-- Asarpin*
PERGULATAN menentukan identitas politik dan kultural sejak mula berdiri organisasi pribumi awal abad ke-20 mencapai klimaks pada 28 Oktober 1928, yang kelak dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Teks sumpah yang dicetuskan kaum muda ini berisi tiga proyek Indonesia seumur hidup: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dari tiga proyek itu, barangkali proyek bahasa paling sering mendapat tekanan di kalangan sastrawan. Karena itu ada anggapan bahwa perkembangan bahasa Indonesia relatif lebih dinamis dan kreatif dibandingkan yang terjadi pada proyek bangsa atau kebangsaan.
Kendati demikian, pernah juga orang memandang sebelah mata terhadap bahasa Indonesia. Masalah bahasa dianggap remeh, sudah selesai.
Saya teringat pada Pramoedya Ananta Toer, ketika pada suatu hari ia begitu kecewa pada mereka yang meremehkan bahasa Indonesia. "Anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah masalah kecil nan remeh adalah anggapan primitif. Mengingat kedudukan bahasa Indonesia bukan saja menjadi bahasa resmi, melainkan juga bahasa pergaulan nasional. Namun, bila dulu bahasa dan politik bergandengan tangan menentang penjajahan, kini ia berjalan sendiri-sendiri, dan tak jarang terpaksa merangkak-rangkak. Politik lebih senang membiarkan kawan sejawatnya, bahasa Indonesia, berganti dengan bahasa asing".
Pram tidak antiasing, malah pernah menganjurkan metode pembenahan bahasa Indonesia dengan melihat bahasa asing seperti Jepang. Hanya saja, kata Pram, di lapangan ini tampak ciri-ciri ketakutan orang menghadapi segala yang berbau Barat atau asing, terutama yang menimbulkan kenangan-kenangan pahit di masa penjajahan. Walau dengan alasan apa pun juga, ketakutan ini tidaklah sehat dan merupakan penyakit-penyakit impotensi kemasyarakatan yang merajalela.
Afrizal dan Sutardji
Dalam usia Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun ini, ternyata tak banyak penyair yang menempatkan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi. Karena itu tawaran Afrizal dan Sutardji berikut ini menarik diekspresikan.
Dalam Sesuatu Indonesia, Afrizal mengutip salah satu puisi Rustam Effendi yang ditulis 1926, dua tahun sebelum kelahiran Sumpah Pemuda, dengan pemberontakannya yang khas modernitas: "Seloka lama beta buang beta singkiri".
Puisi Rustam tersebut, kata Afrizal, tak mendapat perhatian nasional sebagaimana terjadi pada Sumpah Pemuda: "Padahal apa bedanya pemberontakan Rustam dengan pemberontakan para pemuda yang mau mengganti yang lama dengan yang baru itu," tulisnya.
Bedanya, jawab Afrizal sendiri: "Terletak pada klaim puisi yang cenderung berlangsung sebagai individualisme, sementara Sumpah Pemuda adalah pemberontakan ramai-ramai."
Dengan kata lain: Sumpah Pemuda bicara dengan klaim "kami", sementara sajak seloka Rustam bicara dengan klaim "aku", sehingga yang terakhir ini terkesan tak memiliki momen bersama. "Maka wajar saja jika puisi tak pernah jadi acuan dalam kehidupan sosial-politik," tulis Afrizal.
Alasan mengapa hal itu terjadi sudah bisa diduga karena bahasa Indonesia dibayangkan sebagai sesuatu; sesuatu yang digunakan untuk penyatuan. Dan kita tahu, akar bahasa Indonesia tidak lain adalah politik.
Dari masa Pujangga Baru sampai lahirnya Orde Lama, bahasa Indonesia masih ditempatkan dalam kancah pergolakan politik dan nasionalisme. Demikian pula pada Orde Baru, politik bahasa dan bahasa politik menjadi ajang kontestasi para politikus dan birokrat.
Bagi Sutardji, Sumpah Pemuda sering dilihat sebagai teks sosial-politik, bukan sebagai puisi, maka kreasi di kalangan penyair nyaris mati. Puisi pun jadi klise-klise verbal. Karena itu, Sutardji menawarkan jalan keluar dengan menempatkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi. Bahkan secara spesifik ia menyebut puisi mantera. Salah satu sajak Tardji terbaru yang ditulis saat reformasi 1998 lalu,
berjudul Cari, terang-terangan mengajak kita untuk menghayati kembali Sumpah Pemuda dan menempatkannya sebagai puisi mantera, sehingga tak ada lagi dikotomi Sumpah Pemuda dan sastra sebagaimana dalam pandangan Afrizal.
Tardji mengajak kita untuk mencari bahasa, mencari pengucapan, dengan menimba spirit Sumpah Pemuda. "Saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantera," tulis Tardji.
Pengulangan tiga kali dalam larik teks Sumpah Pemuda itu tak ubahnya dengan puisi magi dengan nuansa yang dekat dengan sajak Tanah Air, Bahasa-Bangsa Muhammad Yamin tahun 1920-an. Kehadiran sajak Tanah Air Mata dan Cari Sutardji sendiri diniatkan untuk memecah kebekuan bahasa Indonesia berikut menguatkan kata dari kedalaman makna.
Jika sebelumnya Tardji membebaskan kata dari kuda troya yang disandangkan padanya, mengaduk-aduk kata benda menjadi kata sifat atau kata sifat menjadi kata benda, tidak lain karena Tardji sungguh mencium bau kolonial dalam bahasa Indonesia. Pramoedya benar ketika dalam esai Bicara Tentang Bahasa Indonesia di majalah Mimbar Penyiaran DUTA No. 2 Februari 1954 mengatakan: "Setiap orang mempunyai hak untuk merevolusi bahasanya sendiri, baik bersifat asasi maupun aksidental.
Setiap kita juga memiliki kemerdekaan ekspresi untuk merubah kata-kata benda menjadi kata-kata sifat. Kita mempunyai kebebasan penuh untuk melepaskan diri dari buntut bahasa Belanda. Asalkan semua dikerjakan sekonsekuen mungkin, dan bukan cuma memanjangkan keluhan impotensi."
Saya kira apa yang dilakukan Sutardji dengan mengubah kata benda menjadi kata sifat, atau sebaliknya, bukan sebuah keluhan yang impoten. Kebebasan melakukan "penyelewengan" terhadap bahasa Indonesia yang telah dijahili kolonialisme itu, bagi Tardji menjadi semacam keharusan untuk dilakukan bila ia memang mencium bau politik kolonial di dalamnya. Bukan sekadar kenenesan atau kelatahan apalagi gagah-gagahan untuk menyembunyikan ketidakmengertian berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tardji punya andil menghidupkan kembali api bahasa Melayu lisan yang kreatif dan bertenung, yang banyak digunakan para pawang dan dukun-dukun di desa-desa di tanah Melayu. Kata-katanya penuh gairah-girang seperti orang yang menulis dengan kesurupan, dan tak jarang merangsang saya ikut bercepat. Tardji memberontak terhadap konvensi bahasa warisan kolonial dan politik sebagai panglima Orde Lama dengan menyusun konvensi puisi dengan gaya sendiri.
Bukan sekadar kebetulan jika sebanyak tiga kali Tardji mengulang kata "penjajahan" dalam Kredo Puisi 1973 yang terkenal itu: (1) Kata-kata harus bebas dai penjajahan pengertian (2) membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata (3) serta membebaskan kata-kata dari penjajahan gramatika. Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri.
Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Saya kira, konsekuensi itu pula yang disadari oleh Afrizal Malna ketika melihat bahasa Indonesia yang berkembang sebagai produk kolonial. Indonesia menjadi sesuatu, sekaligus itulah sesuatu Indonesia: sesuatu di sekitar imajinasi nasional yang hidup dalam setiap individu orang Indonesia, yang bahasa persatuannya sekian lama menghegemoni kebebebasan mencipta bahasa ibu sendiri.
Karena itu, kata Afrizal, membaca puisi-puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia selama ini, seperti sebuah perjalanan yang gamang dalam mengendalikan Indonesia sebagai sesuatu lagi. Karena itu, "mengembalikan puisi kepada fenomena komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat di sini menjadi penting".
Begitukah? Ah!
* Asarpin, pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment