Monday, October 27, 2008

LKiS, Kebinekaan sebagai Pengalaman Riil

-- Mawar Kusuma Wulan

Lembaga Kajian Islam dan Sosial atau LKiS berdiri di Yogyakarta tahun 1993. Berawal dari yayasan lembaga swadaya masyarakat, LKiS kemudian mengembangkan sayap pada usaha percetakan, penerbitan, serta pondok pesantren.

Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) konsisten menjunjung tinggi penghargaan pada keberagaman. Pada Senin (20/10), rombongan waria berdialog dengan LKiS untuk meminta masukan terkait pendirian pondok pesantren khusus waria agar mereka bisa beribadah dengan tenang. (Dok LKiS / Kompas Images)

Hingga kini, LKiS getol memperjuangkan kebinekaan atau keberagaman melalui setiap unit kerjanya. Orang yang membidani lahirnya LKiS, antara lain, Jadul Maula (39) dan Haerus Salim (39).

Perjuangan terkait kebinekaan tidak sebatas saling menghargai dalam kehidupan beragama. Senin (20/10) siang lalu, misalnya, beberapa waria mendatangi LKiS untuk berbincang tentang dukungan terhadap terbentuknya pondok pesantren khusus waria di Yogyakarta. Perwakilan waria itu mencurahkan kesedihan karena tidak bisa bebas menjalankan ibadah agama karena orientasi seksual yang berbeda.

Pendirian LKiS, menurut Jadul Maula, adalah wujud kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru (Orba) terkait kebinekaan. Pemerintah Orba cenderung mengembangkan ketakutan untuk membicarakan perbedaan suku, agama, ras, maupun antargolongan. Kebinekaan kala itu dikelola dengan lebih menekankan bahayanya sehingga tak boleh diperbincangkan.

”Perbedaan dikelola sebagai ancaman, bukan untuk dikelola. Seolah tenang di permukaan, tapi di bawahnya timbul berbagai kecurigaan. Kami menekankan bahwa perbedaan harus dikelola, diakui, dan dihargai dengan menumbuhkan dialog,” ujar Jadul yang kini menjabat Ketua Yayasan Pondok Pesantren LKiS Kali Opak, Selasa (21/10).

Di era reformasi tahun 1998, berbagai teror yang mengatasnamakan agama juga merebak di berbagai daerah di Indonesia. Dialog selanjutnya dinilai terlalu intelektual sehingga kurang menyentuh. Kala itu, reortodoksi agama juga mulai terjadi di beberapa masjid di perkotaan. Ketika pondok pesantren semakin terbuka terhadap kebinekaan, masjid-masjid terutama di lingkungan kampus justru menjadi pusat penyebaran provokasi.

Bersamaan dengan pembentukan laskar jihad yang mengedepankan kekerasan, Jadul dan rekan-rekannya di LKiS lalu menyebar selebaran pada setiap momentum Jumatan di berbagai masjid di Yogyakarta. Selebaran Al Ikhtilaf yang berarti ”perbedaan” itu berusaha memberi makna lain tentang jihad. Menurut Jadul, jihad harus dimaknai sebagai pengorbanan ego kecil untuk kepentingan yang lebih besar. ”Perbedaan harus dikelola untuk menuai rahmat kebangsaan. Masyarakat harus mengelola perbedaan sehingga tidak menimbulkan perbuatan destruktif atau benturan. Dengan selebaran, kami tidak sekadar berdialog di tingkat elite, tapi hasilnya disebar ke publik,” ungkap Jadul.

Haerus Salim, sebagai Deputy Direktur Yayasan LSM LKiS, sejak dua tahun terakhir mulai membidik penanaman kebinekaan bagi remaja dan pemuda. LKiS bertekad mengembangkan pendidikan kebinekaan ini hingga ke anak-anak.

Jika sebelumnya lebih banyak menggelar forum resmi seperti seminar, LKiS kini cenderung mengembangkan berbagai program kebudayaan. ”Kami mencoba berbicara dengan bahasa anak muda. Mereka diajak mengalami pluralisme dengan belajar membuat film atau menulis blog. Anak muda diajak berkumpul di suatu lingkungan yang badannya sudah plural. Semangatnya adalah bahwa kebinekaan tak diajarkan atau dikuliahkan, tetapi dialami,” katanya.

Menurut Jadul, kebinekaan sebenarnya bukan semata dibentuk dari konstruksi ajaran, melainkan terkait erat dengan situasi politik maupun ekonomi. Seringkali perbedaan tidak menjadi permasalahan di masyarakat. Menjelang Pemilu 2009, misalnya, intoleransi kembali menguat. Karena isu perbedaan rawan diprovokasi, antisipasi terhadap perpecahan harus secara terus-menerus diwaspadai. Masyarakat, harus disiapkan agar tidak mudah terprovokasi.

Sempat menjadi direktur LKiS untuk yang pertama kali, sebagai Direktur Yayasan Pendidikan LKiS Pondok Pesantren Kali Opak. Pondok pesantren itu dibangun sejak 2005, dan tahun ini pondok itu mulai menerima enam santri yang mayoritas adalah mahasiswa.

Berbeda dengan pesantren lain yang terfokus pada disiplin ilmu tertentu, Pondok Pesantren Kali Opak mencoba mencapai kemaslahatan dengan pendidikan lintas disiplin ilmu agama maupun ilmu sosial. Jaringannya pun dikembangkan hingga lintas mazhab, lintas organisasi, serta lintas agama. Jadul berharap bisa membentuk masyarakat yang rasional dan bisa melihat perbedaan sebagai modal untuk kepentingan yang lebih luas.

Jadul menambahkan bahwa kebinekaan sudah melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu kala. Perbedaan itu perlu dikelola tanpa meninggalkan identitasnya sehingga bisa digunakan untuk membangun negara dan bangsa.

Selain berjuang di LKiS, Jadul juga menanamkan keberagaman melalui seni dalam wadah Lesbumi. Sebagai tokoh muda sekaligus Ketua Lesbumi yang merupakan lembaga kebudayaan Nahdatul Ulama, Jadul tertarik untuk kembali menghidupkan Lesbumi karena kegelisahan munculnya dua kutub ekstrem di masyarakat, yaitu antara kaum fundamentalisme dan liberalisme agama. Lesbumi diharapkan bisa menjadi jembatan jurang perbedaan dua kutub itu.

Jadul mencontohkan bahwa lewat seni, perbedaan bisa dikelola untuk menghasilkan yang indah dan menghibur.

Bagi LKiS, nasionalisme yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa masih cukup relevan sebagai landasan hidup bersama. Terutama karena lahir dari komitmen terhadap nasib dan masa depan rakyat. Sejak awal berdirinya Indonesia, nasionalisme sudah mengusung pengakuan terhadap perbedaan yang diimbangi dengan lahirnya solidaritas. Nasionalisme ke depan harus mampu menjadi penengah antara nasionalisme yang cenderung chauvinistis dan nasionalisme liberal.

Saat ini, solidaritas semakin luntur. Sumpah Pemuda 80 tahun lalu sebagai ”sihir” untuk mempersatukan bangsa telah pudar dan tidak diikuti penataan sistem yang baik. Akibatnya, persaingan antarpribadi dan kelompok terus terjadi.

Masyarakat terus dirundung kecemasan sehingga setiap orang semakin tidak peduli terhadap orang lain. ”Semua orang bersaing secara terbuka sehingga memunculkan paham keagamaan dan kedaerahan yang sempit,” kata Jadul, menambahkan.

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

No comments: