-- Benny Arnas
KENANGAN adalah bahan baku yang mustajab untuk memproduksi suasana cerita yang intim. Saking signifikannya kekuatan kenangan, suasana cerita yang dibangunnya pun dapat menjadi begitu pekat. Dalam keadaan ini, “suasana” dapat ’memecat’ orang-orang dalam cerpen —yang (seharusnya) membangun suasana itu sendiri— sebagai tokoh cerita. Suasana dapat menjalankan fungsi tokoh cerita itu sendiri. Dengan racikan yang tepat, cerpen (berbasis) kenangan, kadangkala tak lagi sibuk mengetengahkan tendens, tak lagi repot mengetengahkan cerita. Ia mengalir membangun suasananya, membebaskan pembaca dari beban prosaik.
Lalu bagaimana menggarap masa lalu yang kelam untuk menjadi cerita yang berkesan? Tentu saja banyak pilihan cara. Namun Yetti A KA punya cara sendiri. Ia melakukannya melalui racikan diksi/kalimat puitik (bila tak ingin dikatakan “serangkaian puisi”). Pilihan ini bak pisau yang memiliki sepasang mata. Bila berhasil, cerita akan memiliki estetika yang baik tanpa harus menyesatkan pembaca setelah menyelesaikannya. Bila gagal, ia hanya akan menjadi sehimpun akrobat kata dengan kesan eksperimental atau ’asal tampak beda’ semata.
Sejatinya, kata/kalimat puitik dalam cerpen, bila tepat letak dan tepat guna, akan membuat cerita lebih indah dinikmati, bahkan mampu menyajikan ekstase tersendiri bagi si pembaca. Sebagaimana kata-kata mutiara yang senantiasa melekat —dan sulit lenyap— dalam benak, diksi indah dalam cerpen (prosa) dapat saja membuat pembaca sangat terkesan hingga mereka sulit melupakannya.
***
CERPEN yang baik (biasanya) adalah cerpen yang berhasil bercerita tanpa secara eksplisit menyampaikan pesan yang diusung pengarang atau bahkan cerita itu sendiri. Cerpen-cerpen tanpa tendens, demikian istilah populernya. Namun, alih-alih bertendens, bagaimana jika cerpen dikarang bukan untuk menyampaikan (sekadar) cerita sekalipun? Seperti apa jadinya? Apakah itu artinya cerpen tersebut berada satu tingkat di atas ’yang tak bertendens’? Itukah model cerpen terbaik? Atau jangan-jangan itulah seburuk-buruk cerpen, cerpen yang tidak prosaik?
Membaca kumpulan cerpen Musim yang Menggugurkan Daun (MyMD) adalah berhadapan dengan dilematika persepsi tentang cerpen itu sendiri. Hingga menyeruakkan sebuah keraguan: Apa yang seharusnya ditawarkan cerpen? Pesan atau cerita? Cerita atau estetika? Estetika atau kesan?
MyMD menawarkan cerita-cerita dengan cita rasa yang suram, suasana yang tragis. Cerpen pertam, yang menjadi judul buku, menjadi benang merah buku yang menghimpun 15 cerpen yang bertitimangsa 2002-2006 ini. Cinta, yang sudah ditanam sedari masa kanak, kandas oleh pertikaian dua keluarga yang berasal dari kampung (puak?) yang tengah bertikai. Si perempuan mendapati ayahnya yang seorang pemburu pulang dengan kedua ceruk di wajah, wajah tanpa dua bola mata. Si lelaki adalah putra seseorang yang mencongkel sepasang mata pemburu dari kampung seberang. Si lelaki tak pernah menyampaikan hal, yang ia ketahui sangat pedih tersebut, kepada Rarra. Ia (si lelaki) larut dalam gejolak ganjil yang diaduk oleh beragam perasaan: cinta, rindu, kegeraman pada pertikaian, hingga ketakberdayaan menghadapi dendam. Semuanya membuat ia diperangkap oleh kemuraman yang subtil. Narasi, deskripsi, bahkan dialog yang bertebaran dalam cerita ini, tidak menampilkan cerita yang hitam-putih. MyMD fokus pada rakitan ketercekaman, bukan mengeksplorasi karakter tokoh-tokoh dalam cerita, bukan memaparkan konflik (bahkan psikologis sekalipun) yang mengalur, apalagi meng-indah-indah-kan tatanan kalimat semata.
MyMD menegaskan bahwa Yetti A KA hendak bernostalgia dengan cinta yang sumbing, dan mempersilakan pembaca memetik sebuah kesan. Kesan tentang kesedihan yang bening. Kesan tentang indahnya kesedihan. Sebagaimana 14 cerpen lainnya, penggarapan model MyMD disadari betul oleh si pengarang sebagai lahan yang subur untuk menyerakkan bunga-bunga kata. Maka, diksi-diksi yang indah, bernas, dan tajam pun, mengalungkan label “tokoh” pada “suasana” yang dibangunnya.
Sampai ia begitu dekat dengan warna gelap. Mengeja warna yang satu dengan pelangi warna-warni. Menangkap isyarat yang sehalus bisikan daun-daun. Membaca getar dada. Sesungguhnya ia tahu benar aroma bunga segar yang pasti terselip di balik rambut itu. Namun ia terlalu takut untuk berkata, “Rarra, adakah kau tahu dirimu kutanggap (pun) dalam selintas bayang?”
Demikian kutipan paragraf menjelang akhir cerpen MyMD. Serangkaian diksi yang menegaskan bahwa cinta begitu pahit bila diperam dalam suasana. Suasana yang membungkus sepatnya kenangan. Suasana yang yang menjadi tokoh cerita.
Benny Arnas, Lahir di Ulaksurung, kampung di utara Lubuklinggau, 08 Mei 1983. Meraih dua penghargaan sastra pada 2009; Anugerah Sastra Batanghari Sembilan, dan Krakatau Award. Tahun 2010, selain memenangkan Lomba Cipta Cerpen Menpora, ia juga diundang iven sastra Citibank Ubud Writers & Readers Festival.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment