Sunday, November 28, 2010

Sunda yang Mendunia

BEGITULAH cita-cita Ganjar Kurnia saat menjabat sebagai Atase Kebudayaan dan Pendidikan KBRI di Prancis. Terbukti, hampir setiap tahun KBRI Prancis senantiasa menggelar pertunjukan seni dan budaya Sunda di antara pertunjukan seni dan budaya dari daerah lain. Cita-cita itu sudah bertumbuh jauh sebelum ia menjabat sebagai Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) seperti sekarang.

Atase Kebudayaan KBRI Prancis yang kini menjabat, Sudradjat, mengatakan, hal itu kini sudah menjadi semacam "amanah". Agar KBRI Prancis senantiasa memasukkan seni budaya Sunda sebagai salah satu agenda pertunjukan budaya yang digelarnya. Mengingat, sebelumnya seni Sunda sudah dikenal masyarakat Prancis.

Kebijakan ini bersambung dengan Unpad sekarang yang menjadikan seni Sunda sebagai pengembangan kampus. Ganjar Kurnia mengatakan, bila di Jawa masih ada keraton yang dapat mempertahankan seni dan tradisi setempat atau di Bali ada pura, di Jawa Barat, perguruan tinggilah lembaga yang harus memelihara dan mengembangkan seni budaya Sunda.

Kebijakan ini direalisasikan dalam banyak agenda, antara lain penerimaan mahasiswa Unpad melalui jalur talent scouting bidang seni Sunda, mendirikan Gedung Kesenian Bale Rumawat dan menggelar berbagai pementasan seni Sunda di sana, serta memberangkatkan Unit Kesenian Unpad ke berbagai negara. Seperti keberangkatan Unit Kesenian Unpad ke Eropa pada 15 Oktober s.d. 10 November lalu.

Kegiatan ini merupakan realisasi dari pengembangan seni budaya Sunda. Hasilnya sangat membanggakan. Pepatah mengatakan, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Tim bukan saja berhasil memukau masyarakat Eropa, tetapi juga sukses mengemban misi sebagai duta budaya bangsa.

Dengan kerja keras, Unit Kesenian Unpad mampu memberi citra baik Indonesia di mata masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa memandang Indonesia sebagai negeri yang cantik, kaya dengan potensi seni, dan menakjubkan untuk dikunjungi. Seperti pada antusiasme penonton yang menanyakan Indonesia di setiap akhir pertunjukan.

Tim didukung 23 personel penari/nayaga dan 6 ofisial, 3 perwakilan akademisi Unpad masing-masing Direktur Kerja Sama Unpad Dr. Ramdan Panigoro, Pembantu Rektor II Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.E.I., dan Manajer Ofisial Dr. Keri Dandan Lestari, Apt. Selain itu, ikut serta pula perwakilan Dirjen Dikti, P. Suharyono.

Tim mengunjungi tiga negara paling berpengaruh di Eropa, Prancis, Amsterdam, dan Budhapest selama 24 hari, 14 hari digunakan di Prancis, 5 hari di Amsterdam, dan 5 hari di Budhapest. Di Prancis tampil di 6 tempat, di Amsterdam di 2 tempat, dan di Budhapest di 2 tempat.

Efektif

Sejak awal keberangkatan, tim beranggotakan 10 perempuan, 13 pria, dan 1 orang penata pentas ini mensyaratkan para pemain tidak hanya piawai menari, menyanyi, atau bermain musik, tetapi juga harus siap merangkap sebagai pengelola pentas. Tujuannya agar jumlah orang yang berangkat efektif dan efesien.

Di Prancis, tim tampil di berbagai tempat dengan jadwal pentas sangat padat. Mulai dari Gedung Kesenian Conservatoire Antony, di St. Antony, Perancis (16/10), Gedung Kesenian Arthur Honegger, Le Harve, Auditorium SCiences Po, Le Harve (19/10), Gedung Kesenian La Mothe St. Heray (21/10), Gedung Pertemuan masyarakat Kota Sanxay (22/10), Gedung Kesenian Neuville (23/10), di Gedung Kesenian La Sale De Fetes, Clermont (26/10), dan puncaknya di ajang pameran "Salon Du Chocolat" yang diselenggarakan di jantung kota Paris (28-31/10).

Hampir setiap hari ada pentas. Kalau pun terdapat hari kosong tanpa pementasan, waktu tersebut digunakan untuk perjalanan antarkota. Mengingat jarak satu tempat pementasan dengan lainnya sangat berjauhan padahal base camp panitia tetap di Paris. Ada kalanya tim harus menempuh lebih kurang 400 km perjalanan sampai ke tempat tujuan.

Seperti pentas di Clermont, tim menghabiskan perjalanan lebih kurang tiga jam. Dilanjutkan agenda menata panggung selama lebih kurang dua jam, pementasan dua jam, dan tiga jam lagi perjalanan kembali ke Paris. Hal ini sangat menguras tenaga tim, apalagi cuaca sangat dingin ditambah angin akhir musim gugur yang sangat kencang.

Namun, di semua tempat itu pula, tempat duduk yang tersedia tidak pernah tersisa. Padahal tidak semua gedung kesenian merupakan bagian dari sekolah musik. Ada kalanya, gedung yang digunakan berupa gedung pertemuan masyarakat sekitar. Seperti di La Mothe dan Sanxay, gedung yang digunakan berupa gedung pertemuan masyarakat setempat. Namun karena rasa ingin tahu masyarakat Prancis sangat tinggi, semua gedung terisi penuh.

Menurut KBRI Prancis yang memfasilitasi rangkaian kegiatan ini, semua penonton memesan tempat duduk terlebih dahulu melalui internet. Gratis, memang. Tetapi justru karena gratis, tidak mudah bagi masyarakat Prancis untuk memperoleh undangan itu. Mengingat kapasitas tempat duduk yang tersedia terbatas dan pertunjukan hanya satu kali di setiap tempat.

Pentas di Conservatoire Antony, misalnya. Di gedung kesenian yang menjadi bagian dari sekolah musik Antony ini, Unit Kesenian Unpad berhasil memikat lebih dari 250 penonton. Penonton sampai "meluber" di tangga masuk. Bahkan pentas terasa semakin tidak berjarak manakala penonton terlibat langsung dalam permainan angklung.

Puas

Bagi masyarakat Prancis, angklung menjadi alat musik ajaib yang menakjubkan. Karena angklung bukan hanya bisa memainkan lagu-lagu tradisional dalam nada pentatonik, tetapi juga lagu-lagu populer yang digemari dunia seperti "You Rise Me Up", "Here The World", "My Way", dll.

Komentar yang disampaikan sangat membanggakan. Deputy Major Antony, Anny Leon mengatakan, "C`est Joilie, C`es agreable!" ("Sangat cantik, sangat menyenangkan!"). Sedangkan Direktur Guy Borderieux, Issabelle Donnet berkomentar, "C`est manifique!" ("Sangat menarik!")

Pentas dikemas dalam satu rangkain acara yang berujung pada klimaks. Dimulai dengan suguhan tari-tarian gemulai seperti tari "Merak" dan tari "Ponggawa Gawil". Dilanjutkan dengan tari-tarian yang lebih mengentak seperti tari "Jaipong Gandes" dan tari "Cikeruhan". Disambung Arumba dengan suguhan lagu-lagu menawan dari Novi Aksmiranti, satu-satunya penembang yang mahir membawakan lagu-lagu Sunda maupun pop.

Pentas berlanjut pada permainan angklung bersama yang dipandu Nadya PuspaPujianti. Sampai tak ada lagi batas bangsa dan negara, semua larut dalam bahasa seni yang universal. Pentas mencapai klimaks dengan rampak kendang. Semua penonton bertepuk tangan, berjingkrak mengikuti irama kendang yang mengentak.

Selain tampil di berbagai tempat, tugas Unit Kesenian Unpad selama di Prancis adalah mengenalkan dan mengajarkan seni Sunda kepada pelajar maupun mahasiswa. Pada bagian ini, tim juga bertugas ganda sebagai guru tari, seni musik, dan wayang. Di Sekolah Musik St. Antony misalnya, tim mengajarkan tarian Jaipong dan rampak kendang kepada lebih kurang lima puluh mahasiswa seni.

Yang cukup menantang, tim sengaja tinggal bersama masyarakat setempat di kota kecil Sanxay karena sekolah yang akan mengikuti lokakarya cukup banyak. Kota Sanxay terletak 400 km dari Paris mengarah Timur Selatan dengan jarak tempuh empat jam dari Paris. Di kota berpenduduk 600 kk ini, tim disebar dan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing.

Ada tujuh orang tua angkat yang menerima tim tinggal di rumahnya. Di keluarga-keluarga ini, tim menginap selama empat hari tiga malam.

Selama empat hari berturut-turut, tim mengajar seni Sunda di dua tempat, sekolah Beaussais Vitre di St Heray dan sekolah-sekolah di kota Sanxay. Di kedua tempat ini, tim mengajarkan angklung, arumba, jaipong, dan mengenalkan wayang kepada ratusan siswa preschool (taman kanak-kanak) sampai sekolah dasar (SD).

Mengajar seni dilakukan setiap pagi sampai siang hari. Malam harinya tampil di Gedung Kesenian La Mothe St. Heray, Gedung Pertemuan Kota Sanxay, dan Gedung Pertemuan Neuville. Pentas juga melibatkan para pelajar yang sudah mengikuti workshop angklung pada siang harinya.

Melekat

Workshop sengaja diberikan kepada pelajar TK dan SD. Tujuannya kata Dr. Ramdan Panigoro, agar memori peserta melekat kepada seni Sunda. Hal itu terbukti, setiap pentas digelar pada malam harinya, para pelajar kecil-kecil inilah yang dengan bangga mengenalkan angklung, arumba, tari-tarian, dan wayang golek kepada orang tua mereka yang hadir.

Bahkan kedekatan tim dengan masyarakat Prancis, tidak terbatas di pentas. Konsep homestay yang diterapkan, menjadikan hubungan kedua bangsa melebur satu sama lain. Para penari yang umumnya masih mahasiswa tingkat 1-2 merasa menemukan pengganti orang tua. Para orang tua angkat yang menerima mereka pun, seperti menemukan anak-anak mereka yang sudah pergi jauh.

Puncak tantangan Unit Kesenian Unpad selama di Prancis adalah saat manggung di pameran coklat "Salon Du Chocolat 2010". Pameran ini digelar di jantung Porte de Versailles, Paris. Diikuti ratusan lebih produsen dan pengusaha coklat terbesar dari berbagai negara di dunia. Sehingga acara-acara yang digelar pun sangat spektakuler. Mulai dari para ahli kuliner coklat, desaigner miniatur coklat, dan para ahli coklat, termasuk para perancang busana dunia yang memamerkan karya-karyanya. Di panggung ini, Unit Kesenian Unpad harus berbagi pentas dengan tim dari negara-negara lain. Namun berkat tari-tarian yang indah dan rampak kendang yang semarak, mereka berhasil merebut perhatian.

Satu hal yang harus digarisbawahi dari semua keberhasilan tim ini, adalah sejauhmana potensi kekayaan dan keindahan seni budaya Sunda ini dilindungi hak paten. Bukankah semakin dikenal dunia, semakin memungkinkan negara lain membuat, menciptakan, dan "mengklaim" seni serupa sebagai milik dari negaranya? (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

No comments: