Showing posts with label patologi sosial. Show all posts
Showing posts with label patologi sosial. Show all posts

Friday, September 27, 2013

Penyair Indonesia 'Gebrak' KPK dengan Sajak

-- Ayu Cipta

TEMPO.CO, Jakarta - Penyair dari berbagai daerah akan datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Jumat, 27 September 2013. Mereka akan menyalurkan aspirasinya melalui gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK). Menurut Koordinator Gerakan PMK, Sosiawan Leak, para penyair ini akan membacakan puisi-puisi berbau mantera penolakan korupsi. "Kami juga akan berdiskusi mengenai buku kumpulan puisi dengan judul Puisi Menolak Korupsi Jilid II," kata Sosiawan, penyair dan deklamator, kepada Tempo, Jumat, 27 September 2013.

Menurut Sosiawan Leak, antologi puisi PMK Jilid II ini merupakan kesinambungan antologi Jilid I yang memuat puisi karya 85 penyair Indonesia. Dalam antologi jilid pertama seolah meraba penyair siapa saja yang setuju dengan gerakan menolak korupsi. Sambutan penyair ternyata hangat. "Ada 197 penyair terlibat dalam sumbangsih puisi jilid II a dan b," kata Leak.

Gayung bersambut dari KPK. Komisioner KPK Bambang Widjojanto berkenan memberikan kata pengantar dalam antologi Puisi Menolak Korupsi jilid II ini.

Dalam pengantarnya, Bambang mengapresiasi sekaligus mengucapkan selamat dan memberikan proviciat kepada para inisiator, seluruh penulis, koordinator, tim penyunting, dan juga penerbit buku: Forum Sastra Surakarta.

Bambang mengusulkan kepada pembaca, penulis, dan penikmat keindahan puisi untuk membaca buku puisi ini. "Kami mencoba membaca beberapa puisi secara lepas dan tuntas dan hasilnya sungguh menggairahkan. Setidaknya kepenatan seolah terusir karena selama ini terbiasa membaca bahasa hukum yang ajeg, kering dan linier. Kesemuanya tidak menimbulkan sensasi serta desiran keindahan," tulis Bambang dalam kata pengantar buku ini.

Menurut Bambang, antologi Puisi Menolak Korupsi adalah bentuk keterlibatan masyarakat di dalam pemberantasan korupsi yang ada landasan hukumnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Bukan tidak mungkin sebuah gerakan sosial pemberantasan korupsi yang bersifat struktural dilakukan dan terjadi melalui ketajaman pena dan kekuatan kata-kata yang menginsiprasi kesadaran sosial masyarakat," ujar Bambang.

Sumber: Tempo.co, Jumat, 27 September


Tuesday, February 19, 2013

Pornografi dan Budaya Plagiat Ancam Generasi Muda

Hasil survei KPAI terhadap 4.500 responden yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA menyebutkan 97% di antara mereka mengakses situs porno.

KEMENTERIAN Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) mengungkapkan sebanyak 64 juta masyarakat Indonesia ialah pengguna internet. Sekitar 80% dari jumlah tersebut berada dalam rasio usia 15 hingga 30 tahun.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Bidang Teknologi Kalamullah Ramli mengungkapkan tingginya aksesibilitas bagaikan dua sisi mata pedang. "Di satu sisi bisa sangat menguntungkan dari segi kemudahan informasi, di sisi lain juga menyimpan banyak hal negatif seperti pelecehan, pornografi, serta penipuan," ujar Kalamullah saat ditemui dalam seminar bertema Internet sehat aman (Insan) di Hotel Millennium Jakarta, kemarin.

Menurut dia, anak-anak usia sekolah bisa dinyatakan sebagai generasi yang paling rentan.

Hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 4.500 pelajar SMP dan SMA di 12 kota besar Indonesia pada 2012 menyebutkan 97% dari mereka yang disurvei mengaku pernah mengakses situs porno. Sebanyak 90,27% pelajar yang diteliti tersebut sudah pernah berciuman, berhubungan seks tanpa penetrasi (petting), dan melakukan oral seks. Lebih lanjut, 61% responden pelajar SMP pernah melakukan hubungan seks dan 21,2% siswa SMA pernah melakukan aborsi.

"Data ini ditambah penelitian sebuah organisasi anak di Jabodetabek, bahwasanya hingga 2012 tercatat sebanyak 85% responden dari total sampling dengan rasio usia 9 hingga 25 tahun pernah mengakses situs pornografi," papar Kalamullah.

Gerakan Insan

Kenyataan itulah, menurut Kalamullah, yang melatarbelakangi Kemenkominfo mengadakan gerakan Insan. "Pada dasarnya ini merupakan gerakan yang dibangun untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif internet. Sasaran kita ialah para guru sekolah serta orangtua sebagai pembimbing."

Salah satu upayanya ialah diimplementasikan dalam seminar dan sosialisasi ke sekolah-sekolah. "Seperti hari ini kita mengundang para murid, guru SD, SMP, SMA dan para orangtua yang berdomisili di Jakarta dalam seminar Insan," ujar Direktur Pemberdayaan Informatika Kemenkominfo Mariam Barata dalam kesempatan yang sama.

Upaya penyadaran serupa, menurut Mariam, juga dilakukan Kemenkominfo di 33 provinsi di Indonesia. "Kita merangkul segenap sekolah-sekolah terkait, untuk membangun kesadaran berinternet secara sehat. Ini sudah kita lakukan sejak 2009 silam dan sudah menjangkau ke setiap daerah," ujar Mariam.

Guru SMAN 28 Jakarta Muhammad Arief mengaku sangat mengambil manfaat pada upaya edukasi yang dilakukan Kemenkominfo tersebut. "Kalau dari data yang disampaikan, betapa dampak buruk internet begitu mengancam generasi muda. Karena itu, saya sebagai pengajar sangat mengapresiasi peran edukasi yang diambil Kemenkominfo," ujarnya.

Masalah yang saat ini juga kerap dialami para pengajar, menurut Arief, ialah plagiarisme. "Anak-anak menjadi malas mengerjakan sendiri tugas-tugasnya akibat internet karena sudah amat gampang mengopi hasil kerja orang melalui Google," jelas Arief.

Alih-alih menajamkan analisis sendiri, lanjut Arief, kebanyakan mereka lebih termotivasi menyontek akibat kemudahan yang ditawarkan internet. Untuk solusi tersebut, perusahaan IT global Google menawarkan solusi berupa Google Note.

"Ini semacam software document seperti Microsoft Word. Namun, kelebihannya akan bisa mendeteksi hasil tulisan yang disalin begitu saja dari internet," jelas Kepala Kebijakan Publik Google Inc Shinto Nugroho.(Soraya Bunga Larasati/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Selasa,19 Februari 2013

Thursday, October 27, 2011

Penduduk Miskin Naik 2,7 Juta

JAKARTA (Lampost): Jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang dalam kurun dua tahun atau sejak 2008 hingga 2010.

Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang.

Demikian data yang dikeluarkan Perkumpulan Prakarsa, Rabu (26-10), di Jakarta. Data tersebut berbanding terbalik dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia justru turun sekitar empat juta orang sejak 2008 hingga 2010, atau dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang. "Melihat data tersebut bisa dikatakan pemerintah melakukan kebohongan dalam data statistik," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro.

Setyo melanjutkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang kemiskinannya meningkat. Bahkan, Indonesia dalam hal mengurangi angka kemiskinan, lebih buruk ketimbang Laos dan Kamboja. "Ini menunjukkan pemerintah gagal dalam memerangi kemiskinan," ujar Setyo.

Menurut Setyo, lemahnya akses atau pengucilan sosial ekonomi menjadi penyebab sulitnya masyarakat bawah untuk berkembang. Penguatan ekonomi rakyat tanpa memperbaiki akses pada aset-aset produksi tidak akan membuat ekonomi beranjak terlalu jauh.

Pada kesempatan itu, peneliti Perkumpulan Prakarsa, Luhur Fajar Martha, juga mengungkapkan selain angka kemiskinan yang semakin meningkat, kesenjangan sosial juga semakin melebar.

"Penguasa ekonomi kini makin terkonsentrasi pada kelompok superkaya yang jumlahnya sangat kecil," ujar Fajar.

Indikasi kesenjangan, antara lain terlihat dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Data LPS pada Juli 2011 menyebutkan jumlah dana pihak ketiga perbankan mencapai Rp2.400 triliun yang disimpan hampir 100 juta rekening nasabah. Namun, 40% atau sekitar Rp1.000 triliun dari jumlah tersebut dikuasai oleh 0,04% nasabah atau 40 ribu rekening.

Pemeringkatan Investasi

Sementara itu, ekonom Econit, Hendri Saparini, menilai wacana pemeringkatan investasi merupakan strategi instan. Menurut dia, yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun strategi industri komprehensif ketimbang sekadar memeringkat investasi.

Ia mencontohkan sektor pertambangan dan pertanian. Pemerintah semestinya membangun industri hilir yang mampu menyerap dan mengolah bahan mentah yang dihasilkan kedua sektor hingga menjadi barang jadi.

"Jadi bukan dengan rating, pemerintah harus punya strategi, tidak hanya dilihat manfaatnya saja. Tapi yang dibicarakan dalam invetasi adalah strategi industri yang komprehensif," kata dia. (MI/U-4)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Oktober 2011

Friday, September 30, 2011

Dialog Eliminasi Konflik Sosial

-- Arif Dwi Hartanto

IRONI tragedi bila melihat berbagai gejolak sosial melanda negeri ini. Yang paling up-date tentu saja perihal kerusuhan yang sudah menjadi patogen akut yang malah menyajikan corak kulturalisme tradisional. Kerusuhan ibarat peristiwa beruntun tanpa muara penyelesaian yang terang benderang. Berbagai kasus masih menyajikan persoalan yang sama, yakni sektarianisme, fanatisme sempit, rasis, hingga perbedaan konsep dalam berbudaya. Tentu saja yang terakhir adalah peristiwa tawuran massa pelajar hingga bentrok ribuan warga dan berbagai peristiwa kerusuhan di sejumlah pelosok negeri ini.

Sesungguhnya hal ini melambangkan kerapuhan dinamika sosial atau kelompok yang dalam konteks sosiologis lebih bertendensikan pada kekerasan dan perilaku bar-bar. Jauh dari kata 'adab' atau beradab yang dapat membangun suatu peradaban. Yang perlu diperhatikan, dalam negara yang pluralis seperti ini pelembagaan masyarakat menjadi persoalan episentrum ketika orientasi nilai dari interaksi berbagai aktor sangat rentan pada perbedaan konsep. Apalagi, perbedaan mereka dalam menyikapi berbagai hal terjadi melalui segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, maupun budaya, bahkan sampai kepada pemahaman terhadap teologi agama secara normatif dan substantif.

Padahal, mental yang beradab sesungguhnya berkorelasi kuat pada kesejahteraan. Bukan sekedar retorika ataupun hanya seonggok fondasi spiritual fanatisme beragama, namun lebih kepada action yang berujung pada kinerja produktivitas dan toleransi antar-pemahaman. Dalam konteks demikian, membangun negara yang beradab, dan tentunya peradaban, akan mengantarkan pada kesejahteraan, dan itu jelas sudah tertuang dalam Pancasila.

Namun demikian, kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Patogen kesejahteraan semisal kemiskinan, kekerasan, radikalisme, yang akan sangat berbahaya bila terjadi pembiaran maka dapat berujung 'perpecahan'. Perpecahan juga menjadi penyakit pembangunan. Misalkan saja, pembangunan secara ekonomi yang sudah mapan selama berpuluh-puluh tahun bisa saja luluh lantak dalam sekejap karena disintegrasi bangsa, khususnya dalam masyarakat multiagama dan etnisitas seperti Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah lemah atau hilangnya pengawasan dan pembentukan kelembagaan sebagai mediator dalam wadah pembentuk nasionalisme yang berlegitimasi kuat. Hal ini menjadi rongrongan yang empuk dari radikalisme dan terorisme yang menjadi ancaman laten negeri pluralis seperti ini.

Bila ditilik dalam kacamata historis, berbagai permasalahan mengenai isu-isu perpecahan berbasis sektarianisme sudah sangat akrab. Yang perlu diingat, pada dasarnya Indonesia memiliki keragaman etnis dan agama sejak awalnya, dan setiap etnis dan agama mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri.

Dalam konsepsi multikulturalisme, semua ini dapat membawa persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan individual untuk memasuki wilayah umum atau publik/ negara. (L Berger, 1988)

Maka, titik permasalahannya sebenarnya terdapat pada perbedaan pandangan yang ekstrem, dalam artian tidak dicarikan titik temu antara dua atau beberapa kalangan. Padahal, kehidupan dunia menimbulkan banyak sekali perselisihan dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, kita bisa berpecah pendapat dan berujung perselisihan.

Untuk mampu menyatu, maka harus dilakukan dialektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk peduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Secara sosiologis dan psikologis, mencari solusi pada gilirannya akan berurusan dengan tema, interaktif, transaksional, dan benturan ide-ide. Maka, perspektif dan ranah dialog merupakan salah satu cara untuk saling memahami, mencari titik temu, dan menyelesaikan permasalahan.

Dialog juga mengajarkan pada kenyataan tentang pluralisme dalam berkehidupan. Pluralisme mengajarkan pada cara pandang yang mau mengerti serta memahami perbedaan. Cara pandang yang ada adalah untuk mengonstruksikan sebuah pemahaman yang lebih komprehensif terhadap khasanah perbedaan. Istilah lain yang erat hubungannya dengan pluralisme adalah inklusifisme. Kata ini secara definisi adalah sebagai cara pandang yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Karena, inklusifisme secara substantif berarti memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya pluralisme.

Dialog merupakan jalan untuk meredam suatu konflik sehingga menyajikan suatu permasalahan ke arah kebenaran. Melalui dialog, kita bisa mengarahkan akal manusia kepada hakekatnya. Dialog yang beretika juga akan membuat kita dapat diterima, didengar, dan dihormati manusia.

Berbagai bentuk dialog sangat perlu dilakukan dan dimaksimalkan secara kontinuitas dan berkesinambungan dengan rasa pengertian dalam kerja sama. Kerja sama di sini untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari sudut pandang etnis, ras, dan agama. Karena masalah kerja sama itu sendiri lahir dalam kaitan perbedaan yang berhubungan langsung dengan ras maupun agama.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa harus diperlukan suatu dialog yang kuat dan konstruktif dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya dalam era pembangunan suatu bangsa untuk menuju penguatan integrasi kesatuan dan kesejahteraan. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat kerja sama untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari fanatisme pribadi.

Dalam menyikapi hal tersebut, membangun teologi non kekerasan dalam memecahkan suatu masalah lewat sebuah dialog mutlak diperlukan. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa spirit non-kekerasan merupakan titik konvergensi paling nyata antara semua umat. (Helmanita, 2003)

Arif Dwi Hartanto
, peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Brawijaya

Sumber: Suara Karya, Jumat, 30 September 2011

Indonesia Butuh Mitigasi Konflik

-- Keith Hargreaves

SEBERAPA sering Anda membawa payung ketika melihat awan hitam di langit? Apakah Anda pernah membawa pakaian tambahan untuk liburan sesuai keadaan cuaca yang berbeda dari biasanya?

Hal inilah yang disebut tindakan mitigasi; mempersiapkan diri untuk suatu kejadian yang mungkin atau tidak mungkin terjadi, tetapi jika tidak, dapat menimbulkan masalah serius.

Sementara itu, menjadi basah dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai adalah hal yang menyebalkan dan biasanya tidak mengancam nyawa; ada peristiwa lain yang lebih serius dan bisa disebut sebagai tindakan mitigasi.

Istilah mitigasi ini sering digunakan dalam kaitannya dengan bencana alam. Indonesia telah belajar banyak dari tsunami yang melanda Aceh dan saat ini di beberapa daerah berbahaya di Aceh sudah memiliki sistem peringatan dini yang dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya tsunami, sebagai bagian dari strategi mitigasi.

Penduduk Ternate juga telah menyosialisikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan memasang papan iklan yang sangat besar di setiap sudut kota, untuk mengingatkan mereka ke mana mereka harus pergi apabila terjadi bencana gempa bumi dan tsunami.

Pengelola gedung pencakar langit telah memberikan pelatihan untuk peristiwa kebakaran, gempa bumi, atau bahaya lainnya terhadap para penyewa gedung, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kunci utama yang perlu diingat adalah tindakan mitigasi ini tidak mencegah terjadinya bencana.

Kita tidak bisa mengatur kapan bencana atau gempa bumi akan terjadi. Namun kita dapat mempersiapkan diri untuk mengurangi kerusakan yang akan terjadi. Ini adalah inti dari mitigasi yang baik.

Untuk menunjukkan betapa pentingnya mitigasi yang baik, saya telah melakukan penelitian terhadap dua gempa bumi yang terjadi di tahun yang sama, dengan kekuatan yang hampir sama besarnya dan di sekitar kedalaman yang sama, tetapi di negara berbeda.

Penelitian ini menunjukkan bahwa negara dengan mitigasi baik, di mana bangunan yang kokoh dan teratur ditegakkan, pelatihan rutin dilakukan, dan masyarakatnya dilatih mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan, kerusakan atas kehidupan manusia dapat diminimalkan. Dalam hal ini hanya tiga orang tewas.

Di negara dengan mitigasi yang kurang, di mana tidak ada bangunan kokoh dan tidak tahan gempa, 37.000 orang tewas. Perbedaannya sangat mencolok.

Karena gempa bumi dan bencana alam lainnya bisa terjadi setiap saat, mitigasi adalah proses berkelanjutan yang tidak dapat dihentikan, bahkan jika belum ada bencana alam untuk waktu yang lama. Dalam pengertian ini, mitigasi adalah kisah yang tidak pernah berakhir.

Buatan Manusia

Akan tetapi mitigasi yang penting justru ketika bencana adalah buatan manusia, misalnya dalam bentuk konflik antardesa atau perkelahian antarkelompok yang bersaing.

Kita harus belajar dari kejadian-kejadian di Ambon, bom bunuh diri di Surakarta, dan beberapa kejadian yang sering terjadi untuk melihat bahwa di beberapa komunitas setidaknya isu kekerasan antar-masyarakat tampaknya hanya menghilang sejenak.

Ancaman insiden berikutnya atau wabah selalu ada. Dalam hal ini mitigasi tidak hanya mungkin, tetapi sangat penting. Kekerasan komunal dapat dengan sangat cepat lepas kendali dan akan banyak korban yang berjatuhan.

Tokoh masyarakat di Ambon sangat menyadari hal ini. Selama ini jika ada kejadian apa pun mereka segera bertemu dengan anggota komunitas mereka, kemudian diberikan pengarahan singkat atas kejadian-kejadian yang pernah terjadi guna mencegah kesalahpahaman dan masalah lebih lanjut.

Pertemuan diadakan dengan media untuk menunjukkan bahwa masalah sedang ditangani. Namun ini bukan mitigasi, ini adalah reaksi.

Apa yang tidak dilaporkan adalah jumlah kejadian yang merupakan bagian dari proses mitigasi pada masa non-kekerasan. Contohnya termasuk membangun kepercayaan di antara tokoh masyarakat dan antarmasyarakat sendiri melalui kegiatan sosial dan budaya bersama atau pertukaran kunjungan yang mengingatkan setiap komunitas kemanusiaan yang lain.

Acara budaya yang melibatkan semua usia dan semua masyarakat dapat membantu mempererat hubungan. Mengajak orang-orang muda yang paling kritis dalam hal konflik sangatlah penting.

Namun, pemerintah daerah harus melihat berapa banyak dana yang mereka harus keluarkan untuk peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Ambon, sebelum kejadian terakhir, yang mungkin sangat sedikit. Ketika masyarakat sudah berdamai, pemerintah yakin kalau masalah sudah berakhir.

Dengan berjalannya waktu, pendanaan untuk mitigasi bencana buatan manusia dihilangkan. Dan tidak ada seorang pun akan berpendapat bahwa hanya karena gempa bumi tidak terjadi selama bertahun-tahun maka ancaman gempa besar telah pergi.

Yang pasti ini akan memperburuk efek dari gempa yang mungkin akan terjadi. Jadi, mengapa kita tidak berpikir dengan cara yang sama dengan konflik atau bencana buatan manusia secara lebih luas?

Masyarakat dan pemerintah berada dalam penyangkalan atas konflik, yang dapat kita lihat dan merupakan bagian alami dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat tidak setuju pada banyak hal. Begitu juga dengan keluarga dan individu.

Tetapi kekerasan yang berasal dari konflik adalah cerita lain sama sekali. Kekerasan tidak alami. Kekerasan membuat seseorang kehilangan anggota keluarga dan masyarakat menjadi terpisah.

Setiap orang harus mengurangi pemasalahan yang berakibat pada kekerasan komunal dengan mendukung peristiwa komunal, dengan membuka hati orang-orang untuk merayakan perbedaan alih-alih menghukum orang, keluarga, dan masyarakat karena berbeda. Perbedaan adalah rahmat.

Keith Hargreaves
, bekerja sebagai Kepala Bagian Konsultan Internasional di Strategic Asia Indonesia, salah satu perusahan konsultansi Indonesia di bidang kebijakan dan fasilitas bisnis ke bisnis di antara negara China, India and Indonesia


Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 30 September 2011

Wednesday, September 28, 2011

Bom dan Gejala Heterofobia?

-- Satrio Wahono

INDONESIA kembali berduka! Setelah sekian lama terpukau melihat keberhasilan aparat penegak hukum menggulung jejaring-jejaring terorisme berkedok agama, kini muncul kembali bom bermotifkan sama. Sasarannya kali ini, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Ledakan bom bunuh diri itu terjadi usai para jemaat menyelesaikan kebaktian kedua pada Minggu sekitar pukul 11.00 WIB, menewaskan pelaku dan melukai tak kurang dari 22 orang yang sedang melaksanakan ibadah di sana.

Tak pelak, ini merupakan tamparan serius yang kesekian kali bagi ikhtiar kita merajut kembali jejaring kerukunan antarumat beragama yang telah begitu koyak sepanjang perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, di samping mengusut tuntas jejaring teroris mana yang bermain dalam tragedi ini, kita perlu pula menelisik akar filosofis di balik maraknya kembali aksi pemboman yang menyasar tempat-tempat ibadah.

Sejatinya, tak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Hanya saja, setiap agama tak pelak memiliki klaim akan kebenaran universalnya (claim to universal truth) sendiri. Dari sinilah, muncul kemungkinan konflik dan persepsi permusuhan kepada agama lain.

Apabila klaim ini kemudian mengeras (reified) lewat pendidikan nilai-nilai agama yang sektarian, eksklusif, sempit, dan menakut-nakuti, maka akan timbul identitas khas kelompok yang merasa diri paling benar. Untuk menegaskan identitas itu, mereka merasa harus memosisikan diri secara diametral dengan pihak lain, termasuk kaum beragama di luar agama mereka.

Dengan kata lain, pandangan keagamaan yang sektarian pada hakikatnya mengidap gejala penyakit heterofobia. Yaitu, gejala atau suasana mental-kejiwaan yang merasa takut (fobia) terhadap ancaman pihak yang berbeda (hetero) terhadap eksistensi mereka. Nah, demi menepis rasa ketakutan itu, para pengidap heterofobia ini biasanya akan berusaha menghancurkan pihak yang berbeda itu. Ringkasnya, mereka berusaha menghancurkan objek yang menimbulkan rasa takut mereka supaya objek itu tidak terlebih dahulu menghancurkan mereka.
Adapun pangkal dari heterofobia bisa bermacam-macam.

Pertama, aspek ekonomi. Kondisi ekonomi yang kian menghimpit dapat membuat massa akar-rumput (grass roots) rentan sebagai sasaran rekrutan para ideolog radikal. Pasalnya, kondisi kepapaan ekonomi membuat orang merasa rendah diri (inferior) dan bersikap penuh curiga terhadap orang lain. Artinya, kondisi inferioritas ekonomi berujung pada rasa kepercayaan diri yang rendah (low self-esteem) dalam diri seseorang.

Pada gilirannya, orang-orang seperti ini akan menjadi laksana pengembara kehausan yang mendapatkan air tatkala menemukan satu bentuk ideologi yang menjanjikan dunia alternatif utopis nan indah seperti surga. Meskipun, 'harga tiket' yang harus dibayar demikian mahal berupa aksi jihad menyempal beraroma kekerasan seperti pemboman bunuh diri.

Kedua, aspek pendidikan. Selama ini pendidikan agama selalu menekankan pada kekhasan klaim atau pengakuan kebenaran masing-masing agama. Memang ini tidak salah karena akan menghalau bahaya relativisme agama di mana semua agama dianggap benar atau sama saja.

Hanya saja, proses sosialisasi pendakuan ini selalu menengok ke dalam (inwardly looking), bukannya sesekali menengok ke luar (outwardly looking). Maksudnya, proses sosialisasi dan pendidikan agama itu melulu bersibuk pada 'kehebatan' ajaran masing-masing agama seraya menafikan bahwa agama lain juga memiliki kekayaan nilai dan etik yang sepatutnya dihormati.

Alhasil, proses seperti ini menyuburkan intoleransi dan mengobarkan semangat paling benar sendiri. Sehingga, menyitir filsuf eksistensialis Emmanuel Levinas, Yang Lain dianggap tak berwajah sehingga dia layak ditindas dan dihancurkan.

Berbekal analisis di atas, sekurangnya ada dua solusi yang berfokus pada dua hulu soal heterofobia.

Pertama, negara sedari sekarang sudah harus mewujudkan program-program perbaikan ekonomi yang lebih konkret dengan efeknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, negara mesti mewujudkan program-program sosial dasar seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), akses kredit mudah, perumahan murah, dan pendidikan terjangkau. Juga, menciptakan proyek-proyek padat karya, contohnya proyek infrastruktur, yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sehingga, mayoritas masyarakat dapat merasa diri mereka lebih bermartabat dan penuh percaya diri.

Kedua, institusi pendidikan kita seyogianya mulai mengkaji kemungkinan mengajarkan apa yang disebut etika global atau global ethics oleh filsuf terkemuka Hans K|ng. Yakni, etika yang mengambil inspirasi dari nilai-nilai etik luhur berbagai sumber, termasuk berbagai agama. Ini bukan berarti etika global merupakan agama baru. Sebaliknya, etika global hanyalah sebuah filsafat moral praktis yang memberikan ruang bagi terjadinya dialog antarsumber etik, termasuk antaragama.

Dengan pelajaran etika global, siswa dan juga kita semua akan mendapatkan wadah untuk belajar memahami bahwa semua agama memiliki energi etik yang sama-sama bisa dimanfaatkan untuk mengatasi isu-isu global, semisal masalah lingkungan, korupsi, terorisme, dan sebagainya. Pada gilirannya, ini akan berbuah pada sikap toleransi dan saling menghormati antaragama tanpa perlu terjerumus ke dalam relativisme agama.

Dengan begitu, semoga kita tidak perlu menyaksikan bumi Pertiwi menangis kembali karena ulah segelintir orang yang mengatasnamakan versi kebenarannya sendiri! Sebab, mengutip tokoh kemanusiaan Mahatma Gandhi, pada hakikatnya semua manusia adalah bersaudara.

Satrio Wahono, sosiolog, Magister Filsafat UI

Sumber: Suara Karya, Rabu, 28 September 2011

Tuesday, September 27, 2011

Jihad dan Ideologi Teroris

-- Moh Kholil Aziz

JIHAD merupakan istilah yang dihubungkan dengan perjuangan moral (dan kadang-kadang dengan senjata), dan bentuk umum dari oposisi fundamentalis terhadap para penganut modernitas untuk melawan orang-orang yang dianggap tidak beriman. Jihad merupakan sebuah metafor perjuangan anti-Barat dan anti-universalis. Semua diperjuangkan orang-orang militan dan fundamentalisme sebagai perjuangan permanen. Mereka adalah militan, apakah itu dalam penggunaan kata-kata dan ide atau surat tuntutan, atau dalam kasus ekstrem adalah 'peluru'.

Mereka berjuang melawan masa kini atas nama masa lalu. Mereka memperjuangkan konsepsi dunia agama melawan sekularisme. Mereka berjuang dengan senjata apa pun, kadang-kadang meminjam dari lawan, memilih senjata dengan hati-hati agar tidak ketahuan identitasnya. Mereka merasa berjuang melawan pelaku kecurangan dengan menganggap berada di bawah lindungan Tuhan. Karena, mereka juga berasumsi bahwa perjuangan mereka suci, sehingga merasa tidak akan kalah walaupun belum dimenangkan.

Jihad selalu dianggap sebagai perjuangan suci melawan kekufuran. Menghalalkan pembunuhan atas musuh-musuh mereka. Ini merupakan perang besar atas budaya dan nilai-nilai berlandaskan ideologi masing-masing dalam memandang realitas kehidupan. Pelestarian ideologi dan moralitas ini tidak mempunyai pilihan lain, selain peperangan untuk mengamankan masa depan agar kembali seperti masa lalu.

Masa depan seperti masa lalu yang anti-pluralis, monokultur, dan mempesona dalam pandangan mereka. Masa depan dengan nilai-nilai homogen yang mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan sesuai tatanan dan menjalani kehidupan yang sederhana. Meski, terkadang harus dengan jalan kekerasan/ teror.

Kemudian, kelompok minoritas ini membentuk komunitas yang dianggap teroris dengan ideologi dasar fundamentalisme dan terorisme. Menurut John Hamling dalam The Mind of the Suicide Bomber (Kompas, 2004), kekerasan yang terkait dengan terorisme bisa didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya meliputi faktor-faktor sebagai berikut.

Cinta, demi cinta orang bisa mengorbankan hidupnya. Heroisme (kepahlawanan), hal yang bisa terjadi dalam kasus peperangan di mana orang rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan yang lain.

Keputusasaan atau kehilangan harapan

Kegilaan, bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (gila) yang merupakan bagian dari ritus supernatural karena kematian tidak bisa dielakkan dan bersifat sementara. Lainnya, adalah eskapisme, bahwa kematian kadang dilihat sebagai upaya berlari menghindar dari kenyataan. Kebanggaan, yang berarti bahwa seseorang bisa melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti.

Ketenangan dan ketenteraman, yakni pengorbanan diri merupakan tindakan syahid dan religius untuk mendapatkan kebahagiaan, dan fanatisme, suatu sistem kepercayaan yang kaku, sempit, dan keras bisa menuntut penganutnya melakukan bunuh diri untuk sebuah "perjuangan".

Jika mencermati pandangan John Hamling di atas, pergerakan teror selama ini erat kaitannya dengan mindset atau ideologi pemikiran. Oleh karena itu, di samping aspek penegakan hukum, perang melawan terorisme harus juga dilakukan dengan melemahkan dan mematikan mindset atau ideologi terorisme.

Ideologi terorisme melihat kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuannya, zaman modern diartikan sebagai ladang jihad dan masa perang. Ideologi ini selalu dilestarikan dalam pikiran sekelompok teroris, yang kemudian membentuk sikap, dan pada akhirnya menjadi sebuah perilaku (aksi teror) yang menghalalkan segala bentuk kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Fanatisme yang dibangun dari akar fundamentalisme mempunyai catatan buruk dalam sejarah sejak digaungkannya jihad dalam memerangi komunisme Uni Soviet oleh Amerika Serikat, Pakistan dan Arab Saudi. Sejak saat itu, jihad dan mati syahid mulai disalah-fahami dalam ideologi mereka, yaitu jihad yang memperbolehkan membunuh anak-anak, perempuan dan ratusan orang tidak bersalah kendati tidak berkaitan dengan misi mereka.

Tak tanggung-tanggung, jargon mereka "kembali ke Al-Qur'an dan Al-Hadits" dengan semangat fundamentalisme yang sangat eksklusif, menutup diri, rigid, anti-dialog, dan menutup penggunaan rasio dalam masalah agama. Sehingga tercipta ideologi kaku seperti katak dalam tempurung. Akibatnya, terjadi kemiskinan intelektual. Paket Islam yang mereka kenal berputar dalam arena fikih dan teologi semata. Mereka dengan mudah mencap dan melabeli kolompok lain seperti, haram, bid'ah, dan kafir. Hal ini diakibatkan oleh karena mereka serba eksklusif dan tidak mau menimba ilmu kekayaan tradisi dan khazanah keislaman yang melimpah.

Teologi dan ideologi semacam ini masih terus mereka pertahankan dan mengendap di balik kecenderungan fundamentalisme-konservatif di kalangan kaum teroris. Konservatifisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan paripurna.

Maka, dalam memberantas terorisme harus dimulai dengan penegakan hukum yang tegas, menelusuri akar ideologi terorisme dan membasminya. Bila tidak demikian, terorisme tidak akan pernah selesai walaupun sudah ratusan atau bahkan ribuan teroris ditangkap dan ditembak mati oleh polisi.

Moh Kholil Aziz, Ketua Forum Studi Teologi Islam (Forstis), Surabaya

Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011

Membangun Manajemen Antikekerasan

-- Thomas Koten

BERDASARKAN teori terorisme, ada begitu banyak latar belakang lahirnya terorisme, seperti ekonomi, sosial dan politik. Yang paling banyak, menurut Michael Foucault dan Derrida, adalah terorisme berlatar belakang politik. Karena itu, dikatakannya, terorisme merupakan pesan ekstrem dari kalangan sindikat anarkisme sosial dan politik di tengah krisis ekonomi dan politik dengan menghalalkan segala cara.

Khususnya, terorisme berlatar belakang politik, umumnya bertolak dari persaingan politik, dendam politik atau sebagai cermin ketiadaan demokrasi akibat dari pemerintahan yang represif. Artinya, pemerintahan yang represif dapat menggiring masyarakat ke arah kehidupan yang tanpa perdamaian. Kedamaian dan ketenteraman di bawah pemerintahan yang represif, kerap dikatakan hanyalah semu atau sekadar kamuflase. Karena, di dalam pemerintahan yang represif, tidak tumbuh dialog, keterbukaan dan toleransi yang substansial. Yang ada adalah ketenangan yang dibungkus kecurigaan.

Karena itu, muncullah opini bahwa demokrasi harus dibangun, tetapi harus lebih dulu melenyapkan pemerintahan otoriter yang represif agar kedamaian esensial dapat tercipta di tengah masyarakat. Ternyata, meskipun pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoriter itu rontok dan demokrasi pun sudah sekian lama dibangun, tetapi terorisme terus saja tumbuh dengan aksi teror bom yang tanpa henti.

Ironisnya, persaingan dalam perebutan kekuasaan yang terbungkus ambisi pribadi, kerap mencipakan konflik internal dan tak jarang melahirkan aksi terorisme. Belum lagi, aksi terorisme yang kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Dan, sebenarnya dengan terus menerus terjadinya aksi terorisme itu, bangsa ini terutama para aparat keamanan negara sudah berpengalaman dalam mencegah atau mengatasinya. Namun, mengapa para aparat keamanan negara selalu kecolongan? Atau, apakah terorisme itu dilakukan oleh negara untuk maksud tertentu?

Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan mengatakan bahwa bangsa ini, terutama aparat negara belum memiliki manajemen antikekerasan. Padahal, sebagai sebuah negara besar dan sangat majemuk serta demokratis, bangunan manajemen antikekerasan yang membingkai demokrasi, merupakan sesuatu yang mutlak dibangun, supaya terorisme mudah dicegah, aksi kekerasan dapat diantisipasi, demokrasi substansif dapat tercipta dan kedamaian dapat terbangun di negeri ini.

Masalahnya, partai politik yang salah satu tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan ikut menciptakan ketenangan politik, ternyata dalam realitasnya juga hanya menjadi jembatan ambisius pragmatis untuk meraih dan merengkuh kekuasaan. Ambisi politik yang tidak terkirakan untuk menang dalam perebutan kekuasaan, menyeret para politisinya ke sikap fanatisme sempit, sehingga kadang-kadang orang pun curiga jangan-jangan aksi kekerasan atau terorisme yang terjadi selama ini, ada juga keterlibatan unsur-unsur politik.

Di samping itu, para agamawan yang diharapkan menciptakan ketenangan di kalangan umat, kerap juga menjadi obor pembakar emosi masyarakat yang kemudian melahirkan kekerasan berlatar belakang agama itu. Agama-agama yang sesungguhnya sangat mencintai perdamaian, akhirnya tercoreng wajahnya dan berubah menjadi agama-agama berwajah kekerasan. Umat beragama yang sangat mencintai perdamaian dan toleransi serta ingin hidup tenteram pun terus terusik, tidak berdaya dan hanya menggerutu.

Dengan demikian, mimpi rakyat untuk tercipta budaya damai, dengan praksis kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang bermartabat, hanyalah terpahat di dinding kosong tanpa makna. Kita pun hanya bertanya, apakah keadaan seperti ini terus dibiarkan tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah terorisme dan kekerasan serta menciptakan perdamaian sejati menuju masyarakat dan bangsa yang berkeadaban?

Teologi Anti-kekerasan

Untuk mencegah munculnya aksi terorisme atau kekerasan lainnya, maka sangat diperlukan suatu bangunan 'teologi antikekerasan'. Sebuah bangunan teologi yang senantiasa menghargai kehidupan dalam diri setiap insan di dunia. Teologi yang dibangun dengan mengemban aksi dialog, aksi solidaritas, sekaligus mempersempit ruang kesalahpahaman, iri dan dengki yang kesemuanya telah menjadi sumber kekerasan dan pemicu aksi teror.

Dialog dan solidaritas sebagai wadah teologi antikekerasan ini mesti diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan, yang sekaligus mencerminkan kuatnya 'teologi baru' yang bisa menggiring masyarakat plural yang memiliki aneka kepentingan berbeda kepada suatu kehidupan bersama yang damai dan beradab. Sebuah teologi antikekerasan yang terus menerus dikembangkan untuk menciptakan perdamaian yang menyeluruh. Teologi antikekerasan ini juga diserap masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat seluruhnya dan menyenyawa dalam dimensi kehidupan ekonomi, sosial dan politik agar tercipta aneka kehidupan yang damai.

Teologi antikekerasan menjadi penting, karena dengan teologi ini, kekerasan ditempatkan dalam bingkai religius, yaitu terbangunnya keharmonisan dan keselarasan yang bebas dari kekerasan. Dan, teologi antikekerasan juga dijadikan sebagai tantangan untuk mewujudkan utopia iman dalam dialektika dengan realitas kekerasan dan kejahatan politik, bahkan juga ekonomi dan sosial. Karena, di dalam teologi antikekerasan itu juga hakikatnya tersembul utopia-profetisme iman yang terus membawa pesan perdamaian dalam setiap lini kehidupan, terutama lini politik yang senantiasa memperanakkan terorisme. ***

Thomas Koten, seorang sarjana filsasat dan teologi, Direktur Social and Development Center

Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011

Thursday, April 21, 2011

Kartini: Bangunan Kemajuan di Atas Pasir

-- Maria Hartiningsih

MATAHARI membakar siang. Nurjamilah (1) tenang dalam dekapan sang nenek, Hj Mardiyah (50-an), di mulut gang Kampung Kepuh, Desa Lebak Kepuh, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten. Jalanan sepi. Di depan banyak rumah, perempuan lanjut usia mencangkung sambil mengasuh cucu.

Buruh angkut di Pasar Pabean, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (20/4). "Kartini" ini berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia menerima bayaran Rp 2.000 untuk sekali angkut beban yang bisa mencapai 50 kilogram. (Kompas/Bahana Patria Gupta)

Di sudut lain, Umar (25-an), sebut saja begitu, menggendong Tari (1) berbelanja ke warung. ”Istri saya ke Riyadh, kerja, sudah 10 bulan,” ujar Umar. ”Masih lama pulangnya.”

Kepergian perempuan usia produktif dari kampung itu untuk menjadi buruh migran adalah hal biasa, termasuk yang buta aksara, seperti salah seorang kerabat Leila (21). Bekerja ke Arab Saudi juga menjadi cita-cita Nisa (14) yang baru saja menikah.

”Saya baru pulang enam bulan lalu,” ujar Leila, anak Mardiyah. Empat anggota keluarga Mardiyah, tiga perempuan, pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Timur Tengah. Satu anak laki-laki Mardiyah masih bekerja di sana. Dua anak laki-laki yang lain tinggal di rumah. Setiap bulan Leila mengirim uang kepada ibunya.

Leila berangkat pada usia sekitar 13 tahun. Ia sudah tiga kali pergi-pulang bekerja ke Timur Tengah. Di Abu Dhabi, ia menikah dengan buruh migran Pakistan yang tak sekali pun mengirim uang setelah Leila pulang. ”Kalau Jamal enggak nyusul ke sini, ya saya kawin lagi saja,” kata Leila ringan.

”Anak dinar”

Di desa-desa di Kabupaten Serang, menjadi tenaga kerja wanita (TKW)-PRT adalah kisi-kisi untuk menyelamatkan ekonomi keluarga.

”Kalau mitosnya perempuan dibuat dari tulang rusuk laki-laki, perempuan di sini dibuat dari tulang punggungnya,” ujar Mega Amelia dari organisasi kemasyarakatan Aisyiah, Serang, yang sedang melakukan upaya advokasi di bidang kesehatan dasar, sanitasi, dan pendidikan untuk penguatan hak-hak perempuan secara bertahap di wilayah itu dibantu The Asia Foundation.

Di desa-desa itu, bayi perempuan ditimang-timang sebagai ”anak dinar”. ”Kalau perempuan mau berangkat ke Arab, enggak bayar, malah dikasih uang Rp 4 juta,” ujar Risma. ”Kalau laki-laki bayar, bisa sampai Rp 9 juta.”

Risma berkulit terang, bermata bulat, tatapannya tak bersahabat. Katanya, dia baru beberapa hari tiba. Di sampingnya, sang ibu, yang buah dadanya sudah kisut, menyusui anak laki-laki dua tahunan yang diakui sebagai anaknya.

”Nanti kalau anak saya sudah agak besar mau saya titipkan kepada ibu saya. Saya mau kerja lagi, soalnya rumah orangtua saya belum selesai. Adik saya dua, laki-laki semua, tak bisa diharapkan. Suami saya juga sama,” ujar Ida Farida (23) dari Desa Samparwadi, Kecamatan Tirtayasa. Ia baru setahun menikah dan melahirkan setelah empat kali pergi-pulang ke Arab. ”Dijodohin orangtua,” ujarnya.

”Saya juga dijodohin, tapi cuma seminggu, lalu cerai,” ujar Amelia (31), mantan TKW-PRT yang kuliah lagi dan kini menjadi kader desa. Semua anak perempuan bekerja atas nama ”bakti kepada orangtua”. Memenuhi tuntutan budaya, khususnya, menikah dan punya anak adalah bagian dari ”bakti”. Ketika mereka pergi bekerja, beban pengasuhan anak dipegang ibu.

Namun, tampaknya semua itu tak cukup berarti. Hj Eli Subarkawati (69), misalnya, yang pernah bekerja di rumah emir Arab selama 12 tahun, bahkan sering diajak pelesir keluarga majikannya ke Amerika dan Eropa, tetap menghuni rumah tua di labirin di Desa Samparwadi.

”Uangnya dikirim ke orangtua. Adik saya banyak. Juga untuk biaya sekolah anak.”

Hanya satu dari tiga anaknya yang merampungkan sekolah lanjutan tingkat atas dan bekerja sebagai guru.

Kemajuan semu

Kabupaten Serang adalah kantong kemiskinan di Provinsi Banten dengan 25,88 persen penduduk miskin pada 2010. Bandingkan dengan 7,16 persen angka kemiskinan rata-rata di Provinsi Banten menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Banten 2010.

Gambarannya terlihat jelas di sisi jalan Pontang-Ciruas. Saluran air persawahan berwarna coklat tua dengan kandang bebek di pinggirnya adalah tempat warga mandi, cuci (termasuk beras dan sayuran), buang air besar, juga wudu.

Kualitas hidup manusia— yang tecermin dari indeks pembangunan manusia—di Kabupaten Serang merupakan yang terendah di Banten. Kondisi sebenarnya tak akan terlihat dari balik kaca mobil mewah.

Fakta sebenarnya bukanlah hamparan sawah hijau dan deretan rumah tembok hasil kerja perempuan migran. Pemandangan itu mengecoh, seolah kemiskinan telah teratasi, karena indikator formal terlepas dari tragedi hidup perempuan.

Sepupu Amelia, misalnya, 10 tahun tak ada beritanya. Aminah tewas disiksa dan diperkosa, Agustus 2007. Belum lagi kasus-kasus penipuan oleh suami dan anggota keluarga lain. Tak ada perlindungan dan jaringan pengaman dalam arti luas bagi perempuan yang bertaruh hidup di negeri orang.

Rumah-rumah tembok itu dibangun di atas fondasi keamanan sosial yang sangat rapuh, ibarat bangunan pasir. Seperti dikatakan aktivis Lies Marcoes, ”Seluruh keprihatinan Kartini sejak meninggalnya 107 tahun lalu tak bergerak di wilayah ini.”

Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011

Sunday, March 13, 2011

[Kehidupan] Bakat: Mereka Bisa Tumbuh Membanggakan

-- Yulia Sapthiani dan Nur Hidayati

ANAK yang berkebutuhan khusus akan menapaki usia dewasa dengan membawa karakter khas yang membedakan mereka dengan sebayanya. Namun, mereka pun bisa menemukan dunia yang memberi ruang bagi minat dan bakatnya.

Jati (19) mencintai musik underground, dari jenis post-hard core hingga death metal, tetapi ia tidak akan pernah memakai celana jins berlubang. ”Saya suka yang rapi,” ujar mahasiswa Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, ini.

Bagi ayahnya, Jimmy (58), menyaksikan Jati tumbuh seperti saat ini sungguh membahagiakan dan melegakan.

Jimmy sudah amat bersyukur ketika putranya dapat merampungkan pendidikan sekolah menengah atas. Kian membuncah kebahagiaannya saat Jati dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bangku kuliah itu menjadi penting karena di situ Jati menemukan jalan mengembangkan minat dan bakatnya dalam editing film.

Masih jelas dalam ingatan Jimmy ketika putranya itu didiagnosa mengalami gangguan konsentrasi akibat attention deficit disorder (ADD) pada usia sekitar delapan tahun. Di kelas tiga sekolah dasar, Jimmy diminta memindahkan Jati dari sekolah karena gurunya mengaku tak sanggup lagi menangani Jati.

Di masa kanak-kanak, menurut Jimmy, Jati memang tampak hiperaktif, terkesan tak bisa diatur dan tak bisa diam sebentar pun. Setelah dikonsultasikan ke psikolog, Jati menjalani terapi dan pengobatan. Pada saat yang sama, ia meneruskan belajar di sekolah umum.

”SD-nya yang kedua bukan sekolah favorit, tetapi gurunya sangat baik dan bisa memahami kondisi Jati,” ujar Jimmy. Di SMP, Jati juga berganti sekolah untuk menemukan suasana belajar yang sesuai baginya.

Kini, di mata Jimmy, putranya itu telah tumbuh menjadi anak muda yang mampu mengembangkan minatnya sendiri, baik hati, dan luar biasa jujur.

Rasa syukur yang sama dirasakan Dyah Puspita menyaksikan putranya, Ikhsan Priatama (20). Ikhsan menyandang autisme dan ia tak bisa berbicara. Komunikasi dilakukan Ikhsan dengan mengetik SMS. Meski begitu, Ikhsan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, penuh rasa ingin tahu, mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, dan perasaannya.

Simak saja cerita ketika Ikhsan membuka rekening tabungan atas namanya sendiri, hasil dari penjualan lukisannya dalam sebuah pameran.

Meski sempat terkendala karena sikap customer service yang kaku, Ikhsan menjalani semua proses membuka tabungan, termasuk menandatangani formulir dan buku tabungan.

Ia juga antusias mengikuti Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 lalu. Semua proses dilakukannya sendiri, termasuk ketika mencontreng di bilik suara. Ikhsan bahkan punya pilihan sendiri. Dyah Puspita atau Ita, sang ibu, yang mengikutinya di belakang hanya mendokumentasikan peristiwa itu.

”Pada hari pemilihan, dia sangat bersemangat. Sudah bangun dari pukul 04.00 pagi. Esoknya, tanda tinta di jari dia perlihatkan pada orang lain dengan bangga,” tutur Ita.

Ita pun lantas bercerita awal kisah Ikhsan memberikan suara dalam pilpres. Semula Ikhsan bertanya mengapa Ibu Ida, gurunya belajar di rumah, meminta izin tidak mengajar pada 8 Juli 2009, padahal tanggal itu bukan hari libur nasional.

Setelah sang guru bercerita tentang pemilu, tak dinyana Ikhsan meminta ikut serta. ”Saat itu saya berpendapat, saya tidak boleh mencabut haknya dia,” kata Ita.

Sebagai bekal pada hari pemilihan, beberapa hari sebelumnya Ikhsan diberi gambaran tentang cara mengikuti pemilu dan calon-calon presiden-wakil presiden yang bisa dipilih. ”Kami tidak mengarahkan dia untuk memilih pasangan tertentu. Tetapi ternyata, dia punya pilihan sendiri,” kata Ita.

Cerita tentang Ikhsan itu banyak pula dituangkan Ita dalam blog pribadinya http://dyahpuspita.wordpress.com.

Tak dikasihani

Ita yang juga seorang psikolog bekerja keras untuk mengasuh Ikhsan putra tunggalnya yang autistik itu sebisa mungkin mampu mengurus dirinya sendiri. ”Misalnya, anak usia tertentu harus sudah bisa apa. Saya berusaha menerapkan itu pada Ikhsan. Saya tidak suka anak autistik dibesarkan dengan cara selalu dikasihani,” kata Ita.

Ikhsan belajar di Sekolah Mandiga yang dikhususkan untuk anak autistik pada usia 9 tahun hingga 17 tahun. Setelah itu, Ita mendatangkan guru untuk mengajar di rumah. Saat ini, setiap hari Selasa hingga Kamis, masing-masing tiga jam, Ikhsan belajar bersama guru yang mendampinginya sejak usia 6 tahun. Pada hari Senin, Ikhsan mengikuti les piano dan melukis di hari Jumat, sesuai dengan minatnya.

Les piano dilakukan di tempat kursus. Sementara, dari melukis, sudah lima kali Ikhsan mengikuti pameran. Dan dari lima pameran itu, dua lukisannya terjual. ”Saya ingin suatu saat Ikhsan bisa menggelar pameran tunggal,” ujar Ita.

Ikhsan juga diperkenalkan pada dunia luar dengan program jalan-jalan setiap hari Sabtu bersama seorang teman yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya.

”Dia sendiri yang meminta dicarikan seorang teman. Bilangnya ingin teman laki-laki dewasa. Setelah gurunya mencarikan, ada yang bersedia untuk mendampingi Ikhsan. Jalan-jalannya terserah Ikhsan maunya ke mana,” ujar Ita.

Ita juga mengajarkan pada Ikhsan untuk mengelola uang. Sejak usia 16 tahun Ikhsan diberi dompet dan diajari bertanggung jawab terhadap isi dompetnya. Selain tidak boros, Ita mengajari Ikhsan menggunakan uang sendiri untuk membeli kebutuhan dia. ”Jadi, kalau dia belanja, tidak boleh ada yang menalangi,” katanya.

Dari pengalaman mengasuh Ikhsan sekaligus mengelola Sekolah Mandiga, Ita juga kerap menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan workshop seputar autisme. Menurutnya, anak autistik perlu dididik sedini mungkin untuk mandiri.

”Saat balita, anak diajarkan tentang kemandirian, misalnya makan sendiri, memakai baju, dan buang air kecil sendiri. Waktu sekolah, selain diajari baca tulis, carilah minatnya. Setelah itu, pada saat remaja, kembangkan minat ditambah lifeskill, misalnya kalau lapar enggak usah nangis, lebih baik cari tempat makan. Kalau mati lampu, tidak usah teriak-teriak, kan bisa telepon PLN lalu menunggu sampai lampu terang,” tutur Ita.

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

[Kehidupan] Anak Saya Pernah Diludahi...

-- Yulia Sapthiani dan Nur Hidayati

ANAK-ANAK yang berkesulitan belajar dapat tumbuh mandiri dengan pendidikan yang tepat. Masalahnya, mencari sekolah yang tepat untuk mereka bukan hal mudah.

Nina (42) langsung berhenti bekerja ketika anaknya, Vernell (14), didiagnosa mengalami hiperaktif (attention deficit hyperactive disorder/ADHD). Selama belajar di bangku kelas 1 hingga kelas 3 sekolah dasar, Nina turut duduk dalam kelas mendampingi putranya belajar. Nina terus menunggui Vernell di sekolah umum hingga putranya itu menamatkan SD, meskipun sejak kelas 4 ia hanya dibolehkan menunggui di luar kelas.

Nina harus menunggui Vernell karena dia tampak ”berbeda”. Anaknya itu rentan mengalami bullying (kekerasan) di sekolah umum tempat ia belajar.

Nina bukan satu-satunya ibu bekerja yang harus mengakhiri karier agar dapat sepenuhnya mendampingi sang anak yang berkesulitan belajar. Hal yang sama dilakukan Irma, Arini, Lina, dan Marlene. Bagi mereka, mengantar anak-anak mereka yang hiperaktif atau kesulitan konsentrasi ke sekolah umum setiap hari merupakan tugas berat.

”Tiap ke sekolah bawaannya stres karena ada tekanan dari pihak sekolah dan teman-temannya,” ujar Nina.

Di sekolah umum, para ibu ini tidak bisa mengharapkan anak-anak mereka dibimbing secara personal. Guru di situ tentunya harus membagi perhatian dengan cukup banyak anak yang ada dalam suatu kelas. Padahal, anak-anak ini membutuhkan perhatian khusus.

Kekhawatiran tentang pola pengajaran atau sistem pendidikan yang dirasa kurang sesuai di sekolah umum ini, masih ditambah dengan perlakuan anak-anak lain di sekolah, mulai dari ejekan hingga gangguan fisik.

”Dulu, setiap menunggu anak saya di sekolah, saya selalu berpikir, apalagi yang akan dikatakan teman-temannya pada Aninda. Setiap hari dia dikatai anak bodoh oleh teman-temannya,” kata Irma, tentang putrinya Aninda yang konsentrasinya sering terputus.

”Anak saya bahkan pernah diludahi orang,” ujar Arini. Joel (14), putranya yang pintar bermain musik, tergolong hiperaktif. Ia tidak bisa dibujuk mempelajari sesuatu yang tak diminatinya.

Tak jarang, para orangtua yang anaknya mengalami gangguan konsentrasi (attention deficit disorder/ADD) dan hiperaktif harus memindahkan anak mereka dari satu sekolah ke sekolah lain. Sebagian kemudian memindahkan anak mereka ke sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar. Sebagian, bahkan, bekerja sama membangun sendiri sekolah khusus untuk anak-anak berkesulitan belajar.

Mendirikan sekolah

Arini, Irma, dan sejumlah ibu lain yang mendirikan Sekolah Talenta misalnya, memulai sekolah dari obrolan di lapangan parkir SD Pantara. SD Pantara merupakan sekolah untuk anak berkesulitan belajar, tetapi belum menyediakan pendidikan lanjutan setingkat sekolah menengah pertama. Kekhawatiran para ibu ini muncul ketika anak-anak mereka duduk di kelas 5-6.

Dengan modal saweran dari para orangtua ini, Sekolah Talenta pun berdiri pada 2008. Kini sekolah yang mengkhususkan diri menangani anak berkesulitan belajar non-autistik ini sudah memiliki 13 guru, untuk mendampingi 15 murid. Dengan begitu, setiap murid mendapat penanganan individual yang memadai.

Kisah yang melatari berdirinya Sekolah Mandiga juga tak berbeda dengan Talenta. Sekolah yang dikhususkan untuk anak autistik ini didirikan oleh tiga ibu, Adriana Ginanjar, Dyah Puspita, dan Yuniar. Dua di antara mereka, yaitu Adriana dan Dyah, juga memiliki anak autistik.

Di Yogyakarta, perjuangan Muhammad Agus Hanafi (54) untuk memberikan pendidikan yang tepat bagi putranya yang juga penyandang autisme, Muhammad Aulia Fajar Nugraha (kini 24), menjadi ”berkah” pula bagi anak-anak autistik lainnya.

Pada tahun 1995, berbekal informasi dari Kedutaan Inggris, Agus menyewa dua pendidik khusus autistik, yaitu Sigruen dari Jerman dan Lieke dari Belanda. ”Waktu itu, saya harus membayar mereka Rp 27 juta per tahun. Biaya yang sangat mahal untuk saat itu,” kata Agus.

Setelah dua tahun berjalan, Agus menyadari bahwa masih banyak anak penyandang autisme lain yang belum mendapatkan pendidikan khusus seperti anaknya. ”Saya kemudian menyewa rumah di Seturan dan mulai mengumpulkan anak-anak autistik lainnya untuk ikut belajar bersama,” ungkapnya.

Sekolah Luar Biasa Autistik Fajar Nugraha pun kemudian berdiri pada 1997. Kini sekolah yang dibangun Agus Hanafi ini memiliki 13 pengajar untuk mengasuh maksimal 16 anak. (Aloysius B Kurniawan)

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

[Kehidupan] Agar Tak Selamanya Tergantung

TIDAK seperti sekolah umum, sekolah untuk anak-anak autistik, seperti Sekolah Mandiga dan Sekolah Luar Biasa Autistik Fajar Nugraha, tidak menetapkan target nilai akademis pada anak-anak didik mereka. Sekolah-sekolah ini bervisi menjadikan anak-anak asuh mereka bisa hidup mandiri.

Untuk itu, pelajaran mendasar yang mula-mula diajarkan di sekolah-sekolah khusus ini adalah latihan agar anak didik bisa melakukan kegiatan keseharian mereka sendiri. Mereka dilatih menggunakan toilet, menggosok gigi, mandi, menyapu, mengepel, juga menyiapkan dan membereskan sendiri peralatan belajar.

Anak-anak autistik juga umumnya kesulitan berkomunikasi secara verbal. Untuk itu, agar bisa berkomunikasi, mereka dilatih menyampaikan maksud melalui tulisan.

Mereka juga tidak belajar baca-tulis dengan lebih dulu mengeja kata. Anak-anak autistik ini umumnya belajar dengan memasangkan gambar dan kata yang menunjukkan benda atau kegiatan dalam gambar.

Pelajaran mengenalkan tulisan ini menuntut guru memiliki kreativitas dan kesabaran luar biasa. Betapa tidak, untuk membuat seorang siswa mau mengarahkan pandangan dan perhatiannya pada satu gambar saja bukan hal mudah, apalagi memasangkan gambar itu dengan kata yang tepat.

Di Mandiga, anak-anak juga diajari bersosialisasi melalui program outing yang diadakan sebulan sekali. Melalui kegiatan berenang, belanja di pasar swalayan, atau naik bus transjakarta, anak-anak ini dilatih mempraktikkan teori yang sudah diajarkan di sekolah.

”Misalnya, mereka harus belajar antre saat mau membayar di pasar swalayan atau naik bus. Mereka juga harus belajar mengendalikan emosi,” kata Yulianti, guru Sekolah Mandiga.

Kholifatut Diniah, guru di Fajar Nugraha, mengungkapkan, kemandirian menjadi target terpenting dalam pendidikan untuk anak-anak autistik. ”Harapan kami sangatlah sederhana. Kami berharap anak-anak ini bisa mandiri mengurus diri sendiri, tidak tergantung pada orangtua dan syukur-syukur berguna bagi orang lain. Karena, orangtua tak akan selamanya bisa mendampingi dan menjaga,” ujarnya.

Berbeda dengan sekolah khusus untuk anak autistik, anak yang mengalami gangguan konsentrasi, hiperaktif, dan masalah kesulitan belajar non-autisme lain di sekolah Talenta lebih mampu mengejar nilai akademis di bidang yang mereka minati. Sebaliknya, materi pelajaran yang tidak sesuai dengan minat anak tidak bisa dipaksakan.

Pelajaran juga harus disampaikan dengan cara yang tepat bagi setiap anak. Amanda (15), siswa Talenta yang sudah mengikuti kelas setingkat SMP, misalnya, cepat menghafal pelajaran yang disampaikan melalui cerita atau nyanyian. Ia juga bisa merampungkan banyak soal ujian jika lembaran kertas ujian diberikan padanya satu per satu, tidak sekaligus bertumpuk.

Joko Yuwono, konsultan di sekolah Talenta, mengatakan, fleksibilitas kurikulum sangat dibutuhkan di sekolah dengan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Hal ini disebabkan adanya perbedaan cara memahami setiap anak terhadap suatu materi. (IYA/DAY/ABK)

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

Cinta Kami untuk Anak-anak Istimewa

-- Nur Hidayati dan Yulia Sapthiani

ANAK-ANAK ini berkebutuhan khusus. Mereka memerlukan cara berbeda untuk belajar, bahkan untuk berkomunikasi. Mereka membutuhkan orangtua yang memahami, mencintai, dan tidak menyerah. Sebab, di balik segala masalah yang tampak, mereka adalah anak-anak yang istimewa. Ikhsan (20) hanya dapat ”berbicara” melalui SMS. Kepada ibunya, Dyah Puspita, ia mengirimkan SMS ini: ”Ikhsan love ibu”. Disambung SMS berikutnya: ”Love selamanya”. Ita—begitu sang ibu biasa dipanggil—tercekat membaca SMS-SMS ini.

Sebagai seorang psikolog, pengelola Sekolah Mandiga yang dikhususkan bagi anak autistik, dan terutama sebagai ibu dari anak autistik, Ita paham betul SMS itu gambaran perasaan terdalam. Sesuatu yang sangat sulit dan tidak lazim disampaikan seorang autistik. Jangankan menyampaikan, mengenali perasaan sendiri pun sesuatu yang sangat sulit bagi Ikhsan.

Sebelum Ikhsan bisa mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya, tak ringan perjuangan Ita untuk mendidik Ikhsan. Perjuangan yang disebut Dyah mesti dijalani dengan peluh, air mata, deraan emosi, sekaligus penuh rasa syukur.

Karakter dan kemampuan di antara sesama individu autistik beragam. Karena itu, psikolog dari Universitas Indonesia, Adriana Ginanjar, mengingatkan, setiap anak autistik membutuhkan penanganan individual untuk mengembangkan diri.

”Ada yang awalnya low functioning, tingkah lakunya belum tertata, melalui terapi bisa menjadi high functioning, lebih mampu mengurus dirinya sendiri,” ujar Adriana.

Meski berbeda karakter, terdapat tanda-tanda awal yang perlu diwaspadai orangtua untuk memastikan sejak dini apakah anaknya mengalami autisme atau permasalahan lain, seperti gangguan konsentrasi dan hiperaktif (attention deficit disorder/ADD dan attention deficit hyperactive disorder/ ADHD).

Secara umum, terdapat panduan tentang perkembangan anak yang mesti diperhatikan orangtua, misalnya pada umur berapa bayi mulai merangkak, berdiri, lalu berjalan. Di samping itu, perlu diperhatikan pula perkembangan kognisi yang ditandai dengan kemampuan anak berkata-kata, memahami bahasa, dan berempati.

Keterlambatan berbicara yang disertai kurang berkembangnya pemahaman merupakan gejala yang mesti diwaspadai orangtua. ”Yang bahaya kalau anak enggak berbicara, harus menunjuk untuk minta sesuatu, tetapi orangtua mengira anaknya ngerti. Apalagi kalau anak sangat cuek, enggak ada kontak mata,” ujar Adriana.

Bukan kebetulan Adriana mendalami autisme sebagai studi doktoralnya pada 2004-2007. Ia juga ibu dari seorang autistik, Azka (17). Pengalaman pula yang membuat Adriana menekankan pentingnya permasalahan anak dideteksi dan ditangani sedini mungkin.

”Aku baru bisa terima kenyataan bahwa dia autis itu umurnya empat tahun, sudah terlambat. Selain informasi saat itu belum sebanyak sekarang, juga karena memang saya sempat menyangkal itu,” ujarnya.

Kini, menurut Adriana, putra sulungnya itu tetap berada dalam kategori autistik low functioning. Ia masih kerap kesulitan berkomunikasi. Sebagai seorang ibu, harapan Adriana kepada putranya tak muluk-muluk.

”Aku ingin dia lebih bisa mengekspresikan diri, berkomunikasi. Aku berharap dia cukup happy dan bisa manage tingkah lakunya. Jadi, kalau nanti orangtuanya enggak ada dan adiknya enggak bisa ngurus dia, dia bisa diterima tinggal di semacam asrama gitu. Kalau tingkah lakunya buruk, kan bisa-bisa dia enggak diterima,” ujar Adriana.

Menjadi berbeda

Beragam masalah tak serupa dialami anak-anak yang dikategorikan berkebutuhan khusus. Sebagian di antaranya, seperti para siswa Sekolah Talenta, sekilas tampak tak bermasalah. Padahal, hampir semua siswa di sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar ini pernah ”gagal” di sekolah umum.

Berkesulitan belajar sama sekali tak berarti mereka punya problem kecerdasan, bahkan tak sedikit yang IQ-nya di atas rata-rata. Kebanyakan siswa di Talenta didiagnosis mengalami ADD dan ADHD.

Ketika belajar di sekolah umum, anak-anak ini menjadi ”berbeda” di antara teman sebaya mereka. Sungguh bukan hal yang mudah. Aninda (15) yang didiagnosis ADD, misalnya, selalu ditunggui ibunya, Irma, di sekolah. Meski begitu, ia tetap sering menanggung sikap kasar (bully) teman-temannya.

”Waktu sekolah di SD umum, setiap hari Aninda bilang, ’aku bodoh, Ma’. Itu karena teman-temannya di sana mengatai dia begitu,” ujar Irma menuturkan pengalaman putrinya.

Label abnormal, nakal, bahkan gila pernah pula dilekatkan kepada Amanda (15). ”Setiap hari saya ke sekolah menemani Amanda sambil membawa sekotak pensil. Waktu itu tiap hari dia akan mengambili pensil teman-temannya,” ujar Marlene tentang putrinya yang hanya mau belajar lewat nyanyian atau cerita. Akhirnya, Amanda pun dipindahkan dari sekolah itu.

Lain lagi cerita Vernell (13) yang didiagnosis ADHD. Dia tak punya persoalan dengan materi akademik dan lolos memuaskan pada ujian nasional. Namun, Vernell hanya sanggup bertahan dua pekan di SMP umum sebelum akhirnya pindah ke Talenta.

”Dulu setiap ke sekolah, bawaannya stres. Ada tekanan dari sekolah dan teman-temannya,” ujar Nina (42), sang ibu yang selalu menungguinya di sekolah.

Vernell berminat pada—dan karenanya sangat hafal—data sejarah, geografi, dan demografi Amerika Serikat. ”Kalau lagi marah, dia bilang mau pulang ke Amerika,” ujar Nina. Padahal, Vernell belum pernah ke sana.

Kini Amanda dan Vernell sama-sama bersekolah di Talenta meski berbeda kelas. Seperti wajarnya anak usia remaja, keduanya saling menunjukkan ketertarikan. Setiap tiba di sekolah, hal pertama yang dilakukan Amanda adalah mencari Vernell, begitu pun sebaliknya. Mereka hanya saling melihat, menyapa, baru kemudian menjalani pelajaran di kelas masing-masing dengan baik-baik saja.

Untuk memastikan anak berkebutuhan khusus memperoleh sekolah, terapi, dan penanganan tepat yang mereka butuhkan, orangtua kerap harus berjuang, bahkan hingga membangun sekolah dan komunitas. Namun, tak ada usaha berlandaskan cinta yang akan sia-sia.

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

Thursday, March 10, 2011

Seminar: Korupsi, Pembusukan Masif Kolektif

ENTAH mana yang benar, kekuasaan membuat manusia rapuh di hadapan naluri menguasai atau warisan reptilian old brain di dalam kepala yang membuat manusia terus berada pada tingkat mempertahankan diri atau dialektika keduanya.

Namun, dalam banyak kasus, moral apa pun tak mampu mengontrol hasrat akan kekuasaan, malah bisa dijungkirbalikkan demi semua itu. Tak sulit menengarai, para pemegang kekuasaan adalah agen pembusukan yang sangat berkuasa, dan, tentu sangat korup karena korupsi dalam bahasa Latin adalah corruptio, yang berarti pembusukan.

Korupsi bukan hanya perkara penggelapan, pencurian, dan perampokan uang negara. Mereduksi hanya pada sifat ekonomistik dan negara sentris berarti membiarkan kerusakan kian parah. Apalagi korupsi tak selalu membuat negara (secara agregat) menjadi miskin karena korupsi bisa ”tidur bersama” dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.

Makna korupsi jauh lebih luas dan dalam serta dahsyat karena menyangkut kepengurusan publik terkait keselamatan manusia dan ruang hidupnya. Pembersihan pejabat dan pegawai negara adalah tahap paling awal pemberantasan korupsi....

Pernyataan tokoh politik terkemuka DPR yang melecehkan tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga (TKW-PRT) adalah bentuk korupsi melalui pembusukan ”standar profesi”. Padahal, ”profesi” mengandung arti tanggung jawab; janji tidak mencederai kepentingan dan kesejahteraan umum. Profesi di DPR adalah sebagai wakil rakyat. Namun, banyak tindakan anggotanya—membela koruptor, menerima suap, dan menjadi calo undang-undang—menjungkirbalikkan alasan adanya dia di lembaga terhormat itu. Semua itu telah membusukkan kinerja kelembagaan DPR.

Dalam kehidupan bernegara, hidup bersama hanya dimungkinkan karena disangga jalinan institusi di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap institusi punya alasan keberadaannya. Kalau lembaga pendidikan melakukan bisnis atau propaganda dan lembaga olahraga main politik, maka kinerja lembaga membusuk, terjadi korupsi total. Apalagi kalau pembusukan dilakukan atas nama moral kesalehan, seperti rumusan kode etik lembaga legislatif yang menciutkan moralitas sebagai simbolik individual, tetapi menegasikan kesalehan sosial dengan menghilangkan pasal-pasal penyuapan.

Keutamaan demokrasi terletak pada sistem kelembagaan yang menjamin hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab, bukan statistik pemilih yang mereduksi warga negara sebagai kerumunan. Namun, hal itu tak bisa diandaikan kalau pilar pentingnya, partai politik, kental fenomena kartel, politik dinasti, oligarki, dan lain-lain.

Pembusukan hidup bersama

Masyarakat dikatakan rusak parah kalau keluasan korupsi begitu ganas sehingga menghancurkan etika hidup bersama. Kejernihan, kecerdasan, dan kepekaan terhadap hidup bersama menguap.

Kebijakan publik yang menentukan hidup warga tak menyentuh realitas hidup yang menjerit dari kemiskinan, menyisakan wajah-wajah kosong karena air mata telah terkuras. Berita tentang ibu bakar diri bersama anak-anaknya karena tak ada lagi yang bisa dimakan, ayah gantung diri karena lama menganggur, busung lapar, dan PRT yang sekarat disiksa majikan menunjukkan kegagalan menyelamatkan warga negara dari penderitaan mereka, sekaligus melucuti kemanusiaan mereka yang miskin dan dimiskinkan.

Kasus-kasus penjarahan uang triliunan rupiah yang terus dilindungi demi kepentingan politik sesaat serta penjarahan sumber daya alam atas nama ”pembangunan”, yang sebenarnya tidak lebih dari proyek dan pemburuan rente, adalah kejahatan besar yang tak pernah dianggap sebagai kejahatan.

Secara bersamaan, orang tak malu mendapat prestasi akademis secara curang, menjarah bantuan kemanusiaan, dan mengutil dana program-program kemiskinan. Rakyat di luar sistem birokrasi melakukan tindakan serupa dengan caranya dan memaksa pengusaha yang mau menerapkan etika bisnis melakukan the lesser evil agar proyeknya jalan. Media massa pun menciptakan standar-standar ”kesuksesan” instan lewat berbagai cara, mendorong orang menjadi budak syahwatnya dan pupuk bagi kekuasaan (modal) para tuan.

Banyak tindakan koruptif tidak dipahami sebagai pembusukan seiring dengan lenyapnya keangkuhan luhur manusia. Etika dan moral tinggal sebagai khotbah yang gemanya sayup dari atas bukit ditelan deru angin. Hidup terjalin atas prinsip saling memangsa, bukan lagi perjuangan bersama saat semua orang memberikan yang terbaik bagi kualitas hidup bersama dan menjunjung tinggi martabat kehidupan (bonum commune).

Solusi terbatas

Solusi untuk masalah besar ini selalu terbatas. Mungkin diperlukan sistem keras dan ketat di mana prinsip-prinsip hidup bersama—antara lain bisa memaksa pejabat yang melakukan pembohongan publik—berfungsi efektif. Sanksi moral tak efektif karena kecurangan mudah disumpal dengan gerojokan sumbangan.

Untuk korupsi yang bersifat ekonomistik, ada gagasan tentang waris pidana terhadap koruptor. Artinya, utang hasil korupsi yang belum dilunasi saat pelaku masih hidup jatuh kepada ahli warisnya. Apalagi Mahkamah Agung sudah memfatwakan uang pengganti adalah utang.

Namun, apabila dikaitkan dengan pembusukan, yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang mendorong gerakan moral untuk merestorasi cara berpikir dan bertindak serta bertarung keras untuk merawat Indonesia demi bonum commune.

Tidak ada pilihan kecuali kita mau terus berteater (pasti ada skenarionya) untuk membusukkan ”rumah bersama” ini secara sistematis, masif, dan kolosal....

Sumber: Kompas, Kamis, 10 Maret 2011

Wednesday, March 09, 2011

Berharap Koruptor Miskin

-- Adnan Topan Husodo

ESENSI penegakan hukum korupsi adalah pemulihan kerugian negara/publik dan pembangunan efek jera bagi para pelakunya. Sayangnya, di dua aspek paling vital itu kita justru menghadapi kegagalan.

Keroposnya integritas penegak hukum sangat memberikan kontribusi atas bebasnya banyak koruptor di pengadilan. Setali tiga uang, ketika koruptor mendekam di penjara, banyak di antara mereka bisa masuk-keluar dengan sangat bebas. Hasil jarahan korupsi banyak yang disulap jadi harta legal, dana segar investasi, properti mewah, kendaraan superluks, dan dilarikan ke luar negeri melalui rekayasa keuangan canggih. Negara seperti tak berdaya menghadapi ini.

Keprihatinan atas kejahatan korupsi yang meningkat dan implikasinya terhadap ketimpangan ekonomi yang kian parah serta meningkatnya kemiskinan mendorong kerja sama lebih erat antar-berbagai aktor untuk memberantas korupsi secara bersama-sama. Tumbuhnya kesadaran bahwa kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik setiap negara turut mempercepat terbangunnya kerja sama internasional dalam berbagai bentuk untuk memberantasnya. Dengan kerja sama internasional, diharapkan ruang gerak pelaku korupsi tak lagi bebas, dan koruptor tak akan mudah membawa, menanamkan, dan mencuci hasil korupsi.

Namun, semangat internasional memberantas korupsi secara bersama-sama harus diimbangi dengan keseriusan setiap negara pesertanya. Stolen Asset Recovery Initiative, program Bank Dunia untuk membantu negara-negara yang tengah melakukan upaya pengembalian aset jarahan koruptor di luar negeri sedikit banyak telah membantu.

Otoritas Filipina, Peru, dan Nigeria merupakan contoh negara dengan komitmen besar untuk mencari, membekukan, dan mengupayakan aset recovery atas kejahatan korupsi yang telah dilakukan presiden terdahulunya. Dengan dibantu StAR Initiative program, setidaknya sejumlah harta milik mantan Presiden Marcos, mantan Presiden Sani Abhaca, dan mantan diktator Alberto Fujimori telah diambil alih negara masing-masing, meski tidak mencapai 100 persen dari total kekayaan yang ditengarai hasil korupsi selama mereka menjabat sebagai presiden.

Menguji komitmen negara

Baru-baru ini pemerintah melalui Menhukham Patrialis Akbar mengumumkan informasi sangat penting bagi masa depan penegakan hukum korupsi di Indonesia. Pemerintah tengah menggodok draf amandemen KUHAP dan KUHP yang menekankan pada pembangunan dasar hukum bagi pemiskinan koruptor. Meski belum terlalu jelas konsepnya, ide memberikan denda berlipat-lipat dari nilai kejahatan korupsi yang didapat koruptor merupakan langkah maju yang perlu didukung dan dipercepat realisasinya. Semoga parlemen memiliki alur pemikiran sama sehingga perumusan atas amandemen KUHAP dan KUHP berjalan mulus. Publik tentu berharap pada 2011 gagasan memiskinkan koruptor menjadi prioritas pembahasan pemerintah dan DPR.

Supaya pembangunan hukum pemiskinan koruptor bisa didesain lebih komprehensif, pemerintah perlu mengidentifikasi beberapa persoalan mendasar yang menciptakan kesulitan tersendiri bagi efektivitas penegakan hukum pelaku korupsi. Satu hal yang tak bisa dilupakan, masih banyak aturan main yang menyebabkan koruptor dengan mudah menyimpan harta jarahan tanpa bisa disentuh penegak hukum. Sebagai contoh, dalam UU Antikorupsi No 31/1999 jo No 20/2001 diatur secara terbatas pengertian kerugian negara. Ruang lingkup kerugian negara yang sempit, hanya menyangkut soal anggaran/harta dan perekonomian negara tanpa menyinggung kerugian masyarakat/publik membuat perhitungan kerugian negara jadi terbatas. Pelaku korupsi hanya bisa dibebani denda sebatas nilai korupsi. Padahal, kejahatan korupsi tak hanya berdampak kerugian negara, tetapi kerugian lebih besar bagi publik.

Tak semua jenis kejahatan korupsi juga dapat dikenai pasal penggantian kerugian negara. Suap, sebagai contoh, hanya dikenai denda maksimal sesuai UU, selain penyitaan oleh negara atas uang suap yang berhasil diperoleh. Padahal, implikasi suap sangat luar biasa. Dalam kasus suap pemberian izin penebangan hutan, yang terjadi akibat suap adalah penebangan liar yang dilegalisasi, sekaligus ancaman kerusakan lingkungan yang kadang kala disertai bencana alam berupa longsor. Jika aparat penegak hukum telah dibatasi UU, berbagai macam dampak kejahatan suap tak akan dapat diperhitungkan untuk dibebankan ke pelaku korupsi.

Hal lain yang harus jadi prioritas bagi pemerintah agar usaha pemiskinan koruptor lebih konkret adalah membangun sistem hukum yang sejalan dengan prinsip-prinsip konvensi PBB Antikorupsi, 2003 (United Nation Convention Againts Corruption/UNCAC). Sebagaimana kita ketahui, pemerintah kerap menghadapi kesulitan mengusut, mencari, membekukan, merampas, dan mengembalikan harta dari tindak kejahatan (korupsi) jika sudah dibawa lari ke luar negeri. Dengan mengadopsi prinsip UNCAC, pemerintah dapat mengakses bantuan internasional bagi usaha-usaha perampasan, pembekuan, dan pengembalian aset kejahatan ke negara, termasuk membawa kembali koruptor yang kabur ke luar negeri.

Indonesia juga dapat meminta kerja sama internasional untuk penegakan hukum korupsi dalam kerangka UNCAC seperti mutual legal assistance, kerja sama antaraparat penegak hukum, investigasi bersama, pengembangan teknik investigasi khusus, serta bantuan teknis terkait dengan perburuan harta koruptor. Namun, perlu digarisbawahi, semua itu akan berjalan ideal jika integritas penegak hukum dibenahi dengan radikal, karena mereka yang akan menjalankan semua regulasi pemberantasan korupsi. Sepanjang penegak hukum masih dapat disuap, atau menggunakan jabatan untuk memeras, sulit rasanya berharap koruptor miskin.

Adnan Topan Husodo
, Wakil Koordinator ICW

Sumber: Kompas, Rabu, 9 Maret 2011

Ketika Bangsa Lain Terus Terbang Tinggi

-- Ninok Leksono

”ADA pertumbuhan ekonomi”, itu yang sering kita dengar. Namun, pada sisi lain, masih ada banyak kabar tentang kemiskinan, tentang kemacetan, tentang tantangan berat di depan karena membubungnya harga bahan bakar minyak dan pangan, dan perubahan iklim pada umumnya. Semua itu membuat negara kita terpojok dalam kesulitan. Alasannya, ketika tidak ada keruwetan persoalan di atas saja kita sudah keteteran, apalagi ketika tantangan riil di atas tiba-tiba seperti tumplek-blek menimpa kita. Salah satu buktinya adalah betapa kita masih perlu berjuang keras untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang tenggatnya tinggal 5 tahun lagi.

Yang memprihatinkan, justru ketika tantangan riil tersebut sudah terpampang di depan mata, masalah kita—berbeda dengan sebagian besar negara lain di kawasan ini—masih saja belum beranjak dari cekcok politik, yang membuat tenaga, waktu, dan pikiran habis tersedot untuk pemantapan kekuasaan.

Yang jauh lebih memprihatinkan, pada saat yang sama, bangsa lain sibuk berpikir untuk meraih masa depan, terbang tinggi untuk menjangkau impian jangka panjang, selain menuntaskan permasalahan hari ini dan mencoba mengantisipasi problem masa depan.

Strategi Singapura

Apa yang bisa kita katakan kalau membaca statistik Singapura seperti ini: angka pertumbuhan 2010 sebesar 14,5 persen, investasi asing langsung meningkat 123 persen. Berbagai aturan dirancang dan dilaksanakan, yang tujuannya adalah untuk merangsang dan memudahkan datangnya modal dan investasi. Sebagian telah tuntas dilaksanakan dengan hasil gemilang.

Di bidang teknologi informasi-komunikasi tak lama lagi akan ada media ecosystem untuk produksi digital dan fasilitas penyiaran, serta wadah bagi pencipta konten yang dibangun atas dasar kluster industri animasi yang ada dewasa ini.

Tak jauh dari mediapolis, seperti dilaporkan Neel Chowdury di Time (14/3), ada Fusionopolis dan Biopolis, yang akan menopang pengembangan kluster rekayasa dan biomedik. Jangan dilupakan pula, sebelum ini Singapura juga sudah berhasil menarik perusahaan seperti Procter & Gamble yang menanamkan dana sebesar 250 juta dollar AS untuk pembangunan pusat inovasi.

Selain untuk masa depan, Singapura juga menanggulangi persoalan hari ini, dalam hal ini kemacetan lalu lintas. Dengan aplikasi cerdas yang diunduh ke telepon seluler, warga yang sehari-hari punya mobilitas tinggi akan memiliki informasi lalu lintas berguna yang akan membantu mobilitasnya dari satu tempat ke tempat lain.

Solusi itu juga ingin ditawarkan ke kota- kota yang lalu lintasnya sering macet parah, seperti Bangkok, Mumbai, New York, dan tentunya Jakarta.

Kereta ”Hayabusa”

Masih dalam soal transportasi, Jepang yang sudah maju dalam pembuatan kereta peluru tampaknya tak kunjung berhenti melahirkan inovasi baru. Tanggal 5 Maret lalu, Jepang meluncurkan kereta peluru terbaru ”Hayabusa” (Elang) yang mampu melaju dengan kecepatan 300 kilometer per jam. Keretanya dibuat amat mewah dan nyaman, menyerupai kelas bisnis di pesawat terbang (AFP).

Sebagaimana Singapura yang juga ingin menawarkan eksper di bidang lalu lintas ke kota-kota macet dunia, Jepang pun—yang sudah membangun jaringan kereta peluru sejak tahun 1960-an—ingin menjual teknologi infrastruktur yang dikuasainya ke luar negeri, termasuk AS.

Kereta berwarna hijau dan perak seri E5 Hayabusa menempuh jarak Tokyo-Aomori di ujung utara Pulau Honshu yang berjarak 675 kilometer dalam tempo 3 jam 10 menit.

Baru diluncurkan, Hayabusa sudah ditargetkan untuk bisa mencapai kecepatan 320 kilometer per jam tahun depan. Dengan itu, ia akan jadi kereta paling cepat di Jepang.

Kita sebaliknya masih ingat, KA Parahyangan yang termasuk ikon dalam mobilitas Jakarta-Bandung itu pun bukannya berkembang menjadi kereta modern yang bisa menempuh kedua kota dalam tempo dua jam, tetapi malah tamat riwayatnya karena dibiarkan kalah oleh otomotif.

Impian tinggi

Terbang lebih tinggi daripada sekadar urusan terestrial (Bumi), sejumlah kalangan kini sudah memikirkan zaman ketika manusia harus tinggal di luar Bumi, setelah Bumi tak lagi layak untuk didiami, baik karena lingkungannya sudah rusak karena polusi maupun perubahan iklim.

Di luar alasan yang mungkin terdengar muskil atau futuristik di atas, ada alasan yang boleh jadi lebih riil. Seperti dicatat oleh Ben Austen dalam artikelnya di majalah Popular Science (3/11), alasan untuk pindah dari Bumi sebagian besar justru karena faktor manusia, dan kalau begini, pasti bukan urusan masa depan jauh.

Disebutkan, jumlah bahan yang dikonsumsi manusia setiap tahun kini sudah melebihi apa yang bisa ditanggung oleh Bumi, dan World Wide Fund for Nature memperkirakan, pada 2030 kita akan mengonsumsi sumber daya alam yang nilainya setara dengan dua planet setiap tahunnya.

Selain itu, Center for Research on the Epidemiology of Disasters, organisasi kemanusiaan internasional, melaporkan, hantaman kekeringan, gempa bumi, hujan bercurah tinggi, dan banjir sepanjang dekade silam lipat tiga kali dibandingkan angka tahun 1980-an dan hampir 54 kali dibandingkan tahun 1901 ketika data mengenai soal-soal di atas pertama kali dikumpulkan.

Melihat fenomena perubahan iklim yang semakin dirasakan nyata dalam satu-dua tahun terakhir, juga mencuatnya berbagai krisis menyangkut pangan dan lingkungan (seperti semakin banyaknya wilayah pantai yang dilanda rob berkelanjutan), maka ide untuk koloni angkasa—betapapun sejauh ini masih erat dikaitkan dengan fiksi ilmiah—jadi terasa dekat dan relevan.

Pertanyaan yang harus kita jawab, dalam suasana kehidupan berbangsa yang terus-menerus diliputi hiruk-pikuk politik dan upaya survival kekuasaan, seberapa banyak lagi sumber daya kita yang masih tersisa untuk melahirkan terobosan iptek atau menekuni ide besar seperti pengereman pemanasan global atau koloni angkasa?

Sumber: Kompas, Rabu, 9 Maret 2011

Monday, March 07, 2011

Kelompok Rentan Miskin Belum Terlindungi

Jakarta, Kompas - Sebagian penduduk Indonesia masuk kelompok rentan miskin. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan dan bisa langsung jatuh miskin jika sakit. Karena itu, pemerintah perlu segera membuat sistem untuk menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat.

Presidium Komisi Aksi Jaminan Sosial Timbul Siregar, akhir pekan lalu, menyatakan, dari 33 juta pekerja formal, hanya 9 juta pekerja diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) oleh perusahaan.

”Perusahaan diwajibkan mengikutkan pekerja dalam jaminan hari tua ditambah satu jaminan lain dalam program Jamsostek. Namun, belum tentu jaminan pemeliharaan kesehatan yang dipilih. Perusahaan besar biasanya mengikutsertakan pegawai dalam asuransi kesehatan, tetapi tidak banyak yang demikian,” kata Timbul yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.

Mereka yang diikutsertakan dalam jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek pun belum mendapatkan pelayanan memadai. Setiba di rumah sakit, kerap terjadi masalah birokrasi, seperti proses konfirmasi ke Jamsostek. Fasilitas yang diberikan dan jenis penyakit yang ditanggung juga tergantung dari premi. ”Pengusaha kerap hanya membayar premi minimum sehingga layanan terbatas,” katanya.

Timbul mengatakan, pekerja formal tak digolongkan penduduk miskin sehingga tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Padahal, saat sakit mereka tidak mendapat bantuan dari perusahaan dan tak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, masih ada pekerja formal yang dibayar di bawah upah minimum regional.

Hal ini dialami Supartono, warga Plumpang, Jakarta Utara, yang 32 tahun bekerja di perusahaan JI, Jakarta Utara, dengan upah terakhir Rp 800.000 per bulan. Setahun lalu, ia terkena stroke sehingga lumpuh dan tak bisa bekerja lagi. Ia membiayai sendiri pengobatannya karena tidak ada jaminan kesehatan dari perusahaan. ”Saya berutang sekitar Rp 3 juta untuk berobat dan sekarang berhenti berobat karena tidak punya uang,” ujarnya.

Saat ini, Supartono berupaya mendapatkan hak pesangon yang diperjuangkan selama satu tahun dan tidak kunjung diberikan oleh perusahaan. Uang itu akan digunakan untuk pengobatan.

Timbul mengatakan, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) seharusnya mencakup jaminan kesehatan seumur hidup, tak diskriminatif, dan mencakup seluruh jenis penyakit agar seluruh masyarakat terlindungi. ”Itu salah satu yang diperjuangkan pekerja,” katanya.

Hambat revisi

Pekan lalu dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, yang diajukan oleh Mudhofir, Parulian Sianturi, dan rekan- rekannya dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan 11 federasi pekerja lain, di Mahkamah Konstitusi, pemerintah dinilai menjadi penghambat revisi UU Jamsostek agar sesuai semangat UU No 40/2004 tentang SJSN.

UU SJSN mengamanatkan Jamsostek menjadi lembaga nirlaba, gotong royong, dan amanah, serta bukan dalam bentuk badan usaha milik negara. Pemohon diwakili oleh kuasa hukum Muchtar Pakpahan dan tim.

Sementara itu, untuk menekan angka kematian ibu dan bayi, pemerintah menganggarkan Rp 1,2 triliun guna memberikan jaminan persalinan bagi perempuan yang akan melahirkan. Hal itu dinyatakan Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Minggu (6/3). (INE/ANA/IND)

Sumber: Kompas, Senin, 7 Maret 2011

Friday, March 04, 2011

527.850 Siswa Sekolah Dasar Putus Sekolah

Jakarta, Kompas - Penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua tahun 2011, salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya.

Kemarin, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO) merilis indeks pembangunan pendidikan (education development index) dalam EFA Global Monitoring report 2011. Peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tahun lalu, posisi Indonesia ke-65.

Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Pada laporan terbaru nilainya 0,862, sedangkan tahun 2010 mencapai 0,928.

Indikator lain, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas juga tak beranjak signifikan. Anak-anak putus sekolah usia SD dikhawatirkan kembali bermasalah dalam baca dan tulis.

Jika digabung dengan siswa SD yang tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP, siswa yang hanya mengenyam pendidikan SD bertambah. Lulusan SD yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya.

Putus sekolah di jenjang SD itu terutama faktor ekonomi. Ada anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan biaya.

Untuk mengatasi ancaman putus sekolah pada keluarga tak mampu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh membuat program ramah sosial terhadap kelompok itu. Kucuran beasiswa bagi siswa miskin mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi diperbaiki agar memutus rantai kemiskinan keluarga.

Kelas khusus

Anak-anak putus sekolah, antara lain, dialami anak-anak peserta kelas layanan khusus (KLK) di SD Inpres Maccini Baru, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ada sekitar 25 anak usia 8-14 tahun yang disiapkan masuk kelas reguler karena tak bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Tajudin (11), di antaranya, baru satu bulan ikut KLK. Ia tak pernah terdaftar sekolah karena orangtuanya miskin. Tajudin diajak tetangga ikut KLK yang gratis, yang ditujukan untuk menjangkau anak usia wajib belajar putus sekolah agar belajar lagi.

Ajawati, Kepala SD Inpres Maccini Baru, Makassar, mengatakan, di sekitar sekolah banyak keluarga miskin, terutama pendatang. Anak-anak itu ada yang bekerja pada pagi hari, lalu ikut KLK sore harinya. ”Setiap tiga bulan dievaluasi. Jika sudah ada kemajuan, baru dimasukkan ke kelas reguler bersama anak-anak lainnya,” kata Ajawati. (ELN)

Sumber: Kompas, Jumat, 4 Maret 2011

Wednesday, March 02, 2011

Sosiologi: Kebijakan Pendidikan Tidak Sesuai Kebutuhan

Depok, Kompas - Kebijakan sistem pendidikan selama ini tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia dan tujuan pembangunan nasional. Bahkan, kebijakan yang dibuat kerap hanya bersifat tambal sulam dan reaktif terhadap suatu persoalan.

Demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi di ”Sociology Summit 2011” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Selasa (1/3) di kampus UI Depok.

Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina Muhammad Abduhzen menilai hal itu terjadi karena perancangan sistem pendidikan tidak pernah melihat kebutuhan riil masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.

Bisa saja, kata Abduhzen, misalnya tujuan pembangunan nasional ada pada sektor pertanian, perikanan, atau kelautan, maka berarti seluruh sistem pendidikan diarahkan untuk mencapai itu. ”Harus jelas terlebih dahulu mau ke mana kita ini sehingga arah pendidikan juga jelas mau menghasilkan sumber daya manusia seperti apa,” ujarnya.

Karena gagasan pendidikan yang kabur, kebijakan pendidikan akhirnya menjadi sekadar coba-coba dan cenderung reaktif. Dalam sesi tanya jawab pada diskusi juga mengemuka contoh- contoh kebijakan yang reaktif, seperti pendidikan karakter yang muncul karena meningkatnya kasus-kasus korupsi.

Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Nizam mengingatkan nasib perubahan atau perbaikan dalam sistem pendidikan ada di tangan masyarakat. Pasalnya, pemerintah tidak akan sanggup menangani dan menyelesaikan semua persoalan pendidikan. ”Otonomi yang diberikan pada pendidikan tinggi seharusnya bisa digunakan perguruan tinggi untuk mengembangkan diri,” ujarnya.(LUK)

Sumber: Kompas, Rabu, 2 Maret 2011

Tuesday, March 01, 2011

Sosiologi: Rasa Memiliki Masyarakat Memudar

Depok, Kompas - Perasaan memiliki atau sense of belonging masyarakat terhadap kota atau daerah tempat tinggalnya mulai pudar. Warga masyarakat mulai kehilangan ikatan bahkan semakin terasing dari kota atau daerahnya. Ini tecermin dari mulai hilangnya partisipasi warga dalam pembangunan kota. Jika hal ini dibiarkan, solidaritas sosial akan hilang. Padahal, untuk membentuk kota perlu solidaritas sosial.

Hal itu mengemuka dalam simposium Sociology Summit 2011 ”Sociology for Sustainable Life” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Senin (28/2), di Kampus UI Depok. ”Tanpa solidaritas sosial, akan muncul wilayah-wilayah permukiman yang eksklusif, seperti ghetto-ghetto. Masyarakat juga menjadi terkotak-kotak,” kata sosiolog dari FISIP UI, Robertus Robet.

Untuk mempertahankan solidaritas sosial dan rasa memiliki kota atau daerahnya, masyarakat harus mempunyai kekuatan untuk mendefinisikan sekaligus membangun kota yang diinginkan dan yang mencerminkan budaya masyarakat setempat.

Sosiolog dari FISIP UI, Ganda Upaya, menambahkan, kepentingan ekonomi dalam perencanaan pembangunan amat kental. Bagi teknokrat, pembangunan fisik menjadi simbol kehidupan modern. Namun, karena perencanaan pembangunan itu tidak berpihak pada masyarakat, maka masyarakat justru merasa tidak memiliki kota.

Untuk mengantisipasi berbagai persoalan sosial, Ganda menilai sosiolog bisa mengedukasi masyarakat untuk membuat perencanaan sosial. (LUK)

Sumber: Kompas, Selasa, 1 Maret 2011