Friday, October 31, 2008

Kita Tak Pernah Hargai Budaya Sendiri

Solo, Kompas - Budayawan Endo Suanda mengemukakan bahwa kita sering kali tidak mau menghargai kebudayaan kita sendiri. Bahkan, sebagian besar dari kita cenderung merendahkan tradisi-tradisi yang hidup di setiap suku bangsa di Nusan- tara, dan selama ini menganggapnya sebagai bukan kebudayaan.

”Kita selama ini seperti mengigau memaknai tentang kebudayaan. Kesenian yang diakui adalah kesenian yang bisa dijual. Tradisi-tradisi etnik seperti yang dimiliki suku Dayak, ataupun tradisi pedesaan seperti Bersih Desa, Hajad Gunung, Sedekah Laut, dan sebagainya itu tidak pernah kita anggap sebagai kebudayaan,” papar Endo Suanda dalam diskusi mengiringi penyelenggaraan Solo International Ethnic Music (SIEM) 2008 di Prangwedanan Istana Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Kamis (30/10).

Ia menanggapi panelis Brigitta Isworo Laksmi sebelumnya yang menguraikan tentang pemanasan global yang mengancam hilangnya dialog dan komunikasi antara manusia dan alam lingkungan. Menurut Isworo, peran seniman musik dalam upaya pelestarian lingkungan alam cukup besar. Ia menyebut contoh lagu-lagu dolanan anak di Jawa masa lalu yang melukiskan hubungan mesra antara manusia dan alam, tetapi idiom-idiom alam itu hanya akan tinggal dongengan dan terancam punah.

Diskusi juga menampilkan penyanyi jazz Syaharani dan Shin Nakagawa yang keduanya tampil dalam pertunjukan SIEM 2008, Rabu (29/10) malam.

Endo Suanda, Direktur Lembaga Pendidikan Seni Nusantara di Jakarta, menyebutkan, negara- negara adidaya—yang hasil kebudayaannya menjadi kiblat kita sekarang—pada masa lalu telah melakukan perusakan alam secara semena-mena atas nama modernisasi.

”Dampak perusakan alam oleh negara-negara maju yang menimbulkan pemanasan global itu, sekarang ini hendak ditimpakan kepada kita, seluruh umat manusia,” ungkapnya.

Pada tataran berkesenian, Endo menyampaikan penghargaan kepada penyanyi Syaharani yang menyatakan obsesi dirinya untuk terus ”mencari”—di tengah gebyar dunia musik hiburan—untuk menemukan keseimbangan hidup. Seperti tercermin dari dua lagunya yang dia bawakan di panggung SIEM, Sunyaruri dan Teater, yang liriknya dia tulis sendiri memperlihatkan idealisme dalam bermusik.

Endo menunjuk integritas hidup dan berkesenian yang dilakoni Shin Nakagawa, yang berbeda dari kecenderungan segregasi dalam kesenian teater, musik, tari seperti yang terjadi di Tanah Air.

Shin Nakagawa (57), seniman musik asal Osaka, Jepang, yang menekuni musik gamelan Jawa, menekankan agar kita berpegang pada koeksistensi hidup dengan seluruh makhluk di Bumi ini. Nakagawa yang tampil berbicara dengan Shin Sakuma (penari) menuturkan tentang motivasi mereka berkolaborasi dengan kalangan orang cacat serta gelandangan untuk berkesenian.(asa/son/mdn)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008

No comments: