Friday, April 30, 2010

[Pustakaloka] Timbangan: Konsep Hukum Responsif untuk Si Miskin

-- Romli Atmasasmita

data buku
• Judul: Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum
• Penulis: Frans Hendra Winarta
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
• Cetakan: 2009
• Tebal: xvii + 221 halaman
• ISBN: 978-979-22-4565-3


SETIAP orang, lepas dari status sosialnya dalam masyarakat, memiliki peluang untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan hukum. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma (pro deo atau pro bono publico) kepada masyarakat yang lemah dan miskin merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

Kedudukan fakir miskin di hadapan hukum, yang seharusnya dilindungi negara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, sejauh ini belum dilaksanakan dengan efektif. Jaminan bahwa hak semua orang, baik dari golongan mampu maupun tidak mampu, untuk diperlakukan sama di hadapan hukum masih jauh dari terpenuhi.

Buku Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum merupakan karya ilmiah Frans Hendra Winarta yang memberikan jawaban atas permasalahan sebagaimana diuraikan di atas. Solusi yang ditawarkan didukung juga oleh pengalamannya sebagai seorang advokat senior dalam pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin.

Penulis mengawali tulisannya dengan menjelaskan landasan-landasan konstitusional yang terdapat dalam Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi perlindungan fakir miskin ini secara implisit terkandung dalam landasan filosofis Pancasila yang memuat sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, termasuk kaum fakir miskin. Landasan konstitusional dalam UUD 1945 mengenai jaminan perlindungan fakir miskin tersebut dalam praktik hukum belum sepenuhnya diwujudkan sekalipun landasan konstitusional dimaksudkan untuk mengamanatkan tanggung jawab negara terhadap fakir miskin, termasuk dalam pemberian jasa bantuan hukum.

Dalam buku ini diuraikan sejarah perkembangan bantuan hukum yang dimulai sejak masa kolonial sampai kepada era reformasi. Disebutkan bahwa perkembangan hukum nasional dari masa ke masa, yang tidak terlepas dari pengaruh asing, dalam perjalanannya juga tidak lupa memberikan perhatian terhadap aspek bantuan hukum. Di sini dikemukakan pembahasan mengenai perkembangan bentuk bantuan hukum di Indonesia dan perjuangan advokat dalam memberikan bantuan hukum. Tidak hanya itu, buku ini menjelaskan pula bagaimana bentuk intervensi pemerintah dan lainnya.

Konsep bantuan

Untuk memberikan gambaran nyata perjuangan membela fakir miskin, buku ini menguraikan kasus yang menjadi landmark dalam sejarah bantuan hukum, yaitu Waduk Kedung Ombo. Dalam proyek ini, pemerintah Orde Baru, yang berkolaborasi dengan Bank Dunia, bersengketa dengan warga yang rumahnya akan digusur untuk kepentingan pembangunan waduk. Pada saat itu ditempuh jalan ”praktis” untuk menyelesaikan masalah, seperti intimidasi pembubuhan kode Ex-Tapol (ET)/Organisasi Terlarang (OT) pada KTP warga yang menolak ganti rugi. Bahkan, disertai ancaman bahwa keturunan warga tersebut akan mengalami perlakuan serupa yang dialami oleh orangtua mereka. Kekerasan dalam bentuk penyiksaan fisik dilakukan oleh aparat desa dan juga ABRI kepada warga yang menolak ganti rugi. Sebagian warga memang menyerah dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya. Tetapi, sebagian lagi mencoba melawan.

Dalam kasus ini, warga didampingi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka mencari keadilan hingga tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Akhirnya, (dalam PK) pihak pemerintah dimenangkan oleh MA walau di tingkat kasasi, warga dimenangkan oleh MA. Pendampingan yang dilakukan oleh YLBHI ini merupakan bentuk perwujudan bantuan hukum sebagai hak konstitusional bagi fakir miskin dalam pembangunan hukum nasional.

Buku ini juga mengetengahkan pendapat penulis yang berbeda dengan konsep bantuan hukum struktural yang selama ini dijadikan rujukan para pejuang hak asasi manusia untuk membela orang yang tidak mampu. Hasil penelitian dan pengalaman penulis dalam bidang bantuan hukum (legal aid) sampai kepada temuan yang signifikan. Penulis mengajukan konsep bantuan hukum responsif yang dilatarbelakangi perubahan perkembangan sistem politik dari rezim otoritarian ke demokratis, terutama setelah mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan RI. Konsep ini mengutamakan kebersamaan antara pemerintah dan elemen masyarakat sipil untuk bahu-membahu memperbaiki hak fakir miskin dalam bantuan hukum.

Prinsip inilah yang menunjukkan perbedaan konsep bantuan hukum struktural yang selalu menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berseberangan dengan perjuangan masyarakat sipil. Sementara bantuan hukum responsif berarti memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan peran serta negara dan masyarakat (hal 169).

Secara singkat, konsep bantuan hukum responsif yang digagas oleh penulis buku ini merupakan jawaban atas tantangan masalah sebagaimana telah diurakan di awal tulisan. Konsep ini dipandang tepat sesuai dengan konteks pembangunan dan penegakan hukum pada era reformasi saat ini dan pada masa mendatang.

Dengan segala kekurangannya sebagai karya ilmiah, selayaknya buku ini dibaca guna memperkaya khazanah dalam bidang hukum, khususnya bantuan hukum.

* Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

[Pustakaloka] Buku Baru: Bencana Jurnalisme

BUKU Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, Kesaksian dari Tanah Bencana tulisan Ahmad Arif (33) diawali kisah memilukan Bedu Saini (38), warga Lambaro Skep, Kuta Alam, Banda Aceh, yang kehilangan dua anak dan ibu yang melahirkannya saat bencana tsunami mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.

Bedu, pewarta foto harian Serambi Indonesia, saat air bah mengganas tengah bersantai di dalam rumah bersama anggota keluarga. Istrinya, Khalidah (35), menggendong si bungsu, bayi laki-laki berusia 4 bulan yang belum diberi nama.

Naluri sebagai pewarta foto ”memaksa” Bedu meninggalkan keluarga, meski ....air di dalam bak kamar mandi tumpah ke lantai serta dinding dan atap rumah berderak seperti hendak roboh. Ini sebuah pertanda telah terjadi sebuah gempa.

”Aku tetap pergi walaupun anak-anak masih ketakutan dan ibuku meminta tetap tinggal,” kata Bedu. Sebuah dorongan yang bertahun-tahun mengalir dalam nadinya mengalahkan semua: dorongan meliput, melihat dari dekat apa yang tengah terjadi, dan mengabadikannya dengan kamera.

Kepergian Bedu ”dibayar mahal”. Ketika ia pulang ke rumah—setelah mengabadikan gambar-gambar kerusakan Kota Banda Aceh lewat kamera Nikon D-100-nya—ibunya serta bayi lelaki yang belum bernama itu dan anak sulungnya tak terlihat lagi. Khalidah kemudian berkisah tentang dua anak mereka dan sang ibu yang hilang terseret air.

Bedu hanya bisa terpaku mendengar kisah istrinya. Secepat datangnya gelombang, secepat itu pula orang-orang terdekat menghilang terbawa pusaran air hitam.

Bahaya akan selalu membayangi kerja wartawan. Namun, seandainya dalam posisi Bedu Saini, sanggupkah kita melakukan hal sama?

Buku ini mencoba menguraikan beragam persoalan dan dilema yang dihadapi wartawan di medan bencana, meliputi: detik-detik pertama wartawan sebagai korban, saksi, sekaligus pelapor bencana. Lebih dari itu, buku yang ditulis oleh satu dari sekian wartawan muda di Kompas ini juga mengkritisi cara kerja wartawan—di daerah bencana—yang kadang menulis berita tanpa keseimbangan dan mengecek ulang adanya sebuah fakta sehingga berita yang disajikan bisa disebut ”kabar bohong”.

”Kabar bohong”, antara lain, tentang ditemukannya 500 mayat akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, akhir Desember 2006. Berita ini dijadikan berita utama sebagian surat kabar. ”Saya bersikukuh kabar itu belum jelas. Akhirnya terbukti, hanya isapan jempol,” tulis Arif dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, ini. Dalam praktik jurnalisme di Indonesia, hiburan, gosip, dan berita kadang bercampur aduk.

Buku Ahmad Arif mencoba melintasi reportase. Ada analisis, komentar, hasil riset sejarah, dan lain-lain. ”Pembaca juga dapat memanfaatkan data selebihnya yang cukup banyak,” tulis Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama majalah Tempo, di sampul belakang. (POM)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

Lukisan Basuki Abdullah: Terjawab Sudah, Wanita Itu Ternyata Azah Azis...

MISTERI wanita yang dilukis Basuki Abdullah dalam sebuah lukisan, yang dalam katalog koleksi Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, disebut dengan ”Keluarga Cantik”, atau yang banyak dikenal oleh para peminat karya Basuki Abdullah sebagai ”Tiga Dara, terjawab sudah.

Salah satu wanita—dari tiga wanita—yang posenya berada paling depan adalah bernama Sharifah Azah Mohamed Alsagof, atau lebih dikenal dengan Azah Azis (82). Dia adalah penulis sastra Melayu, salah satu bukunya yang terkenal adalah Rupa dan Gaya, Busana Melayu, yang diterbitkan pada 2006.

”Woi, cantik sekali. Itu saya waktu usia 30-an tahun. Lihat kain songket merah itu. Kain itu kain kesayangan saya waktu menikah dulu,” ungkap Azah, saat pertama kali melihat lukisan dirinya yang dipasang di kamar tamu di Selatan Istana Kepresidenan, Bogor, Sabtu (24/4). Demikian diungkapkan Azah kepada Kompas sekembalinya dari Istana Bogor, Sabtu siang itu.

Saat melihat pertama kali lukisan dirinya, Azah mengaku sulit memalingkan wajahnya dari lukisan indah tersebut.

”Saya bangga dan bahagia melihat lukisan itu di tempatkan di Istana Bogor. Terima kasih. Ini ’rumah baru saya’. Sebelumnya, ’rumah saya’ di Istana Negara, Jakarta, ya?” ujar Azah kepada petugas Istana Bogor, yang mendampinginya.

Sepanjang 25 menit, Azah menyaksikan kembali lukisan dirinya tersebut. Ia ditemani putrinya, Dr Zeti Akhtar, yang telah menjadi Gubernur Bank Sentral Malaysia selama 10 tahun ini. Kini, Azah memang telah menjadi nenek. Namun, sisa-sisa kecantikannya masih tampak.

”Lukisan itu dikenal dengan ’Tiga Dara’, tetapi saya sendiri, waktu itu, sudah mempunyai anak. Jadi, bukan lagi dara,” ujar Azah, wanita kelahiran Singapura, 21 Agustus 1928, itu tertawa. Menurut Azah, lukisan tentang dirinya dan dua wanita lain itu dulunya diberi nama ”Nusantara” oleh Basuki Abdullah.

Tentang bagaimana ia bisa menjadi model lukisan Basuki Abdullah, Azah mengaku pada suatu hari di bulan Oktober 1958, ia diminta secara pribadi oleh Basuki Abdullah untuk menjadi model lukisannya.

Izin suami

Semula Basuki meminta izin kepada suaminya, Prof Diraja Ungku Abdul Azis Ungku Abdul Hamid, peminat karya Basuki Abdullah yang kemudian menjadi temannya. Sang suami mengizinkan dan akhirnya Azah pun menjadi model pelukis bergaya naturalis kelahiran Solo, Jawa Tengah, 27 Januari 1915, itu. Azah mengaku dilukis selama dua jam-an. ”Cepat sekali Basuki Abdullah melukisnya,” ujarnya.

Adapun dua wanita cantik lainnya, yang berada di belakang pose dirinya dalam lukisan itu, sebelumnya telah dilukis oleh Basuki Abdullah. ”Saya tidak tahu namanya. Akan tetapi, dia gadis India dan China,” tambah Azah.

Namun, sejak dilukis di rumah Basuki Abdullah di Singapura, Azah tidak pernah melihat lagi seperti apa goresan tangan sang maestro itu. Waktu itu, Basuki tinggal di Singapura bersama istri pertamanya yang berasal dari Belanda, Yosephine.

Setelah 42 tahun lamanya, Azah akhirnya baru bisa menyaksikan lukisan dirinya itu. ”Lukisan itu diminta Bung Karno. Karena Bung Karno sahabat Basuki, ia memberikannya.

Lukisan itu akhirnya dapat disaksikan lagi oleh Azah setelah Bank Indonesia (BI) membantunya untuk ”menemukan” kembali lukisan itu. Upaya yang dilakukan BI sejak 2004 akhirnya membuahkan hasil meskipun Azah hanya menikmati lukisannya barang 25 menitan di Istana Bogor. (suhartono)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

Pendidikan: Dana RSBI Akan Dievaluasi

Jakarta, Kompas - Pemerintah akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dana bantuan langsung atau block grant yang telah diberikan kepada rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Kucuran dana telah dilakukan sejak lima tahun lalu.

Hingga tahun 2009, Kementerian Pendidikan Nasional telah memberikan kucuran dana kepada 320 SMA, 118 SMK, 300 SMP, dan 136 SD yang tersebar di 481 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

”Akan ada evaluasi pada tahun 2010/2011 karena pemberian dana bantuan untuk SMP memang selama empat tahun dan SMA lima tahun,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, Kamis (29/4) di Jakarta.

Untuk tingkat SMP, dana bantuan setiap sekolah Rp 400 juta pada tahun 2007 dan Rp 300 juta untuk setiap sekolah pada tahun 2008-2010. Sementara itu, untuk tingkat SMA, dana bantuan yang diberikan Rp 300 juta setiap tahunnya dari tahun 2006 hingga 2008. Untuk tahun 2009-2010, dana yang diberikan Rp 300 juta-Rp 600 juta per tahun untuk setiap sekolah.

Bisa kembali ke reguler

Menurut Mendiknas, evaluasi RSBI itu akan dilakukan secara menyeluruh dan melihat apakah semua ketentuan telah dipenuhi. ”Apabila, misalnya, RSBI itu tidak mencapai target yang telah ditentukan, sangat mungkin RSBI itu dikembalikan statusnya menjadi sekolah reguler. Sebaliknya, jika telah terpenuhi, statusnya akan langsung berubah menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI),” kata Nuh.

Apabila sekolah itu berubah status menjadi SBI, dana bantuan otomatis dihentikan. Pertimbangannya, sekolah diharapkan bisa membiayai sendiri setelah selama 4 dan 5 tahun mendapatkan bantuan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas belajar mengajar lain yang dibutuhkan.

Nuh mengingatkan, RSBI dan SBI harus memenuhi empat komponen, yaitu infrastruktur yang memadai, memiliki guru yang berkualitas, kurikulum sesuai dengan pembelajaran, dan manajemen yang baik.

”Ada syarat menjadi SBI, kualitasnya harus minimal di atas rata-rata standar nasional. Jika tidak, berarti SBI itu hanya jualan nama. SBI harus memiliki sister school dengan sekolah yang ada di luar negeri karena itu konsep dasarnya,” kata Nuh.

Sayangnya, kata Nuh, pengertian definisi ”internasional” kadang-kadang direduksi menjadi penggunaan kata-kata berbahasa Inggris di lingkungan sekolah atau dalam penyampaian materi pelajaran.

”Apa harus selalu memakai bahasa Inggris? Tidak. Tergantung sekolah itu mau memakai standar di negara mana. Kalau SBI-nya sekolah keagamaan, bisa pakai bahasa Arab. Atau bisa juga pakai bahasa Jepang,” ujarnya.

Yang paling penting sebenarnya jangan sampai RSBI atau SBI justru memunculkan eksklusivitas dan terkesan elite dengan hanya menerima calon siswa yang memiliki kemampuan finansial yang kuat.

Secara terpisah, Budi Susetiyo, dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, yang melakukan studi pengembangan kriteria sekolah standar, mandiri, dan berstandar internasional, mengatakan, kualitas RSBI perlu dipertanyakan.

”Bagi sekolah negeri, label RSBI bisa jadi alasan untuk memungut dana lebih dari masyarakat karena butuh untuk mengembangkan sekolah,” ujar Budi. (LUK/ELN)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

[Sosok] Ruang-ruang Cak Tarno

-- B Josie Susilo Hardianto

BAGUS Takwin, dosen Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, terharu. Ia tak menyangka, saat ia dan rekannya, Robertus Robert, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, digelari doktor, November 2009, akan mendapat hadiah kejutan, sebuah buku berjudul Speak-speak Filosofis. Buku itu berisi tulisan rekan-rekan sesama mahasiswa program pascasarjana dan doktoral yang kerap berdiskusi bersama di kios buku milik Cak Tarno (40).

Ia tak menyangka, usaha Cak Tarno menyemangati rekan-rekan mahasiswa itu akhirnya membuahkan buku. Bahkan, bersamaan dengan itu, di kios kecil di Jalan Sawo, sebelah Stasiun Universitas Indonesia, Margonda, Depok, digelar syukuran kecil. ”Kumpul-kumpul, makan bersama, wah, mengharukan,” ujar Bagus Takwin.

Bagi mereka yang mengenalnya, sosok Cak Tarno dikenal getol, gempita semangatnya, rela memfotokopi makalah agar semua pemikiran bernas yang luruh dari atmosfer diskusi di kiosnya lestari dan dapat dinikmati kembali.

Ketika banyak mahasiswa, juga mereka yang telah memperoleh gelar doktor menyebut namanya sebagai yang turut berjasa dalam proses pendidikan mereka, Cak Tarno mengatakan, dia hanya menjalani fungsinya bagi ilmu pengetahuan. ”Terserah bagaimana kemudian orang memaknai itu,” ujarnya.

Baginya, perjumpaan melalui diskusi kritis yang terjadi di kiosnya atau saat dia menawarkan buku-buku dagangannya adalah ruang di mana gagasan dicurahkan dengan terbuka, lugas dalam relasi egaliter tanpa dominasi. ”Itu baik bagi terjaganya sikap kritis para pelaku di dalamnya,” ujar Cak Tarno.

Karena itu pula ia tidak pernah menjual buku-buku bajakan. Bukan karena royalti yang diterima para penulis kecil, melainkan itulah cara dia menghargai jerih payah mereka yang menghadirkan gagasan bermutu melalui tulisan.

Jiwa terbuka

Panggilan ”Cak”, simbol kultural itu, dengan mudah menunjukkan dari mana asal Sutarno. Lahir dari keluarga buruh tani di Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur, tidak pernah membuat Cak Tarno minder. Meskipun hanya lulus SMP, ia tidak pernah merasa terbatas untuk mengenal luasnya dunia ilmu pengetahuan.

Ia mencoba membaca teori-teori kritis dari Mazhab Frankfurt; mencoba mengenal Jurgen Habermas, fenomenologi dari Comte, Filsafat Proses dari Alfred North Whitehead, Sejarah Umat Manusia dari Arnold Toynbee, hingga Teori Tindakan Komunikatif dari Habermas. Tidak semua buku itu ia baca habis. Sebagian ia kenali dan coba jejaki hanya melalui indeks dan pengantar, semata-mata, didorong alasan menjual buku-buku karya mereka. Meskipun begitu, ia tidak pernah berhasil meredam keterpikatannya pada pemikiran mereka.

Maraknya aktivitas diskusi di kios Galeri Buku Cak Tarno, menurut beberapa mahasiswa, tidak lepas dari upaya Cak Tarno membuka diri pada ilmu pengetahuan, khususnya kajian berbasis humaniora. Contohnya, siang itu, Sabtu (17/4) lalu, ketika Jalan Sawo ramai lalu lalang mahasiswa, meja di kios Cak Tarno dipenuhi orang. Mereka larut dalam diskusi tentang visualisasi sosiologis, menjejaki peran foto dalam pembentukan pemahaman. Cak Tarno ada dalam lingkaran diskusi itu. Ia larut di dalamnya.

Ketika diskusi berakhir, Cak Tarno berkata lirih, ia sebenarnya hanya mengenal kulit-kulit pemikiran para tokoh, seperti Pierre Felix Bourdieu, sosiolog dan antropolog Perancis. Konsep pemikiran Bourdieu tentang modal yang dikategorikan, antara lain, dalam modal sosial, modal budaya, dan simbolik, menarik perhatiannya.

Perjalanan

Meskipun melihat kehidupan buruh tani sebenarnya tidaklah memprihatinkan, dia enggan menekuninya. Alasannya, pekerjaan itu rentan karena sangat bergantung pada petani pemilik sawah.

Ketika petak-petak sawah di desanya rusak karena penambangan batu dan kemudian menjadi pabrik, Sutarno sudah berada ratusan kilometer dari Jatirejo. Berbekal niat memperbaiki nasib, dia mulai perjalanannya. Ia pernah menjadi buruh penarik kabel jaringan listrik tegangan tinggi. Pernah pula menjadi buruh bangunan, sebelum akhirnya pada tahun 1997 menjadi pembantu penjual buku di kaki lima Jalan Margonda, Depok.

Salah satu tugasnya menyusuri lapak-lapak barang bekas dari Depok Lama hingga Pasar Minggu untuk mencari buku bekas layak jual. ”Honornya Rp 90.000 per bulan,” kata Cak Tarno.

Beragam buku wajib bagi mahasiswa, termasuk versi bajakan, dijualnya kala itu. Buku wajib dalam bidang ekonomi dan manajemen adalah yang paling laku.

Ketika banyak pedagang buku menawarkan tema-tema serupa dan pasar pun banjir, Cak Tarno berpikir keras untuk mempertahankan usahanya. Pilihannya jatuh pada buku-buku sosiologi, antropologi, politik, budaya, hingga filsafat. Itulah celah yang, menurut dia, tidak digemari para pedagang lain.

Tentu yang pertama ia tuai adalah kesulitan karena pasarnya kecil. Namun, ia memutuskan untuk menggeluti. ”Lagi pula aku tertarik dengan tema-tema itu,” ujarnya.

Justru pilihan itulah yang mempertemukan dia dengan dunia keilmuan serta ruang-ruang diskusi yang inspiratif. Awalnya, ia hanya mencoba membantu mahasiswa memperoleh referensi yang cocok dengan tema kajian yang tengah mereka geluti. ”Pustaka Loka” pada harian Kompas dan ”Ruang Baca” pada harian Koran Tempo menjadi sumber acuan pencariannya.

Prinsipnya, khusus untuk permintaan buku berbasis ilmu-ilmu humaniora, ia berupaya tidak pernah mengatakan tak ada. Dari situ ia kemudian tahu buku-buku apa yang sesuai dengan penelitian Si A, atau yang cocok dengan kajian Si B. Ujungnya, ia menjadi rujukan bagi banyak mahasiswa dan dosen dalam memperoleh buku referensi.

Ruang diskusi

Komunikasi yang terbuka itu pula yang membuat kios Cak Tarno menjadi ruang terbuka untuk berdiskusi. Bermula dari wacana tentang karikatur Nabi Muhammad pada 2005, kios buku Cak Tarno menjadi tempat nyaman bagi mahasiswa untuk mendialogkannya. Itulah awal lahirnya kelompok diskusi yang oleh beberapa orang disebut Cak Tarno Institute (CTI).

Dalam perkembangannya, banyak mahasiswa program magister dan doktoral menggunakan CTI untuk mengkaji tesis mereka sebelum diujikan di depan para guru besar. Meskipun untuk itu ia mengaku kerap nombok biaya fotokopi materi diskusi.

”Enggak apa-apa, demi ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu, memperingati 40 tahun wafatnya Gus Dur, sekaligus 5 tahun CTI, Cak Tarno mengundang Adhie Massardi, Dr Bagus Takwin, dan Khotibul Umam menjadi panelis dalam diskusi di CTI. ”Mereka bersedia datang, meskipun gratis. Banyak yang hadir,” kata Cak Tarno.

Apakah ia akan terus menjalani usaha itu? Masa depan, tuturnya, adalah ruang-ruang kosong. Terserah nanti akan diisi apa.

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

Ujian Nasional Membunuh Kreativitas Anak

PENYELENGGARAAN ujian nasional (UN) yang ditentang banyak kalangan, telah selesai dan hasilnya pun telah diumumkan 26 April 2010. Kelulusan yang ditargetkan pemerintah, yakni 95%, jauh meleset, yakni hanya mencapai 89,61%, padahal tahun 2009, angka kelulusan mencapai 95,05%. Namun, Mendiknas Mohammad Nuh masih saja optimistis angka kelulusan UN bisa didongkrak sampai 96% setelah UN ulang digelar 10-14 Mei. Masalah ini ditulis wartawan SP Daurina Sinurat berikut ini.

Seluruh pelajar SMA/MA telah menerima pengumuman hasil ujian nasional pada tanggal 26 April lalu. Sekitar 154.000 siswa atau 10% dari total peserta ujian nasional (UN) 1.522.000 siswa di seluruh Indonesia harus menerima kegagalan tidak lulus UN.

Pemerintah tetap ngotot melaksanakan UN 2010 meski Mahkamah Agung (MA) memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu sebelum melaksanakan UN. Seperti meningkatkan kualitas pendidikan, melengkapi sarana dan prasarana yang akan menunjang mutu pendidikan para siswa, serta penyediaan kelengkapan akses informasi di sekolah-sekolah.

Pemerintah mengukur standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik melalui UN. Alasannya, UN menjadi pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, serta penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh berkelit, hasil UN menjadi bahan evaluasi dan pemetaan mutu pendidikan nasional. Berdasarkan hasil tersebut, pemerintah akan melakukan intervensi kebijakan pendidikan ke kabupaten kota dan sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Berdasarkan, hasil UN tersebut diketahui bahwa sejumlah daerah di Indonesia timur memiliki tingkat kelulusan lebih rendah dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia. Tingkat kelulusan paling rendah terjadi di provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 47,5%, diikuti Gorontalo mencapai 53,53%, dan Maluku Utara 58,14%. Sementara untuk provinsi lain, tingkat kelulusan mencapai lebih dari 60%.

Dari hasil UN tersebut, diketahui juga bahwa ada 267 sekolah yang tingkat kelulusannya 0% dengan 7.648 siswa tidak lulus ujian nasional. Dari 267 sekolah tersebut, 51 sekolah adalah sekolah negeri, sedangkan 216 adalah sekolah swasta.

Dia berjanji Kemdiknas akan memperbaiki kualitas pendidikan sekolah tersebut agar mutu pendidikan merata di seluruh Indonesia. Kemdiknas akan memberikan dana alokasi khusus dan dana alokasi umum serta pelatihan guru kepada sekolah yang tidak lulus.

Menurut Nuh, bila siswa yang mengulang hanya satu atau dua mata pelajaran, memiliki kesempatan lulus jauh lebih tinggi. Dengan demikian, persentase ketidaklulusan sebesar 10% bisa ditekan lagi. Dia berharap, gabungan tingkat kelulusan UN utama dan UN ulang diharapkan bisa menjadi 96%.

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Eddy Mungin Wibowo mengungkapkan, sekolah-sekolah yang memiliki siswa tidak lulus UN harus mendaftarkan siswanya ke kabupaten kota diteruskan ke provinsi. Pengumuman kelulusan UN ulangan SMA/ MA dilaksanakan pada 10 Juni 2010 atau dua minggu sebelum seleksi penerimaan mahasiswa baru. “Sehingga masih ada waktu untuk mendaftar ke perguruan tinggi,” ujarnya.

Siswa Dikorbankan

Menjadi permasalahan ketika UN dijadikan penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Para siswa menjadi tertekan karena harus lulus UN. Para siswa dipaksa belajar lebih giat dari sekolah ataupun melalui bimbingan belajar.

UN tahun ini sudah memakan korban. Seorang pelajar di Jambi bunuh diri karena tertekan tidak lulus ujian nasional. Sri Wahyuningsih (18) mengakhiri hidupnya dengan menenggak pupuk beracun seusai melihat hasil UN.

“Dosa UN adalah anak menjadi korban, anak menjadi stres dan takut tidak lulus sekolah. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda, tidak bisa distandardisasi seperti produk industri,” ujar pakar pendidikan HAR Tilaar.

Menurut guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta itu, nilai UN yang diterima siswa memberikan penghakiman terhadap anak bahwa si anak bodoh. Pemerintah menetapkan standar penilai yang sama kepada semua peserta didik di seluruh Indonesia.

Tilaar menegaskan, setiap anak harus diberikan kebebasan untuk meningkatkan potensi dirinya. Pendidikan adalah proses pemberdayaan manusia, sedangkan UN mematikan kreativitas anak.

UN baru bisa dilaksanakan bila semua standar nasional pendidikan di seluruh daerah terpenuhi. UN tidak seharusnya dijadikan penentu kelulusan siswa, tetapi hanya sebatas pemetaan sehingga siswa lebih santai mengikuti UN.

Psikolog Seto Mulyadi pun menegaskan hal senada. Apabila pemerintah tetap melaksanakan UN, sebaiknya tidak dimasukkan dalam kriteria penentu kelulusan satuan pendidikan. “Tuntutan untuk lulus UN memicu kebohongan dan kebocoran. Ini pendidikan korupsi sejak awal,” tandasnya.

Tugas utama pemerintah adalah memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Selama standar mutu guru, proses, dan sarana serta prasarana belum sama, ketimpangan mutu pendidikan akan tetap ada antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. u

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 30 April 2010

Tujuh Dosa Ujian Nasional

-- F.X. Aris Wahyu Prasetyo

PENDIDIKAN nasional benar-benar sedang diobok-obok oleh monster yang bernama ujian nasional (UN). Bahkan, hasil dari UN telah berimbas pada berbagai hantaman mental anak-anak bangsa ini. Banyak anak menangis histeris, depresi, bahkan mencoba bunuh diri dengan berbagai cara tatkala mendapati diri mereka tidak lulus UN. Selain itu, ada yang harus berperilaku anarkis dengan merusak gedung sekolah, fasilitas umum lainnya, bahkan menganiaya teman-teman mereka yang berhasil lulus UN.

Anarkisme mulai merasuk ke dalam dunia pendidikan. Namun, kita tidak bisa begitu saja menghakimi anak-anak yang tidak lulus itu buruk. Tentunya ada penyebab di balik semuanya dan bidikan utamanya adalah sistem pendidikan yang sangat buruk. Beban psikologis yang membebani anak didik pra dan pasca-UN serta adanya anarkisme pasca-UN merupakan efek dari sistem pendidikan yang salah urus.

Sistem yang salah arus telah menghasilkan anak bangsa yang salah asuh pula. Pastinya dosa pendidikan ini mesti ditanggung oleh penggagas dan pengambil kebijakan dari sistem pendidikan itu sendiri. Sudah terlalu banyak masalah pendidikan yang tak terurus dengan baik, seperti sekolah yang tertinggal dan mengenaskan, dana pendidikan yang tak menentu arahnya, profesionalisme guru lewat sertifikasi yang kontroversial, bisnis perbukuan sekolah, sampai masuknya dunia pendidikan menjadi lima besar bidang terkorupsi.

Begitu muramnya dunia pendidikan kita setidaknya tampak dalam dosa-dosa ujian nasional yang dilakukan. Pertama, ujian nasional telah mengingkari esensi dari sebuah evaluasi yang kontekstual dan berkesinambungan. Dalam pendidikan yang berorientasi proses seperti yang diadaptasi dalam kurikulum KTSP hendaknya segala evaluasi termasuk ujian nasional menjadi sebuah proses pembelajaran yang berkesinambungan yang dikenal dengan assessment as learning. UN menjadi hari penghakiman bagi anak-anak di bangku sekolah.

Kedua, UN merupakan sebuah perampokan intelektual. Amanat KTSP adalah pada pokoknya sekolah-sekolah mampu mengembangkan kurikulum yang kontekstual sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak didik di sekolah. Celakanya, usaha sekolah dalam desain pembelajarannya harus dirampas dengan ujian di akhir proses panjang pembelajaran.

Ketiga, teror psikis telah mengusik kenyamanan dan kebahagiaan anak didik dan keluarga (orang tua) sebelum ujian nasional dilaksanakan. Ketakutan dan kekhawatiran muncul setiap saat sehingga banyak usaha dilakukan untuk mempersiapkan ujian itu. Berbagai les dan uji coba yang menghabiskan banyak uang pun ditempuh demi kesuksesan.

Keempat, ujian nasional telah melahirkan berbagai perbuatan instan yang mengarah pada kecurangan demi hasil yang baik. Maraknya bocoran soal maupun kunci jawaban yang ditawarkan oleh oknum-oknum tertentu menjadi fenomena tersendiri atas potret pendidikan kita. Oknum-oknum itu berusaha menawarkan keberhasilan instan.

Kelima, UN sebagai alat ukur kualitas pendidikan nasional merupakan penyederhanaan luasnya aspek kajian pendidikan itu sendiri. Dunia pendidikan memiliki pilar penting, seperti anak didik, pendidik, sekolah sebagai lembaga, keluarga (orang tua), masyarakat, dan pendidikan tinggi. Lewat instrumen yang valid dan reliabel, kualitas pendidikan itu dapat disimpulkan dengan tepat. Celakanya, kualitas pendidikan difokuskan pada kerja besar ujian nasional semata padahal UN yang mengover aspek siswa dalam pendidikan merupakan bagian kecil dari kualitas pendidikan.

Keenam, UN telah mengubah persepsi masyarakat tentang pendidikan atau sekolah. Sekolah telah berubah menjadi sosok yang menakutkan dan menyeramkan. Sejatinya sekolah merupakan tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk belajar. Sebagai imbasnya, proses pembelajaran harus dimodifikasi menjadi pembelajaran tradisional dengan metode drill materi dan soal yang merujuk pada UN. Penambahan jam pelajaran pun dilakukan demi meyakinkan anak didik siap dan menguasai bahan. Anak didik harus dirugikan karena waktu dan energi mereka harus terkuras.

Ketujuh, dosa ujian nasional semakin tampak dalam lewat perlakuan pengambil kebijakan pendidikan terhadap sekolah sebagai pabrik pendidikan yang menghasilkan robot-robot yang memiliki skor kelulusan yang diharapkan. Parahnya, pabrik-pabrik pendidikan harus bersaing menjadi yang terbaik lewat tolok ukur lulus seratus persen. Jabatan dan harga diri sekolah harus dipertaruhkan jika tidak mampu mencapai hasil baik sehingga berbagai cara harus dilakukan. Ujung-ujungnya, anak didik menjadi seperti sapi perahan atau malah menjadi pegawai kerja rodi.

Miris sudah melihat kenyataan dunia pendidikan hanya dari satu kacamata saja, yakni UN. Padahal masih banyak kebobrokan dunia pendidikan yang harus diperbaiki bahkan dengan segera. Pada akhirnya, UN harus ditinjau ulang bahkan lebih baik dihapuskan karena UN lebih banyak merugikan masyarakat daripada hal-hal yang menguntungkan.

Kualitas kualitas pendidikan dapat dicapai lewat proses yang menyenangkan dan jujur dalam proses nyata. Masih banyak cara elegan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih humanis dan kontekstual, seperti pengembangan school culture dalam komunitas pembelajar, professional development untuk pendidik dan kepemimpinan sekolah, pengembangan pembelajaran reflektif, dan sinergisme antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Saatnya kita menantikan pertobatan nasional untuk dunia pendidikan.

* F.X. Aris Wahyu Prasetyo, Pendidik di SMA Kolese Loyola, Semarang; alumnus Loyola University Chicago, USA.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 April 2010

Thursday, April 29, 2010

Cagar Budaya: Lebih dari 38 Situs Ada di Kepulauan Seribu

JAKARTA, KOMPAS - Kepulauan Seribu yang merupakan salah satu tujuan wisata di Jakarta ternyata menyimpan kekayaan bawah laut yang luar biasa. Di kawasan tersebut diperkirakan terdapat lebih dari 38 situs benda cagar budaya bawah air dari kapal karam kuno yang tenggelam ratusan tahun lalu.

Hal itu diungkapkan Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Joko Prihatno pada ”Sosialisasi Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Peninggalan Bawah Air” yang digelar Direktorat Peninggalan Bawah Air Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Rabu (28/4), di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

”Sebagai kawasan konservasi, apa pun potensi yang ada di perairan bawah laut Taman Nasional Kepulauan Seribu tidak dibenarkan diangkat tanpa izin. Bahkan, untuk kepentingan penelitian harus mendapatkan izin penelitian,” katanya.

Menurut Djoko, keberadaan situs ini perlu disurvei lebih lanjut sehingga bisa dimanfaatkan untuk wisata bawah laut sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Dalam pengelolaannya, Taman Nasional Kepulauan Seribu akan tetap mengacu pada Pasal 19, 27, 32, dan 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Kawasan Konservasi.

Lien Dwiari dari Direktorat Bawah Air Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengatakan, peninggalan arkeologi bawah air merupakan warisan budaya yang bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, terutama untuk pembentukan jati diri bangsa. Pengembangan nilai-nilai kemaritiman masa kini dan masa depan.

Kepala Seksi Perlindungan Direktorat Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kosasih Bismantara mengatakan, benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman, pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 April 2010

Ujian Nasional 73 Persen Ketidaklulusan Terganjal Bahasa Indonesia

[JAKARTA] Sebanyak 73 persen ketidaklulusan ujian nasional (UN) tingkat SMA/SMK/MA disebabkan siswa tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal itu dinilai akibat sikap siswa yang menyepelekan mata pelajaran tersebut serta metode pembelajaran yang salah.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyebutkan, kebanyakan peserta UN SMA yang tidak lulus harus mengulang mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Biologi. Dari 154.000 siswa yang tidak lulus, sekitar 73 persen di antaranya mengulang pelajaran Bahasa Indonesia.

Nuh mengemukakan, kementeriannya akan menganalisis mengapa para siswa tersebut gagal dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

“Apakah karena soalnya terlalu sulit, sebab tentang prosa banyak yang gagal. Kami akan evaluasi tingkat kesulitannya. Kami akan melihat spesifikasi gurunya, bahan pelajarannya apakah mereka kekurangan perpustakaan atau buku bacaan, kita akan berikan solusi,” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Pembinaan Bahasa, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, Mustakim, di Jakarta, Kamis (29/4) menilai, faktor penyebab anjloknya nilai Bahasa Indonesia peserta UN tingkat SMA tahun ini, antara lain, siswa menyepelekan Bahasa Indonesia karena merasa sudah digunakan sehari-hari.

“Faktor lainnya, kemungkinan metodologi pengajaran bahasa di sekolah lebih ber-orientasi pada tata bahasa, bukan bagaimana menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar,” ujarnya.

“Kalau sampai nilai bahasa Indonesia anak-anak lulusan SMA/SMK rendah, ini sangat memprihatinkan dan sebuah ironi. Karena itu, Pusat Bahasa Kemdiknas akan melakukan penelitian mengapa ini terjadi,” ujarnya.

Dia menambahkan, Pusat Bahasa tidak dilibatkan dalam penyusunan soal UN mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Secara terpisah, mantan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhammad Surya, yang kini anggota Dewan Perwakilan Daerah, mengharapkan ada telaah mendalam atas ketidaklulusan mata pelajaran Bahasa Indonesia.

“Kalau ketidaklulusan hanya di beberapa sekolah, kemungkinan sekolahnya yang kurang dalam pengajaran. Namun, karena bersifat massal dan nasional, tentu bukan sekolahnya yang salah, karena sekolah biasanya mengajar sesuai dengan kurikulum. Jadi, masalahnya kemungkinan besar pada pembuatan soal,” katanya.

Dia memperkirakan, materi soal yang terlalu sulit mengakibatkan siswa tidak mampu menjawab. “Akibat sulitnya soal, tidak ada kesinambungan antara soal dan jawaban,” ucapnya.

“Biasanya dalam membuat soal ujian harus dibuat terstruktur, seimbang, dan mudah ditelaah oleh siswa,” tambahnya. Surya tidak sependapat bila ketidaklulusan ini dihubungkan dengan rendahnya minat siswa untuk belajar bahasa Indonesia.

Sedangkan Direktur Lembaga Pendidikan Teknos, Bagia Mulyadi menilai, anjloknya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, merupakan cerminan rendahnya minat siswa mempelajari bahasa nasional ini. Peserta didik lebih ditekankan untuk belajar Bahasa Inggris dan Matematika.

“Warga negara Indonesia merasa tidak perlu belajar bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah ilmu, dalam soal-soal UN, Bahasa Indonesia menguji tingkat analisa sintesa yang cukup mendalam, yang dibuat oleh para pakar sehingga anak-anak tidak menangkap maksudnya. Akibatnya, mereka salah menginterpretasikan,” paparnya.

Menurut dia, kenyataan ini menunjukkan para guru tidak berhasil mengajar bahasa Indonesia. “Ke depan, Kemdiknas dan tenaga pengajar harus menekankan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ilmu bahasa. Menyejajarkan pelajaran Bahasa Indonesia dengan pelajaran lainnya,” tandas Mulyadi.

Menyangkut soal UN, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly menjelaskan, seluruh soal UN dibuat oleh para guru dan sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional. “Ada standar isi, sebelum ujian kami sudah berikan ke semua sekolah namanya standar kompetensi kelulusan. Itu mengukur kemampuan dari mata pelajaran yang diujikan,” tuturnya.

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia dalam siaran persnya menyatakan, menolak UN sebagai satu-satunya standar kelulusan mulai 2011. Sebab, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang menghendaki otonomi, tidak sinkron dengan UN sebagai sistem evaluasi berbasis nasional.

“UN ibarat tiang gantungan yang menahan laju pendidikan nasional. Bagaimana mungkin mengedepankan otonomi ketika sistem evaluasinya tetap berbasis nasional. Jadi, pemerintah wajib mengevaluasi kebijakan UN,” kata Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia Fiqi Akhmad, seusai bertemu Mendiknas Muhammad Nuh di Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu.

Kontroversi seputar UN sebagai sistem evaluasi pendidikan berbasis nasional, tuturnya, belum menemukan simpul penyelesaian. Serangkaian tes kelulusan selain UN yang mengatasnamakan otonomi sekolah, seperti ujian akhir sekolah, uji kompetensi, tes akhlak dan sebagainya, sama saja tidak berguna ketika siswa tidak lulus UN.

Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan kekecewaannya menyusul kelulusan UN di daerahnya yang anjlok.

Dia mengaku, peringkat ketidaklulusan siswa di daerahnya yang paling tinggi se-Jawa, membuatnya prihatin. “Terus terang saya betul-betul kecewa, tetapi mau bagaimana lagi? Sekarang yang penting semua pihak harus mengevaluasi sistem pengajaran,” ucapnya.

Sultan pun mengagendakan memanggil seluruh kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten dan kota untuk membahas berbagai persoalan dalam pelaksanaan UN. Menurut dia, selain harus mengevaluasi, persoalan yang paling penting adalah membantu para siswa yang tidak lulus UN. “Sekarang yang penting bagaimana menolong anak-anak yang dinyatakan tidak lulus itu. Jangan sampai mereka jatuh mentalnya dan justru kembali tidak lulus pada ujian ulangan,” ucapnya. [M-15/N-6/152/D-11]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 April 2010

Tuesday, April 27, 2010

Budaya: Baru 23 Warisan Budaya yang Terdaftar

Bandung, Kompas - Saat ini baru 23 warisan budaya Indonesia yang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Presiden Asosiasi Desain Produk Indonesia Mizan Allan de Neve di sela-sela seminar internasional bertema ”Menumbuhkembangkan Kebanggaan Local Wisdom sebagai Bagian dari Potensi Keunggulan Kultur Bangsa-bangsa ASEAN” di Bandung, Senin (26/4), mengatakan, warisan budaya Indonesia yang sudah terdaftar masih sangat sedikit. Padahal, di Indonesia terdapat sekitar 6.000 suku.

”Itu pun masing-masing punya ciri khas yang dapat dipertimbangkan sebagai warisan budaya, seperti senjata, kerajinan, dan pakaian,” kata Mizan.

Upaya mendaftarkan warisan budaya dinilai amat minim. ”Kalau sudah diakui negara lain, baru ribut. Kita dianggap kurang kesadaran, pemahaman, dan peka terhadap warisan budaya,” katanya.

Mizan mengatakan, pemerintah perlu menginventarisasi warisan budaya Indonesia dan memberi target untuk mendaftarkan warisan tersebut.

Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Fadhil Nurdin, mengatakan, warisan budaya Indonesia yang sudah terdaftar, misalnya, batik, wayang, dan keris. Tempe malah dipatenkan Jepang.

Menurut Fadhil, peraturan daerah di kabupaten/kota mengenai warisan budaya lokal perlu ditetapkan. Perda itu mengatur dan mengklasifikasi warisan budaya di daerah masing-masing agar mudah diinventarisasi.

”Selain itu, kita juga memiliki kekayaan intelektual,” katanya. Namun, Indonesia kurang gencar mendaftarkan kekayaan intelektual. ”Penyebabnya, riset belum memperoleh dukungan memadai dari pemerintah,” katanya.

Kelemahan itu, misalnya, disebabkan anggaran tak mencukupi untuk melakukan dan mendaftarkan hasil riset serta kurangnya kerja sama internasional. Padahal, banyak generasi muda di perguruan tinggi menghasilkan kekayaan intelektual. Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat Komarudin Kudiya mengatakan, pengakuan batik sebagai warisan budaya Indonesia telah meningkatkan minat orang mengenakan batik dan meningkatkan pendapatan perajin batik. (BAY)

sumber: Kompas, Selasa, 27 April 2010

Sunday, April 25, 2010

[Buku] Ruang Kata di dalam Sajak Remeh

-- Alex R Nainggolan

KETIKA seorang penyair mengubah yang remeh menjadi berarti, barangkali sajak yang ditulisnya justru berkisah banyak. Kata-kata yang terjalin bukan hanya sekadar meminjam bahasa, melainkan menjelma jadi sebuah sintaksis kalimat yang ajaib.

Hasan Aspahani adalah penyair yang mahir dengan hal tersebut. Meminjam bahasa Iswadi Pratama—ia merebut segala yang remeh dan tak berarti. Maka, puisinya menelusup ke dalam kesukaan pribadi-pribadi, lalu melepas ke cakrawala pembaca yang luas. Seseorang yang tidak suka komik pun bisa terpesona ketika ia menggambarkan ihwal komik dalam sajak-sajaknya. Ia seperti memberi suguhan lain dari citra komik tersebut.

Dalam pelbagai imajinya, Aspahani seperti memburu orang untuk menemukan jalan pulangnya sendiri. Seperti dalam ”Catatan Seorang pembuat Komik”: ”Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah terkemas, bersama kuas, pensil 3 B, dan tinta cina... Aku ternyata telah lama kehilangan rumah, karena terlalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan, juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari arsip, rancangan sampul” (hal 11).

Demikian pula dalam pelbagai sajak lainnya. Ia seperti ingin mengajak pembaca termenung, pada sebuah ide ajaib yang dimilikinya. Meskipun hal tersebut terpampang dalam keseharian. Melalui kata-kata sajaknya, Aspahani seperti memberi artian baru. Dalam sajak-sajak ”Kamus”-nya, ia membuat definisi-definisi lain dari kata—yang tidak berbeda dari makna kata itu sendiri. Keteraturannya dalam mengolah bahasa, katakanlah untuk menemukan barisan diksi membuat jejak kalimat puisinya tidak ambigu. Bahkan membuka makna yang lebih dalam.

Dalam kamus ”Sepi” misalnya: ”oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini. Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli, Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta. Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku yang sudah kauhapus” (hal 39).

Kisah kata-kata

Maka tak mengherankan pula jika menulis sajak bagi Aspahani merupakan ”upaya” untuk mencari serangkaian ”tetapi”, ”bahkan”, ”atau” dan ”kemudian”. Dengan ajaibnya, ia membentuk formula kata yang baru. Meramunya seperti eksperimen yang tak kunjung kelar. Maka kata-kata seperti berkisah dengan sendirinya. Bukan sekadar hitam putih semata. Bagaimana kata-kata melumat segalanya dalam puisi ”Rumah Kata & Tuan Rumah Kata”: Aku kehabisan ruang di rumah kata. Ruang luar dan ruang dalam kata sudah ditempati tamu dari jauh. Tamu itu kawan-kawanku sendiri. Mereka tidur, makan, dan ngobrol. Aku ketuk-ketuk pintu ruang kata itu. Mereka tak mendengarku. Rumah kata tak lagi dikawal penjaga. Siapa saja bisa masuk. Tapi apa artinya berada di dalam ruang kata? (hal 69).

Dihadapkan sebuah puisi, barangkali seperti memasuki medan perang filsafat. Setiap penyair seakan-akan menyuguhkan semua jurus yang dimilikinya untuk menghidupkan semua diksi yang disusun, direkatkan, kemudian direkam dalam pusat memori. Unsur depan sadar yang sering dibicarakan Sutardji Calzoum Bachri, lebih merupa pada langkah meditasi, yang bermula dari kata Le Duc de Luynes, Descartes melanjutkan, ”Puisi sebagaimana juga filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus.”

Pun pada Aspahani, puisi-puisinya selalu berpola filsafat. Ia seperti mendapati bagaimana cara yang lain untuk menafsirkan hidup ini. Akhirnya pada sajak-sajaknya, kita dihadapkan pelbagai pertanyaan tentang hidup itu sendiri. Barangkali dengan begitu ia akan membuat sebuah ”pernyataan” tentang hidup itu sendiri.

Kalimat magis

Aspahani adalah penyair yang ”berani” untuk membongkar liku kehidupan. Ia benar-benar lihai dalam meracik kata sehingga pembaca pun disuguhi pelbagai sketsa, yang mulanya remeh—menjadi besar.

Memang ada tema empat besar yang terangkum, sebagaimana yang terpilah dalam subbagian: Kitab Komik, Kamus Empat Kata, Malaikat Penjaga Gawang, dan Tetapi, Aku Penyair! Sajak-sajak dalam kumpulan ini lebih menarik garis merah kurang lebih sama pada subbagian tersebut. Di sana kita dihadapkan pada rangkaian kalimat magis, yang dipenuhi perenungan. Meskipun, dalam kesempatan uraian tentang dirinya, Aspahani mengatakan cenderung untuk menulis puisi yang lekas (di zaman yang lekas!), toh, bagi saya, sajak-sajaknya justru tak lekas. Terlihat upaya dirinya untuk menggali ”makna” kata yang lebih dalam lagi. Ia seperti menghidupkan setiap rangkaian jeda, sintaksis kalimat yang ada dalam puisi. Sehingga yang timbul ialah bukan puisi-puisi verbal.

Dengan lugas ia masuk dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Satu keheningan ke keheningan lain. Ia seperti membujuk kata untuk terbakar dengan sendirinya. Mungkin dengan propaganda yang tersisa dalam benaknya. Dan siap meledak! Ketika sajak itu jadi, toh saya mendapati tafsiran yang ”luas tak terperi”.

Ciri khas yang saya tangkap dari sajak-sajak Aspahani ialah ia kerap memulai sajaknya dengan huruf besar (caps lock, di keyboard komputer) pada kata pertama. Itu saya jumpai di semua sajaknya.

Dalam beberapa sajak yang ditulisnya bagi penyair semacam Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Acep Zam-Zam Noor, TS Pinang, Sitok Srengenge, dan sebagainya, terasa benar jika ia masih tetap mengikuti perkembangan puisi-puisi penyair itu. Beberapa sajak yang sudah dikenal khalayak ramai pun turut diculik. Semacam dalam sajak yang ditujukan bagi Acep: ”Bagaimana Kau Bisa Menjadi Penyair Lagi?” (bandingkan dengan sajak Acep ”Menjadi Penyair Lagi”).

* Alex R Nainggolan, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 25 April 2010

Tiga Lakon Komedi Remy

-- Putu Fajar Arcana

DAPUR Teater Remy Sylado antara ada dan tiada. Terkadang berpentas, setelah itu lama tidak terdengar. Dan karenanya, jarang dipertimbangkan dalam peta perteateran Tanah Air.

Tiga lakon komedi yang dipentaskan, 21-22 April 2010 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dalam tajuk ”Komedi Musikal Farce: Jalan Tamblong”, merujuk pada betapa sesungguhnya Remy tetap berproses. Remy sebagai koki Dapur Teater Remy Sylado (DTRS) terus bergulat pada kekuatan teks untuk menyajikan racikan pementasan yang tidak saja bernas, penuh pesan dan isi, tetapi sekaligus membangkitkan rasa terhibur.

Pada lakon pertama, ”Sekuntum Melati Buat Rima”, yang dimainkan aktris kawakan Renny Djajoesman dan Anang Dasoel, sudah terlihat bagaimana Remy menghormati bahasa. Teks lakon dan juga dua lakon lainnya benar-benar mengeksplorasi bahasa sebagai wahana komunikasi lisan, tanpa harus menghancurkan gramatika.

Tokoh Roro Ayu Renggoningsih (Renny Djajoesman), yang beraksen Jawa, dan Zen Kartadisastra (Anang Dasoel), yang beraksen Sunda, tetap berada pada koridor sebagaimana disyaratkan sebagai bahasa baku. Hebatnya, terutama Renny, sama sekali tidak kehilangan improvisasi sebagai aktor panggung meski harus dituntut menggunakan bahasa baku.

Begitu juga dengan lakon ”Jalan Tamblong”, yang mengetengahkan pemain Sammy Patti dan Herlina Syarifuddin, serta ”Mas Joko”, lakon monolog yang dimainkan Jose Rizal Manua. Pada ketiga lakon itu, Remy menunjukkan penghormatannya kepada bahasa Indonesia.

Jika banyak yang berpikir penggunaan bahasa baku dalam teks drama dan juga sastra bisa menghancurkan komunikasi intim dengan penonton atau pembaca, Remy meruntuhkan mitos itu. Bahasa dalam naskah-naskah Remy, termasuk novel Jalan Tamblong yang baru diterbitkan, sangat tertib dan rapi. Aksen para tokohnya hanya muncul dalam dialog-dialog yang improvisatoris. Sementara saat-saat melakukan deskripsi atau prolog sebagai pengantar cerita, para tokoh yang diciptakan Remy selalu menggunakan bahasa baku.

Ketololan

Tiga lakon komedi Remy mengingatkan pada lakon-lakon Samuel Beckett, semisal Waiting for Godot, atau Nyanyian Angsa dari Anton Chekov. Meski absurditas pada Beckett dan Chekov cenderung berakhir sebagai tragedi dan Remy membalikkannya sebagai komedi, mereka sama-sama berupaya menguliti ”ketololan” diri sendiri.

Pada ”Sekuntum Melati Buat Rima”, Remy mengisahkan bagaimana ketololan seorang pemuda bernama Zen Kartadisastra yang melacak alamat rumah Rima lantaran diberikan oleh seorang perempuan cantik di atas kereta Jakarta-Bandung. Sialnya, Rima yang ia dapati tak lain dari seekor anjing ras yang biasa disewakan untuk mengawani anjing lain.

Begitu juga pada ”Jalan Tamblong”, bagaimana seorang aktris yang sudah bercerai tujuh kali melacak surat cintanya yang sudah telanjur dimasukkan ke dalam bus surat. Ia harus menunggu sampai tukang pos tiba di malam hari, ”hanya” untuk memperbaiki letak ”koma” dalam suratnya itu.

Di luar soal penertawaan atas ”ketololan” diri sendiri, dalam ”Jalan Tamblong”, Remy mengisyaratkan bahwa kesalahan meletakkan tanda koma bisa berakibat pada berubahnya makna kalimat. Kalimat yang ditulis aktris itu berbunyi, ”Mari kita ke kebun, binatang”, padahal ia bermaksud mengajak kencan seorang pemuda di kebun binatang, bukan ”menghardiknya” sebagai binatang.

Lakon ketiga, ”Mas Joko”, berkisah tentang jejaka tua berumur 50 tahun bernama Joko yang mencintai seorang gadis yang tinggal di apartemen lantai 20. Ketika Joko berkunjung, listrik di apartemen itu padam dan ia harus naik lewat tangga. Baru sampai lantai tujuh, napasnya habis dan loyo.

Sebagai teks, ketiga lakon yang dimainkan malam itu sungguh menjadi penyegar di saat keluhan tentang ketiadaan naskah-naskah yang cerdas dan bernas dalam dunia teater dan film kita. Namun, sebagai sutradara Remy bukanlah eksekutor yang tangguh. Tuntutan memainkan naskah-naskah ini dalam kemasan yang musikal justru menjadi ”pengganggu” di saat para pemain mengisyaratkan menuju pendakian kisah. Bahkan penggarapan setting panggung, yang diharapkan mendukung ”keindahan” visual, tidak dilakukan dengan baik.

Kenyataan-kenyataan itu tidak berhasil mengimbangi kekuatan naskah yang ditulis Remy. Baiklah, apa pun itu Remy Sylado telah mengembalikan kita pada kesadaran bahwa komunikasi intim lewat bahasa baku bisa dilakukan sama baiknya dengan bahasa yang mengikuti dialek-dialek tertentu untuk memperkuat penokohan.(Ilham Khoiri)

Sumber: Kompas, Minggu, 25 April 2010

Modernitas yang Dilecut Kartini

-- Misbahus Surur

KARTINI lahir dan besar dalam lingkup keluarga ningrat Jawa yang feodalis. Alur hidupnya dikerubungi tarikan norma serta konvensi yang sering eksploitatif, terutama pada persoalan gender. Hampir-hampir perempuan tak punya andil, lebih lagi nyali untuk menyibak jalur terang sendiri.

Perempuan kerap dijerat patriarki, dicengkram hegemoni lelaki. Perempuan di zaman itu, kata Siti Soemandari Soeroto dalam Kartini; Sebuah Biografi (Gunung Agung: 1982) karena akar dan konstruk budaya, sangat bergantung sepenuhnya pada nafkah suami, dengan dalih takut dicerai dan sejenisnya. Ditambah suburnya pandangan hidup yang mengalienasi perempuan; ia tak memerlukan kepandaian, mengingat fungsi utamanya yang semata konco wingking bagi lelaki: sekadar masak, macak, dan manak. Sebab itu, bagi puteri kedua Bupati Jepara R. M. Adipati Ario Sosroningrat ini, prestise nasab yang secara kodrat harus ia terima, tak lagi menjadi suatu privilese, tapi tak lebih dari senarai duka-lara.

Meskipun demikian, berbahagialah ia yang lahir dari keluarga (ayah hingga kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro) yang menjunjung tinggi pengetahuan, memuliakan pendidikan, dan mentradisikan sekolahan. Dengan memiliki ayah yang menyadari urgensitas ilmu seperti itu, belenggu adat pun tak menghalangi sang ayah untuk menyekolahkan anak perempuannya. Meskipun hanya memperbolehkannya hingga tingkat sekolah dasar.

Namun, sebagaimana kata Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini (Djambatan: cetakan 1985), meski keinginan Kartini melanjutkan ke HBS Semarang, setamat dari ELS, yang menggebu itu kemudian begitu saja dijegal kata "tidak", sang ayah mengganti keputusan itu dengan "jenis studi lain" yang tak kalah seru; memfasilitasi bacaan dan izin selebar-lebarnya untuk surat-menyurat kepada teman-temannya yang mayoritas berbangsa Belanda.

Tak disangka, justru karena akses buku-buku (membaca) dan habitus korespondensi itu, menjadi pintu masuk ide, pencerahan dan modernitas yang menghantarkan jiwa dan pikirannya menjadi pribadi yang tak biasa. Kartini belajar segala-galanya lewat buku juga berlatih menyatakan pikiran (berdialektika) melalui surat-menyurat. Dengan langgam ini, pelan tapi pasti cara berpikir dan kejiwaannya menjadi matang saat usianya masih begitu belia, belum lagi genap 20 tahun dari umurnya.

Waktu itu, iklim modernitas telah merasuki pikiran Kartini. Ia telah mendidik diri dan otaknya dengan pikiran-pikiran Barat lewat bacaan-bacaan. Meskipun ia tidak bisa seperti kakaknya, Sosrokartono, yang mampu menyesap putik modernitas langsung di negeri asalnya (Belanda). Tempaan berbagai bacaan itu, di mana seluruh pikirannya sengaja ia biarkan berdialektika dengan persoalan-persolan bangsa dan jerat tradisi. Dan, terutama perjumpaannya dengan dunia Barat lewat beberapa orang Belanda yang mewujud dalam hikayat korespondensi, yang kemudian melahirkan ratusan surat yang diterbit-bukukan dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL) oleh Luctor et Emergo, �sGravenhage juga oleh Gee Nabrink, Amsterdam, atau dalam versi Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam kadar tertentu, ikut menyumbang bentuk dan konstruksi pikirannya saat itu. Dalam kumpulan surat-surat tersebut, entah itu kepada Mr. J.H. Abendanon sekeluarga, Estella Zeehandelaar, Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, Nyonya Nelly van Kol, Dr. N. Andriani dan seterusnya, sungguh penderitaan, benturan-benturan hebat, tentang keterbelakangan bangsanya dan segala keluh kesahnya, begitu kuat tergurat di sana.

Jejak yang Menyala

Kartini bukan sastrawan maupun seniman dalam pemaknaan normatif, tapi sejarah mencatat, selain melukis, membatik, dan kumpulan surat-suratnya yang masyhur, ia juga menulis prosa dan puisi. Mungkin, bukan kumpulan surat-suratnya dengan kapasitas yang menyejarah itu yang membikin namanya sanggup menggema dalam lembaran catatan dunia. Bisa jadi, malah sebuku gagasan dan ketinggian susunan kemasan (bahasa) itu yang membuat namanya harum.

Jamak diketahui, Kartini adalah sosok dengan kemampuan literer yang menawan. Mutu sastra pada tulisan-tulisannya yang terbukukan dalam DDtL, sering dinilai sebagai hal yang jarang atau asing bagi zamannya. Terlebih saat ditelisik dari riwayat pendidikannya yang hanya tamatan sekolah rendah. Tak heran pula bila pada awalnya banyak yang meragukan orisinalitas DDtL, terutama karena kemasan bahasa DDtL yang cenderung muluk tapi juga patetis untuk seorang yang hanya lulus sekolah dasar, Europe Lagere School (ELS).

Namun, saat manuskrip aslinya ditemukan, dan diterbitkan kembali dengan tanpa secuil sortiran pun oleh Jaquet tahun 1987, baru terbukti secara meyakinkan bahwa Kartini benar-benar mampu menguasai pemakaian gaya bahasa Belanda, secara bagus dan kreatif. Bahkan, A. Teuuw (1994), dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, yang pada awalnya sempat tak mempercayai putri Jawa yang hanya lulus sekolah tingkat dasar Belanda, serta belajar privat secara terbatas itu dapat menulis dalam bahasa Belanda, yang tidak hanya tata bahasanya yang tanpa cela, tetapi penguasaan dan penggunaan gaya kesusastraan Belandanya yang mencengangkan, terpaksa harus memercayainya. Dalam hal ini keunggulan Kartini terletak pada renungannya yang dalam atas dirinya juga nasib bangsanya. Renungan itu dibalut dengan tuturan segar, orisinil, dan amat piawai. Bahkan, beberapa pengarang Belanda saat itu, salah satunya Augusta de Wit, juga menilai bahasa Kartini cakap dan segar.

Tahun 1911, surat-surat Kartini untuk pertama kali diterbitkan. Dan pada tahun 1922, untuk yang pertama kali pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sejak kemunculan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu, 16 tahun kemudian, dengan dialihbahasakan oleh salah seorang sastrawan pujangga baru, Armijn Pane, tepatnya tahun 1938, surat-surat Kartini terbit kembali dalam bahasa Indonesia yang masih kecampuran kata-kata Melayu. Terbitan kali ini agak terbatas, yakni dengan sengaja menanggalkan sejumlah 16 surat, di samping juga terdapat surat-surat yang dipotong. Dan tebalnya tak lebih dari separuh dari edisi 1922.

Kemudian pada 1979, dengan menggunakan edisi kelima dalam bahasa aslinya (Belanda) terbitan 1976, dan dengan tambahan surat-surat Kartini yang lain, atas usaha Soelastin Sutrisno, surat-surat itu diulangterbitkan dalam edisi Indonesia yang jauh lebih lengkap dan sempurna dari dua edisi terdahulu. Dengan bubuhan tajuk baru: Surat-surat Kartini; Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Baru setelah itu, sekira tahun 1987, surat-surat asli Kartini dalam edisi F.G.P. Jaquet, terbit. Edisi kali ini, di samping memuat surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon secara lengkap, juga menyertakan beberapa surat dari adik-adik Kartini: Kardinah, Roekmini, dan Kartinah (Teeuw, 1994).

Tampaknya terbitan surat Kartini, baik dalam teks aslinya yang berbahasa Belanda dan juga terjemahan awal dalam bahasa Melayu tahun 1922 oleh empat orang pribumi ahli bahasa Melayu yang tinggal di Belanda, salah satunya semisal Zainoedin Rasad, atas usaha Abendanon, dan juga surat-suratnya setelah itu, bukan saja kekayaan literatur historis bangsa yang harus dijaga. Lebih dari itu adalah buah usaha yang patut dilestarikan sebagai pengayaan kehidupan rohani Kartini dan spirit kemanusianya yang tentu masih aktual diteladani hingga hari ini.

Pada titik ini, --terlepas dari dilematika yang sering dilekatkan ke sosoknya, seperti Kartini produk brilian hadiah Belanda dan semacamnya-, Kartini adalah subjek yang menemukan dirinya di atas puing-puing reruntuhan tradisi feodalisme hegemonik. Lantas diraihnya cahaya modernitas; menjadi manusia pembelajar bagi bangsanya.

Tak urung, �si anak durhaka� pada adat moyangnya ini adalah buah dari sintesa zaman. Dengan topangan semangat dan kesadaran untuk memahami, mencerna kemudian mengambil nilai-nilai baru dari pertemuan dua arus kebudayaan yang berbeda, demi kemajuan kebudayaan bangsanya. Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, pernah menganalogikan begini: jika Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah kunang-kunang di tengah malam gelap-gulita di rimba belantara yang hendak ditaklukkannya, Kartini merupakan obor dengan minyak pengetahuan dan pemikiran yang lebih masak dengan oktan yang lebih tinggi sebagai sesama gaba-gaba dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.

* Misbahus Surur, esais, pegiat buku, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 April 2010

[Buku] Meneladani Guru Bangsa Kita

Judul : Si Anak Kampoeng (Berdasarkan Kisah Buya Syafii Maarif)

Penulis : Damien Dematra

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Februari 2010

Tebal : x+ 248 Halaman

Harga : Rp45 ribu

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu guru bangsa hadir di tengah-tengah multikulturalisme negeri kita. Kontribusi pemikiran dan gerakan Buya, baik dalam ranah kemanusiaan, keadilan, maupun kebersamaan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia, sangat patut diteladani. Tak banyak guru bangsa hadir dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, Buya Syafii Maarif satu dari mutiara langka tersebut.

Kita hanya mengenal Buya Syafii Maarif dalam konteks kekinian, sebagai seorang guru bangsa, cendekiawan muslim tersohor serta pernah diamanahkan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun, kita tidak pernah tahu, bahwa Buya Syafii Maarif di masa kecilnya adalah seorang anak kampung nan jauh di pelosok negeri. Namun, berkat kegigihan, tekad dan kemauan besar, pada akhirnya membawa Buya Syafii Maarif menuju gerbang kesuksesan luar biasa.

Melalui goresan dalam buku Si Anak Kampoeng ini, Damien Dematra memotret sebuah kisah inspiratif, menggugah, dan membangun spirit dalam perjuangan tentang sekelumit kehidupan masa kecil Buya Syafii Maarif penuh dengan liku-liku.

Kisah ini berawal dari sebuah Desa Calau di Sumpurkudus, Sumatera (saat ini Sumatera Barat) pada 24 Mei 1937 atau 73 tahun silam di masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, lahir seorang bayi diberi nama Ahmad Syafii Maarif dari ayah bernama Ma�rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Ibu Fathiyah.

Tak berapa lama setelah kelahirannya, ibunda tercinta menghadap Sang Khalik. Selanjutnya Syafii Maarif kecil diasuh Oncu Wahid dan Etek Bainah�-adik ayahnya. Barangkali sebuah hikmah tersendiri, walaupun tanpa belaian kasih sayang sang ibu, tertanam pada Syafii Maarif sejak kecil sifat kemandirian, tegar, mempunyai tekad kuat dan kepribadian yang menakjubkan. (hal. 11)

Memang Syafii Maarif adalah seorang anak kampung, namun cita-citanya jauh menerawang ke angkasa. Dikaruniai kecerdasan jauh melampaui teman-temannya ketika duduk di Sekolah Rakyat, lalu membawa Buya Syafii Maarif keluar dari tembok kampung menuju peradaban gemerlap Yogyakarta.

Ternyata perjalanan takdir tak seindah bayangan. Tantangan dan rintangan pun datang silih berganti. Karena suatu hal, ia menunda impian untuk melanjutkan sekolah di Mu�allimin Muhammadiyah-Yogyakarta.

Tidak hanya itu, saat Syafii Maarif jauh dari keluarga, malang tak dapat ditolak seorang yang sangat berarti bagi kehidupannya kembali ke pangkuan Ilahi dan ia tidak berada di dekat ayahnya.

Tekad bulat, niat telah tertanam dan doa telah dihaturkan, musibah tersebut tidak membuat Syafii Maarif terpuruk dalam kesedihan. Bahkan, cobaan tersebut ia jadikan pelecut motivasi untuk meraih impian dan cita-cita. Hal ini tergambar dalam sebuah ungkapan dalam cerita buku ini: Bapak�awak belum pulang untuk membuat Bapak bangga! Awak masih di sini! Awak belum membanggakan Bapak! Awak sayang Bapak! Awak sayang Bapak! Bapak tahu, kan? Bapak tahu, kan? (hal. 226)

Bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa memberi keteladanan, peduli terhadap persoalan kemanusiaan tanpa batas, tulus dan ikhlas tanpa kepentingan pribadi dalam memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kebenaran. Kehadiran Buya Syafii Maarif hanya dipersembahkan untuk pengabdian kepada umat dan bangsa. Adalah sebuah kemestian bagi rakyat Indonesia-�khususnya generasi muda-�lebih mengenal dan meneladani guru bangsa kita.

Andriadi Achmad, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 April 2010

Saturday, April 24, 2010

Pengadilan Puisi: Diskusi Sastra Lucu tapi Serius?

-- Kurniawan Junaedhie

PENGADILAN Puisi yang digelar di oleh komunitas Tangerang Serumpun awal Maret lalu bukan hal baru. Ini hanya mengingatkan pada serangkaian peristiwa budaya sejenis yang sudah banyak digelar tanah air. Sebutlah Pengadilan Puisi Yayat Hendayana pada tahun 2005 dan Pengadilan Puisi yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur pada tahun 2002. Sesuai namanya, semua acara ini, meski menyajikan materi yang serius, lebih sering mengundang tawa.

Sebutan 'pengadilan' sendiri, sudah terasa lucu. Apalagi kalau kita menilik bahwa dalam pengadilan puisi, juga digunakan berbagai simbol dan terminologi pengadilan seperti hakim, jaksa, pembela, saksi a de charge dan saksi de charge juga panitera.

Dalam acara Pengadilan Puisi di Bandung itu, misalnya, Tim Jaksa yang terdiri dari para penyair seperti H Usep Romli, Cecep Burdiansyah menuding Yayat tidak pantas disebut sebagai penyair.

Sebab, karya yang dihasilkannya baru tiga buku. Selain itu, puisinya dinilai tidak memberikan makna baru. Sementara penyair Saini KM dan Hawe Setiawan sebagai pembela berargumen, si terdakwa tidak bersalah. Tak kalah serunya argumentasi para saksi yang memberatkan dan meringankan si terdakwa. Argumen-argumen itu pada dasarnya pengetahuan luas dan mendalam, teoritis dan praktis tentang fenomena puisi dalam manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Dan tentu saja kita tahu, Yayat Hendayana tetap penyair.

Acara Pengadilan Puisi di Jawa Timur itu lebih humor lagiTTK2 terdakwanya, sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, sedang jaksa penuntut, orang-orang yang tidak pernah mendapatkan hadiah itu. Jaksa menuntut agar penerima mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.

Inspirasi acara-acara itu tentu saja peristiwa yang kini dikenang sebagai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974. Dalam acara itu bertindak sebagai Hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Jatman sedang pembela Taufik Ismail. Adapun saksi-saksi memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sides Sudyarto DS dan Pamusuk Eneste, sedang saksi meringankan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardinugraha.

Sukirnanto mengecam bahwa majalah sastra Horison, telah mengembang biakkan puisi lirik secara berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern.

Puisi lirik yang dimaksud adalah puisi yang dikembangkan Goenawan dan Sapardi yang saat itu berkembang dengan amat subur di majalah sastra Horison dan media-media massa lainnya, seperti Basis dan Budaya Jaya. Majalah-majalah itu tidak menerima puisi-puisi karya karya Sutardji yang 'melawan' kata, dan puisi-puisi karya Darmanto yang banyak memasukkan kata-kata dalam bahasa Jawa.

Dengan demikian secara resmi yang diadili dalam acara itu ada 4 (empat) pihak, yaitu: 1. sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, 2. kritikus sastra HB Jassin dan MS Hutagalung, 3. penyair mapan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono serta 4. Majalah Horison. Dalam siding pengadilan itu, Sukirnanto yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum menuding bahwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena menurutnya, kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S.

Hutagalung tidak lagi cemerlang dalam mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang kemudian. Selain itu, majalah sastra Horison pun dituduh pula tidak memberikan ruang dan kemungkinan baru bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia, yang ditulis di luar jalur puisi lirik sebagaimana dikembangkan Goenawan Mohamad yang disempurnakan Sapardi Djoko Damono dan ditiru habis-habisan (epigon) Abdul Hadi W.M. Untuk itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi karena dinilai tidak berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono dituntut sama pula. Tidak hanya itu. Hakim Sanento Juliman dan Darmanto Jatman pun menyatakan pula dalam putusannya bahwa majalah sastra Horison harus menambah kata "baru" pada logo majalah tersebut. Selain itu, para redakturnya dituntut untuk pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh lainnya.

Dagelan itu belum selesai. Selang dua minggu setelah acara itu, pada 21 September 1974 di Universitas Sastra Indonesia Jakarta diadakan acara Jawaban Atas Pengadilan Puisi. Dalam acara itu, tampil berbicara semua nama yang dihujat dalam acara Pengadilan Puisi Bandung, yaitu HB Jassin, MS Hutagalung, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Kini giliran penyair Slamet Sukirnanto jadi bulan-bulanan.

Uniknya, dalam acara di Rawamangun itu, Slamet Sukirnanto minta maaf. Dan ini membuat Taufik Ismail terpingkal-pingkal. Goenawan sendiri, mengatakan pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Ia mengatakan: "Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita"

Betapa pun lucunya, pengadilan puisi sebagai sebuah format lain dari sebuah diskusi, mestinya memang bisa mengungkap banyak masalah-masalah kesusastraan serius yang selama ini tidak kita lihat. Hanya lucunya lagi, event itu selalu berhenti sebagai peristiwa budaya. Puisi dan persoalan sastra masih disikapi dengan kerut dahi, dan maki-maki, dan bukan menjadi sesuatu yang menyenangkan, menawan dan mencerahkan.***

* Kurniawan Junaedhie, sastrawan, mukim di Jakarta

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 April 2010

Friday, April 23, 2010

Bahasa: Sastra Etnik Bangkit Lagi

Jakarta, Kompas - Ketika sastra Indonesia harus menjadi nasional yang terjadi adalah penyeragaman. Teknik ataupun tema-tema sastra mengalami pemiskinan alternatif. Kekayaan etnik memang untuk sementara dapat ditampung dalam istilah ”warna lokal”, tetapi semua itu tidak cukup memberikan ruang bagi kekayaan tematik dan estetik yang khas etnik di Indonesia untuk diungkap.

”Oleh karena itu, kami ingin membangkitkan sastra etnik, dalam arti menampilkan ruh etnik yang ketika terpaksa mempergunakan bahasa Indonesia, maka bahasa yang dipakai pun kental dengan unsur etniknya. Bahkan, dalam banyak kasus bahasa yang dipergunakan adalah bahasa etnik itu sendiri secara total. Ini pasti akan memberikan kekayaan tersendiri bagi sastra kita,” kata Hari Leo AER, Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta, Rabu (21/4), berkait rencana Bincang-Bincang Sastra edisi ke-54, Minggu (25/4) sore mendatang di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Kegiatan yang merupakan kerja sama SPS Yogyakarta, Taman Budaya Yogyakarta, dan berbagai komunitas sastra kampus dan kampung ini melibatkan penyair-penyair asal Bojonegoro, Tegal, Ponorogo, Indramayu, dan Surabaya.

Pertunjukan sastra

Seperti pertemuan terdahulu, Bincang-Bincang Sastra SPS Yogyakarta juga menampilkan pertunjukan sastra. Mereka yang akan tampil, antara lain, adalah Yanto Munyuk, Agus Sighro Budiono, Didik Wahyudi, Gampang Prawoto, Asrul Irfanto, Aguk Sudarmojo, Hery Abdi Gusti, Wahyu Subakdiono, Arieyoko (Bojonegoro), Ary Nurdiana (Ponorogo), Tina Rch (Surabaya), Dyah Setyawati (Tegal), dan Nurochman Sudibyo (Indramayu).

”Kami menghindari istilah sastra daerah karena kesannya sastra daerah itu merupakan subordinasi dari sastra pusat. Yaitu, sastra Indonesia yang sering didominasi dan dihegemoni oleh oknum sastrawan dari pusat,” kata Mustofa W Hasyim, dedengkot SPS Yogyakarta.

Dalam acara mendatang diundang pula Ahmadun Yosi Erfanda dari Jakarta dan Dad Murniah dari Pusat Bahasa Diknas. ”Narasumber yang banyak keliling Indonesia kami harapkan dapat memberi gambaran tentang bagaimana masa depan sastra etnik ini,” tambah Mustofa.(POM)

Sumber: Kompas, Jumat, 23 April 2010

Sunday, April 18, 2010

Kaus Oblong Sunda

-- Eriyandi Budiman

Aki Rékrék turaya
Aing na pangkonan Sia
Bayu mas nu lénggang patih
Bayu emas nu lénggang hérang
Bumi meneng bayu meneng
Ku sangkilat ku moncorong
Ratna putih sang ibuh putih
Undur ku sangkilat sakti
Nya isun sang demi jati

JANGJAWOKAN di atas "konon" ditemukan rekanan saya dari pedalaman Garut. Ia kemudian mencetaknya di atas t-shirt atau kaus oblong. Rekan saya, yang di situs jejaring sosial Facebook menyebut dirinya Abah Amin, memang tertarik pada kaus oblong, sebagai salah satu cara menyosialisasikan nilai-nilai budaya Sunda. Ia melakukan studi kecil-kecilan untuk menemukan ”ideologi berdampak sistemik” dari teks-teks unik dan menarik dari kebudayaan Sunda, lalu disablon atau dicetak pada kaus oblong. Desain segera disiapkan, agar teks yang tampil memiliki nilai estetik serta menjangkau sasaran yang diinginkan, yaitu anak muda hingga orang dewasa. Ia menyebarkan medan tafsir yang dapat tumbuh di mana pun.

Abah Amin alias Aminuddin, adalah tipikal anak muda yang tumbuh di atas bara kreativitas. Sejak kecil, pemilik blog www.sundakoncara.multiply.com ini memang menyukai seni budaya Sunda. Setelah hengkang dari kerja editor di salah satu penerbit besar di Bandung, ia aktif menulis, terutama buku-buku humor, baik berbahasa Indonesia maupun Sunda. Ketertarikannya pada budaya Sunda, minimal lewat seni visual di kaus oblong, membuka kreativitas tumbuhnya budaya Sunda dalam citraan yang lain.

Kaus oblong Sunda, secara sporadis pernah pula saya temukan di kantor redaksi majalah Sunda, Cupumanik. Teks seperti "Buruk-buruk Papan Jati: Buru-buru Ganti", menjadi keunikan lain dari paribasa atau babasan Sunda yang diberi imbuhan lain pada kaus oblong itu. Ada pula kaus oblong yang menyertakan huruf-huruf Sunda, yang dibuat panitia seusai acara Workshop Aksara Sunda, yang digelar Disbudpar Jabar tahun lalu.

Sebagai salah satu bentuk sosialisasi kebudayaan, kaus oblong memang cukup efektif. Selain stiker, kaus oblong sendiri telah menjadi tren kebudayaan populer, bahkan ia telah menjadi artefak kebudayaan kontemporer itu sendiri. Kaus oblong dapat menjangkau semua kalangan sehingga mudah masuk ke berbagai komunitas apa saja. Baik dari sisi bisnis maupun sebagai media pembelajaran kebudayaan, kaus oblong telah menjadi bagian dari budaya industri kreatif dan gaya hidup kaum urban hingga yang mapan. Para penggiat kebudayaan Sunda, yang juga melihat celah ini, tentu memahami bahwa kaus oblong dapat menjadi salah satu bagian penting dalam strategi kebudayaan. Ia tidak terlalu berhasrat pada politik identitas. Namun lebih berharap bahwa kesadaran itu tumbuh sebagai bagian dari ritual keseharian, yang lebih bernilai transendental, tanpa meninggalkan hal-hal yang imanen-nya.

Di Yogyakarta misalnya, selain mengunjungi tempat wisata, banyak orang tertarik pada kaus Dagadu, yang telah menjadi ikon bisnis, wisata, dan kebudayaan kota itu. Beragam artefak kebudayaan, baik yang berkesan "jadul" hingga "kenakalan modern" dituangkan pada kaus oblong. Belakangan, di Bandung tumbuh industri kaus oblong bertema Bandung, yang sayangnya kebanyakan didesain kurang bagus. Namun, ada pula yang digarap secara serius, seperti yang dilakukan kelompok Mahanagari untuk kelas distro. Yang cukup krea-tif dan terus-menerus adalah para pembuat kaus untuk Persib. Kreativitas pencinta berat Persib ini sering pula menyertakan teks-teks kalimat Sunda yang menggelitik.

Sosialisasi nilai-nilai kebudayaan Sunda memang sering kali berhenti sebatas jargon pada spanduk, laporan hasil seminar, hingga kongres yang mengendap, atau hasil penelitian yang susah diakses publik. Sebutlah artefak yang kemudian terpendam. Kemunculan kaus oblong Sunda, tentu menjadi salah satu artefak baru yang lebih menyeruak ke permukaan. Berbagai genre kebudayaan Sunda, dari bahasa, kuliner, arsitektur, upacara adat, seni-seni buhun, dan lain-lain, dapat diakses publik dengan lebih mudah. Apalagi, kaus oblong Sunda itu kemudian diletakkan pada situs, blog, hingga Facebook. Ia kemudian menjadi artefak kontemporer yang tak hanya dapat diakses oleh para filolog atau antropolog, bahkan oleh anak bawang yang gemar berselancar di internet.

Seperti diungkap Tzevetan Todorov lewat aforisme di abad ke-18, sebuah teks adalah sebuah piknik. Dengan demikian, laiknya sebuah piknik, piknik teks pada kaus oblong Sunda, juga memungkinkan pertemuan dengan pembaca yang membawa khazanah lain pada pikirannya. Sangat mungkin timbul keintiman, bahkan perjamuan dan perhelatan, yang kemudian melahirkan teks-teks baru. Sebutlah pembaca yang kemudian jadi pembuat teks baru juga. Maka artefak tersebut dapat berbiak tanpa batas ruang, waktu, dan manusia yang berhasrat ngamumule dan mengembangkannya.***

* Eriyandi Budiman, pengamat kebudayaan Sunda dan kaus oblong, tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

Dialog Tradisi dan Kemodernan

TENTANG ada dan tidak adanya pengaruh dari Barat dalam puisi K.T.S dan Kis W.S., memang harus dibuktikan. Untuk itu diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi. Pertanyaan tentang itu antara lain bisa dimulai dengan, dari manakah ide menulis puisi bebas itu mengemuka dalam benak K.T.S dan Kis W.S., sementara tradisi penulisan karya sastra yang ada di Tatar Sunda adalah guguritan, dalam hal ini dangding dan wawacan? Inilah ruang gelap yang harus dibongkar oleh para akademisi sastra. Selain itu, Kis Ws menurut sementara kalangan menulis puisi bebas pada 1946, sedangkan Chairil Anwar dalam puisi Indonesia modern mulai menulis pada 1942 lewat puisi ”Nisan”, yang terkenal itu, ditujukan untuk neneknya tercinta. Kita petik puisinya di bawah ini:

Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertakhta//Oktober 1942

Adakah Kis Ws terpengaruh oleh Chairil Anwar? Puisi Kis Ws yang ditulis pada 1946 (”Ilangna Mustika”), 40 tahun kemudian direvisi lagi oleh penyairnya pada 20 Februari 1986. Konon puisi tersebut untuk pertama kalinya dimuat di majalah ”Warga” pada awal 1950-an, yang kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan. Sayangnya, untuk melacak hal tersebut, penulis kehilangan jejak, disebabkan oleh terbatasnya waktu dan dana dalam upaya pencarian data-data.

Sementara dalam percakapannya dengan penyair Etty R.S. pada 1993 di Gedung Merdeka, di sela-sela acara pemberian Hadiah Sastra Rancage, Kis Ws mengatakan, puisi bebas dalam kesusastraan Sunda sudah ada dalam ”Carita Pantun”. Yang dimaksud bebas oleh Kis Ws dalam ”Carita Pantun” itu adalah, larik-lariknya tidak terikat oleh rima, jumlah larik dalam satu baitnya tidak dipatok sebagaimana dalam pupuh. Tentang hal ini bisa Anda baca dalam buku kecil ”Gelar Ngaguar Galur Kis Ws” (1995).

Jika benar ”Carita Pantun” menjadi titik pijak Kis Ws dalam penulisan puisi-puisinya, maka hal itu menunjukkan satu bukti bahwa antara tradisi dan kemodernan terjadi dialog yang terus-menerus. Yang dimaksud dengan kemodernan dalam hal ini antara lain, bagaimana Kis Ws mendayagunakan sejumlah pilihan kata (diksi) dalam menulis puisinya demikian efektif dalam menggambarkan pengalaman batinnya itu, seperti yang ditunjukan dalam puisinya itu. Kita petik bait pertama di bawah ini:

Lebah ieu peuseur bumi/ nu kamari gonjing ku lini/ ayeuna ngeplak sagara motah/ tineung mubul seah ngagalura//

Empat baris puisinya itu menggambarkan keindahan alam yang semula menakutkan karena digoyang oleh gempa bumi. Alam yang dimaksud dalam puisinya itu, tiada lain laut dan sebuah pantai, dengan ombaknya berdebur senantiasa. Larik-larik puisinya ditulis dengan kalimat yang padat, dan berisi itu bebas dari metafora. Kekuatannya terletak pada dayang, sebagaimana Chairil dalam puisi ”Nisan” yang ditulisnya itu.

Sekalipun demikian, hal itu tetap menimbulkan pertanyaan dalam benak penulis, benarkah Kis Ws tidak dipengaruhi oleh Chairil Anwar? Demikian juga K.T.S dalam menulis puisinya yang mengambil pola empat seuntai? Dari mana pola empat seuntai itu datang dalam puisi Sunda modern, apakah ia bersumber sisindiran? Chairil bisa jadi dalam menulis puisi dengan pola empat seuntai dieksplorasi dari pantun, yang menurut penyair Sutardji Calzoum Bachri, puisi Indonesia modern merupakan turunan dari pantun. Yakni, kalau tidak sampiran, ya isi semuanya, sebagaimana ditulis dalam esainya yang bagus itu, ”Pantun, dalam buku Isyarat: Kumpulan Esai” (Indonesia Tera, 2007). Puisi Chairil tadi, kalau tidak sampiran, ya isi semuanya.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bila puisi Sunda modern dalam penulisannya bersentuhan dengan Barat, memang tidak bisa dibantah. Lihat saja puisi yang ditulis oleh R.B. Muik yang aslinya bernama H. Wireja Ranusulaksana, atau lebih dikenal dengan panggilan Ki Umbara (1914-2005) dalam menulis puisinya mengambil bentuk soneta, yang berkembang di Inggris dan Italia. Kita baca puisi tersebut di bawah ini, yang menyarankan satu pikiran atau perasaan yang bulat, akan hubungan manusia dengan Tuhannya:

Murahing Pangéran

Taun-taun henteu dipareng batian
panakané henteu aral ngarasula
tutulisan geus aya ti kalamula
ikhlas haté teu ngabohongan pangéran

Rahmat Gusti lir cai pancuran hérang
ngagelenggeng mayeng ngocor ngagolontor
henteu kiruh sumawona lamun kotor
matak seger diinum kunu hanaang

Ngucap sukur ka Allah anu sifat
murah
geus karasa maparin panjang lalakon
Gunung Gedé, gedé kénéh haté anu
diijabah

Pamungkasna; "Ya Allah mugia éta titipan
mulus banglus hirup huripna teu mubah
mapay jalan anu dipikarido ku Anjeun

Entah tahun berapa puisi tersebut ditulis oleh Ki Umbara, yang disunting Ajip Rosidi dalam antologi puisi ”Sajak Sunda” (Kiblat Buku Utama, 2007), yang ditulis mulai dari generasi M.A Salmun, Sayudi, Godi Suwarna, Acep Zamzam Noor, hingga Eriyandi Budiman. Sebuah antologi puisi yang menarik, disunting Ajip dari berbagai majalah Sunda, surat kabar, dan kumpulan puisi. Berkait dengan itu, sekalipun celah pintu masuk untuk menuliskan kembali apa dan bagaimana perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda modern sudah terbuka, yang dalam tulisan ini dimulai dengan puisi, nyatanya sulit sungguh untuk ditulis secara akademis. Hal itu, antara lain disebabkan sempitnya lahan yang tersedia.

Sekalipun begitu, upaya penulisan ini harus dilakukan, untuk menunjukkan, bahwa apa yang dinamakan interteks dalam dunia sastra Sunda itu ada, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Seperti puisi sonet tadi. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

Pembaru Puisi Sunda Modern

PENYAIR Kis Ws (Kiswa Wiriasasmita, 1922-1995) dan K.T.S (Kadir Tisna Sudjana, 1912-1987) diyakini sementara ka-langan kritikus sastra Sunda, sebagai penyair pembaharu dalam penulisan puisi Sunda modern. Kemodernan itu antara lain dilihat dari upaya ke-dua penyair tersebut dalam menulis puisi, yang membebaskan sintaksis dan semantik dalam larik-larik puisi yang di-tulisnya dari aturan baku seperti yang terdapat dalam penulisan puisi lama, yang disebut dangding, yang larik demi lariknya berpola pada guru lagu tertentu, bergantung pada pupuh apa yang ditulisnya.

Misal, aturan penulisan pu-puh kinanti sangat lain dengan pupuh mijil, baik pada guru lagu (rima) maupun banyaknya larik puisi yang ditulis dalam satu bait (pada). Dalam penulisan pupuh kinanti, satu baitnya terdiri dari enam pa-dalisan (larik) yang setiap pa-dalisan-nya terdiri dari delap-an suku kata (enggang) de-ngan vokal akhir u-i-a-i-a-i. Sedangkan pupuh mijil, satu baitnya terdiri dari dari enam padalisan (larik) yang masing-masing lariknya terdiri dari 10-6-10-10-6-6 suku kata (enggang) dengan masing-masing vokal akhir i-o-e-i-i-u di tiap lariknya.

Dan apa yang disebut dang-ding, menurut para pakar digolongkan ke dalam dua jenis bentuk penulisan, yang disebut guguritan dan wawacan. Yang dimaksud dengan guguritan adalah apa yang ditulis oleh penyairnya dalam satu buku hanya menggunakan satu pupuh, sedangkan wawacan di dalam satu buku bisa menggunakan lebih dari empat pupuh yang di dalamnya mengandung pengisahan. Seperti cerita babad, wayang, dan sebagainya, yang mengandung efek-efek dramatik dan mistik atas kesaktian para tokohnya.

Sebelum membaca dang-ding, para apresiator (pembaca teks tersebut) terlebih dahulu diingatkan oleh penulis gugu-ritan dan wawacan bahwa teks yang ada di hadapan dirinya itu harus dikawihkan atau ditembangkan, dalam pupuh sinom, mijil, asmarandana, magatruh, dan seterusnya. Adapun yang disebut pupuh, sebagaimana dikatakan pakar karawitan Sunda, Nano. S. S.Kar, dalam percakapannya dengan penulis mengandung dua pengertian. Pertama bisa mengandung arti puisi dan kedua mengandung arti lagu. Dalam pengertian secara keseluruhan adalah puisi yang dilagukan. Pada sisi yang lain jelas sudah, bahwa apa yang dinamakan musikalisasi puisi bukan merupakan barang baru dalam kebudayaan Sunda.

Bila si pembaca teks dang-ding bisa nembang, ia akan mendapatkan tafsir yang lain, yang tentunya tafsir tersebut berbeda dengan tafsir si penafsir yang tidak bisa nembang, yang meletakkan teks dang-ding semata-mata sebagai teks puisi itu sendiri. Teks-teks dangding dan wawacan yang demikian itu, antara lain ditulis dua sastrawan Sunda kenamaan pada zamannya, seperti Moehamad Moesa (1823-1886) dan Haji Hasan Mustapa (1852-1930). Di bawah ini secara berturut-turut bisa kita baca petikan puisi yang dimaksud dalam tulisan ini.

lebah ieu puseur bumi/ nu kamari gonjing ku lini/ ayeuna ngeplak saraga motah/ tineung mubul seah ngagalura// jerit aral diajam maratan mega/ kalah mendal neunggar cakrawala/ aya pamayang kaalunkeun ka basisir/ rubuh bari teu kendat kukubuk/kunu nyiptakeun lauk// angina lirih dina sela-sela dikir/ ngendat sakedep lacak nu ilang/ beurang teu aya nu langgeng/ peuting teu saendeng-endeng/ ngarusapan ngageurihan kuma `urang// di teluk liuh/ su-buh parahu palabuh/ ki pamayang alon ngagarewos alon:/ beurang peuting anu urang/ ayeuna kula narima/sakabehna// Cideres, Juli 1946/ Ciamis, 20 Februari 1986// (Kis Ws, Ilangna Mustika).

Kahareup ngarah sajeujeuh/ ka tukang ngarah salengkah/ ka hareup lajurkeun tineung/ ka tukang ngawawaasna// Hirup nunggu-nunggu umur/ gumelar megat sakarat/ bilang ladang kumelendang/ ulah mulang ngalongkéwang// (K.T.S, Hirup)

Dangdanggula/ 1/ Dangdanggula anu awit digurit/ nu dianggit carita baheula/ nurun tina kitab kahot/ diturun kana lagu/ nu dipambrih réa nu sudi/ malar réa nu suka/ ari nu dicatur,/ aya sahiji nagara/Sokadana nagara gedé téh teuing/ murah keurkahirupan/ (Moehamad Moesa, Wawacan Panji Wulung)

Sinom /1/ Lekasan jeung wawarian/ sinom deui sinom deui/ wawarian jeung lekasan/ sinom deui sinom deui/ ramé beurang jeung peuting/ meunang tilu kali tujuh/ helaran arak-arakan/ rapih kaulaning Gusti/ reureundeukan leumpang laun lalaunan/ (Haji Hasan Mustapa, Sinom Wawarian)

Dari empat teks puisi tadi, bisa kita lacak bahwa ditulisnya puisi Sunda modern yang acap kali disebut sajak, merupakan sebuah gairah baru dari para penyair Sunda yang ingin melepaskan diri dari aturan-aturan (ugeran) penulisan puisi lama. Upaya baru semacam itu juga bisa kita baca dalam sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang membebaskan dirinya dari pola pantun, yakni pola yang terikat oleh rima yang ketat selain terikat oleh sampiran dan isi, yang ditulis dalam dua baris pertama dan dua baris kedua. Goenawan Mohamad menyebut Chairil sebagai penyair avantgarde angkatan pertama, dan apa yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono sebagai avantgarde kedua lewat kumpulan puisi ”Duka-Mu Abadi”, sebagai "Nyanyi Sunyi Kedua" setelah ”Nyanyi Sunyi”, Amir Hamzah, yang di dalam penulisan puisi-puisinya masih kita rasakan aroma pantun meski tanpa sampiran.

Adakah penilaian semacam itu, dalam hal ini pandangan Goenawan Mohamad, bisa di-terapkan juga pada kehadiran Kis Ws dan K.T.S dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan puisi Sunda mo-dern, yang mencapai puncaknya untuk sementara ini ditulis oleh penyair Godi Suwarna (1956 -…) sebagai avantgarde angkatan ketiga, bila kita menyakini bahwa Sayudi (1932-2000), Ajip Rosidi (1938) dan Wahyu Wibisana (1935) sebagai avantgarde angkatan kedua? Pertanyaan-pertanyaan sema-cam ini menarik untuk dite-lusuri dan dicarikan jawabannya seakurat mungkin. Dan apa yang disebut avantgarde pada satu sisi adalah kecenderungan seni dan sastra, yang pertama kali berkembang di Perancis, yang pada prinsip utamanya adalah seni sebagai sebuah bentuk penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan institusi seni.

Pengamatan Goenawan terhadap puisi Sapardi semacam itu, bukan hanya bertolak pada tema puisi yang membebaskan diri dari hiruk-pikuk sosial politik, tetapi juga pada bagaimana kata-kata di dalam puisi Sapardi difungsikan sedemikian rupa dalam sejumlah puisi yang ditulisnya, yang mampu mengungkap tema-tema kecil, yang boleh jadi selama ini diabaikan, karena dianggap tidak berharga, seperti mengungkap soal daun gugur, hujan, dan kabut. Berkait de-ngan itu, dalam petikan empat puisi tadi, kita bisa merasakan bahwa apa yang ditulis Kis Ws maupun K.T.S tidak lagi meng-ungkap soal apa dan bagaimana cerita-cerita masa lalu, dengan tokohnya yang serba mistis dan sakti itu, atau nasihat-nasihat keagamaan. Selain itu, tidak juga terpaku oleh guru lagu di masing-ma-sing bait dan barisnya, sebagaimana yang ditulis oleh Moehamad Moesa dan Haji Hasan Mustapa.

Dalam konteks inilah, Kis Ws dan K.T.S., mencoba lain de-ngan maksud memberikan ruang yang lain, bagi hadirnya ruang kontemplasi yang lain di hati pembaca puisi-puisinya, yang penulis yakni boleh jadi dipengaruhi juga oleh unsur-unsur puisi yang datangnya dari Barat. Sebagaimana Chairil jelas sudah dipengaruhi oleh banyak penyair Barat. Bahkan Amir Hamzah sendiri, pernah pula bersentuhan dengan puisi-puisi Parsi Klasik, yang disadari atau tidak memberikan penga-ruh pada tema-tema puisi yang diterjemahkannya. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

"Keadilan" di Ranah Adat

-- F.X. Widaryanto

"PANGGUNG" di teater kebun STSI Bandung itu tertutup dengan bilik bambu yang mulai terkoyak di sana- sini. Sekilas berkesan "kumuh", tetapi sekaligus menunjukkan kecerdasan penatanya. Sang koreografer, Alfiyanto "bertutur" tentang kerentaan adat. Ia, yang ada di perantauan, mencoba melongok nilai-nilai internal dari komunitas masyarakat Minang berkaitan dengan realita persentuhannya dengan komunitas masyarakat lainnya. De-ngan bilik yang kebanyakan terkoyak di sana-sini, ia ingin menunjukkan berbagai aktivitas sosial dalam kompleksitas internal domestikkomunitas masyarakatnya, tetapi sekaligus mempersoalkan ranah adat yang dipimpin oleh ninik-mamak yang dirasakannya tidak memiliki keseimbangan dalam sebuah sistem matrilineal, terutama bagi se-orang datuak yang dibebani oleh berbagai tugas dan kewajiban oleh komunitasnya; di sisi lain, hak atas kepemilikan harta warisan nenek moyang memang tak dimilikinya.

Itulah nuansa dan inti permasalahan yang menarik dan dengan berani ditampilkan oleh kandidat S-2 Program Pascasarjana ISI Surakarta pada gelar ujian di hari Minggu 4 April 2010 di tengah keraguan akan teduhnya hujan yang mengguyur Bandung sepanjang siang dan senja hari sebelumnya. Lanskap ruang yang dibangunnya memang menjadi basah kuyup; beberapa focal point yang ditata untuk memberikan titik-titik kegiatan bagi "warganya" terasa cukup kuat membawa penonton untuk bisa memilih angle of view dari mana pun untuk membagi perhatiannya.

Soundscape dibangun dengan memberikan ruang perarakan yang diwarnai de-ngan serunai, gendang, dan talempong, yang bergerak dari samping kanan panggung melewati atas penonton di selasar menuju ke kiri depan panggung. Rasanya penonton dibawa dalam sebuah ruang auditif dengan sudut dengar yang terus berubah. Hal ini sekaligus melengkapi kerangka penghayatan penonton akan permasalahan adat yang di-sorongkan oleh penggarap.

Sebuah surau kecil dibangun di sudut depan kanan panggung (kiri penonton) dihubungkan dengan sebuah kolam, yang uniknya dipakai untuk mengembangkan gagasan utamanya yang muncul dalam tarian air seutuhnya, yang memunculkan konflik sekaligus dominasi kekuatan perempuan yang tersembunyi. Setiap gerak yang kemudian diwujudkannya tidaklah terlihat selesai begitu saja seperti layaknya yang terjadi di atas panggung konvensional, tetapi gerak itu digaungkan kembali oleh siratan air yang memercik karena efek gerak yang terjadi. Lihat saja manakala perempuan dengan rambut panjang menghentakkan kepalanya dan berayun sambil menegakkan badannya. Ayunan kepala dengan rambut panjang yang penuh air seperti melukiskan gerak itu di udara sekaligus merefleksikan energi yang "dimuntahkannya". Belum lagi dengan jatuhan tubuhnya yang membuat air tersibak dan tersirat kemana-mana. Dan pada akhir adegannya sang perempuan menggendong datuak yang memang tak berdaya dan membawanya ke rumah gadang untuk mendapatkan perawatan fisik terakhir dan upacara pelepasan menuju ke alam baka.
**

TONGKAT, di samping berfungsi untuk membantu menopang tubuh, digunakan oleh Alfiyanto untuk memperkokoh otoritas kepemimpinan datuak atas komunitasnya. "Kekuasaan" ini dilengkapi dengan deta/penutup kepala yang dalam berbagai kultur dan tradisi memang melambangkan kekuasaan bagi pemakainya. Ini bisa dilihat juga pada simbol kepausan misalnya, atau simbol keuskupan, yang menetapkan tutup kepala ini pada pucuk lambangnya, yang kemudian diwujudkan menurut tradisi bentuk tutup kepalanya sendiri dalam konteks sosialnya. Ia meletakkannya kadang di atas tongkat kadang dipakainya, sementara pegangan tongkatnya tak terasa direnggut oleh sang isteri yang dalam ranah adat punya otoritas kepemilikan yang bersifat turun-temurun. Mungkin di satu sisi hal ini benar adanya mengingat istilah untuk menyebut garis keturunan adalah feminin (nenek moyang dan bukan kakek moyang). Di sisi lain istilah "kakek moyang" malah mengindikasikan sebuah sindiran, umpatan seperti dalam ungkapan seorang demonstran anti korupsi yang berteriak lantang, "… memangnya itu duit kakek moyangmu".

Aspek audio yang digarapnya juga memberikan nilai kejeliannya dalam menimbang waktu, di mana sampai seseorang "menjadi" kanak-kanak lagi kuasa kepemilikan tersebut tak akan pernah dimilikinya. Di sini koreografer menunjukkan bahwa kekuatan ungkap tari memang tidak sekadar masalah ketubuhan semata, namun bisa jauh melampaui lanskap bentuknya sendiri.

Alfiyanto tidak secara naratif bertutur, tetapi menyodorkan berbagai sketsa kehi-dupan dengan berbagai rupa, salah satunya adalah yang diwarnai dengan randai dengan gerak melingkar dan tepukan celana gombrangnya yang sekaligus juga mewujudkan musik internal yang unik dari para penarinya. Suatu saat dari atas kiri bangunan panggung muncul sekelompok penari yang membawa obor dengan keranjang penampung hasil panen dari bambu. Keranjang ini tidak diperlukan sebagai keranjang seutuhnya namun terkadang diinjak dan diseret, yang tak pelak menggiring penonton pada fenomena kesulitan pangan dewasa ini. Sketsa yang muncul diwarnai dengan seretan keranjang di atas tanah serta yang secara pesimistis tak lagi memberikan harapan akan kesejahteraan dalam kehidupannya.

Platform program penciptaan seni S-2 ini ternyata menjadi semakin menemukan bentuknya. Arahnya bukan dalam sebuah jenjang yang "linier" dan menjadi spesialis seperti halnya pada disiplin kedokteran, tetapi justru menjadi semakin kompleks seperti dalam kompleksitas pertunjukan tradisi itu sendiri. Silang ranah seni didorong seutuhnya menuju pada realita sehari-hari, tentunya dalam interpretasi ekspresi yang semakin mengindividu dan dalam keberdayaan yang lebih dari sumber aslinya sendiri. Dalam hal ini perubahan dan kebaruan yang terjadi akan menjadi semakin memperkaya khazanah seni dalam otentisitas yang baru, dan tentunya tidak "hanya" bersifat "crafty" dalam arti merupakan keterampilan kepenataan semata-mata. Selamat.***

* F.X. Widaryanto, Pengajar di STSI Bandung dan Pusat Kajian Humaniora Unika Parahyangan Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010