akar permasalahan. Sebagaimana kita rasakan, karya-karya sastra tersebut turut mewarnai dan memberikan nuansa estetis pada gerakan sosial dan (bahkan) politik untuk menghancurkan sumber-sumber sosial yang menyebabkan ketertindasan perempuan.(*)

* Nurani Soyomukti, PendiriYayasan Komunitas Teman Katakata (Koteka), memperoleh penghargaan Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora 200

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 23 Desember 2007

Esai: Narasi Haji dalam Prosa Indonesia

-- Damanhuri*

KE angkasa hitam, kulihat, jemaah itu tengadah. Langit gelap langit pekat...Ada langit lain, angkasa lain, di dalam dada. "Putih, benderang, melesat-lesat lempeng cahaya." Lempeng! Adakah-adakah itu lempengan doa? Tuhan, tak ada hal yang ingin Kau sampaikan kecuali bahwa apa pun doa, dari hati yang bersih, adalah cahaya. Betapa. Tetapi, aku?...

Panggilan ini. Haji tahun lalu. Ingatan akan kampung. Betapa. Apakah sebenarnya makna kata "mampu" atau "sanggup"? Apakah yang telah kuperbuat di tahun lalu?

Kutipan di atas berasal dari paragraf-paragraf awal novel karya Gus tf Sakai, Ular Keempat (Kompas, 2005), yang memungut fakta sejarah seputar kisruh perhelatan haji tahun 1970 sebagai latar cerita. Sebuah novel unik dengan pilihan tematik yang juga langka: pergulatan spiritual Haji Janir, seorang pengusaha rumahmakan, yang "kecanduan" naik haji tapi sembari tetap tak menyisihkan kepedulian pada nasib sesamanya.

Gemar beribadah tapi selalu gagal menangkap pesan substansialnya. Gagal merengkuh religiositas otentik yang secara simbolik diterakan pengarang dalam sekujur novel sebagai empat ular yang terus mendesis dan bersikeras membelit tokoh utama novel: Haji Janir.

Novel Ular Keempat menarik disimak karena secara tematik menyuguhkan sengkarut persolan yang cukup "rawan" untuk diusung dalam karya sastra: pengalaman keagamaan. Tapi tentu saja bukan hanya itu penyebabnya. Sebab jika alat ukurnya berhulu di situ, Ular Keempat jelas bukan satu-satunya karya dengan tema dan latar serupa. Dari khazanah sastra zaman baheula, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) karya Hamka, misalnya, adalah karya tentang kisah cinta-tak-sampai Hamid-Zainab yang juga mengambil peristiwa haji sebagai latar cerita dalam bagian terpenting tubuh roman.

Dari periode yang lebih mutakhir, dua cerpen Triyanto Triwikromo ("Mata Sunyi Perempuan Takroni" dan "Sayap Anjing") atau cerpen Mustofa Bisri, ("Mbok Yem"), dengan capaian kualitas literernya masing-masing, juga merupakan beberapa sampel prosa yang memilih peristiwa haji sebagai tema sekaligus latar yang membingkai kisah yang ditenunnya.

Dalam "Mata Sunyi Perempuan Takroni", cerpen berpusat pada pengisahan tentang penderitaan abadi tokoh utama, perempuan buta imigran asal Afrika, yang diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh masyarakat sekitar Masjidil Haram. Perlakuan rasis yang secara plastis diungkapkan ayah sang tokoh: "Dan, sebagai orang Takroni, wahai anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah zamzam. Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada paling indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk".

Sedangkan dalam "Sayap Anjing", pusaran kisah bertumpu pada pengalaman surealistik tokoh utama selama menunaikan ibadah haji: ditampar seonggok kotoran saat berada di toilet Bandara King Abdul Aziz; juga robek selangkangannya saat melakukan sai dari Bukit Safa ke Bukit Marwah.

Cerpen "Mbok Yem", di sisi lain, mengungkai pengalaman haji pasangan Mbok Yem-Mbah Joyo yang, setelah tirakat berpuluh-puluh tahun menabung hartanya yang terbatas, akhirnya bisa menunaikan cita-cita pergi haji meski dalam usia yang telah renta. Kejutan yang disuguhkan di ujung cerpen ini adalah cerita yang dituturkan Mbok Yem bahwa di masa mudanya ia adalah pelacur; dan sang suami, Mbah Joyo, adalah salah seorang "langganan" yang kemudian jadi "dewa penyelamat" dengan menikahinya.

***

Tapi, sekali lagi, bukan pada soal pilihan tema atau latar peristiwa itu duduk perkara sesungguhnya. Yang lebih penting ditilik dan sebab itu novel Gus tf Sakai terasa istimewa serta menarik disimak justru kepiawaiannya "menyelamatkan" karyanya dari tendensi umum karya-karya sastra bertema keagamaan yang biasanya gagal menepis godaan untuk menjelma kompilasi seruan moral atau khotbah keagamaan. Kegagapan yang umum menghinggapi para sastrawan yang mencoba peruntungan dengan menulis karya sastra bertema keagamaan.

Titik rawan yang biasanya memang paling sulit ditampik karya sastra yang sejak awal berhasrat mengusungnya sebagai tema: tak jarang justru menjelma pusara yang siap "menguburnya hidup-hidup"; karena teks sastra jadi tak beda dengan untaian pesan agama di mimbar-mimbar masjid atau di tengah altar gereja.

Padahal kerja-kerja kesusastraan--seperti pernah diingatkan oleh, misalnya, Milan Kundera--sesungguhnya bukan "untuk mengkhotbahkan" (to preach a truth) kebenaran tertentu; melainkan sekadar "menyingkapnya" (to discover). Tak lebih, tak kurang. Karena itu, meskipun terkesan berlebihan, mungkin tak begitu keliru ketika dalam sebuah wawancara bertajuk "Sastra Islam vs Penyempitan Ilmu Islam" (Horison, 7/1984), Gus Dur, mantan presiden yang pecandu karya sastra dunia itu, menunjuk cerpen "Robohnya Surau Kami" A.A. Navis sebagai satu-satunya karya yang pantas disebut sastra Islam.

Di sekujur novel Ular Keempat, bahkan sejak bab-bab pertama, tak sulit memang mencium aroma pergulatan spiritual yang diembuskannya. Malah bisa dibilang, perkara inilah ujung sekaligus pangkal, hulu sekaligus muara, yang disengketakan dalam pergulatan spiritual tokoh Haji Janir di sekujur tubuh novel. Meskipun, tentu saja, bukan sebuah pergumulan spiritual yang tak dibauri pelbagai "keganjilan" bahkan suara-suara sumbang dan subversif jika dibaca dengan kacamata Islam eksoteris yang biasanya lebih memuliakan kulit ketimbang isi, memberhalakan sisi-wadag ketimbang sisi-dalam.

Gugatan atas tendensi a-sosial dan melenceng dari praktek keagamaan otentik, misalnya, disuarakan dalam kisah guru sufi dan murid-muridnya yang hadir dalam mimpi Haji Janir di bab Ular Pertama. Sebuah kisah tentang murid-murid seorang guru sufi yang berlomba berburu Lailat al-Qodar "berbulan-bulan, bertahun-tahun, serupa kesurupan, bagai kesetanan...Ada halte ada stasiun tetapi mereka terus. Ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian".

Jika sikap a-sosial, dan egois di atas merupakan ular pertama yang melilit Haji Janir, berhaji karena kebanggaan adalah ular kedua yang dengan nyaring muncul secara simbolik dalam cemooh sang ular yang terus menggangu dan juga kerap hadir dalam mimpi-mimpi Haji Janir: "Jangan menyangkal, jangan mengelak. Aku tahu isi perutmu. Aku tahu isi perut orang kampungmu. Tetapi memang begitu. Memang begitulah kondisi suatu daerah yang sejak lama seolah taat beribadah. Klaim itu, yang sering didengungkan oleh orang-orang kampungmu: adat bersendi syarak (agama), syarak (agama) bersendi kitabullah, huah-hah-haitulah tempurung itu, tempat kau meringkuk dalam dagingmu" Dan kau, si malang: yang pergi haji, dan ingin kembali berhaji, karena kebanggaan"

Ular ketiga, di titik lain, secara simbolik hadir dalam mimpi lain Haji Janir yang ajaibnya, sebagaimana kisah tentang dua ular sebelumnya, serupa dengan isi pucuk surat ketiga yang diterimanya dari Haji Muqri--tokoh surealistik yang menemui Haji Janir saat berhaji pertama kali dan berjanji akan menghadiahinya tiga kisah lain saat ia berhaji berikutnya.

Apa yang menguras rasa heran sekaligus takjub Haji Janir tentang ular ketiga dalam mimpi dan surat tersebut adalah pemahaman mendalam pemilik kisah tentang warisan budaya Minangkabau dari mana secara etnik-budaya Haji Janir berasal: tambo dan kaba. Didasarkan pada salah satu entri yang hilang tentang permainan layang-layang yang seharusnya masuk dalam bab permainan rakyat tapi anehnya ada dalam bab kepemimpinan, dalam kisah ketiga itu dinujumkan tentang masa depan negara. Kisah perlombaan berebut layang-layang yang secara simbolik menunjukkan kisah kontestasi orang-orang tanah asal Haji Janir berebut kepemimpinan: "Ketika si layang-layang hampir mencapai tanah, kayu-kayu galah itu pun lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah setiap orang berhak atas si layang-layang. Tak ada yang mereka dapatkan, kecuali sisa bingkai si layang-layang. Patah-patah, remuk, cerai-berai tak tentu bentuk."

Begitulah, seolah melengkapi dua gulungan kisah sebelumnya (sikap a-sosial dan egois sebagai ular pertama; dan berhaji karena kebanggaan sebagai ular kedua), gulungan kisah ketiga yang diterima Haji Janir adalah kisah ihwal ketamakan, kelaliman, serta kerakusan manusia berebut kepemimpinan yang tak lain adalah ular ketiga. Dan, melengkapi tiga ular yang diperolehnya selama berhaji yang kedua itu, Haji Janir ternyata masih berhasrat beroleh ular keempat: alpa akan "pesan" kisah tiga ular sebelumnya dengan bertekad kembali melakukan haji di musim haji berikutnya--Alhamdulillah, langganan yang selama dua bulan lebih entah makan di mana, kini telah kembali ke tempat kami. Jika nanti kembali terpanggil pergi berhaji (ah!), mungkin harus kupertimbangkan untuk tidak tutup".

***

Alhasil, seolah menjawab kerisauan Gus Dur dan sebagian (besar?) para kritikus yang kerap memicingkan sebelah matanya saat membincang kualitas literer dari apa yang disebut-sebut sebagai "sastra Islam", Ular Keempat Gus tf Sakai mungkin sebuah tangkisan.

Apalagi, novel ini pun menjelma jadi kian kompleks dengan hadirnya beragam kutipan yang--karena pelbagai kutipan tersebut merupakan bagian integral dari jejaring kisah yang disodorkan--tak mengesankan sekadar "tempelan" dan berisiko mencederai kualitas literernya. Sebuah kerja literer yang tentu saja tak mudah. Sehingga, dalam batas-batas tertentu, bisalah dikatakan bahwa Ular Keempat merupakan sebuah novel yang menyuguhkan serangkaian intertekstualitas di mana teks-teks kitab suci, aforisme Rumi dan Rabiah al-Adawiyah, mitos lokal (kaba dan tambo; ingat novel lain Gus tf Sakai: Tambo, Sebuah Pertemuan 2000), atau sejarah politik lokal (PRRI), bisa bersanding intim saling topang saling tunjang meramaikan lalu lintas kisah.

Ya, begitulah, menyebal dari tendensi besar karya sastra Indonesia mutakhir yang seolah dihipnosis gairah tanpa lelah untuk merayakan tetek-bengek seputar seks; atau para penulis yang membaptis diri dan kelompoknya sebagai penyokong "sastra Islam" tapi sebagian (besar?) gagal membedakan antara teks khotbah dengan teks sastra; novel Ular Keempat mungkin salah satu kekecualian. Gus tf Sakai tampaknya sadar sepenuhnya untuk tak latah ikut-ikutan masuk digulung dua arus besar itu. Lewat novel yang memenangi juara Harapan I lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (2003) dan pernah dimuat bersambung di Harian Media Indonesia ini, pemenang SEA Write Award (2004) ini tampaknya tengah mengokohkan posisinya dalam belantara sastra kita dengan menyuguhkan rumbai kisah spiritual rekaannya yang bagi sebagian pembaca mungkin menerbitkan sejumput rasa waswas dan cemas.

n Damanhuri, Alumnus IAIN Raden Intan, Lampung; tinggal di Malang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007

Saturday, December 22, 2007

Diskusi Sastra: Lebih Mendalam dan Humanis

-- Lan Fang*

bayangku membusuk setelah dingin

kureguk

dan malam yang semakin mabuk

mencambuk tubuhku

dengan segala ngilu. Wajahku tergores

sebaris kelembutan. Aku tenggelam

seperti sebongkah kesaksian yang

mengiris ingatan

di lorong-lorong pelabuhan. Dan ombak

yang kian jantan datang

dengan kesepian tak tertahan

seribu mambang telah berlayar

membawa bunga-bunga api, seperti

petualang jelatang

menyadap tubuhku yang paling mawar


CUPLIKAN puisi Pelayaran Bunga karya A Muttaqin itu menjadi cover buku dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang dihelat dari tanggal 10-17 November 2007 di Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. Festival ini merupakan acara tahunan yang pada tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8.

Menurut Pribadi Agus Santoso, Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, festival ini merupakan salah satu agenda berkesenian di Jawa Timur dan merupakan sebuah ruang dialog yang diharapkan bisa mengakomodasi kreativitas para seniman. Dari sini diharapkan para seniman bisa saling mengenal, berkolaborasi, dan membangun jaringan. Bukan saja dalam lingkup Jawa Timur, antarprovinsi di Indonesia, tetapi juga dengan luar negeri. Oleh karena itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, materi yang disajikan meliputi seni pertunjukan tari, teater, kesenian daerah, wayang, dan sastra.

Sejak enam tahun yang lalu, sebagaimana layaknya sebuah festival yang seharusnya ada pertunjukan yang bisa ditonton, maka kali ini pun sastra juga mempertunjukkan pembacaan puisi dan cerpen. Bedanya pada dua tahun terakhir ini, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur juga menambahkan acara diskusi sastra ke dalam agenda penyelenggaraan selain menerbitkan buku antologi cerpen dan puisi.

Pelayaran Bunga, dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang diterbitkan, kali ini diwakili oleh 10 sastrawan Jawa Timur "terkini" yang dipilih oleh tim seleksi. Buku ini didiskusikan oleh Maman S Mahayana, Djoko Saryono, dengan key note speaker Budi Darma. Sementara dari kalangan penulisnya diwakili oleh tujuh penyair, yaitu A Muttaqin, Didik Wahyudi, Javed Paul Syatha, M Faizi Kaelan, M Fauzi, Puput Amiranti N, dan R Timur Budi Raja; dan tiga prosais, yaitu Imam Muhtarom, Lan Fang—saya sendiri—dan Mashuri.

Pasti sulit untuk mendefinisikan maksud "terkini" itu. Namun, panitia penyelenggara menyepakati istilah "terkini" itu bukan sekadar dari sisi usia mereka yang rata-rata masih muda. Akan tetapi, juga dari pencapaian estetika dan konsistensi berkarya. Diharapkan kesepuluh sastrawan ini bisa dianggap sebagai bagian dari representasi perjalanan sastra di Jawa Timur.

Jauh berbeda

Djoko Saryono, seorang pengamat sastra yang juga dosen pascasarjana Universitas Negeri Malang, mengatakan bahwa karya ke-10 sastrawan itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan generasi 1980-an dan 1990-an. Baik dari gaya penyampaian bahasa, estetika, maupun makna. Djoko Saryono mengistilahkan bahwa karya mereka bertiwikrama. Mengungkapkan hal-hal yang sepele dan kecil di dalam bingkai fenomena alam semesta. Diungkai dengan kata-kata liris dan puitis. Yang kemudian membesar dan mendalam dalam pesona dimensi humanis dan spiritual. Jauh dari nada geram dan kalimat yang meledak-ledak, yang kerap dipakai pada puisi-puisi dan cerpen-cerpen sastrawan dari generasi sebelumnya yang banyak berbicara tentang hal-hal besar seperti tema-tema politis dan sosial.

Ia mengambil puisi A Muttaqin Namaku Malam, Puput Amiranti Di Telik, Laut Kembali Berbuih, dan cerpen Sonata, sebagai contoh. Menurut dia, para penulis tersebut banyak mengambil keindahan alam untuk menyampaikan kabar hati. Pilihan kata-kata yang dipakai sangat teduh dan menyentuh. Kalaupun melukiskan lara dan kecewa, tetapi disampaikan dalam bahasa estetika yang jauh dari tekanan bahasa yang ingar-bingar. Bahkan cenderung nyaris tenang, penuh kontemplasi dan menyublim.

Maman S Mahayana menarik sejarah ke dalam perbincangan kritik sastra. Menurutdia, seyogianya kritik sastra tidak sekadar hanya menjembatani teks-teks yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Tetapi juga memberikan apresiasi, panduan, keterangan tambahan, dan pengungkapan kekayaan teks yang belum tergali. Seperti yang dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana dalam mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah Pandji Poestaka pada awal 1932.

Menurut Maman, ketersesatan dalam pemahaman atas kritik sastra Indonesia itu setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu kelalaian membaca sejarah, salah memahami dan menerapkan pendekatan struktural, salah memahami hakikat dan tujuan karya sastra, adanya kecenderungan eksklusif dan arogansi dari kaum akademis, juga adanya kesalahpahaman dalam memahami kategori kritik sastra.

Sebagai key note speaker, Budi Darma merangkum keseluruhan diskusi dengan jernih, bening, cerdas, dan menyihir semua peserta diskusi. Ia mengutip pendapat Sapardi Djoko Damono bahwa seorang penyair (prosais) yang baik adalah juga seorang esais yang baik. Bahwa karya sastra hampir bisa dikatakan selalu berbicara tentang "diri sendiri". Maka karya sastra tidak sekadar hanya berpuitis-ria, tetapi juga harus bertutur dengan sistematis dan kedalaman makna seperti selayaknya sebuah esai. Begitu juga sebaliknya. Sebuah paparan makna yang disampaikan secara sistematis juga harus memiliki keindahan puitis untuk memikat pembacanya.

Pelayaran Bunga ternyata bisa dikatakan cukup mendapat respons positif dari masyarakat Surabaya. Pada malam harinya, di halaman Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, dibangun sebuah panggung kecil dikelilingi obor dengan sebuah layar lebar di sisi panggung, ke sepuluh sastrawan yang terangkum dalam Pelayaran Bunga tampil membacakan karya-karyanya. Masyarakat yang mengapresiasi cukup banyak walaupun jauh dari kesan hiruk-pikuk.

Karena pada saat yang sama, Surabaya juga mempunyai perhelatan akbar di Tugu Pahlawan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, yakni konser akbar Simfoni untuk Bangsa. Di acara ini tampil sederet artis dan musisi kondang Tanah Air. Mereka adalah Ungu Band, Ari Lasso, Iwa K, Drive Band, Ian Antono, Achmad Albar, Piyu, Butet Kertaredjasa, dan Kua Etnika. Puluhan ribu warga Surabaya tumplek blek di Tugu Pahlawan dan jalan-jalan sekitarnya.

Dua event yang bertabrakan itu tidak terlalu dikhawatirkan dengan serius oleh Pribadi Agus Santoso selaku Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. "Konsumen yang gegap gempita itu berbeda dengan penikmat kata-kata. Masing-masing mempunyai segmen dan diapresiasi sendiri-sendiri di masyarakat," ujarnya. Lagi pula, biasanya Festival Cak Durasim memang diselenggarakan di kisaran bulan Oktober pada setiap tahunnya. Hanya pada tahun ini bergeser ke bulan November karena pada bukan Oktober bersamaan dengan bulan puasa dan hari Lebaran.

Ini senada dengan pernyataan pamungkas Budi Darma di akhir acara diskusi temu sastra pada siang harinya. "Membaca karya sastra bisa disamakan seperti mendengar sebuah komposisi lagu. Lagu yang baik akan meninggalkan gema di hati pendengarnya. Demikian juga dengan karya sastra yang baik akan meninggalkan kesan di hati pembacanya," ujarnya.

Pelayaran Bunga diharapkan bisa lebih banyak berbicara tentang wajah sastra terkini Jawa Timur. Tidak sekadar berlayar terombang-ambing di atas samudra kata-kata belaka. Namun, bisa terus melahirkan karya-karya yang layak diperhitungkan. Karena bukankah semua bunga lahir dari kegelapan bumi yang merindu matahari?

* Lan Fang, Penulis Tinggal di Surabaya

Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007

Imajinasi yang Terus Bertanya

-- Asvi Warman Adam*

Imajinasi yang Terus Bertanya

Dalam pengantar buku Mochtar Lubis, Maut dan Cinta,

disebutkan "sastra memang bukan tulisan sejarah dan

juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah".

Benar bahwa sastra bukan tulisan sejarah. Namun, kurang tepat bila dikatakan sastra tidak dapat dijadikan

sumber sejarah.


NOVELl Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis itu sendiri bisa jadi rujukan untuk memahami gejolak revolusi pascakemerdekaan. Karya sastra itu secara hidup menggambarkan aksi beberapa kelompok pejuang menembus blokade Belanda dalam rangka menukar komoditas di Sumatera dengan senjata dari Semenanjung Melayu dan Thailand untuk digunakan pasukan republiken.

Figur seorang tokoh dalam novel tersebut mengingatkan kepada Mayor John Lie yang secara historis cukup dikenal reputasinya. Melalui sastra kita juga dapat mengetahui sejarah negara lain.

Bur Rasuanto yang sempat beberapa bulan, tahun 1967, melakukan tugas jurnalistik di Saigon menulis novel Tuyet yang berkisah tentang kondisi di Vietnam Selatan waktu itu. Taufiq Ismail dalam pengantarnya (ditulis pada cetakan kedua, 2001) berujar, "Membaca novel Tuyet dengan latar belakang perang dahsyat yang menumbuhkan kelas elite rezim militer yang kemaruk, mewah, dan berselera rendah seperti membaca Indonesia pada dekade berikutnya."

Kisah-kisah insani yang menusuk dan menggugah perasaan seperti tuduhan terlibat Viet Cong yang membelit Tuyet, gadis tokoh novel ini, sehingga dia harus mempertaruhkan kehormatannya kepada perwira skrining, seolah-olah dilanjutkan sebagai repetisi sangat mirip di Tanah Air kita di seputar peristiwa G30S/PKI.

Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika yang otonom. "Manusia, karya dan ’genre’ sastra tidak bergerak dalam ’ex nihilo’, tetapi ia dipersiapkan dan dikondisikan oleh suatu konteks historiko-sosiologis," kata George Lukacs dalam Le roman historique (Payot, 1965).

Bahkan, tentang roman historis sendiri Lukacs berpendapat bahwa ’genre’ itu menjadikan sejarah sebagai obyeknya, tetapi ia sendiri juga takluk kepada sejarah dan berenang di dalamnya.

Sama-sama imajinatif


Pendekatan new historicism (NH) yang dicanangkan oleh Stephen Greenblaat tahun 1982, sebagaimana dijelaskan oleh Melani Budianta (dalam majalah Susastra 3 tahun 2006), dapat menjadi pilihan dalam menganalisis karya sastra, sastra sejarah, dan sejarah secara utuh. Louis A Montrose menggunakan istilah "kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain membaca sastra = membaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra (aspek sejarah sebagai konstruksi sosial)".

Lebih jauh dijelaskan "sejarah" atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekadar latar belakang (yang koheren dan menyatu). Sejarah sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dan "sejarah" adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda.

Pendekatan NH ini dapat menolak pandangan sejarawan dan sastrawan Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: 1) cara kerja, 2) kebenaran, 3) hasil keseluruhan, dan 4) kesimpulannya.

Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang dengan kata lain kebenaran bersifat subyektif. Pengarang memiliki kebebasan penuh, ia hanya dituntut agar taat asas dengan dunia yang dibangunnya sendiri.

Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedangkan sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Pembedaan yang dilakukan Kuntowijoyo di atas masih bisa diperdebatkan. Bukankah pengerjaan sejarah juga membutuhkan imajinasi, kebenaran itu pada suatu sisi juga bersifat relatif, dan sejarah dapat juga memunculkan pertanyaan, tidak harus berupa jawaban.

Akan tetapi, dengan pendekatan dekonstruktif yang dilakukan oleh kelompok posmodernis, sastra itu semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah seperti halnya sastra disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya awal, pertengahan, dan akhir, yang merupakan plot sastra juga. Lantas, apa beda keduanya?

Kalau dikatakan soal keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas, keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya.

Hero dan antihero


Tentu pendekatan dekonstruktif ini memiliki kelemahan pula. Para sejarawan dituntut untuk mengakui bahwa bahasa tidak sekadar alat untuk menyatakan pikiran atau menyimpan ingatan, tetapi juga memiliki kemungkinan menciptakan realitas. Tetapi, persoalannya kalau semuanya harus didekonstruksi, bukankah karya posmodernis itu juga harus didekontruksi pula.

Taufik Abdullah yang menolak dekonstruksi ini berpendapat, "tanpa keyakinan bahwa kebenaran empiris dan historis adalah sesuatu yang bisa didapatkan, kita hanya akan menggerayang dalam kegelapan".

Dengan pendekatan new historicism ini, saya menyambut baik terbitnya buku-buku novel sejarah belakangan ini, seperti Gajah Mada sebanyak lima jilid oleh Langit Kresna Hariadi, novel Pangeran Diponegoro oleh Remy Silado yang direncanakan empat jilid baru keluar jilid satu berjudul "Menggagas Ratu Adil". Ada lagi novel September oleh Noorca M Massardi dan Rahasia Meede, serta Harta Karun VOC oleh S Ito.

Novel Gajah Mada jilid keempat tentang "Perang Bubat". Rekonsiliasi antara etnis Sunda dan Jawa diupayakan dengan menambahkan unsur baru dalam Perang Bubat.

Novel Gajah Mada yang bertanggung jawab terhadap kematian Dyah Pitaloka, tetapi intrik yang ada di sekeliling sang mahapatih. Dalam novel Remy Silado, Diponegoro yang nama kecilnya Ontowiryo (dan dipanggil Wir) ditampilkan sebagai calon Ratu Adil.

Novel September yang ditulis Noorca M Massardi secara cerdas mengajak pembaca menebak siapa Mayor Jenderal Theo Rosa yang menjadi dalang kudeta 1965.

Rahasia Meede mendorong khalayak untuk memikirkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang sangat merugikan kita dan kurang dibahas sejarawan Indonesia. Dengan imajinasinya, sang pengarang menawarkan alternatif jawaban, pemimpin kita mau menandatangani perjanjian karena percaya ada harta karun VOC di dasar laut.

Novel sejarah bukan saja tentang hero, tetapi bisa juga antihero. Novel Ripta, Perjuangan Tentara Pecundang oleh Anita Kastubi (2003) sangat bagus menyindir orang yang dianggap pahlawan. Namun, ternyata pada hari tuanya ia sangat menderita karena menyembunyikan rahasia bahwa ia sebetulnya tidak berjasa, bahkan menyebabkan beberapa orang gerilyawan ditembak Belanda.

Sastra sejarah itu juga berpotensi untuk mengobati trauma masa lampau, seperti ditulis Melani Budianta pada sampul belakang novel Djamangilak karya Martin Aleida (2004), "dengan membaca buku ini terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita".

* Dr Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, Menetap di Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007