-- Djasepudin*
AKULTURASI Islam dan Sunda dapat dibaca dalam kehidupan masyarakat dan karya-karyanya. Salah satu unsur masyarakat yang peka tentang keberislaman adalah para sastrawan Sunda ti baheula hingga ayeuna terus meramu ihwal keislaman dan kesundaan dalam satu adonan.
Bagi sebagian orang, momen Lebaran adalah wanci yang dinanti-nanti. Hari untuk pamer materi, atau berbagi rezeki (duit) dengan harapan mendapat puja dan puji. Bukan keikhlasan dan keridaan yang jadi kejaran, namun kebanggaan dicap dermawan yang diharapkan.
Padahal, momen Lebaran, tepatnya Idulfitri adalah salah satu rangkaian dalam menggapai ketakwaan. Untuk meraih ketakwaan yang hakiki, umat Islam mesti melalui gemblengan selama bulan Ramadan. Sayang, latihan kesabaran, keikhlasan, kekhusyukan, dan kesosialan di bulan yang penuh berkah dan magfirah itu waktunya hanya sebulan, tak lebih dari tiga puluh hari.
Umat Islam di tatar Sunda sejatinya berharap keistimewaan Ramadan berlangsung selama mungkin. Sebab, mereka menjadikan Ramadan sebagai tempat yang tepat untuk mengkaji diri, memperbaiki laku amal yang telanjur dilalui. Sebagaimana sajak yang ditulis oleh pesastra Rosyid E. Abby yang berjudul "Langit Ramadan, Dinten Kamari":
langit Ramadan
dinten kamari, ya Robb
asa can cacap
meuseuh diri
(Langit) atau keagungan Ramadan yang berlangsung sebulan sebagai momen meuseuh diri alias menggembleng ihwal fisikal, mental, spiritual, moral, dan intelektual dirasakan penyajak terlalu singkat. Mengapa terlampau sebentar? Sebab asa can cacap (belum tercapai) dalam meraih kemenangan sejati. Bersih diri hingga menjadi suci, seperti bayi yang baru lahir, tanpa dosa, dusta, dan prasangka. Apa penanda yang menyebabkan penyajak dirundung masalah hingga marudah manah? Padahal bulan Ramadan berlalu sudah. Jawabannya ada dalam bait pertama sajak Rosyid yang berjudul "1 Syawal 1425"
geus cacap ramadhan kaliwat
ning sukma marudah kénéh
aya nu can kaukur ku laku
aya nu can kaudag ku lampah
teu anggeus ku tarawéh saban peuting nu wening
teu anggeus ku takbir peuting tadi
Meski selama Ramadan siang dan malam menggelar ritual keagamaan, kegelisahan penyajak dalam mengkaji diri dan membaca amal atau lampah belum total terlaksana. Hal itu karena, dalam bait terakhir (keempat) penyajak mengaku
(ieu jisim abdi, Gusti
Rumaos diri tuna pangarti
Rumaos diri tebih tina ajén diri)
Masih banyak pesastra Sunda lainnya yang mengusung tema Lebaran dalam karya kreatifnya. Dalam kumpulan sajak "Lalaki Langit" (November, 1992) karya Eddy D. Iskandar, misalnya, setidaknya terdapat dua judul sajak yang secara nyata mengangkat seputar Lebaran: "Iedul Fitri" dan "Takbir".
Dalam suasana Idulfitri, diiringi kumandang takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih Eddy D. Iskandar menyampaikan kegelisahan (pesan) batinnya melalui sajak "Iedul Fitri":
Handaruan aweuhan kaagungan
ngageuing kasedih ngahudang kanalangsa
beuki karasa jembarna hampura
bari silih lubarkeun dosa
muji syukur tan wangenan
marulang nyungsi wiwitan
Selain dalam wanda puisi ihwal Lebaran pun digarap para pesastra Sunda dalam wanda prosa, terutama dalam bangunan carpon (cerpen). Terbukti, hingga kini, saban bada Lebaran, baik di majalah Manglé atau di SKM Galura selalu muncul carpon yang bertema dan berjudul sama, "Kakarén Lebaran", meski datang dari pengarang yang berbeda.
Bila Rahmatullah Ading Affandie (R.A.F.) merekam unak-anik kehidupan rakyat Sunda yang terkumpul dalam buku Dongéng énténg ti Pasantrén (1961), maka salah satu karya fenomenal Ahmad Bakri adalah carpon "Lebaran Poé Jumaah" dalam kumpulan carpon Dukun Lepus (Juni, 2002).
Selain mengundang efek lucu dengan cara menertawakan diri, carpon ini pun terbilang berani. Sebab, carpon "Lebaran Poé Jumaah" saat Hari Raya Idulfitri yang (kebetulan) bertepatan dengan hari Jumat, berbenturan dengan mitos Kampung Cilamping yang melarang pada hari Jumat tidak boleh terjadi dua kali khotbah. Salah satu ritual keagamaan umat Islam tersebut harus mengalah atau digeser harinya (salah satunya harus dimajukan ke hari Kamis atau dimundurkan ke hari Sabtu). Demi sebuah mitos turunan para karuhun, bila hal itu dirempak atau dilanggar, alamat Kampung Cilamping bakal didatangi maung atau macan, serta mengundang bala bencana yang mengerikan.
Dalam "Lawung Pangarang Sunda" di Gedung Rumentangsiang Bandung (13/9), carpon ini diadaptasi oleh Teater Toneel Bandung dalam bentuk dramatisasi carpon. Penonton cukup puas dengan adegan dan dialog yang kerap mengundang tawa, namun di balik tawa tersebut tersembunyi makna untuk dibaca dan direnungi.
Tak terbayang bagaimana jadinya jika drama tersebut dipentaskan di depan masyarakat yang tidak memiliki saku rangkepan. Carpon/drama "Lebaran Poé Juma`ah" harus dihadapi dengan kebesaran iman dan dilandasi sikep jembar budaya. Bila tidak, (carpon) drama tersebut bisa dianggap menghina Islam dan keberislaman urang Sunda. Sebab, akhir-akhir ini masyarakat Sunda sudah mulai kehilangan rasa budaya dan agamanya. Malah di antara keduanya sering mengundang ketegangan.
Akhirul kalam, kita renungi bait pertama dan keempat sajak Etti R.S. "Sungkeman Poé Lebaran" dalam kumpulan sajak Gondéwa (1987):
Urang palidkeun hayu, kapeurih ka laut asih
meungpeung cangra nu hibar bulan purnama
poé ieu ngagulidag caah cihampura
sanggeus girimis bulan kamari nyerep `na aci bumi
ku éndah ieu rasa sumirat rahmat Mantenna
Urang rampak hayu, minal aidin walfaidzin
Urang ukir hayu, sampalan éndah `na beungeut batin
Urang pésta hayu, `na gending Rabbul`alamin!***
* Djasepudin, Alumnus Program Studi Sastra Sunda Unpad, tinggal di Bogor dan Jatinangor.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment