Jakarta, Kompas - Pola pendidikan sastra di sekolah mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Akibatnya, siswa menjadi kurang tertarik untuk mempelajari sastra. Padahal sastra merupakan pintu masuk untuk menumbuhkan minat membaca dan menulis di kalangan siswa.
”Kemahiran membaca dan menulis sangat bermanfaat bagi anak, termasuk ketika menekuni ilmu-ilmu lain di luar sastra,” kata Sastrawan Taufiq Ismail, Selasa (14/10) di Jakarta.
Menurut Taufiq, sastra pada dasarnya menyenangkan lantaran berupa cerita. Pada level sekolah dasar, misalnya, dikenalkan dongeng dan hikayat yang menarik bagi anak-anak. Begitu menginjak jenjang sekolah menengah pertama, murid mulai diperkenalkan kepada karya sastra, tetapi porsinya masih lebih banyak dongeng.
Di jenjang menengah atas, anak diberikan berbagai karya sastra supaya mereka mengenal dan berempati terhadap manusia lain. Umumnya, karya sastra banyak berbicara tentang kisah manusia dan lingkungannya yang beragam.
”Mengenalkan sastra dalam pendidikan tidak untuk menjadikan mereka sastrawan, tetapi agar siswa menjadi anak bangsa yang membaca buku dan mampu menulis,” ujar Taufiq.
Di zaman Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an, pada jenjang algeme(e)ne middelbare school atau AMS (setara SMA sekarang) siswa wajib membaca 25 judul buku dalam tiga tahun. Buku itu wajib dibaca sampai tamat. Murid harus membuat ringkasan dan diuji. Selain itu, mereka menulis 108 tulisan dalam waktu tiga tahun.
”Dibandingkan dengan murid di SMA sekarang, jauh sekali bedanya. Pola pendidikan sastra mengalami kemunduran,” kata Taufiq.
Untuk menggerakkan kecintaan terhadap sastra tersebut, Taufiq bersama sastrawan lain melakukan sejumlah kegiatan, antara lain, pelatihan kepada guru dan siswa dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Dengan bantuan Ford Foundation, mereka juga mencetak dan membagikan buku kumpulan puisi, cerpen, novel, drama, dan esai kepada 4.500 SMA negeri dan swasta secara gratis pada tahun 2002-2003.
Kurang berminat
Buruknya pola pendidikan sastra di sekolah, menurut dosen sastra dari Universitas Negeri Padang, Harris Effendi Thahar, diperparah dengan minimnya minat guru terhadap sastra.
”Kenyataan di lapangan dari pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, tidak banyak guru-guru yang mampu dan sanggup mengajarkan sastra. Bahkan, di kalangan dosen bahasa dan sastra yang ada di perguruan tinggi bekas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hanya sekitar 25 persen yang menyukai dan menguasai sastra,” ujar Harris Effendi Thahar.
Menurut dia, dalam pengenalan sastra di sekolah-sekolah, peran guru sangat menentukan. (INE/NAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment