-- Eny Prihtiyani dan Mawar Kusuma
NASI bungkus, makanan rakyat jelata itu, hadir di tengah bencana letusan Gunung Merapi. Ketika pengungsi membeludak dan berhamburan tak tentu arah, nasi bungkus menjadi sumber kekuatan.
Warga pelosok pedesaan hingga GKR Hemas Permaisuri Keraton Yogyakarta menyatakan solidaritas mereka bagi pengungsi Merapi melalui nasi bungkus.
Kelihatannya hanya nasi bungkus, tetapi dalam bencana letusan Merapi yang bertubi-tubi saat ini, ia jadi simbol betapa solidaritas warga Yogyakarta begitu kuatnya. Entah apa yang menggerakkan spirit mereka. Tanpa perintah, setiap warga di segala penjuru Provinsi DI Yogyakarta serentak memberikan pertolongan apa saja.
Seperti pada peristiwa letusan Merapi, Kamis (4/11), banyak pemilik kendaraan truk spontan mengevakuasi penduduk pedesaan yang berniat mengungsi. Selain sukarelawan, masyarakat juga berbondong-bondong menolong pengungsi dan banyak yang menyediakan rumahnya sebagai tempat penampungan pengungsi, tanpa digerakkan. Yang dilakukan warga itu karena faktor kebetulan saja. Ya kebetulan sama-sama punya niat untuk menolong.
Inilah tampaknya faktor kebetulan yang dikisahkan dalam novel Celestine Prophecy karya James Redfield. Bahwa faktor kebetulan itu merupakan energi yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membangun kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia perlu banyak menemukan faktor kebetulan ini.
Nasi bungkus
Yang paling banyak dalam aksi solidaritas itu adalah gerakan pemberian nasi bungkus. Bisa disebut gerakan karena hampir seluruh lapisan masyarakat di tingkat rumah tangga (RT), dusun, atau desa yang tidak terkena bencana serentak membuat masakan nasi bungkus dan dikirim kepada pengungsi.
”Letusan Merapi sejak Kamis malam membuat pengungsi kocar-kacir. Eksodus warga tidak diikuti kesiapan dapur umum. Itulah kenapa perlu ada bantuan nasi bungkus,” ujar Ratu Yogyakarta GKR Hemas, Jumat.
GKR Hemas segera memelopori penyediaan nasi bungkus dalam jumlah besar dari setiap kabupaten/kota di DI Yogyakarta yang tidak mengalami bencana Merapi. Setiap kabupaten dijatah menyediakan 2.000 nasi bungkus setiap harinya. Penyediaan nasi bungkus akan terus dilakukan sampai dapur umum kembali mampu memenuhi kebutuhan pengungsi.
Menurut GKR Hemas, gerakan nasi bungkus serupa pernah digalakkan ketika bencana gempa bumi melanda DIY pada 2006. Penyediaan nasi bungkus tersebut terbukti mampu mencukupi kebutuhan pangan korban bencana.
”Kebutuhan paling pokok pengungsi adalah ketersediaan makanan,” tambah GKR Hemas yang masih mengunjungi lokasi pengungsian hingga petang hari.
Tebalnya rasa solidaritas nasi bungkus bisa terlihat dari kiriman yang tak putus hingga menjelang sore. Kiriman nasi bahkan melebihi jumlah pengungsi. Onggokan nasi bungkus yang tak dimakan pengungsi terlihat di sudut-sudut barak pengungsi.
Bahkan, solidaritas juga datang dari warga Tionghoa dari Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dan Yayasan Persaudaraan Masyarakat Yogyakarta, yang terlibat mencari dan membagikan bantuan bagi pengungsi hingga larut malam. Koordinator JCACC Hari Setyo mengaku, sukarelawan sering kali berada di lokasi pengungsian hingga dini hari.
Ekspresi kultural
Budayawan Butet Kartaredjasa mengatakan, gerakan nasi bungkus tersebut menjadi bukti kuatnya akar kebudayaan masyarakat, yakni semangat gotong royong. ”Gerakan itu menjadi ekspresi kultural masyarakat. Tanpa duit, masyarakat bergerak. Tanpa petunjuk pelaksanaan dan instruksi dari atasan, mereka rela menyumbangkan nasi,” katanya.
Peristiwa saat ini, tuturnya, mengulang semangat solidaritas saat gempa bumi tahun 2006. Masyarakat berbondong-bondong memberikan bantuan dalam bentuk apa saja dan tanpa pamrih apa pun.
”Kekuatan budaya yang mereka miliki telah mengalahkan kekuatan politik. Dalam politik, semuanya harus dimaknai dengan uang,” katanya.
Butet mengaku merinding saat menyaksikan puluhan warga di jalan-jalan menuju arah Yogya, Jumat dini hari, menyirami kaca mobil-mobil yang melintas. Kaca yang penuh debu disiram supaya si sopir bisa mengemudi dengan jelas. ”Hal tersebut tidak mungkin terjadi di Jakarta. Kalau di sana pasti sudah jadi polisi cepek (upah),” tambahnya.
Bupati Bantul Sri Suryawidati mengatakan sudah menyalurkan 4.000 nasi bungkus, kemarin. Rencananya hari ini, Pemerintah Kabupaten Bantul akan membuka dapur umum di Jogja Expo Center. ”Kami akan melibatkan ibu-ibu dari Bantul untuk terlibat dalam penyiapan nasi bungkus,” ujarnya.
Gelombang kiriman nasi bungkus di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat siang benar- benar menyelamatkan sekitar 30.000 pengungsi dari kelaparan. Mereka merupakan pengungsi dari tiga kecamatan di Kabupaten Sleman yang menyelamatkan diri dengan tergesa dari letusan dahsyat Merapi, Kamis malam. Di lokasi baru itu dapur umum belum terbentuk. Stok makanan pun hampir tak ada.
Solidaritas ini tidak terbatas pada wilayah. Nasi bungkus dari Pakel Golo juga dikirim untuk para pengungsi Merapi di Desa Dukun, Muntilan, yang kurang tersentuh bantuan. Gerakan nasi bungkus RW 1 Pakel Golo direncanakan berlangsung lima hari. Gerakan ini telah menarik gerakan simpatik lainnya, seperti sukarelawan tenaga memasak dari SMK Negeri 6 Yogyakarta dan berbagai sumbangan bahan masakan mengalir ke RW itu.
Semangat Jawa holobis kontul baris (satu kekuatan bersama) tampaknya tak kan pernah mati. Ia selalu hadir nyata dalam nurani manusia. (Irene Sarwindaningrum)
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 November 2010
No comments:
Post a Comment