Sunday, December 29, 2013

Musik Versus Sound System

-- Aristofani Fahmi

 JIKA membaca judul tulisan ini di imajinasi Anda muncul ring tinju, saran saya tunda dulu, ada saatnya nanti. Awalan ini penting untuk sekedar dasar mengapa judulnya demikian.

Dalam mementaskan karyanya di panggung, komponis dan musisinya sedang berupaya mempublikasi nilai yang ditujukan kepada penontonnya. Sebaliknya penonton akan berusaha memaknai nilai yang terkandung dalam karya musik tersebut. Musik sebagai sebuah karya yang dipentaskan, menggunakan media bunyi sebagai elemen dasarnya. Maka yang utama dalam proses pemaknaan nilai karya ini adalah kehadiran tiga elemen, yaitu penyaji, karya, dan penyimak. Pada era modern ini kehadiran sound system menjadi hal yang tak kalah pentingnya dan kadang sebagai penentu dalam kesempurnaan proses pemaknaan nilai tersebut.

Sound system merupakan perangkat teknologi pengeras suara yang dapat membantu sebuah bunyi/suara terdengar jelas dari kejauhan. Bahkan saat ini banyak pertunjukan musik sangat bergantung pada kesempurnaan teknologi sound system, agar tujuan utama pertunjukan dapat terwujud secara tuntas. Maka sound system menjelma menjadi bagian utama dalam pertunjukan seni terutama (musik). Dengannya kita akan mengenali detail elemen bunyi musik.

Tapi mengapa judul tulisan ini musik dan sound system justru saling beroposisi? Keduanya saling melawan. Apakah nantinya harus ada yang kalah? Ah... penulis ini mengada-ada saja.

Ini bukan mengada-ada tapi peristiwa apa adanya. Saya mengambil contoh terhangat. Beberapa hari yang lalu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau menggelar event bertajuk Culture Night pada tanggal 10 hingga 15 Desember 2013, di pelataran purna MTQ di Pekanbaru. Pada helat ini, publik di Kota Pekanbaru disajikan beragam seni pertunjukan oleh peserta yang berasal dari berbagai daerah dalam dan luar negeri. Acaranya luar biasa meriahnya, sebab menghadirkan beberapa artis Ibu kota seperti band Wali, penyanyi dangdut Iis Dahlia, dan lainnya. Tata panggung yang megah, pencahayaan yang glamor, dan sound system yang canggih dengan kekuatan di atas 20.000 watt. Selain itu juga dihadirkan sanggar atau grup seni dari daerah yang aktif berkarya untuk menampilkan inovasi karya-karyanya.

Fasilitas yang sungguh mewah untuk pementasan karya-karya seni. Bandingkan dengan peralatan yang ada gedung megah Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru, yang pada malam itu menjadi latar belakang panggung Culture Night. Sebetulnya pasilitas di Anjung Seni Idrus Tintin dapat dikatakan tidak usang, pengadaan awalnya sudah ada sistem komputerisasi untuk operasionalnya. Hanya saja belum pernah digunakan secara maksimal. Entah apa masalah dan siapa penanggung jawabnya. Tapi, untuk apa dibandingkan? Kebanyakan seniman yang menggelar karya-karyanya di Gedung Pertunjukan terbesar dan kebanggaan Provinsi Riau ini dengan produksi sendiri adalah seniman yang pasrah pada kondisi seadanya Gedung Anjung Seni Idrus Tintin. Produksi karya seni yang belum sanggup mengoptimalkan pencahayaan dan teknologi tata suara sebagai bagian utama artistik. Dugaan saya karena tidak memiliki biaya yang cukup atau gagal menarik minat sponsor untuk membantu mengadakan pasilitas dan operator yang lebih baik. Yang sering kali muncul dalam benak adalah kata ‘seandainya’. Seandainya ada biaya untuk memaksimalkan sound system dan tata lampunya gedung pertunjukan ini.

Grup yang berpentas di Anjung Seni Idrus Tintin selama ini hanya dapat mampu menghadirkan pendingin ruangan. Solusinya tentu saja adalah butuh perhatian yang serius agar karya yang ditampilkan dapat secara maksimal diapresiasi oleh masyarakat. Kondisi ini telah berlangsung berlarut-larut, akhirnya yang terjadi adalah pemakluman tak berkesudahan. Di sisi lain, peralatan yang digunakan pada Culture Night tentunya merupakan pasilitas impian seniman yang mengedepankan detail dalam karyanya. Namun kembali lagi, untuk menghadirkannya dalam produksi sendiri membutuhkan biaya yang sangat besar. Konon event ini menggunakan biaya hingga milyaran rupiah.

Kegagalan Proses Pemaknaan
Seperti yang disebut di atas, bahwa pertunjukan musik merupakan proses publikasi makna. Prosesnya terjadi antara penyaji karya - karya - penyimak. Sound system di sini menjadi media utama dalam publikasinya. Apabila sound system tidak baik (precise) maka proses pemaknaan besar kemungkinan akan gagal. Ini sudah terjadi berulang kali, tidak hanya di Riau tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali Jakarta.

Selalu ada yang menjadi kecewa pada saat pertunjukan seni yang menggantukan diri pada sound system. Salah satunya adalah peserta Culture Night dari Kabupaten Pelelawan. Mereka menampilkan karya musik yang berjudul ‘’Lakasyafa’ah Ya Rasulullah’’, yang disusun apik oleh Bambang Haryono S.Pd, berpentas pada hari ketiga Culture Night. Sebagai penonton, saya sesungguhnya sangat tertarik dengan konsep yang ditawarkan yakni mencoba mengajak khalayak untuk tidak meninggalkan Salawat. Sebab pada masa sekarang salawat hanya menjadi sebatas bacaan biasa, pemaknaan terhadapnya menjadi dangkal. Padahal sesungguhnya Salawat memiliki makna yang perlu menjadi refleksi bagi kehidupan manusia, menjadi penyelamat di ambang dosa dan amal. Melalui media musik, Bambang mencoba menyajikan Salawat menjadi hal yang lebih menarik. Mengajak penonton menyelami makna Salawat melalui susunan bunyi yang syahdu. Vokal shalawat dilagukan dengan melodi tenang dan khusyuk.Sehingga setiap orang yang mendengarnya akan menemukan ketenangan batin. Setidaknya itu cita-cita komponisnya.

Namun apa yang terjadi, selepas pentas saya menemui para pemainnya untuk sekedar memberi selamat. Sepertinya cita-cita komponis tidak berhasil. Wajah para pemain terlihat kumal. Tidak bahagia. Ketika ditanya bagaimana pertunjukannya, jawabnnya singkat: sound systemnya tidak baik. Huuh... terjadi lagi, pikirku. Bahkan Cendra yang bermain Cello pada karya Bambang ini mengungkapkan kalimat bernada apatis terhadap buruknya sound system. ‘’Biarlah, kondisi ini pada akhirnya menjadi kebiasaan,’’ kata Cendra seusai pentas. Menurut saya ungkapan Cendra ini adalah ‘bencana estetika musik’. Pemusik sebagai tokoh utama penyampai makna mulai tidak peduli terhadap tujuan proses pemaknaan yang terjadi pada triangulasi estetika tadi. Apakah pesan dari karya tersebut sampai kepada penyimak atau tidak, bukan lagi menjadi hal penting. Pada kondisi ini kehadiran kesenian sebagai sistem nilai menjadi tidak berharga.

Dalam pengamatan saya, sound system pada pertunjukan karya ‘’Lakasyafa’ah Ya Rasulullah’’ malam itu memang buruk. Mickrophone vokal yang dipasang sebanyak tiga buah, satu pun tidak ada yang bunyi. Padahal karya musik ini mengangkat Salawat di mana vokal menjadi hal utama. Sementara instrumen biola yang menggunakan kabel plug in mendominasi dengan vomule keras. Gambus seperti ‘ada gambar tak ada suara’. Cello seperti sosok bertubuh raksasa tapi suaranya mlempem. Berulang kali saya menoleh ke belakang, ke area awak sound system, berniat memberi tandadengan tatapan penuh arti: ‘’halloo... ada yang tidak beres di sini,’’ teriakku dalam pikiran. Namun sepertinya mereka kebingungan, tidak tahu apa masalahnya. Padahal setiap penampil sudah melalui proses cek sound pada siangnya. Tidak dapat terhitung berapa kali kejadian seperti ini selalu terulang. Sound system selalu menjadi faktor utama kegagalan proses pemaknaan pertunjukan musik. Yang menyedihkan adalah sound system bintang tamu artis dari Ibukota begitu sempurna. Saat ini kita sudah dapat menerka siapa pemenang antara musik vs sound system.

Meraba Pokok Permasalahan
Dalam catatan saya, pertunjukan baik musik maupun tari di Pekanbaru, sangat sedikit pertunjukan yang tidak mempermasalahkan sound system. Tidak hanya  di Anjung Seni Idrus Tintin, event tari dan musik yang dilombakan di ruang lain seringkali menjadi kambing hitam atas kegagalan grup dalam meraih predikat terbaik. Misal, pada parade tari tingkat Provinsi Riau tahun 2011, komponis dan musisi dari grup kabupaten Indragiri Hulu membawa perangkat sound system sendiri. Meskipun persiapannya cukup panjang, sekitar 20 menit, untuk mengganti chanel mickrophone dari mixer milik sound system penyelenggara dengan mixer kecil milik penyaji. Namun usaha tersebut berhasil. Pertunjukan berjalan lancar dengan sound system yang steril dari bunyi-bunyian yang tidakdiinginkan kehadirannya. Sebagai bandingannya adalah, sound system penyajian dari kabupaten sebelum Indragiri Hulu yang betul-betul buruk. Bunyi storing/feed back mengisi ruang pendengaran sejak awal hingga akhir sajian. Dengan kondisi seperti itu, rasa jengkel menumpuk, mempertanyakan apa pokok permasalahannya.

Apabila disimak secara sepintas pokok permasalahan buruknya pelayanan sound system seni pertunjukan ada pada sumber daya para operatornya. Operator sound system yang mumpuni di negeri ini terbilang sedikit. Salah satunya almarhum Totom Kodrat. Ia menyerahkan segala hidupnya untuk menguasai keterampilan tata suara. Hingga akhirnya menjadi konsultan tata suara gedung pertunjukan. Grup musik yang berpentas di Jakarta selalu berharap akan di tangani oleh Totom. Dalam sebuah bincang ringan di Jambi awal tahun 2012, Totom mengatakan sound enginer harus mau mempelajari seluk beluk instrumen tradisional nusantara, sebab ragamnya sangat menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran karakter bunyi.

Tak dapat dipungkiri, penguasaannya terhadap tata suara menjadikannya panutan untuk tata suara karya musik inovasi tradisi berbahagialah seniman yang pernah bekerja sama dengan Totom.

Kita dapat berkaca pada sosok Totom, bahwa salah satu persoalan mendasar operato sound system di Indonesaiadalah perlunya pengetahuan yang luas dan kedekatan terhadap beragam jenis musik. Mungkin operator sound satu dapat dengan lihai menangani pertunjukan musik band populer. Apalagi dengan fasilitas sistem digital yang sudah tersedia pada sound system mutakhir. Namun belum tentu untuk musik inovatif yang menggunakan instrumen tradisional sebagaimana para peserta di acara Culture Night. Untuk menjadi operator sound system yang baik, tidak hanya dituntut menguasai persoalan teknis. Anda perlu mendalami karakter bunyi setiap instrumen musik dan pemahaman dasar komposisi musik yang dimainkan oleh grup musik.

Sebuah pengalaman lain ketika terlibat dalam proyek perekaman musik pedesaan di Kabupaten Subang pertengahan tahun 2004. Saat itu tim sedang merekam musik tradisional Tarling. Ditengah proses perekaman tiba-tiba operator minta istirahat untuk evaluasi. Terjadi perbedaan pendapat antara dua orang ahli tata suara yang berbeda latar belakang. Satunya etnomusikologi, satu lagi terbiasa menangani perekaman musik populer. Permasalahannya adalah yang direkam adalah musik tradisional yang tidak bisa disikapi sebagaimana musik populer. Hasilnya yang diharapkan adalah kemurnian karakter bunyi instrumendan keseimbangan apalagi dengan hanya menggunakan dua buah mickrophone. Hal ini tentu saja mustahil bagi operator sound system musik populer. Dari pengalaman itu saya menganggap penguasaan karakter instrumen musik dan komposisi musik menjadi sangat penting. 

November lalu saya sempat menyaksikan pertunjukan Kua Etnika Yogyakarta arahan Djadug Feriyanto di teater Salihara Jakarta.Mereka memainkan jenis musik World Music, dimana instrumen tradisional Jawa dipadukan dengan instrumen combo band. Alat musik yang digunakan sangat banyak sehingga panggung seluas 8 x 10 meter terlihat penuh. Dari hati yang paling dalam saya memuji operator sound systemnya yang menghadirkan bunyi yang sangat jernih, sama sekali tidak ada gangguan teknis.

Selepas pertunjukan saya temui operatornya untuk menanyakan bagaimana bisa seperti itu. Mas Gendhel, panggilannya, mengatakan tidak usah terlalu ribet, yang paling penting adalah keseimbangan volume di atas panggung harus tercipta. Keseimbangan volume ini akan sangat menentukan kenyamanan para pemain dalam penampilannya. Bagaimanakah tataran keseimbangan volume yang dimaksud, hanya para pemusik yang tahu. Operator sound system harus mampu menerjemahkannya. Di sinilah pentingnya komunikasi intim antara pemusik dan operator sound system.Sebab keduanya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya.

Seniman musik seperti Bambang dan Cendra ini tidak butuh macam-macam, cukup keseimbangan bunyi setiap instrumen musik. Sebab tanda musik pada perubahan yang tidak dapat diprediksi tidak selalu dilakukan oleh satu alat musik sebagaimana instrumen drum pada karya musik populer. Jadi apabila operator sound belum mampu untuk sekedar menciptakan keseimbangan volume antar instrumen, terus bagaimana dengan dengan tuntutan lain dari karya musik yang lebih dalam, semisal karakter bunyi setiap instrumen? Para pemusik di Riau selalu mengatakan ‘Lamak’ untuk mengungkapkan rasa puas terhadap sound system yang baik seusai berpentas. Dan tentu saja kata ‘Lamak’ menjadi pujian terhadap operator sound system.

Sekedar saran bagi pihak yang berwenang terhadap penyedia jasa sound system sebagai fasilitas artistik seni pertunjukan, investasi Anda terhadap kualitas peralatan sound system hendaknya diimbangi dengan sumber daya operatornya. Berinvestasi jugalah pada peningkatan kemampuan operator, niscaya Anda adalah penyedia  jasa sound system yang mulia. Kami doakan.

Yang Kalah
Apakah sudah menemukan siapa yang kalah?  Mungkin kita berbeda. Menurut saya tentu saja bukan dari pihakpenyedia jasa sound system. Sebab seburuk apapun kualitas jasa sound systemnya, nilai kontrak dari penyewa tidak akan berubah. Namun juga bukan pemusik seperti Bambang, Cendra atau pemusik non populer lainnya, bayaran peyenya tidak akan berkurang. Maaf, Saya bercanda. Maksud dari kalimat tersebut adalah, tugas musisi dan komponis sudah selesai ketika usai menampilkan karyanya. Selebihnya adalah urusan teknis yang menjadi penentu tersampaikannya pesan atau tidak. Kalau begitu, siapa?

Yang kalah, sejatinya ialah nilai yang terkandung dalam karya itu sendiri. Pada awalnya nilai itu berada di dunia abstrak imajinasi pengkarya. Melalui proses panjang dengan laku kontemplatif yang dalam, pengkarya berusaha menerjemahkan realitas metafisik menjadi bahasa konkrit berupa bunyi, teks, gerak, rupa-bentuk, dan lain lain untuk dapat dihayati manusia. Hanya sedikit dari seniman tulen yang  sanggup melakukannya, sehingga predikat pencipta melekat pada sosoknya ketika berhasil melahirkan karya. Malam itu tentu saja Bambang berharap karyanya dapat diapresiasi secara tuntas.

Namun ketika karya itu tidak berhasil dikomunikasikan secara total, disebabkan oleh persoalan teknis, maka nilai dan karya tersebut bergentayangan di pikiran orang-orang yang terkait. Dia gagal dimaknai oleh publik sebagai tujuan penciptaannya. Eksistensinya pun tidak sempat menjadi ‘peristiwa’ yang senantiasa ingin diketahui oleh manusia apresiator. Tidak ingin lama bergentayangan, ia akan kembali pada senimannya, berusaha agar tetap diakui keberadaannya. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, sang seniman penciptanya hanya bisa pasrah, seraya membelai dan berharap semoga pada penampilan berikutnya dapat lebih baik. n

Tulisan dipersembahkan untuk almarhum Totom Kodrat, konsultan sound system dan akustik Anjung Seni Idrus Tintin, sosok operator yang sederhana, yang semasa hidupnya ia dedikasikan pada peningkatan kemampuan sound system. Semoga ada penerusnya. n

Aristofani Fahmi, musisi dan penonton kesenian. Tinggal di Kota Bertuah Pekanbaru, Ria

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

No comments: