-- Ilham Khoiri
JAKARTA sekarang punya kantong seni-budaya baru lagi. Komunitas Salihara, markas seni-budaya di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, resmi dibuka, Jumat (17/10) malam lalu.
Kelompok Orkestra Arupadatu dari pegunungan di Magelang, Jawa Tengah, mementaskan musik dan tari Jazz Gladiator Gunung di Teater Salihara di Jalan Salihara No 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (17/10) malam. Penampilan seni rakyat dengan mentor Sutanto Mendut itu jadi salah satu menu Festival Salihara yang digelar 17 Oktober-6 Desember. (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images)
Banyak orang berharap komunitas hasil pengembangan dari Komunitas Utan Kayu di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, itu bakal memperkuat kemerdekaan kreativitas seni di negeri ini.
”Komunitas Salihara, yang jadi tempat seni pertunjukan, film, seni rupa, seni musik, dan lain- lain, kami persembahkan untuk menghidupkan kreativitas. Kreativitas yang membuahkan kemerdekaan jiwa untuk masa kini dan masa depan bangsa ini.” Begitu komentar Goenawan Mohamad, pendiri Komunitas Salihara, saat membuka Festival Salihara, Jumat (17/10) malam.
Berlangsung meriah, festival itu menggelar berbagai macam seni secara bersamaan, seperti musik, tari, teater, dan seni rupa. Pergelaran yang berlangsung 17 Oktober-6 Desember ini sekaligus menandai pembukaan resmi komunitas tersebut. Kompleks yang berdiri di atas lahan seluas 3.237 meter persegi ini punya tiga unit bangunan utama: Teater Salihara, Galeri Salihara, serta bangunan kantor dan wisma seniman.
Di ruang galeri, digelar pameran seni rupa bertajuk ”Dari Penjara ke Pigura” yang merespons teks tulisan para pahlawan kemerdekaan, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka. Karya yang dipajang—berupa lukisan, patung, atau instalasi—dibuat sejumlah seniman, antara lain Acep Zamzam Noor, Agus Suwage, Dadang Christanto, Djoko Pekik, Hanafi, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yuswantoro Adi.
Di gedung teater, dengan bangunan model black box yang menampung 250-an penonton, Orkestra Arupadatu dari Komunitas Lima Gunung di Magelang, Jawa Tengah, menyuguhkan ”Jazz Gladiator Gunung”. Sekitar 60 orang, termasuk sejumlah bocah, memainkan alat perkusi, gamelan (demang, sarong, kendang), musik trunthung, sambil bernyanyi-menari dengan bentuk mirip adegan pertarungan.
”Entah namanya tradisi, modern, atau kontemporer, kami mencoba mempertajam dan membuka kemungkinan musikal baru,” kata Sutanto, komposer dan mentor kelompok ini.
Acapela Mataraman pimpinan Pardiman Djoyonegoro memikat penonton dengan pertunjukan ”Cangkem Khatulistiwa”. Dengan mengandalkan keterampilan menirukan bunyi alat musik dengan mulut, mereka mencoba merangkai adegan yang membentuk narasi sebuah upacara yang penuh sindiran. Folk Jazz Titi Aksan and Friends juga tampil menawan di akhir acara.
Kemerdekaan
Apa yang kental terasa dalam Festival Salihara? Sebagaimana ditegaskan Goenawan Mohamad, komunitas itu dibangun untuk mengembangkan kemerdekaan kreativitas. Semangat ini pula yang menapasi menu acara festival, setidaknya pada malam pembukaan itu.
Pameran seni rupa ”Dari Penjara ke Pigura” jelas berangkat dari etos kebebasan dalam teks dari para tokoh kemerdekaan, yang kemudian ditafsirkan secara visual oleh para perupa. Lukisan Agus Suwage, Tanpa Judul, yang menggambarkan potret Tan Malaka muda, cukup menarik. Sosok pahlawan ini muncul kuat dengan sapuan ekspresif, sedangkan warna monokrom segera mengingatkan kita pada sejarah.
Teks kutipan yang ditorehkan di atas wajah itu mengentalkan gairah kebebasan. ”Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia mesti berpikir merdeka! Jadi ia mesti berdiri atau roboh dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan, dan kemauannya.”
Orkestra Arupadatu menyiratkan kemerdekaan lewat gairah para petani pegunungan yang berekspresi secara bebas, bahkan agak liar. Dengan ritme musik dan gerak tari yang cair, pertunjukan mereka sangat hidup karena dilambari etos paguyuban khas masyarakat agraris. Energi, vitalitas, dan kegembiraan orang tua dan bocah-bocah yang berjoget ala warok itu memendar hingga ke tengah penonton.
Acapela Mataraman memperlihatkan keleluasaan mencampur-baurkan gending Jawa, lagu pop Barat, dan musik Brasil dalam semangat bermain yang sangat lentur. Keberanian mereka untuk menyerap spontanitas jalanan mencipratkan kesegaran tersendiri. Dalam bentuk berbeda, spirit kebebasan juga telah memungkinkan Titi Aksan and Friends memainkan racikan Folk Jazz yang asyik, dengan improvisasi-improvisasi yang merdeka dan tak terduga.
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment