SALAH seorang pemikir sekaligus sastrawan yang mewarnai pemikiran filsafat Barat adalah Albert Camus. Ia lahir di Mondovi, Aljazair, pada 7 November 1913. Pemikir yang mengusung gagasan-gagasan absurdisme ini menetap dan menjadi warga negara Prancis hingga akhir hayatnya, 5 Januari 1960.
Di Prancis, Camus intens bergaul dengan pemikir-pemikir eksistensialis seperti Jean Paul Sastre dan Simone de Beauvoir. Karena itu, orang kerap membaca gagasan-gagasannya menyerupai filsafat eksistensialisme.
"Kehidupan itu absurd" adalah satu pokok gagasan atau tesis Camus yang tertuang dalam esai Le mythe de Sisyphe (1942) yang terkenal itu.
Pemikiran ini terkait dengan latar kehidupan yang dihadapi Camus semasa Perang Dunia II, penderitaan, dan wabah penyakit. Camus melihat dan mempertanyakan fenomena ini, mengapa terjadi?
Akal budi yang dibesar-besarkan bangsa Eropa sejak masa Aufklarung tidak memberikan jawaban memuaskan pada Camus. Akal budi ternyata tidak bisa menjelaskan mengapa di mana-mana ada penderitaan, begitu juga agama. Camus merasakan Tuhan yang dianggap Mahakuasa juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jika demikian, apakah hidup masih memiliki makna dan layak dijalani?
Meskipun menolak akal budi dan agama, Camus tidak ingin hidup berhenti sebagai terminal yang menampung penderitaan. Hidup harus bergerak. Pemberontakan adalah jawaban untuk hidup yang tak bermakna itu.
Camus menolak bunuh diri karena itu bukan penyelesaian. Bunuh diri merupakan pelarian dan reaksi dari pikiran yang lemah. Bunuh diri sesungguhnya mengukuhkan bahwa hidup ini mempunyai nilai mutlak, tetapi tidak bisa dicapai pemenuhannya. Maka itu, Camus menolak modus seperti ini. n DBS/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment