Jakarta, Kompas - Sekolah Tinggi Seni Indonesia Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, telah berhubungan baik dengan perguruan tinggi di Malaysia sejak lama. Bahkan, jalinan kerja sama tersebut cukup erat.
Sejumlah pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Kota Padang Panjang, Jumat (21/12), mengatakan, kerja sama itu antara lain diwujudkan dalam bentuk undangan seminar, konferensi, dan pertunjukan. Keeratan hubungan itu tak terpengaruh oleh isu-isu pengakuan Malaysia atas sejumlah kesenian Indonesia.
Ketua Jurusan Tari STSI Kota Padang Panjang Ermida Kadir mengungkapkan, pada Jurusan Tari hubungan baik itu terutama dengan University of Malaya.
STSI Kota Padang Panjang kerap mendapatkan undangan dari Malaysia. Selain itu, terdapat pula sejumlah mahasiswa Malaysia yang tengah menempuh pendidikan pada Jurusan Tari di STSI itu. Saat ini terdapat satu orang dari semula tiga mahasiswa Malaysia yang melanjutkan pendidikan srata satu Tari di STSI tersebut. Terdapat juga dosen- dosen STSI yang mengajar di Malaysia. "Namun, saya tidak tahu persis jumlah dan penghasilan yang ditawarkan oleh Malaysia. Saya sendiri belum pernah," ujarnya.
Dosen Sosiologi pada Jurusan Tari STSI Kota Padang Panjang, Roza Muliati, mengungkapkan, secara kultural hubungan baik dengan Malaysia sebetulnya bukan sesuatu yang mengherankan. Hal itu karena ada kedekatan sosial dan budaya dengan negara tersebut.
"Dari beberapa mahasiswa Malaysia yang sedang belajar seni tari di STSI Kota Padang terdapat di antaranya merupakan asli orang Minangkabau yang migrasi ke Malaysia," katanya.
Menurut Roza, Malaysia termasuk gencar dalam menjalin kerja sama dengan sekolah tinggi seni. "Malaysia gencar mengajak para pengajar tari untuk melatih tari tradisional. Biasanya selama tiga-empat bulan atau sampai mereka dapat menguasai gerakan tarian. Saya mendengar dari sejumlah teman-teman saya bahwa pihak Malaysia menawarkan honor yang terbilang besar," ujarnya.
Mata kuliah HAKI
Roza mengatakan, sejak maraknya kasus-kasus hak intelektual budaya, di STSI Kota Padang terdapat mata kuliah HAKI selama satu semester mulai tahun 2007. Dalam mata kuliah tersebut mahasiswa mendapatkan pengetahuan tentang hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Untuk melindungi kekayaan budaya dan kesenian Nusantara, menurut Roza, pemerintah dan masyarakat harus mulai proaktif menginventarisasi berbagai seni budaya tradisi yang masih hidup. Setelah itu, membuat pusat data dan mendaftarkan hak cipta dan intelektualnya. Selain itu, masyarakat tidak sekadar mengetahui seni budaya dan tradisinya, tetapi juga memeliharanya, antara lain dengan memberikan apresiasi secara serius. (INE)
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007
No comments:
Post a Comment