Sunday, November 30, 2008

Oase Budaya: Menghidupkan Kembali Taman Kesenian

-- Theresia Purbandini

BABAK baru dalam perkembangan kesenian di Indonesia dirintis sejak berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM) yang merupakan sebuah institusi kebudayaan yang berlokasi di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Sejak 1968, secara resmi taman itu disahkan Ali Sadikin. Pementasan drama, pagelaran orkes simfoni, pertunjukan tari, pantomim, pameran lukisan hingga pusat dokumentasi sastra milik HB Jassin, serta diskusi kesenian ikut menyemarakkan arena tersebut.

Penamaan Taman Ismail Marzuki diambil untuk menghormati jasa Ismail Marzuki (1914 – 1957) yang merupakan seorang komponis pejuang kelahiran Betawi (Jakarta), yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa yang hingga kini masih sering diperdengarkan. Antara lain, lagu Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai, Sepasang Mata Bola.

Dan bertepatan dengan pada Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, Taman Ismail Marzuki yang lebih populer disebut TIM menjadi saksi kelahiran seniman-seniman seperti Rendra, Putu Wijaya, Ratna Madjid bahkan Joko Pekik, seniman yang dikenal dengan Pelukis 1 Miliar yang akhirnya mendapat kesempatan mengelilingi Amerika karena memajang lukisannya di TIM.

TIM memfasilitasi para seniman untuk memanggungkan karya-karya mereka, di antaranya di Graha Bhakti Budaya, TIM. Sebuah gedung pertunjukan besar yang sering dimanfaatkan untuk pertunjukan konser musik, teater tradisional maupun modern, tari, dll. Selain itu adapula Galeri Cipta II (GC II) yang merupakan ruang pameran yang lebih besar dari Galeri Cipta III (GC III). Kedua ruang tersebut dapat dipergunakan untuk pameran seni lukis, seni patung, diskusi dan seminar, dan pemutaran film pendek. Gedung ini dapat memuat sekitar 80 lukisan dan 20 patung.

Sedangkan Teater Kecil (Teater Studio) yang mampu menampung 200 orang ini memilki fungsi sebagai arena pembacaan puisi, pertunjukan musik dan teater. Selain itu disediakan pula Teater Halaman (studio pertunjukan seni) yang merupakan wadah eksperimen seniman muda teater dan puisi.

Bagi Suka Hardjana, seorang pengagas program Pekan Komponis pada awal masa berdirinya TIM dianggap sebagai momen yang sakral saat itu. “Pada masa itu, saya bersama teman-teman mencetuskan ide program yang belum pernah ada sebelumnya sehingga benar-benar dikenang hingga kini,” kenang peniup clarinet ini.

Stagnasi Sejak 1980-an

TIM sebagai sebuah institusi juga dianggapnya merupakan sarana yang baik bagi para seniman untuk mengekspresikan hasil karyanya. “TIM lahir karena adanya seniman, bukan karena sebuah institusi kebudayaan ini lantas seniman itu ada. Seorang seniman saya yakin dapat berdiri sendiri dengan eksistensinya asal tetap kreatif. Dulu awalnya TIM memang menjadi tempat berkumpul para seniman, tetapi sejak tahun 1980 menuju ke 1990-an mulai mengalami stagnansi hingga sekarang,” ungkapnya.

Diakui juga oleh Martin Aleida seorang sastrawan yang juga mantan wartawan, “TIM sekarang sudah tidak semaju dulu." Bahkan program demi program yang seharusnya menjadi agenda tetap Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) gagal dilaksanakan. Martin menganggap, pengurus Dewan Kesenian Jakarta yang sekarang lalai mengurusi tugas yang diembannya. “Publik banyak terkecoh dengan baliho-baliho yang ada. Sebenarnya yang banyak membuat program malah Pusat Kesenian itu sendiri,” ujarnya.

Bahkan menurut Martin, walaupun pada masa jabatan Ratna (pengurus Dewan Kesenian Jakarta sebelumnya), lebih menuai kontroversi, tapi terasa lebih dinamis dan terbuka bila dibandingkan dengan yang sekarang di bawah kepengurusan Marco. “Kesalahan yang dilakukan Ratna pada masa itu karena dia tidak mengerti prosedur yang seharusnya dia lakukan, tetapi niatnya untuk memindahkan lukisan ke dalam ruangan ber-AC harus kita hargai meskipun caranya salah dengan membawa lukisan-lukisan tersebut ke rumahnya,” ungkapnya.

Tidak Semata Dana

Secara transparan pula, Martin menggambarkan bahwa kendala tidak terpentok semata pada dana seperti yang dikira banyak pihak. “Sejumlah tiga hingga empat miliar rupiah dana dari pemerintah disalurkan untuk DKJ, bahkan terkesan lebih melayani komunitas kesenian tertentu, sementara masih banyak kantong-kantong kesenian lainnya yang layak diperhatikan juga.”

Nada protes juga disampaikan Suka Hardjana yang pernah membentuk Grup Musik Klasik Seruling hingga pada 1985. “Seharusnya pihak pengelola tidak cepat merasa puas dan tidak hanya melihatnya dari segi pemerintah. Senimanlah yang berjasa kepada TIM, bukan justru sebaliknya. Maka seharusnya pihak manajemen dapat kembali merangkul seniman untuk terus berkarya di sana. Jika tidak sebuah institusi kebudayaan tidak akan menjalankan fungsinya karena hanya sebagai benda mati,” paparnya.

Ia juga senada dengan Martin, untuk kehidupan kesenian yang lebih baik lagi di masa depan, TIM nampaknya harus segera dibenahi dengan menyelenggarakan kegiatan yang lebih terarah demi pertumbuhan kesenian yang jelas.

Tahun berganti tahun, perkembangan tekonologi pun semakin canggih. Bahkan perkembangan musik di luar TIM sendiri telah lebih hebat lagi prestasinya. Seperti Slank yang diundang keliling Amerika secara independen memperlihatkan bahwa begitu besar bakat-bakat muda yang makin terasah tak hanya bergantung dari sebuah institusi kebudayaan semata.

TIM secara insidental hanya sebagai sebuah institusi kebudayaan tanpa seniman di dalamnya. “Harusnya kita para seniman banyak diajak untuk bertukar pikiran, berdiskusi atau diundang ke dalam pertunjukan-pertunjukannya agar senantiasa terjalin hubungan dua arah antar seniman dan institusinya,” tambah Suka.

Maka, menurut Suka lagi, dibutuhkanlah strategi untuk memperkuat posisi sebuah pusat kesenian yang sehat dan produktif. “Tidak harus menyajikan sesuatu yang aktraktif, tapi setidaknya membuka alternatif terhadap gagasan yang baru,” kata pria yang pernah menimba ilmu musik di Akademi Musik Detmold, Jerman ini.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 November 2008

Oase Budaya: Lenong

-- Arie MP Tamba

PADA 1960-an, menurut catatan Umar Kayam (1981), lenong nyaris punah dari Jakarta. Perkumpulan demi perkumpulan lenong yang pernah ada gulung tikar. Beberapa kelompok yang tersisa, terdesak ke sudut-sudut kota. Panggilan untuk mentas di pesta-pesta semakin jarang. Maka, para aktor dan aktris lenong pun kembali ke kehidupan sehari-hari sebagai babu cuci, penjual gado-gado, abang becak, penjaja sayur, atau centeng toko.

Si Pitung yang perkasa, Nyai Dasima yang malang, untuk sementara istirahat dalam ruangan lain dari imaji para aktor dan aktris lenong yang pernah memainkannya. Cerita Si Pitung dan para jagoan Betawi lainnya, juga tragedi Nyai Dasima, adalah kisah-kisah Betawi yang cukup lama mengoperasikan anasir kebetawian sebagai kebudayaan. Hingga, membiarkan kisah-kisah itu raib – boleh jadi sama dengan menutup mata atas memudarnya nilai-nilai kebetawian.

Hal inilah yang tidak diinginkan pemerintahan DKI pada 1970-an. Ketika mereka mendirikan Taman Ismail Marzuki, mereka sengaja mengundang lenong untuk ikut serta sebagai pengisi acara. Lenong dibiarkan mentas berdampingan dengan berbagai jenis kesenian kontemporer, ataupun pertunjukan yang sengaja didatangkan dari mancanegara.

Sejarah kesenian Indonesia kemudian mencatat, bagaimana pada 1970-an itu TIM ”melahirkan” para seniman teater (dan juga film) besar Indonesia seperti Rendra, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Sjumandjaya, Chairul Umam, dll. Lalu dari dunia seni lukis mengibarlah nama-nama: Zaini, Nashar, dll.

Sementara dari dunia tari orang tak mungkin melupakan nama-nama Sardono W Kusumo, Farida Feisol, dll. Dan dari dunia musik kita kenallah nama-nama penting: Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur, dll. Mereka, atau semua nama-nama beken itu, bisa dikatakan seperti menemukan momentum kreatifnya – seiring dengan dipalunya genderang kebebasan kreatif di TIM.

Ali Sadikin, Sang Gubernur DKI masa itu, adalah nama besar di belakang semua keberhasilan TIM itu. Ali Sadikin mendambakan berdirinya sebuah pusat kesenian di tengah pembangunan fisik kota metropolitan Jakarta. Tapi secara tak sengaja, ia kemudian tampil sebagai ’penyelamat’ sebuah kesenian tradisional Betawi yang nyaris punah: lenong. Ya, lenong yang menghilang dari sudut-sudut kampung itu, kemudian hidup kembali (bahkan sehat-walafiat) – berkat TIM!

Salah satu teater di TIM, Teater Terbuka, menyelenggarakan pertunjukan lenong secara rutin. Karena dipanggungkan rutin, peminatnya pun bertambah melampaui penggemar klasiknya: warga Betawi di kampung-kampung. Sebab, orang-orang ’gedongan’ pun mulai meminati lenong. Padahal, mereka boleh jadi masih ragu mendatangi lenong di kondangan kampung.

Lenon benar-benar naik daun. Nama-nama para bintangnya, seperti Bokir, Anen, dll, terus mengangkasa, bahkan hingga kini. Penggemar mereka tak lagi terbatas hanya masyarakat Betawi, tapi meluas ke ’orang-orang pendatang’ dari seluruh penjuru tanah air. Artinya, lenong tidak lagi semata-mata anasir nilai dan kesenian Betawi. Lenong sedang berproses menjadi ’pertemuan’ nilai-nilai keindonesiaan.

Sebab, dengan semakin peluralnya penonton, penampilan lenong pun dimodifikasi sedemikian rupa, semakin kaya dan beragam. Menurut Kayam, pada masa itu, menguasai jargon lenong sempat jadi keharusan di kalangan muda-mudi Jakarta. Lenong jadi milik warga Jakarta dan juga Indonesia. Apalagi dengan meluasnya pemanggungan lenong dari TIM, ke TMII, kemudian ke televisi, dan juga panggung-panggung amatir di sekolah atau di kampus.

Masyarakat Jakarta adalah masyarakat majemuk yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Secara bertahap. mereka beradaptasi dengan berbagai sarana perdagangan, industri, pemerintahan, komunikasi, yang terus bertumbuh semakin canggih. Di tengah situasi ini, gaya hidup urban menjadi fenomena kemasyarakatan baru. Nilai-nilai lama (daerah) semakin diseleksi, nilai-nilai baru terus diadopsi dan dipilah.

Di antara dinamika sosial budaya itu, masyarakat Jakarta mengupayakan gaya hidup yang sesuai dipertahankan dan dikembangkan, untuk menghadapi tuntutan perkembangan baru di tengah globalisasi. Dan di antara bentuk-bentuk kesenian yang dihadirkan (dan ternyata diminati) di tengah mereka – lenong sempat menjadi primadona.

Lenong adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dari percampuran berbagai budaya yang ’melahirkan’ Betawi: China, Sunda, Jawa, Portugis, Belanda, dll. Berbeda dengan teater rakyat di Bali dan Jawa, yang erat sekali hubungannya dengan keraton – lenong yang diiringi musik gambang kromong ini lebih kosmopolit (dan cair) sifatnya.

Tapi justru karena itulah, lenong yang banyak mengangkat kisah manusia-manusia yang berjuang mengatasi kesulitan kehidupan itu, lebih terasa mewakili masyarakat urban. Yang setiap hari melakukan penyesuaian secara intens, dengan perkembangan Jakarta dan sekitarnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 November 2008

Oase Budaya: TIM Sebagai Penanda Kebudayaan

-- Grathia Pitaloka

SETELAH prestasi gemilangnya pada 1970-an, TIM kini seperti kurang beradaptasi dengan perubahan zaman.

Menginjak usia yang hampir mencapai setengah abad, Taman Ismail Marzuki (TIM) masih berdiri kokoh. Meski tak semegah dulu, namun pusat kebudayaan yang terletak di Jalan Cikini Raya, Jakarta ini tetap memiliki pesona yang memikat.

Awal bulan lalu TIM merayakan ulang tahun yang ke empat puluh. Perayaan "sederhana" digelar untuk memperingati usia yang semakin matang. Para seniman pun tak ketinggalan ikut ambil bagian, sebuah pertanda kalau keberadaan TIM belum terlupakan.

Empat puluh tahun silam, Gubernur DKI Jakarta yang ketika itu dijabat oleh Ali Sadikin mendirikan pusat kebudayaan yang diberi nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Harapan yang diusung ketika itu tak muluk-muluk. Ali ingin pusat kesenian yang berdiri di atas lahan seluas sembilan hektar ini, dapat memfasilitasi para seniman untuk berkarya.

Harapan tersebut terwujud. Seiring ditabuhnya gong peresmian, rahim TIM mulai melahirkan sejumlah seniman besar. Sebut saja sejumlah nama besar seperti WS Rendra, Sardono W Kusumo, Slamet Abdul Syukur, Farida Oetoyo, Teguh Karya, Arifin C Noor, Affandi, Suyatna Anirun dan lain-lain.

"Ketika itu ada anggapan bahwa seorang seniman baru diakui eksistensinya setelah melakukan pementasan di TIM," kata Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Marco Kusuma Wijaya ketika ditemui Jurnal Nasional di ruang kerjanya, Rabu (26/11).

Anggapan itu tak berlebihan rasanya. Melihat TIM mampu memainkan perannya sebagai "ibu" yang melahirkan sekaligus mengasuh. Juga menjelma menjadi rumah yang selalu menyediakan ruang kreatif untuk menampung gagasan serta ide para seniman.

Marco mengatakan, gagasan mendirikan pusat kesenian ketika itu merupakan sebuah investasi besar, mengingat pada waktu itu belum ada tempat yang mampu mengakomodasi para seniman untuk berkarya.

Perubahan Zaman

Kondisi empat puluh tahun lalu tentu berbeda dengan yang kondisi saat ini. Wajah kota yang dulu sepi dari pusat keramaian, kini berubah menjadi meriah. Fenomena munculnya pusat-pusat kesenian ini tak hanya terjadi di ibukota, melainkan di sejumlah daerah di pelosok nusantara.

Kepala Badan Pengelola TIM, Teguh Widodo menilai positif kemunculan pusat kesenian tersebut. Ia menganggap hal itu sebagai angin segar bagi perkembangan dunia seni Tanah Air. "Pusat-pusat kesenian itu bisa saling melengkapi, selain itu seniman juga memiliki banyak wadah untuk menampung kreativitasnya," ujar Teguh.

Menyikapi roda zaman yang terus berputar, TIM tak boleh berpangku tangan dan hanya diam mengelus kejayaannya di masa lampau. Ia harus segera melakukan pembenahan, sebab jika tidak maka TIM akan segera dilupakan dan hanya menjadi bagian dari lembar masa lalu.

Mempertahankan eksistensi di usia yang mulai merambat senja tentu bukan perihal mudah bagi TIM. Apalagi pusat kesenian baru yang masih "segar" serta memiliki sarana prasarana lebih memadai semakin menjamur. Karea itulah, "TIM harus mengadaptasi semangat perubahan zaman agar dapat mempertahankan eksistensinya," kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sardono W Kusumo ketika ditemui dalam acara BJ Habibie Award, Selasa (25/11).

Sardono mengatakan, adaptasi terhadap zaman meliputi perubahan fisik, sistem manajemen serta sumber daya manusia. Ia melihat, pembenahan fisik secara menyeluruh dapat diambil sebagai langkah pertama. Penari yang namanya melejit lewat pementasan Samgita Pancasona ini menilai, fasilitas yang dimiliki TIM saat ini sudah ketinggalan zaman. Sementara proses penciptaaan sebuah karya perlu ditunjang oleh infrastruktur yang memadai.

Saat ini TIM memiliki beberapa gedung dengan kapasitas 200 hingga 800 orang. Gedung-gedung tersebut dilengkapi dengan tatacahaya, sound system akustik serta pendi-ngin ruangan. Sayangnya, gedung maupun fasilitas di dalamnya tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Padahal bangunan yang sudah mulai memasuki masa senja seharusnya mendapatkan perawatan yang lebih dibanding gedung dan fasilitas baru.

Kini setelah 40 tahun, PKJ TIM masih tetap berfungsi bahkan ada penambahan gedung dan fasilitas baru termasuk teater besar yang berkapasitas 1.200 penonton. Namun sebuah tantangan baru muncul, yakni terkait perawatan gedung tersebut. Teguh mengatakan, pada masa transisi ini perawatan dilakukan oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, karyawan Badan Pengelola TIM akan mendapat pelatihan untuk operasional gedung.

Beberapa waktu lalu, pemerintah daerah membangun gedung Teater Besar yang mampu menampung penonton sampai 1.200 orang. Gedung itu berdiri "menggusur" keberadaan teater halaman. Sardono melihat, pembangunan tersebut merupakan bentuk itikad baik dari pemerintah daerah untuk mengubah wajah TIM. Tetapi, Sardono melihat, proses perubahan berjalan terlalu lamban, sehingga TIM terseok menghadapi perubahan zaman. "Perlu percepatan dalam proses perubahan," ujar Sardono.

Di sisi lain Marco memandang, perubahan fisik yang dilakukan pemerintah saat ini tak lebih dari sekzdar tambal sulam sebab, tidak ada penambahan fasilitas dari segi kuantitas. "Pemerintah bukan membangun, melainkan mengganti."

Sementara itu, dari segi manajemen Sardono menilai mulai terjadi perubahan yang cukup signifikan. Sebagai contoh adalah pemilihan anggota DKJ yang dilakukan secara terbuka dan diumumkan kepada masyarakat luas.

Pusat Peradaban

Mantan pengurus DKJ/PKJ Arie F Batubara mengatakan bahwa TIM bukan sekzdar tempat untuk mementaskan atau memamerkan karya seni, melainkan refleksi dari sebuah pusat peradaban. "Kalau bangsa Indonesia masih mau dianggap beradap maka harus ada tempat untuk merefleksikannya, yaitu pusat kesenian," kata Arie.

Lebih lanjut, Arie memaparkan jika keberadaan TIM merupakan sebuah keniscayaan. Menurutnya, kemunculan berbagai pusat kesenian tetap saja tidak dapat menggantikan peran TIM.

Sekarang ini Arie melihat TIM sudah tidak mampu lagi merefleksikan peradaban. Seperti malaikat yang kehilangan sayap, TIM hanya menjalankan rutinitas sehari-hari. "Hal itu sebabkan oleh dukungan yang tidak memadai serta pengelolaan yang tidak benar," kata Arie.

Ia menilai, campur tangan pemerintah daerah terhadap manajemen TIM terlalu besar. "Pemerintah daerah memang memberikan dana untuk TIM, tetapi bukan berarti mereka bisa serta merta ikut campur," kata Arie.

Lebih lanjut, ia memaparkan, saat ini banyak pihak-pihak yang tidak kompeten duduk dalam kepengurusan TIM. Menurutnya, manajemen TIM sebaiknya dipegang oleh orang-orang yang mengenal baik dunia kesenian dan kehidupan para seniman. "TIM harus dikembalikan kefungsi semula yaitu, memberikan ruang bagi para seniman untuk berolah kreatif," ujar Arie.

Arie menuturkan bahwa TIM harus dilihat secara komperhensif yakni, dalam konteks kebudayaan Indonesia. "Ketika TIM kehilangan pamor dan tidak diperhatikan lagi, maka secara tidak langsung pemerintah sudah tidak memperhatikan perkembangan budaya Indonesia."

Senada dengan Arie, Marco mengatakan, pengelolaan TIM harus diserahkan pada tenaga-tenaga profesional. Meski sebagai timbal baliknya mereka harus merogoh kocek agak dalam. "DKJ pernah menggunakan stage manager Vanessa Mae untuk menghandle sebuah pagelaran musik. Walaupun harus membayar agak mahal tetapi kami puas dengan hasilnya," kata Marco.

Marco juga menyediakan anggaran khusus untuk pengembangan potensi para karyawannya. "Posisi kamikan politis dan akan diganti tiga tahun sekali, sementara mereka adalah karyawan tetap," ujar ahli tata kota ini.

Pengembangan

Dana merupakan permasalahan klasik yang menjadi hambatan terbesar bagi TIM untuk melakukan pengembangan diri. Mengandalkan kucuran dana dari pemerintah tentu bukan sebuah solusi tepat mengingat negara ini dalam kondisi carut marut.

Seringkali anggaran yang tidak pasti menghambat pelaksanaan program-program yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh, untuk tahun 2008 TIM hanya mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar. "Padahal dalam kondisi seperti ini seharusnya naik," kata Teguh.

Alasan dana ini pula yang kerap menyebabkan PKJ TIM terpaksa membatalkan program yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. "Kami mederita kerugian baik secara materi maupun moril," ujar Teguh.

Menurut Marco, bersandar penuh pada dana dari pemerintah juga tidak baik untuk "kesehatan" TIM. Sebab, kemandirian serta ruang gerak TIM akan menjadi terbatas. "Istilahnya, seorang anak mau bebas kok masih minta uang dengan orang tua," kata Marco.

Untuk itu, Marco menawarkan jalan tengah yakni, memanfaatkan dana masyarakat atau yang dikenal dengan istilah audiens development. Pria yang sempat menimba ilmu arsitektur di Khatolieke Universiteit, Leuven, Belgia ini mengatakan, TIM harus membina hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. "Menjadikan kesenian sebagai ruang publik," kata Marco.

TIM merupakan pusat kesenian yang di dalamnya terdapat empat organisasi yakni, Akademi Jakarta, DKJ, IKJ dan PKJ TIM. Keempat organisasi ini saling berkaitan satu sama lain. "Integrasi antara keempatnya harus tetap dipertahankan," ujar pria lelaki kelahiran Pangkalpinang, 14 Juli 1961 ini.

Marco mengatakan, kerja demokrasi dewasa ini belum mencerminkan kecerdasan, kebijakan, dan kekayaan kolektif bangsa Indonesia seluruhnya, yang terdiri dari berbagai-bagai orang per orang, komunitas dan budaya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 November 2008

Korupsi Dalam Novel-novel Indonesia

-- Deddy Arsya*

AA Navis pernah ingin jadi menteri. Entah, entah ingin jadi menteri apa. Setidak-tidaknya ia pernah bercita-cita. Andai ia diberi pilihan antara sebagai alat kekuasaan, menulis, dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Kenapa? Katanya, ia mau menyikat semua koruptor. Navis pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Membicarakan korupsi, setidak-tidaknya praktek ini sudah dimulai sejak manusia ada dan hidup berkelompok. Dalam riyawat Israilian dikatakan, Kabil dan Habil yang bekerja pada lapangan yang berbeda, yang satu bekerja bercocok tanam yang lain beternak atau mengembala, diminta untuk menyerahkan “qurban” kepada Tuhan. Habil mengurbankan ternaknya yang gemuk-gemuk dan sehat seperti yang dianjurkan, sementara Kabil berlaku curang dengan menyerahkan buah-buahan atau hasil pertanian yang busuk.

Sejak saat itu, prilaku korupsi terus-menerus berkembang seiring meluasnya bumi. Dengan coraknya yang beraneka, dengan beragam-ragam bentuk, mulai dari yang kecil-kecil sampai korupsi dalam skala besar, mulai dari tingkat rendah sampai korupsi massal.

China maupun India, yang pernah tercatat sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi, perlawanan terhadap korupsi telah digalakkan di segala aspek kehidupan. Pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang berat dan tak kenal ampun. Indonesia kini masih termasuk dan ikut dalam lima rangking teratas korupsi paling banyak di dunia. Namun sepertinya, korupsi belum juga sepenuhnya menjadi musuh bersama bangsa ini.

Tak semua lapisan masyarakat dengan tegas dan gencar menentang korupsi. Meskipun ajaran agama, maupun kebudayaan mana pun, mengutuk habis-habisan prilaku korupsi. Banyak ajaran-ajaran tentang kesederhanaan yang dikandung oleh agama dan kebudayaan kita, dalam artian manusia dianjurkan untuk memelihara hak diri tanpa merampas milik oranglain, memakan apa yang sekedar menjadi kebutuhan tanpa menjangkau yang sesungguhnya dibutuhkan oleh oranglain. Namun jangan-jangan korupsi di negeri ini baru menjadi permasalahan profan (sekuler) saja?

Tulisan pendek ini tidak akan mempertanyakan itu lebih jauh, namun sesungguhnya tulisan pendek ini hanya akan mencoba menggambarkan beberapa catatan perihal apa kata novel-novel Indonesia tentang korupsi. Untuk itu, akan diuraikan beberapa novel Indonesia yang berbicara tentang korupsi secara.

Pada dua dasawarsa abad ke-20, Hikayat Kadiroen ditulis. Novel ini sesungguhnya sangat bertendensi komunis-sosialis. Penulisnya adalah seorang aktivis partai komunis bernama Semaoen. Dalam novel itu ditemukan ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap penindasan kaum borjuis dan usaha menuju kesetaraan kelas. Novel ini bergaya realisme sosialis. Dalam novel ini Semaoen sepertinya ingin memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat yang ditindas kaum borjuasi, para tuan tanah dan pejabat praja pribumi dan colonial yang korup.

Jauh sebelum Hikayat Kadiroen ditulis Semaoen, telah pula ditulis sebuah novel berjudul Max Havelar of de Aoffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij. Edisi Indonesia-nya berjudul Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Novel karangan Multatuli alias Edward Douwes Dekker yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu itu sesungguhnya juga mengisahkan para penguasa pribumi maupun penguasa kolonial yang korup. Lewat novel itu konon, Multatuli berhasil membukakan mata kaum politisi di Negeri Belanda saat itu tentang kebobrokan yang terjadi di daerah jajahannya, Nusantara.

Akibatnya, sejak terbitnya Max Havelaar pada tahun 1860 pemerintah Belanda memulai usaha-usaha mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia, walaupun pada masa itu masih terjadi ekspedisi militer menaklukkan beberapa daerah Nusantara yang bergolak akan senjata menentang Belanda.

Novel politik Max Havelaar, dalam beberapa tanggapan, dianggap telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Hindia Belanda pada masa itu atau sekitar satu setengah abad sebelum Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka. Buku ini pula yang kemudian menyulut perubahan politik penjajahan Belanda, antara lain melalui politik Balas Budi (ethische politiek) di Hindia. Politik Balas Budi inilah yang kemudian oleh beberapa sejarawan dianggap pemantik lahirnya kaum terpelajar yang di dasawarsa berikutnya mencita-citakan Indonesia merdeka, yang bebas dari penjajahan bangsa mana pun.

Di tahun 1950, Pramudya menulis sebuah novel yang berjudul Korupsi. Novel ini berkisah tentang pejabat negara yang masuk dalam perangkap korupsi. Novel ini berlatar revolusi pada masa pemerintahan Orde Lama. Novel itu pernah menyebabkan Pramoedya memiliki hubungan yang tidak begitu harmonis dengan pemerintahan Soekarno waktu itu. Novel ini tidak begitu ramai dibicarakan atau 0kurang mendapat apresiasi dari penikmat sastra kita jika dibandingkan dengan novel-novel Pramoedya lainnya. Karena gaya bercerita dalam novel ini dianggap berbeda dengan novel-novel Pram seperti Tetralogi Pulau Buru maupun Arus Balik.

Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang berlatar waktu pada masa Orde Baru juga menggambarkan bagaimana alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia. Novel ini bercerita tentang “permainan” dalam proyek pembuatan jembatan. Lewat tokoh seorang insinyur kepala proyek yang juga mantan aktivis kampus, Ahmad Tohari mencoba mengungkapkan dan menyingkap praktek kotor yang berlangsung di sekeliling tokoh itu. “Aku insinyur.

Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?” kata Kabul, sang insinyur, dalam usahanya memahami proyek pembangunan jembatan desa yang dikepalainya itu.

Tentu masih banyak novel dari pengarang Indonesia yang membicarakan tentang korupsi yang luput dari pembacaan saya yang rabun. Dan tentu akan lebih banyak lagi tema-tema yang sama yang diusung oleh karya kreatif pada genre sastra lain seperti pada cerita pendek, sajak, maupun naskah drama.

Seperti kata Navis, karya sastra mungkin tak akan mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi. Novel maupun genre sastra lainnya hanya bisa menggugah. Tapi setidak-tidaknya, sastra telah turut membicarakan korupsi di negeri ini.

* Deddy Arsya, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 30 November 2008

Wacana: Satu Wajah, Dua Muka...

-- Damhuri Muhammad

PEKANBARU, Riau, 1954. Menteri Pendidikan dan Perkembangan Kebudayaan Mohammad Yamin berpidato. Tak lama selepas pidato itu, seorang lelaki naik panggung. Tanpa sungkan, ia menyanggah bahwa dalam urusan pendidikan, masyarakat Riau dianggap ”anak tiri” oleh pemerintah pusat. Buktinya, di Riau belum ada SMA negeri. Yamin tersinggung. Tergesa ia kembali ke Jakarta, tanpa sepatah kata pun. Beberapa hari kemudian, ia menyurati Gubernur Sumatera Tengah Marah Ruslan, sebagai pegawai pemerintah, tidak semestinya orang itu menggunakan istilah ’anak tiri’. Yamin meminta Marah Ruslan menyampaikan teguran itu.

Orang yang telah membuat Menteri Pendidikan (kabinet Ali Sastroamidjojo, 1953-1955) itu marah adalah Soeman Hs (1904-1999), pengarang dua roman penting; Kasih Tak Terlerai (1930) dan Mencari Pencuri Anak Perawan (1932). Tak banyak yang tahu, novelis kelahiran Tapanuli Selatan (kemudian menetap di Riau) itu juga pejuang pendidikan yang gigih. Di Riau, ia mendirikan SMA Setia Dharma, sekolah menengah atas pertama, sebelum SMA negeri berdiri di sana. Tak hanya itu, pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Islam Riau (UIR), perguruan tinggi pertama di Riau.

Di ranah sastra, penelitian terbaru tentang karya-karya Soeman Hs dilakukan oleh Eko Sugiarto—dibukukan dengan tajuk Melayu di Mata Soeman Hs (Yogyakarta, Adicita, 2007)—membuka jalan untuk lebih jauh membincang roman-roman karya Soeman Hs yang telah menikam jejak selama puluhan tahun. Eko melakukan pembacaan sintagmatik-paradigmatik terhadap roman Kasih Tak Terlerai (KTT) guna melacak jejak perlawanan Soeman Hs terhadap eksklusivisme adat melayu yang pada masanya dianggap kolot. Eko berhasil menggambarkan masa pancaroba budaya melayu di awal persinggungannya dengan budaya Arab-Islam di kawasan pesisir Riau yang dipasang sebagai latar roman ini. Menurut dia, roman itu, lewat karakter tokoh-tokohnya, berhasil mendedahkan kiasan perihal jurang pemisah antara ”orang asli” dan ”orang di pinggang” dalam konstelasi adat melayu masa itu, juga membangun pengamsalan perihal bangsa ”loyang” yang mustahil bersekutu dengan bangsa ”emas”. Tapi, sesederhana itukah pencapaian estetis roman itu?

Semula Eko telah meneruka jalan untuk menguliti perwatakan si Taram, Nurhaida, Encik Abbas, dan Syekh Wahab dengan mencincang roman itu menjadi beberapa fase penceritaan. Tapi, lantaran dibebani oleh tantangan pengujian hipotesis (apakah KTT benar-benar kritis terhadap adat melayu?), hal-ihwal yang kompleks dalam struktur roman itu terabaikan sehingga hasil penelitian itu terjebak pada legitimasi akademik bahwa upaya kreatif Soeman Hs dalam KTT itu masih dalam laku ”menyalin rupa” realitas. Padahal, KTT mendobrak realitas kebekuan adat, dan lewat perwatakan si Taram yang bersusah payah menghadang kekolotan, Soeman sedang menawarkan sebuah kemungkinan baru dalam menegakkan etos egalitarianisme dalam situasi yang seterkungkung apa pun.

Lelaku penceritaan Soeman berada di luar langgam roman-roman Balai Pustaka yang sarat keberpihakan pada kepentingan kolonial di satu sisi, dan sinis pada perlawanan kaum terjajah di sisi lain, sebagaimana tergambar dalam Adab dan Sengsara ((1920), Siti Nurbaya (1922). KTT memang tidak mengembuskan denyut perlawanan terhadap kaum penjajah, tapi menghadang kebobrokan dan pembusukan yang berlangsung dalam ranah adat melayu masa itu. Berkisah tentang si Taram, anak angkat seorang batin (pemangku adat) yang jatuh hati kepada Nurhaida, anak orang terpandang, Encik Abbas. Lamaran ditolak karena si Taram hanya anak pungut, derajatnya sebatas ”orang di pinggang”, orang datang, yang tak tumbuh dan berakar dalam struktur adat setempat. Pada suatu kesempatan, si Taram dan Nurhaida melarikan diri, berlayar ke Singapura, menikah di sana. Sementara itu, keluarga Encik Abbas terus melacak jejak si Taram yang telah berani melarikan anak gadisnya itu. Utusan Encik Abbas berhasil membujuk, lalu memboyong Nurhaida kembali pulang. Kepergian Nurhaida tidak diketahui si Taram, suaminya, karena pada waktu itu ia sedang bepergian ke Johor.

Sampai di sini, kisah seolah-olah bersudah, tapi ternyata pengarang memulai kisah baru. Diceritakan tentang sebuah kapal dagang yang merapat di pantai, kampung Nurhaida. Syekh Wahab nama nakhodanya. Lelaki berperawakan Arab, jenggotnya lebat, lengkap dengan jubah dan sorban. Selama kapalnya merapat, beberapa kali Syekh Wahab tampil sebagai khatib Jumat di masjid kampung itu, bahkan sampai diangkat menjadi guru mengaji. Tak hanya itu, saking mulianya orang Arab di mata penduduk kampung itu, lamaran Syekh Wahab untuk mempersunting janda kembang, Nurhaida, pun diterima dengan senang hati. Orangtua si Taram (yang dulu pernah melarikan Nurhaida) paling banyak menyumbang dalam kenduri pernikahan Syekh Wahab dan Nurhaida.

Dua penggal kisah ini seperti tiada berhubungan, apalagi ketika pengarang menyudahi cerita perihal perkawinan agung itu dengan berlayarnya pasangan pengantin menuju Singapura. Kalaupun ada, itu hanya soal pelayaran Nurhaida yang kedua ke tanah seberang itu. Bila dulu kepergian Nurhaida dan si Taram dicerca-dimaki orang sekampung, pada pelayaran ini ia dilepas dengan doa dan sukaria. Ia digandeng suami yang sah. Orang Arab, guru mengaji, saudagar kaya, pula. Pembaca lagi-lagi mengira roman ini sudah khatam. Tapi, Soeman masih menyisakan sepenggal kisah lagi. Diceritakan perihal kepulangan Syekh Wahab dan istrinya pada Lebaran Idul Fitri. Syekh Wahab didaulat menjadi khatib pada shalat id. Inilah puncak pengisahannya. Pada khotbah kali ini, Syekh Wahab digambarkan begitu berbeda dari biasanya. Jenggotnya dicukur gundul, sorbannya dilepas, ia tidak seperti orang Arab lagi sebab Syekh Wahab yang selama ini dipuja-puja orang sekampung tak lain adalah si Taram yang sedang menyamar, untuk kembali mendapatkan Nurhaida. Orang-orang terperangah, ternyata si Taram yang telah mereka campakkan adalah orang yang dalam sekali pengetahuan ilmu agamanya, dan telah berjasa membuat anak- anak di kampung itu pandai mengaji.

Double casting ala Soeman Hs ibarat perbedaan ”loyang” dan ”emas”. Satu muka mencerminkan sosok pembangkang, muka yang lain harus menampilkan sosok lelaki santun, lemah lembut, dan karena ia mubalig tentu harus cermat menjaga tindak-tanduk. Soeman tidak lengah ketika dua muka pada satu wajah itu menjadi protagonis sekaligus antagonis. Memang ada beberapa kejanggalan, misalnya ciri fisik Syekh Wahab yang tidak lagi dirinci sebagaimana rincinya penggambaran fisik si Taram yang bertampang melayu. Bagaimana mungkin Nurhaida bisa lupa pada ciri fisik dan kebiasaan suaminya? Fisik boleh berubah, tapi bagaimana dengan perasaan seorang istri kepada suami? Begitu pula kejanggalan pada orangtua angkat si Taram yang bulat-bulat tertipu oleh penyamaran itu. Anehnya, kejanggalan-kejanggalan itu kiat mempertajam pencitraan betapa memukaunya sosok Syekh Wahab, yang Arab, padahal, setiap yang bulat belum tentu telur, meski setiap telur sudah barang tentu bulat….

* Damhuri Muhammad, Cerpenis, Bermukim di Jakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 30 November 2008

Butet Berpikir, Tuhan Tertawa

-- Triyanto Triwikromo

APA saja yang bisa membuat Tuhan tertawa? Saat melihat manusia melucu, mencoreng-coreng wajah dengan riasan badut paling heboh, atau menumpahkan celotehan sarat humor? Jawaban semacam itu mungkin benar, tetapi menurut pendapat novelis Milan Kundera, ternyata Tuhan tertawa karena manusia berpikir.

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images

Dalam pepatah Yahudi, fenomena semacam itu muncul dalam ungkapan, ”manusia berpikir, maka Tuhan tertawa”. Persoalan menjadi lebih tidak keruan ketika ”sang manusia” yang berpikir itu adalah Butet Kartaredjasa yang lebih dikenal sebagai pemain teater yang kerap melakonkan naskah-naskah teater, film, atau monolog lucu.

Tuhan akan tertawa terpingkal-pingkal karena pikiran-pikiran Butet tidak hadir dalam format biasa, linear, atau patuh pada logika-logika umum. Tuhan atau manusia lain sebagai citra Allah bisa jadi sakit perut karena geli mendapatkan formulasi pikiran-pikiran Butet yang tidak bersandar pada hukum-hukum berpikir yang ”baik dan benar”.

Tidak linear

Lewat tokoh Celathu—alter ego sang pengarang—Butet memang berkesan merespons segala peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kadang-kadang kemiliteran yang ”bermain” selama satu tahun (mulai September 2007-September 2008). Karena harus menulis dalam bentuk kolom, aktor Teater Gandrik ini memang dipaksa menuangkan gagasan, kritik, atau sekadar celometan dalam nuansa ”esai dan cerita”.

Karena itu, pikiran-pikiran Butet—yang sebelum jadi buku telah dimuat di harian Suara Merdeka—ini cenderung mengikuti hukum esai yang subyektif dan aturan cerita yang beralur, berplot, berkarakter, berkonflik, dan tidak jarang melodramatis.

Dengan kata lain, selain bisa mengunduh kelucuan ala Butet, dengan membaca buku yang diperkaya oleh karikatur-karikatur ekspresif Dwi Koendoro ini, kita juga mendapatkan strategi berpikir model manusia yang tidak merespons segala sesuatu dengan cara-cara biasa dan linear.

Kita tidak sekadar menikmati kisah-kisah pemberontakan Celathu terhadap kehidupan yang tertib—termasuk berkorupsi secara cermat dan tidak terendus publik—tetapi juga memperoleh ”pemberontakan pikiran” yang terkadang dekonstruktif dan subversif.

Mengapa demikian? Sebab, pikiran-pikiran Celathu memang muncul secara spontan, seperti kilat, menusuk tanpa diminta, serampangan, dan lepas konteks. Karena itu, sebelum membaca buku ini, Butet perlu memberikan semacam rambu-rambu pemaknaan. ”Yang bukan orang Jawa memang tidak familier dengan kata ini. Kurang lebihnya celathu artinya ’berujar’ atau ’menyahut’, atau ’nyeletuk’, atau menyambar omongan... karakter Mas Celathu tak terlalu jauh dari makna kata itu sendiri” (halaman vii).

Pasemon

Butet dalam buku yang didesain oleh Ong Hari Wahyu ini memang menceletuki peristiwa, bukan mengomentari ucapan pejabat, bintang film, atau para pembuat berita dan cerita di negeri ini.

Dengan menceletuki peristiwa, ia memang lebih bebas menyeret segala persoalan nyata dan berbahaya secara politis ke rumah tangga Mas Celathu yang lebih dikenal sebagai Republik Celathu (hal 77) dan tidak jatuh sebagai teks yang memfitnah presiden, pejabat publik, atau orang lain.

Dalam ”Presiden Semu”—salah satu dari 54 kolom yang dipajang—ketika tokoh Celathu diprotes akibat memiliki keinginan menjadi presiden seumur hidup, Butet dengan enteng menulis, ”... ini kan Republik Celathu, jadi sistem dan aturannya bisa dibuat sesuka kita. Yah, minimal dimirip-miripkan dengan negara.”

Bagaimana cara Butet memformulasikan pikiran? Ada beberapa strategi yang ditempuh oleh pengarang. Pertama, dia menggunakan pasemon. Pasemon, paling tidak menurut pendapat Goenawan Mohamad, dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan sebagai allusion, tetapi ia bukanlah sekadar muslihat atau device, tertentu dalam tata komunikasi. Ia lebih menjinjing nuansa permainan, sindiran, dan sesuatu atau peristiwa yang ”bukan sebenarnya”.

Karena itu, ketika ingin menyindir kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mewujudkan slogan ”Bersama Kita Bisa”, misalnya, dia cukup menulis ”Raja Godhong”. Dalam kolom berkisah tentang pengangguran itu, Butet bilang, ”Sejak kemarin-kemarin dia pun sudah tahu bahwa bersama para pemimpin, kita memang selalu bisa. Bisa menganggur maksudnya...” (hal 39).

Dalam teks ini juga pengarang menyindir penggunaan istilah ”raja” dan ”ratu” yang tidak proporsional. Termasuk penggunaan istilah ”ratu ekstasi”, ”ratu mesum”, ”raja poligami”, dan ”raja godhong” (sebagai kritik atas demam anturium atau jemmani purba) (hal 43).

Dengan menggunakan strategi pasemon, Butet memang kemudian harus memakai ilmu negasi untuk menyindir perilaku korup. Itulah sebabnya, jangan heran jika dalam ”Ilmu Kosokbalen” (Ilmu Negasi), ia menulis, ”Bukankah sekarang ini tak sedikit para peneguh iman berpredikat juru dakwah begitu bangga dengan masa lalunya yang kelam. Merampok dulu, berdakwah kemudian. Jadi koruptor sekarang, memberantas korupsi belakangan” (hal 28).

Cara kedua yang ditempuh Butet adalah dengan mendekonstruksi makna. Dalam ”Namanya Celathu”, misalnya, ia mempertanyakan makna kemerdekaan. Dalam teks yang tragis-komis tentang lomba makan kerupuk dan panjat pinang pada setiap selebrasi 17 Agustus itu, ia menyatakan, ”pemimpin yang dipercaya sebagai nakhoda bangsa ini masih konsisten menyelenggarakan kemiskinan rakyatnya” (hal 4).

Dengan menggunakan strategi berpikir (dan kadang-kadang melucu) semacam itu, Butet akhirnya memang mengajak pembaca untuk hidup secara demokratis dan bertoleransi (dengan senantiasa memberikan ruang bicara bagi Mbakyu Celathu—istri—Jeng Genit, Mbak Tomboy, dan Sang Pembarep—anak-anaknya) dan tidak menganggap diri sebagai sosok super.

Celathu—dalam desain Butet—adalah sosok yang daif, karakter yang masih membutuhkan pertolongan, kekuatan, bahkan tertawaan dan ledekan orang lain. Celathu adalah pelaku ”etika kedaifan”, sesuatu yang jarang diidamkan oleh orang lain yang lebih memilih hidup sebagai pribadi yang arogan, menang sendiri, dan rakus menelan hak sesama.

Di luar editing yang sedikit kurang cermat (antara lain cenderung menggunakan kata ”dimana” bukan ”di mana”), buku yang mengusung ”pikiran” Butet ini memang bermanfaat bagi kita untuk merespons segala sesuatu dengan mata hati dan mata pikir yang tak lazim. Sekali lagi, ini bukan buku tentang humor. Ini buku tentang bagaimana manusia memancing tawa Tuhan dengan berpikir tak linear.

(Triyanto Triwikromo, Sastrawan dan Direktur Program Anugerah Sastra Pena Kencana, Tinggal di Semarang)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 November 2008

Sejarah Perjuangan: Mensos Resmikan Monumen Peta di Blitar

Kediri, Kompas - Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah meresmikan Monumen Pembela Tanah Air di Kota Blitar, Jawa Timur, Sabtu (29/11). Peresmian ini merupakan acara puncak serangkaian peringatan Hari Pahlawan Nasional yang diselenggarakan Departemen Sosial tahun 2008.

Acara tersebut dihadiri Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, serta sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan dan remaja berprestasi di Tanah Air.

Monumen berbentuk patung tujuh pejuang Pembela Tanah Air (Peta) itu berlokasi di kompleks bangunan bekas MULO, yang kemudian digunakan sebagai asrama tentara Peta di Blitar.

Menurut Bachtiar, keberadaan Monumen Peta memiliki arti yang sangat penting. ”Tidak saja bagi masyarakat Blitar, tetapi juga bagi bangsa Indonesia pada umumnya,” katanya.

Monumen tersebut, lanjut Bachtiar, akan mengingatkan generasi sekarang dan generasi yang akan datang mengenai arti penting perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan dalam membangun bangsa ini.

Pada kesempatan serupa, Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, Monumen Peta merupakan bagian dari upaya masyarakat Blitar melaksanakan pesan Bung Karno, yakni jangan melupakan sejarah, jangan melupakan pahlawan-pahlawan bangsa. (NIK)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 November 2008

Keberagaman: Raja Nusantara Kumpul di Istana

Jakarta, Kompas - Sebanyak 118 raja, sultan, penglingsir, panembahan, kepala, serta kepala adat yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Keraton Se-Nusantara berkumpul dan diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (29/11). Mereka mengapresiasi kemajuan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono dan akan membalas budi baik itu pada masa mendatang.

”Hati kami malam ini sungguh berbunga-bunga Bapak Presiden. Ada getaran tersendiri ketika kami menginjakkan kaki di Istana Negara. Istana Negara saat ini jauh berbeda dibandingkan dahulu. Dahulu tidak ada gambar-gambar para pendahulu. Inilah budaya kita, yaitu menghormati pendahulu kita,” ujar Ketua Umum FSKN Raja Ida Tjokorda Denpasar IX dalam sambutannya.

Pujian kepada Presiden disambut tepuk tangan sekitar 100 raja beserta permaisuri yang hadir dengan pakaian adat mereka masing-masing. FSKN adalah forum yang dibentuk Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik tahun 2006. Jero Wacik adalah menteri yang berasal dari Partai Demokrat.

Para raja diterima Presiden Yudhoyono di Istana Negara di sela-sela pameran budaya yang diselenggarakan pada 25-30 November 2008. Pameran diikuti 110 keraton dan lembaga adat dari 118 anggota FSKN.

FSKN mengapresiasi bantuan Presiden Yudhoyono lewat Menbudpar dalam rangka upaya bersama melestarikan dan mengemban adat, salah satunya dengan pariwisata. Namun, FSKN juga menemukan kendala yang dihadapi keraton di seluruh Nusantara.

”Akibat sistem politik, demokrasi, dan produk undang-undang, keraton-keraton di daerah makin menjauh dan tercerabut dari akar-akar budayanya sendiri,” ujar Ida.

Dalam pengarahannya, Presiden mengemukakan, di tengah terjadinya interaksi sistem nilai dan akulturasi budaya, Indonesia akan tetap menjadi rumah yang teduh tempat semua orang hidup berdampingan, saling hormat- menghormati, dan rukun satu sama lain. ”Indonesia akan menjadi rumah yang besar, indah, dan teduh,” ujarnya.

Presiden mengemukakan, budaya Nusantara yang beragam akan menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang besar. ”Jangan direduksi ke urusan-urusan politik dan administrasi,” ujarnya.

Di tengah perubahan yang terjadi, Presiden meminta para raja berkontribusi melestarikan peradaban, budaya, dan warisan bangsa serta membantu mengatasi masalah yang saat ini sedang timbul, yaitu mengembangkan ekonomi kreatif dengan dasar warisan budaya. Salah satu wujud ekonomi kreatif adalah pariwisata.

Dari jumlah 261 kerajaan besar dan kecil seluruh Nusantara, saat ini baru tergabung 118 kerajaan yang tersebar di 23 provinsi. Keraton Yogyakarta tidak masuk dalam FSKN, tetapi, menurut Ida, mengirimkan wakilnya untuk hadir.

”Beliau (Sultan Hamengku Buwono X) belum masuk, tetapi kami saling berkomunikasi. Untuk acara ini, kami juga melayangkan undangan,” ujarnya.

Para raja yang hadir antara lain dari Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Timur-Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua Barat.

Acara tersebut juga dihadiri oleh Ketua Asosiasi 20 Raja/ Bangsawan Eropa Ferdy Baron de Smith van Alpen. (INU)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 November 2008

Wacana: Empat Citra Perempuan dalam Sastra Kita

-- Tjahjono Widarmanto

PEREMPUAN kita yang pertama berasal dari dusun di pelosok Gunung Kidul, wilayah yang mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia: Pariyem. Dia adalah tokoh dalam prosa lirik Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem, perempuan Jawa yang merasa sangat beruntung dapat menjadi pembantu rumah tangga seorang priyayi.

Keberuntungan Pariyem dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya menaruh minat padanya. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Kemudian, dia kembali ke rumah majikannya, dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pasrah pada posisinya sebagai pembantu.

Namun, kesumarahan Pariyem tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Dia adalah Nyai Ontosoroh, tokoh novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Perempuan ini sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik. Namun, nasib tak menjadikannya pasrah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar.

Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Dia adalah Marieneti Dianwidhi, tokoh novel Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya. Perempuan kelas atas yang memilih bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.

Pemikirannya yang cerdas, berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun, semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.

Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Dia adalah Cok, tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami, perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.

Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksual yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk 'menguasai' perempuan.

Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan pun tidak didudukkan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.

Berbeda dengan Marieneti yang mengagungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya: menjebol sendiri keperawanannya.

Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.

Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini.

Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah, bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme, bahkan ideologi yang saling tumpang tindih dan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya, "Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia?"

* Tjahjono Widarmanto, Penyair dan guru sastra

Sumber: Republika, Minggu, 30 November 2008

Inspirasi: Jean Paul Sartre

INSPIRASI kadang lahir dari kebebasan. Lahir dari keberanian membedah konsepsi diri yang selama ini dianggap begitu adanya, taken for granted. Jean Paul Sartre adalah salah satu filsuf yang menebar kesadaran dekonstruktif terhadap konsepsi diri lewat filsafat eksistensialismenya.

Konsepsi kebebasan filsuf kelahiran Paris, 21 Juni 1905 ini tergolong radikal. Lewat konsepsi "eksistensi mendahului esensi", misalnya, Sartre menyatakan segala keberadaan manusia di bumi ini karena manusia. Bukan karena siapa-siapa. Ia menolak pemahaman yang menyatakan "manusia ada sesuai dengan kodrat" karena esensi bukan pengada yang mendahulu eksistensi.

Pandangan ini khas kesadaran yang menerpa kaum intelektual Barat ke-20, termasuk Sartre. Lewat eksistensialisme juga Sartre melahirkan sejumlah karya sastra dalam bentuk novel maupun cerita pendek.

Konsepsinya tentang kebebasan, "manusia adalah kebebasan", dinilai sebagai salah satu wujud kesadaran humanis Barat. Kesadaran yang memosisikan manusia sebagai subjek otonom dengan kehendak yang tidak dipengaruhi faktor lain. Bagi Sartre, manusia bukanlah makhluk yang menginginkan kebebasan, melainkan "kebebasan iru sendiri".

Namun, kebebasan yang ditegaskan Sartre bukan kehendak tanpa kendali. Sebab, kebebasan adalah sesuatu yang melekat dengan tanggung jawab. Toh, setiap manusia adalah kebebasan itu sendiri, yang tidak bisa memaksa manusia lain melakukan sesuatu atau mengada dengan satu model eksistensi.

Sartre mengenalkan dua konsepsi untuk menelisik model "cara berada" manusia, yakni being-in-itself (ada-pada-dirinya) dan being-for-itself (ada-bagi-dirinya). Manusia bebas adalah manusia yang mengada dengan pola being-for-itself karena manusia mengada melalui kesadaran bukan atas sesuatu yang ada sebelumnya atau in-itself! n DARI BERBAGAI SUMBER/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008

Apresiasi: Khotbah di Bukit Prosa

-- Asarpin*

NOVEL Bilangan Fu (2008) mengantarkan Ayu Utami meraih penghargaan Khatulistiwa Literatur Award (KLA) 2008. Bilangan Fu bagaimanapun layak meraih penghargaan itu.

Berbeda dengan kedua novel Ayu sebelumnya, Bilangan Fu tidak mengejar bahasa imaji yang berima, kendati beberapa tempat masih tersisa. Novel ini banyak mengungkai kisah-kisah mitologis yang, selain mengenai kosmologi dan kosmogoni, juga mengaduk-aduk matematika, geometri, fisika, agama, dan tafsir tentang Tuhan sebagai satu dan nol yang rumit.

Sejak halaman muka, kita dipertontonkan rajutan berbagai narasi yang hampir mati atau sudah mati, tapi berhasil dihidupkan kembali melalui jalinan kisah-kisah kejadian yang kadang mengandung alegori mistik, motif mitos, mimpi, dan fantasi. Semua ditakik dari aneka khazanah melalui riset yang tiada bandingnya bagi sebagian besar novel Indonesia.

Beragam masalah yang dinarasikan itu sampai juga kepada masalah tiga yang bukan menguak tabir, melainkan ikut merundung sebagian besar para pengarang: Modernisme-monotheisme-militerisme (yang oleh penulisnya dengan ringan disingkat 3M). Dari sini lalu kita diajak menjelalah spiritualisme dan rasionalisme, estetika kesatupaduan dan estetika hibrida, tentang kalender Masehi, Hijriah, dan Jawa purba. Lantas mengembara dalam ceruk-ceruk ilmu falak, ilmu bumi, fisika, biologi, filsafat, dan psikologi.

Novel ini tidak cuma melukiskan peristiwa nyata atau seolah-olah nyata seperti dalam novel-novel realis, tapi metafora dengan kekuatan isi. Pola-pola geometris di tangan Ayu dipintal menjadi pola perlambangan yang berisi tapi bukan pilihan estetik. Berbagai jalinan kisah seakan menggemakan suara lonceng abad tengah yang bangkit dari dalam tiap nurani para tokoh. Barang kali inilah sebuah kekosongan yang mesti ditebus dengan kesendirian dan kehilangan. Sunya kata orang Hindu. Cifr kata Arab.

Dengan novel ini kita diajak memasuki rawa-rawa tersembunyi melalui mitos penciptaan semesta. Dalam perjalanan memasuki hamparan luas intertektualitas, kita bersiap dikejutkan berbagai kisah dalam Kitab Kejadian.

Kitab ini adalah kitab pertama dalam Alkitab, yang pada mulanya tidak merumuskan Tuhan sebagai satu. Demikian pula agama Hindu India sebelum Masehi, memiliki konsep mengenai kekosongan, ketiadaan, nihilis.

Konsep itu terkandung pada kata shu-nya, dengan lambang spasi kosong dan titik dan lingkaran nol. Lalu lama kelamaan konsep filsafat Hindu itu bermetamorfosis menjadi bilangan 0 (nol) yang ditemukan bersamaan dengan numerasi, sistem penomoran. Inilah lambang yang kemudian dijadikan sampul novel Bilangan Fu.

***

Keberanian Ayu menjelajah berbagai bidang liputan yang jauh di luar sastra, sangat pantas jika novel ini disandingkan dengan novel tetralogi Pram. Selain memuat teori fisika yang segar, khususnya soal atom dan infinitesimalitas (nilai yang mahakecil yang mendekati nol tetapi tidak sama dengan nol), novel ini mengangkat permasalahan seputar jagat raya.

Barangkali yang paling dominan, di luar persoalan psikologi, masalah matematika dan geometri. Ada bilangan mistik dengan membagi yang tak sama dengan membelah, sebaliknya, membagi di sini sekaligus memiliki sifat penggandaan: Jika aku membagi nyawaku kepada 12 anggota, aku mengalikan nyawaku dengan 12, di mana pada saat yang sama, nyawaku tetap satu. Inilah rumusnya: 1:a = 1xa = 1, dan a bukan satu.

Bisa jadi matematika bisa membuat orang terasing dan terpencil, tapi ilusi matematis sebagai logis dan pasti hampir tidak bisa dipakai untuk Tuhan di sini. Tuhan yang Maha Esa itu warisan matematika yang dilacurkan ilmu antropologi dan perbandingan agama yang kelak melahirkan teori revalasi yang terkenal dengan nama monoteisme itu. Kata "ehad" dan "ahad" dalam bahasa Ibrani dan Arab itu, kata Ayu, sama-sama berinduk Semit.

Eka adalah satu dalam Sanskrit. Esa adalah satu dalam Islam. Ini pendapat saya. Sedang pendapat Ayu, terutama mengenai Kitab Kejadian awalnya belum merumuskannya sebagai Tuhan.

Kepada Abraham ia merumuskan dirinya sebagai "Akulah Tuhan" atau "Allah Yang Mahatinggi" atau "Allah Yang Mahakuasa". Lalu Ayu menegaskan: Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang dirumuskan bukan dalam mentalitas matematis, melainkan mentalitas metaforis. Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang sekaligus memiliki properti nol.

Inilah, saya rasa, yang dicari-cari tokoh Ayah melalui pendekatan dan lakunya yang sulit dimengerti dalam bilangan "satu yang juga nol" itu. Siapakah Ayah yang dimaksud Ayu di situ? Mungkin ayah Esau dan Yakub dalam kisah Kitab Kejadian.

Menanggapi kisah keluarga Ishak itu, Ayu menafsirkan begini: Belum ada rumusan eksplisit tentang keesaan Tuhan seperti kelak dalam wahyu kepada Musa. Bahkan dalam kisah Esau dan Yakub yang panjang umur itu, kata Ayu, telah muncul persoalan nama, yakni manusia ingin mengetahui Tuhannya. Namun, Tuhan tidak mau mengungkapkan nama-Nya. Kebilangan dan kenamaan ini pula yang jadi inti novel ini.

***

Demikianlah. Kearifan di atas memberi renungan yang tidak mudah. Kisah dalam Kitab Kejadian menegaskan bahwa Tuhan bukan seperti dalam konsep monoteisme, yang memaksakan konsep satu yang matematis kepada nol yang mistis. Zero yang spiritual adalah yang kosong sekaligus penuh, tidak berupa, tidak terbatas, tidak berbanding, dan maha. Penemuan angka 0 dan 1 konon merupakan revolusi dalam pikiran manusia.

Saya pernah baca juga tentang bilangan nol dari kitab sastra yang dikarang orang Jawa. Kitab Bumi Manusia.

Nol itu keadaan suwung, kata Pram. Sebuah kosong. Seperti telur yang tinggal cangkang. Dari sebuah cangkang kosong, terjadi awal lagi. Dari awal terjadi mengembang sampai puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, ratusan, ribuan, kosong, dst. Kami tahu juga, betapa tidak berartinya sistem desimal tanpa nol, bukan?

Karena Tuhan sebagai satu, bisa jadi bahwa kosmos berubah menjadi chaos karena manusia sendiri terlampau lancung menerapkan yang puitis dan metaforis secara matematis dan geometris, dan yang spiritual menjadi yang rasional. Padahal "pikiran rasional membentangkan sebuah garis pembatas terhadap konsep seseorang dalam hubungannya dengan kosmos", tulis John Forbes Nash--matematikawan "gila" peraih Nobel itu. Itulah "selingan-selingan rasionalitas yang dipaksakan kepada kita untuk memahami dunia".

Modernisme, selain syarat dengan keyakinan yang pasti, juga syarat dengan kekhawatiran mendalam akan kelangsungan umat manusia karena kemajuan ilmu pengetahuan telah jauh-jauh hari menyandarkan rasionalisme dalam ketinggian yang bikin cemas jutaan manusia. Orang terlalu sadar dengan satu, rasa gandrung pada ruang dan bentuk, padahal itu hanya ilusi.

Tidak banyak yang sadar isi, yang mau menyangga Kitab Suci dengan puisi-prosa dan menjadikan kesetaraan secara tidak tampak antara dongeng tua dan Kitab Suci. Bisa jadi bahwa Esau dan Adam berhubungan dengan Saturnus dan Titan--bulan kedua Saturnus--adalah Yakub sekaligus musuh Buddha dan Iblis, sebagaimana fantasi John Forbes Nash ketika sedang berada di ambang delusi.

Boleh jadi matematika merupakan ungkapan nalar yang bersahaja, dan ada lambang-lambang unik dan cantik, konvensi-konvensi yang teguh, ringkas. Tapi, agama, iman, Tuhan jika didekati secara matematis-logis atau melalui pola-pola geometris atau nalar matematis, barangkali akan kehilangan aura estetis. Tak ada kata pasti untuk agama, iman, dan Tuhan. Karena kalau demikian adanya, sama saja dengan 3M yang mendesakkan yang rasional kepada yang spiritual atau mendesakkan kemurnian kepada yang campuran, etika tunggal, dan estetika hibrida. Dan makna tauhid bukan sebuah tamsil.

Pernyataan bahwa "Tuhan itu esa" terkesan sebagai tauhid yang tidak berhubungan dengan Tuhan karena kalimat itu menyatakan jumlah bilangan yang meniscayakan adanya kondisi yang terbatas.

Yuda dalam kitab Bilangan Fu seperti metamorfosis Mansur yang meninggalkan guru darwis dan beralih berguru kepada iblis. Seandainya tidak ada iblis di surga, mungkin takkan ada perintah untuk membaca karena Kitab Suci sendiri mungkin tidak ada.

Seandainya tidak ada Yuda yang bergelar "si iblis" itu, apa arti Parang Jati dan orang-orang Farisi dan tokoh-tokoh lain.

Dari sini kita diajak masuk ke ceruk-ceruk tersembunyi perihal pemanjatan tebing yang bermetamorfosis menjadi pemanjatan suci: Sacred climbing! Di sini Parang Jati seperti mengulum senyum yang menyembunyikan sesuatu, tapi bukan bertanda sebagai sinis, melainkan kritis; senyum naif yang kanak-kanak dan bukan senyum orang tua yang munafik.

Akhirnya, novel ini mengungkai hal-hal yang tidak selesai. Tentang Khotbah di Bukit Prosa, tentang Surat Musa, tentang Kitab Kejadian dan Kitab Kejatuhan, dan di atas semuanya adalah tentang gugatan seorang feminis atas sains yang patriarkat:

"Matematikawan adalah orang yang sangat eksklusif. Mereka menempati suatu dataran sangat tinggi dan memandang rendah semua orang lain. Ia membuat hubungan mereka dengan perempuan sangat rumit". Luar biasa!

* Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 November 2008

Saturday, November 29, 2008

Bentara: Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?

-- Richard Oh*

MENJADI kritikus film di negara ini ternyata sangat mudah. Tidak perlu prakualifikasi, tidak seperti seorang pakar ekonomi yang minimal perlu gelar sarjana ekonomi atau pengalaman sebagai seorang praktisi bisnis. Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film.

Maka, tidaklah mengherankan jika resensi film yang tiap minggu kita baca di beberapa media besar seperti saling sahut-menyahut, hampir seragam dalam penafsirannya, ataupun kisaran penafsirannya. Kritikan para ’kritikus’ ini pada akhirnya tidak ubahnya muntahan segar seorang penonton, sebuah impresi superfisial tentang sebuah karya. Tidak bisa ditanggapi sebagai sebuah kritikan. Karena tulisan seperti itu tidak menukik ke dalam eksplorasi-eksplorasi pemikiran.

Kritikus seperti ini digambarkan oleh Roland Barthes sebagai kritikus neither-nor, kritikus bukan ini atau itu. Intinya, penulis seperti itu bukanlah seorang kritikus sejati karena untuk membedah setiap detail gambar, suara, kerangka, makna, pergelutan ungkapan seorang sutradara, dibutuhkan kepiawaian yang setara pula. Untuk merinci sinematografi, seorang kritikus diharapkan punya kualifikasi juga dalam bidang ini, seperti pencahayaan, pengambilan sudut gambar, penggunaan lensa kamera, problema digital dan seluloid dan bahasa visual seorang sutradara. Untuk kerangka sebuah film, diharapkan kritikus itu paham tentang penyuntingan film, struktur narasi, penguasaan genre film tertentu, konsistensi karakterisasi, nada yang ditekan pada satu titik atau titik-titik tertentu.

Dia juga bukan seorang pemikir. Untuk mengkritik sebuah karya, boleh saja seorang kritikus tidak menguasai semua aspek perfilman, tetapi ia dituntut bisa berpikir secara sistematis. Ini adalah kriteria utama yang memisahkan seorang kritikus sejati dengan kritikus bukan ini atau itu.

Penonton vs kritikus

Tidak seperti seorang pencipta yang senantiasa ditantang untuk membongkar rujukan-rujukan estetika, seorang kritikus dituntut untuk bisa memetakan sebuah pemikiran. Apa pun bentuk pemikiran itu, asal ia segar, merupakan sebuah respons puitis, berjarak, dan tidak frontal.

Kritikan adalah sebuah pemikiran yang mengarah ke satu arah (Barthes): ke arah kesimpulan pemikiran. Ketika kritikus itu memutuskan menulis sebuah kritikan, ia sebenarnya merespons pada bahasa. Pertama pada bahasa secara literal, kemudian pada bahasa karya itu.

Saat kritikus itu menuangkan pemikirannya ke dalam sebuah tulisan, pemikirannya mau tidak mau patuh pada bahasa dengan segala aturan gramatika dan sintaksisnya. Dengan kata lain, tatanan bahasa dan logika bahasa itu memaksa sebuah pemikiran yang tersadur dalam bahasa mau tidak mau merunut dan terarah (ke sebuah kesimpulan makna).

Kritikus itu juga merespons pada bahasa sebuah karya. Bahasa yang dimaksudkan tentunya adalah gaya sebuah karya: gaya dalam penuturan, penyeleksian, penekanan pada obyek-obyek tertentu dalam sebuah karya, keunikan ekspresi (dalam dialog ataupun karakter) dan metodologi dalam membangun sebuah bagan karya. Sang kritikus akan mencari sebuah serat atau serat-serat bahasa di dalam karya itu untuk kemudian dirajut kembali menjadi sebuah pengupasan segar, terarah, dan kohesif.

Seorang kritikus menonton sebuah film tidak seperti seorang penonton biasa. Seorang penonton biasa menonton sebuah film karena hasrat. Hasratnya terpicu untuk menonton, memahami, menikmati sebuah film. Maka, hubungan antara penonton dan film bermula dari subyek yang ingin mendominasi sebuah obyek. Tujuan sang penonton biasa boleh digambarkan sebagai sebuah hasrat yang agresif.

Penonton biasa dan film yang ditonton terjalin dalam sebuah hubungan yang sepihak, yaitu melalui hasrat subyektivitas penonton pada obyek, yakni film: maka hubungan ini lebih tepat kalau digambarkan sebagai sebuah hubungan fisikal ketimbang mental. Oleh karena itu, ketika seorang penonton biasa berkomentar tentang sebuah film, artikulasi bentuk oralnya hanya bisa kita tafsir sebagai sebuah reaksi, atau impresi, yang tidak berakar pada sebuah pemikiran yang terarah karena ia hanya sekadar artikulasi, tidak terbangun dalam sebuah sistemasi pemikiran yang hanya bisa terwujud dalam sebuah tulisan. Artikulasi tidak bisa ditangkap dalam sebuah bagan real, kecuali dalam tulisan. Ia hambur dalam ketiadaan begitu sebuah ungkapan terucap. Untuk supaya sebuah artikulasi bisa terwujud menjadi kenyataan (menurut Derrida), subyek perlu mati dahulu. Maka, dalam hal ini, kita tidak memiliki banyak pilihan selain merujuk pada pemikiran Mallarmé, yang juga diandalkan oleh Barthes: yaitu menangkap dahulu imanen (ilahi) berkelabat dalam kata-kata kemudian membiarkannya memudar kembali ke antah berantah ketika kata-kata itu tersusun rapi dalam satu bait puisi (atau kalimat).

Pendekatan seni kritik

Sublasi (asimilasi entitas kecil ke dalam bagan yang jauh lebih besar). Menurut Harold Bloom, semua karya mempunyai dna dari karya-karya sebelumnya. Susan Sontag belajar dari John Cage, sang komposer yang terkenal karena komposisinya diseling banyak kesunyapan tak berdenting, pernah menyatakan bahwa di era modern ini hampir tidak mungkin lagi bagi seorang pencipta seni untuk melepaskan diri secara signifikan dari pengaruh-pengaruh pencipta seni sebelumnya. Kemungkinan yang masih ada adalah eksplorasi-eksplorasi di pinggir-pinggir kerangka, atau seperti John Cage, melawan dominasi pengaruh pencipta sebelumnya dengan sebuah kesunyapan. Hanya itu satu-satunya cara untuk memotong ari-ari kepengaruhan pada karya-karya sebelumnya. Kepiawaian seorang pencipta pada saat ini sangat tergantung kelincahannya dalam mengsublasi berbagai pengaruh ke dalam karyanya sehingga sebuah makhluk eklektis baru, karya paduan berbagai materi, bisa tercipta. Seorang kritikus yang berwawasan harus bisa secara saksama mendata/merinci pergumulan eklektis dalam sebuah karya.

Puitis, Menyamping. Di bagian ini, saya kira kita bisa meminjam dari Alain Badiou dan Gilles Deleuze untuk memberikan sedikit pengarahan yang berguna. Bagi Alain Badiou, sebuah karya seni ibaratnya sebuah event. Karena setiap kejadian adalah unik, maka dalam keterperangkapan kita dalam situasi baru yang masih baru itu, sangatlah susah bagi kita untuk mengupasnya secara langsung. Karena kita masih terperangkap dalam sebuah ungkapan yang masih belum bisa dikategorikan ataupun direduksi menjadi sebuah pernyataan konkret, satu-satu cara untuk bisa mengupaskan karya itu adalah secara tidak langsung (indirect) dan puitis. Yang dimaksud secara tidak langsung dan puitis adalah sebagai berikut: seorang kritikus perlu merespons sebuah karya dengan berkarya seni atau mencoba mengitari karya itu di pinggiran, tidak frontal, tetapi puitis.

Kita juga bisa memetik banyak pengetahuan dari apa yang Deleuze peroleh ketika ia mewawancara Francis Bacon, rupawan Inggris yang terkenal dengan lukisan-lukisannya yang mencoba menangkap sebuah jeritan. Ketika ditanya Deleuze bagaimana ia menilik kembali karyanya setelah karya itu selesai dikerjakan, Bacon menjawab bahwa ketika ia mengerjakan karya, ia memakai satu set teori yang berbeda dengan ketika ia mencoba menelaah kembali karyanya setelah selesai. Dari sini, Deleuze mendapatkan kesimpulan bahwa ketika kita melihat sebuah karya seni, kita tergugah melampaui diri kita. Respons kita tidak beranjak dari ego, tetapi dari sebuah perasaan yang sangat kuat. Karena keterpanahan kita pada sebuah karya tidak berhubungan dengan ego kita, maka kita memandang sebuah karya seni dari sebuah jarak. Intinya, penilaian kita tidak berdasarkan sebuah reaksi personal sarat pradugaan pribadi. Maka, apa yang sering kita baca dalam berbagai ulasan film seperti kata nasi basi atau omong kosong dan kata-kata seperti itu, hanya mencerminkan sebuah reaksi yang tidak puitis dan sangat frontal. Begitu kita membaca penulisan kritikus dengan perbekalan kosakata seperti itu, kita langsung bisa menilai penulis itu hanya sebatas kritikus bukan ini atau itu.

Verisimilasi vs Realitas. Kita sering juga menemukan dalam resensi film keluhan tentang pencipta film yang kurang memiliki latar belakang tertentu sehingga ia gagal membangun sebuah realitas yang meyakinkan. Seperti film Riri Riza, Tiga Hari untuk Selamanya pernah dikritik oleh seorang kritikus dengan kata-kata yang berkisar pada kegagalan Riri Rizi pada film itu karena ia tidak mempunyai latar yang memadai untuk mengupas lingkungan hidup atau kedudukan sosial seperti yang ditampilkan dalam filmnya itu. Tanggapan seperti ini perlu diluruskan dengan beberapa contoh yang membantu. Pertama, ketika kita membicarakan sebuah karya fiksi, asumsi pada sebuah khayalan ataupun impian langsung terbesit dalam ungkapan kita. Sudah jelas setiap pencipta seni punya asumsi ataupun impresi yang berbeda pada realitas: keunikan sudut pandangnya justru yang membuat kita tertarik pada karyanya. Jika seorang kritikus menuntut pada seorang pencipta seni supaya ia bisa membangun sebuah realitas yang dikenal oleh orang banyak, penuntutan ini saya kira lebih tepat kalau ia ditujukan pada karya dokumenter daripada karya fiksi. Keluwesan seorang pencipta seni senantiasa berada dalam permainan realitas. Kepintarannya membangun sebuah realitas bukan karena ia begitu mahir menciptakan sebuah realitas yang begitu menyerupai kenyataan, tetapi lebih pada bagaimana sang pencipta membuat realitas itu begitu hidup atau bernyawa. Jadi, realitas dalam karya-karya seni tidak berarti keselarasannya pada realitas, tetapi pada kebernyawaannya dalam sebuah karya.

Simulacra dan Gerakan Palsu. Gerakan sebuah film, menurut Deleuze, adalah sebuah gerakan palsu: pergerakan kontinuitas sebuah film merupakan sebuah ilusi yang tercipta ketika 24 frame film digerakkan dalam sedetik. Dan, ketika sebuah obyek ditangkap oleh kamera, apa yang ditangkap secara otomatis menjadi sebuah simulacra, sebuah jiplakan dari obyek asli. Dengan demikian, semua bentuk rekaman digital ataupun seluloid tidak mencerminkan sebuah kenyataan asli. Kita bisa belajar dari sini untuk menilai dengan benar apa yang dimaksudkan keaslian sebuah situasi atau karakterisasi sebuah karya film. Rujukan pada akhirnya kembali ke apa yang saya ungkapkan di atas, yaitu bukan ketergantungan pada verisimilasi karakter ataupun situasi pada realitas, tetapi pada kesenyawaan (lifeness bukan lifelikeness).

Semoga esai ini sedikit merepotkan mereka yang gandrung menulis kritikan film, tetapi tidak sudi mendalami bidangnya, dan mengajak mereka yang berpotensi untuk mengimbangi pergelutan pencipta seni sehingga sebuah dialog yang mengasyikkan bisa tercipta dan sebuah komunitas kesenian terbangun dengan sehat dan kekar untuk kemajuan bersama.

* Richard Oh, Penulis Novel; Penggagas Penghargaan Sastra Kathulistiwa Award

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 November 2008

Sastra: Dari Pantun, Penyair ke Pemuisi

-- Ibnu Wahyudi*

HANYA ada segelintir penyair, ternyata. Ini kalau kita setia dengan makna ”penyair” yang mestinya adalah ”orang yang menulis syair”. Tanyakan saja pada yang sering mendaku sebagai penyair, adakah pernah membuat syair? Atau tanyalah pada diri sendiri, hai para penyair, berapa syair pernah lahir?

Tapi apakah seseorang yang disebut atau yang menamakan diri sebagai ”penyair” lazimnya pernah menulis syair? Tidak, agaknya. Bahkan sangat bisa jadi, tidak sedikit ”penyair” yang pernah membaca atau tahu dengan apa yang disebut ”syair”. Sangat mungkin pula, ketika mengetahui atau disadarkan bahwa ”syair” itu adalah bentuk puisi yang berpola tertentu, ”penyair” bersangkutan bisa saja tidak rela lagi disebut sebagai ”penyair”.

Sebaliknya, begitu dipahamkan ihwal perkembangan makna mengenai apa yang disebut syair, para ”penyair” bersangkutan mungkin sekali tenang-tenang saja lantaran telah menjadi mafhum bahwa ”syair” atau ”penyair” itu sekadar istilah bagi mereka yang menulis atau menghasilkan puisi; tidak harus menghasilkan ”syair”. Dengan begitu, kata ”syair” telah mengalami perubahan makna atau lebih tepatnya, perluasan arti.

Arti yang bergeser itu adalah pada kenyataan bahwa kata ”syair” bukan lagi semata-mata merujuk pada bentuk sastra yang terdiri atas empat baris dan berpola a-a-a-a, tetapi sudah menjadi ungkapan lazim bahwa bentuk yang bukan—prosa atau bukan—drama itu adalah ”syair”.

Ini serupa dengan istilah ”pantun” yang semenjak akhir abad ke-19 lazim dipakai untuk menyebut cara berkomunikasi dengan gaya ”nyastra” sebagai berpantun, tanpa harus mengindahkan pola pantun yang memiliki rima a-b-a-b atau harus adanya sampiran dan isi, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1931.

Kerancuan pengertian

Dari pernyataan yang tertera pada sampul buku kumpulan puisi yang terbit tahun 1857, Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen, jelas terlihat adanya kerancuan dalam memahami makna syair dan pantun. Di dalam buku itu, kata ”oetawa” (atau), menunjukkan adanya penyamaan di antara dua istilah itu.

Pada masa ketika syair atau pantun banyak ditulis oleh para pengarang peranakan China seperti Oeij Peng Long, Tan Tjiook San, Tan Hiap Lee, Tan Tjeng Nio, atau The T L, kedua istilah ini memang seringkali bertukar makna. Konsistensi penyebutan tampak belum dijaga betul dan mungkin juga dianggap tidak terlalu penting pada waktu itu.

Dalam pemahaman di masa berikutnya, sekurangnya sejak pembedaan syair dengan pantun seperti yang dikemukakan C Hooykaas (Penyedar Sastera, 1963), apa yang tertera pada sampul buku tadi tampak sebagai sebuah kekeliruan.

Akan tetapi, bijak dan tepatkah menempatkan kebiasaan literer di kurun lebih dari satu setengah abad lalu itu dengan ukuran-ukuran masa kini? Tentu saja tidak. Sebab pada saat tradisi sastra belum berpikir mengenai karakteristik atau tipologi bentuk-bentuk sastra, wajar jika terjadi generalisasi pada istilah-istilah yang masih gamang pemahamannya. Kekaprahan ini dapat dianalogikan dengan pemakaian istilah ”pop” dan ”populer” di masa kini.

Merujuk pendapat Hamka, melalui tulisannya berjudul ”Mengarang Roman” (Pedoman Masjarakat, 1938), dikatakan, syair sudah dikenal oleh bangsa Arab sebelum agama Islam tersiar. Orang Arab masa itu yang tersohor sebagai penyair adalah Antarah dengan syair-syair perwiranya dan Amaroel Qijs dengan syair-syair remajanya.

Jika penjelasan Hamka ini sahih, jelas bahwa syair sudah mempunyai tradisi yang sangat tua. Akan tetapi, apakah syair yang ditulis oleh orang-orang Arab itu sama dengan syair-syair masa kini dilihat dari pola dan kaidahnya, Hamka tidak menjelaskan secara rinci. Karena menurut A Teeuw (Shair Ken Tambuhan, 1966), dalam hubungannya dengan ragam sastra di dunia Melayu, syair diciptakan pertama kali sekitar tahun 1600-an oleh Hamzah Fansuri.

Meski demikian, yang lebih jelas adalah kenyataan bahwa sejak dahulu kala, syair sudah dibuat dan merupakan hasil dari tradisi tulis, bukan lisan. Bahwa syair berasal dari Arab, dibenarkan oleh Dick Hartoko dan B Rahmanto (Pemandu di Dunia Sastra, 1986). Hooykaas pun menegaskan perihal fungsi syair yang berhubungan dengan aspek pengajaran.

Syair bukan pantun

Secara konvensional, syair terdiri atas empat larik yang berima dengan sebuah huruf hidup atau vokal ditambah dengan huruf mati atau konsonan, atau sebaliknya, konsonan dengan vokal. Dalam pengertian sederhananya, pola syair dikatakan sebagai mempunyai rima a-a-a-a.

Setiap baris, menurut Hooykaas, sekurang-kurangnya harus berjumlah delapan suku kata, ”mendapat empat kali tekanan suara, dan biasanya tidak lebih dari sebelas suku kata”. Meski demikian, aturan yang sedemikian itu banyak perkecualiannya.

Apabila syair pada hakikatnya adalah salah satu bentuk karya puisi dalam tradisi tulis maka sebaliknya, pantun, sesungguhnya berasal dari suatu komunikasi bersastra dalam tradisi lisan. Bentuk pantun yang lazimnya terdiri atas sampiran (larik pertama dan kedua) serta isi (larik ketiga dan keempat) dengan pola persajakan a-b-a-b tentu tidak hanya mengindikasikan bahwa pantun adalah ”jenis puisi lama” sebagaimana secara simplistis sering dipakai oleh para penyusun kamus istilah sastra untuk mendefinisikan pantun.

Pantun pada hakikatnya merepresentasikan suatu bentuk komunikasi lisan yang saling berbalas atau bersahut, atau juga mengarah kepada suatu penerusan ujaran yang manasuka tetapi berjalinan. Dengan pengertian lain, pantun yang mewadahi suatu komunikasi bersahutan atau berbalasan akan mengekspresikan suatu pola yang mengulang beberapa larik, biasanya dua larik, dari pantun yang sudah diujarkan terlebih dahulu.

Penggalan pantun—biasanya berupa sampiran—yang dapat diteruskan dengan cukup mudah akan memicu lahirnya baris ketiga dan keempat.

Kenyataan seperti ini jelas berbeda dengan syair yang hampir tidak memungkinkan adanya penerusan baris-baris. Karena payung utama syair yang berupa mitos, sejarah, ataupun juga ide-ide tertentu, bukan milik kolektif melainkan individual.

Jika dasar kata ”penyair” adalah ”syair”, sedangkan amat sedikit dari mereka pernah menulis syair, masih layakkah istilah ini dipertahankan?

Beberapa tahun lewat pernah ada yang mencoba memakai istilah ”penyajak” atau ”pemuisi”, tetapi agaknya kurang mendapat tempat di sini. (Di Malaysia, istilah ini agaknya lebih diterima).

Istilah ”penyajak” atau ”pemuisi” tidak ada salahnya kalau coba kita pakai lagi. Sebagai golongan yang sangat berutang kepada kata, saatnya kini untuk membayarnya dengan memilih kata atau istilah yang tepat.

Bagaimana, hai para penyajak, atau para pemuisi?

* Ibnu Wahyudi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 November 2008

Situs Purbakala: Situs Cengkuk, Pusat Budaya Zaman Megalitik

Sukabumi, Kompas - Sejumlah barang ditemukan di Situs Megalitik Cengkuk, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penemuan itu menguatkan dugaan Cengkuk pernah menjadi pusat kebudayaan zaman megalitik yang terus berlanjut hingga zaman logam.

”Sepanjang tahun 2008, secara tidak disengaja, ditemukan sejumlah benda di kawasan tersebut,” kata Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi Nung Nurhayati, Kamis (27/11).

Benda-benda yang ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 2008 antara lain pipa rokok, gentong dari tanah, dan mangkuk dari porselen. Sebelumnya, di situs itu, tahun 2007 ditemukan genta dari perunggu dengan ukiran motif India, cawan tempat perhiasan, potongan patung kaki burung dari emas, dan potongan patung dewa syiwa. Benda-benda tersebut bukan peninggalan zaman megalitik, yang berarti kehidupan masyarakat terus berlanjut di sekitar Situs Cengkuk.

Pada zaman kolonial Belanda, di kawasan tersebut ditemukan sejumlah batu besar yang diduga untuk kegiatan ritual peninggalan zaman megalitik. Benda-benda tersebut tersebar di lahan seluas dua hektar.

Hasil penemuan dua tahun terakhir ini, kata Nurhayati, makin menegaskan bahwa Cengkuk pernah menjadi pusat budaya pada zamannya. Pipa rokok yang baru saja ditemukan, misalnya, berbahan baku tanah keras dengan lubang sebesar ibu jari orang dewasa. Pipa rokok itu memiliki panjang 20 sentimeter dan ditemukan pada kedalaman sekitar 20 sentimeter dari permukaan tanah.

Adapun tempayan yang ditemukan tingginya sekitar 60 sentimeter, lebar bagian leher sekitar 15 cm, lebar tengah 60 cm, dan lebar dasar 20 cm. Adapun mangkuk utuh dan serpihan berwarna keungu-unguan motif China serta tiga lonceng perunggu bermotif ukiran India menunjukkan masyarakat sekitar Situs Cengkuk dulu sudah berinteraksi dengan masyarakat luar. (AHA)

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 November 2008

Andrea Hirata Luncurkan “Maryamah Karpov”

-- Mila Novita

Jakarta - Di hadapan ratusan pengunjung yang memadati ruang terbuka MP Book Point, Cipete, Jakarta Selatan, Jumat (28/11) malam, aktor monolog Iman Soleh berdiri, membacakan buku karya Andrea Hirata yang masih hangat meluncur, Maryamah Karpov.

Di hadapannya ada selembar kertas, ia pun mulai membacanya, “Bus Bang Zaitun adalah GMC besar serupa roti. Tempat duduk depan amat panjang, jika didesak-desakkan bisa muat lima orang, termasuk sopir. Kisahnya setelah melikuidasi alat-alat orkes Pasar Ikan Belok Kiri ditambah dengan pinjam uang kiri-kanan, ikutlah Bang Zaitun dalam lelang mobil eks Meskapai Timah yang telah tamat riwayatnya itu. Mobil itu dulu dipakai untuk antar-jemput siswa-siswi sekolah Meskapai Timah.” Pembacaan selesai. Pengunjung pun bertepuk ceria.

Namun, pengunjung yang menyesaki toko buku itu datang bukan untuk menghadiri pementasan Iman Soleh. Sekali pun, penampilan dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia-STSI Bandung itu menjadi bagian penting pada rangkaian acara malam itu.

Tak bisa dielakkan lagi, para pengunjung, memang lebih menantikan “bapak” dari tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata, yang malam itu meluncurkan karya pamungkasnya, Mimpi-mimpi Lintang: Maryamah Karpov, buku terakhir dari Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor.
Iman Soleh membawakan Mozaik 11 dari novel Maryamah Karpov setebal 504 halaman itu yang dijual seharga Rp 79.000. Suara Iman Soleh pun menderu, meningkahi naskah dari buku yang dia bacakan, seperti suara bus Bang Zaitun yang diberi nama Dendang Gembira Suka-suka. Iman menjadi aku, si Ikal, yang menggambarkan Bang Zaitun sebagai pencinta sejati musik, “Musik dalam pandangannya, lebih dari sekadar hiburan.” Demikian gaya bahasa Andrea tentang musik, telah dibaca oleh Iman.

Menepati Janji

Andrea muncul setelah penampilan pembacaan itu. Dia tampil bersama dengan penulis skenario film Laskar Pelangi Salman Aristo, produser Putut Widjanarko, pemeran ayah Ikal di film, Mathias Muchus, dan pemeran Ibu Mus, Cut Mini.

“Setelah hampir dua tahun ditanya terus, pagi, siang, malam, akhirnya untukmu kawan, kupersembahkan Maryamah Karpov,” Andrea menyapa dengan bahasa khasnya, seperti di novel.

Lebih dari setahun lalu Andrea meluncurkan serial ketiga dari tetralogi ini, Edensor. Bukan karena kesulitan untuk menulis akhir dari perjalanan Ikal dalam pencarian cintanya, A Ling, maka Andrea butuh waktu selama itu.

Andrea mengungkapkan fenomena lain pemunculan karyanya. “Apabila waktunya digabungkan, mungkin (jarak antarbuku) tidak sampai satu bulan, tapi jeda di antaranya (penulisan) yang lama, terutama karena saya sangat menghormati kerja keras para sineas. Saya menjanjikan Maryamah Karpov akan terbit kalau (film) Laskar Pelangi sudah turun, tidak main lagi di bioskop. Dan sekarang, meskipun masih main, saya penuhi janjiku kawan, saya terbitkan malam ini,” kata Andrea.

Karya sastra bagaikan anak dari seorang pengarang. “Anak bungsu” Andrea ini sarat dengan muatan sosiologi Belitong, seperti Bang Zaitun tadi. Mengapa Andrea mamasukkan segmen Bang Zaitun si mantan pemain orkes Pasar Ikan Belok Kiri yang dikhianati organ tunggal, dan bahkan memilih adegan di naskah itu untuk dibacakan Iman Soleh dalam peluncurannya?

Tak lain tak bukan karena Andrea cinta musik. Ada banyak segmen musik yang diceritakan Andrea dalam tetralogi ini, dari Jim Morrison yang diceritakannya melalui karakter Arai di Edensor sampai dengan Bang Haji Roma Irama yang posternya terpampang di setiap kamar yang ditempati Ikal. Dan tidak mengejutkan jika pada peluncuran Maryamah Karpov, ia menyebutkan nama Slankers dalam persembahannya, selain dua keponakannya dan ibunya, Masturah. “Sebenarnya karya itu saya persembahkan untuk para Slankers karena saya mengagumi Slank. Mereka selalu mengatakan ‘work hard’,” katanya. “Bang Roma?” penonton penasaran. “Bang Roma pasti dong,” Andrea tertawa.

Kembali ke Titik Nol

Andrea mengaku kembali lagi ke titik nol, ketika ia menulis Laskar Pelangi. Ia sama sekali buta tentang sastra ketika itu, pengalaman menulis fiksinya nol besar. Laskar Pelangi pun ia buat awalnya bukan untuk diterbitkan, melainkan untuk Ibu Mus, karakter guru yang sangat inspiratif itu.

Ketika menulis Edensor, ada sedikit pengetahuan tentang novel dan sastra yang membuatnya terbebani. “Ketika menulis Maryamah Karpov, saya merem (tutup mata, red), pura-pura tidak tahu. Saya menulis dengan menangis, tertawa, menangis lagi, seperti ketika menulis Laskar Pelangi. Di suatu malam, saya tutup, saya ingat, saya seperti menulis Laskar Pelangi kedua,” kata Andrea.

Itu pula yang membuat Andrea merasa perlu banyak belajar. Sebuah pengalaman bagus ia dapatkan ketika soft launching Maryamah Karpov di Ubud Writers Festival 19 Oktober lalu. John Berendt, penulis Amerika Serikat yang mengarang Midnight in the Garden of Good and Evil, yang menulis 20 tahun baru menulis empat novel, sementara Andrea yang awalnya buta sastra dan baru menulis dalam empat tahun itu sudah menghasilkan empat novel. “Saya sedang mempertimbangkan dengan keras sekali untuk berhenti menulis. Saya musti banyak belajar, menulis buku bukan hal yang mudah,” katanya. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 29 November 2008

Menguji Sejarah "Puragabaya"

KETIKA novel dilabeli sebagai novel sejarah, keniscayaannya adalah bagaimana sesungguhnya sejarah di dalamnya dihadirkan. Terlebih lagi ketika sejarah itu merujuk pada suatu masa yang di belakang dengan segenap tabiat dan cara berpikir masyarakatnya, yang juga niscaya memiliki pertautan dengan lokalitas budayanya yang dalam beberapa jejak dan denyutnya masih terasa hingga hari ini. Di lain sisi pelabelan semacam ini juga kerap tergesa-gesa, seolah-olah setiap karya yang mengambil setting masa lalu itu begitu gampang diidentifikasi sebagai novel sejarah. Terlebih ketika sejarah itu diperiksa, terdapat sejumlah keganjilan yang tak sesuai dengan konteks sejarah masyarakatnya. Terutama dalam hal ini sejarah sosialnya.

Oleh karena itulah, ketimbang terlalu cepat melabeli salah satu karya sebagai novel sejarah, posisi sejarah di situ pertama-tama kembali harus ditelaah. Apakah ia sekadar setting yang melatari suatu cerita atau ia memang bertutur ihwal sejarah itu sendiri dengan segenap sudut pandang penafsirannya dalam bentuk fiksi, seperti temaktub dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang terkenal atau karya yang lain semacam Arus Balik. Inilah yang terjadi dengan Puragabaya, salah satu kisah dalam tiga novel karya Saini K.M. yang didiskusikan di aula Redaksi Pikiran Rakyat, Kamis (27/11).

Puragabaya yang pada 1970-an selama tujuh tahun merupakan cerita bersambung (cerbung) di Harian Umum Pikiran Rakyat dan banyak mendapat respons dari para pembaca, kali ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dalam tiga novel yang lumayan tebal, yakni Pangeran Anggadipati, Raden Banyak Sumba, dan Pertarungan Terakhir. Meski ketiga novel ini bisa disebut saling berdiri sendiri, terdapat persambungan kisahan di antara ketiganya.

Dalam ketiga novel ini, Saini K.M. mengambil setting masa kejayaan Kerajaan Pajajaran dengan pasukan khususnya, yakni Puragabaya. Mereka adalah para kesatria pilihan putra bangsawan Pajajaran yang disiapkan menjadi pengawal pribadi para pejabat kerajaan. Puragabaya dididik secara khusus di Padepokan Tajimalela yang berada di Hutan Larangan dan lokasinya amat dirahasiakan. Para Puragabaya dilukiskan sebagai lelaki sakti ilmu silatnya dan dengan hati dan perilakunya yang menyerupai pendeta.

Dengan setting kehidupan dan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran inilah penerbit lalu melabeli ketiga novel ini sebagai novel sejarah tentang tatar Sunda. Diskusi hari itu pun langsung menguji hingga di mana validitas pelabelan tersebut, sekaligus juga mencoba membaca lebih jauh ihwal gagasan kesadaran apa sesungguhnya yang hendak ditating oleh Saini K.M., dengan karyanya tersebut. Apakah benar ia memaktubkan sejumlah hal tentang sejarah Pajajaran dalam bungkus suatu cerita, atau ia hanya hendak bercerita tentang seluk-beluk dunia persilatan dengan bungkus dan setting sejarah kejayaan Pajajaran?

Pengajar Fakultas Sastra Unpad Teddi A. Muhtadin melihat bahwa ketiga novel ini hadir dengan kerjenihan dan ketertiban bahasa khas Saini K.M. Kejernihan bahasa Saini semacam ini dalam pembacaan Teddi A. Muhtadin agaknya memiliki alasannya ketika bagaimana sejumlah adegan dan jurus-jurus silat dirasionalisasikan. Namun, di lain sisi, ia cenderung menyebut bahwa Puragabaya sesungguhnya lebih layak disebut sebagai cerita silat dengan setting sejarah ketimbang novel sejarah itu sendiri. "Terutama dalam Raden Banyak Sumba dan Pertarungan Terakhir saya mulai terganggu oleh adanya sejumlah adegan yang lebih mencerminkan perilaku manusia masa kini. Artinya, ada beberapa bagian yang tidak betul-betul mencerminkan situasi Pajajaran ketika itu," ujarnya.

**

SENADA denganTeddi A. Muhtadin, Prof. Jakob Sumardjo lebih tegas menyebut bahwa Puragabaya bukanlah novel sejarah, melainkan novel silat. Sebagai novel silat, Puragabaya juga tidaklah bisa diidentikkan dengan novel para samurai Jepang seperti Musashi atau cerita-cerita silat Cina. Di situ kehidupan para pendekar berada dalam persaingan yang selalu saling memusnahkan (membunuh). Inilah yang membedakan Puragabaya dari cerita-cerita silat lainnya.

Lewat tokoh Anggadipati, Saini K.M. merepresentasikan bagaimana dan apa filosofi silat Sunda, yakni silat yang tidak berpretensi menghabisi lawannya. Alih-alih memamerkannya, para pesilat Sunda tidak pernah memperlihatkan kemampuannya, bahkan kalau bisa ia menghindari pertarungan yang dianggap tidak perlu. Namun, seperti juga disebut oleh Teddi A. Muhtadin, bahasa Saini yang merasionalisasikan jurus-jurus silat, Jakob Sumardjo memandang bagaimana Saini K.M. tidak tertarik untuk melukiskan narasi perkelahian silatnya.

"Adegan-adegan ini hanya digambarkan dalam halaman yang terbatas, jadi berupa narasi pendek. Padahal silat justru merupakan seni narasi yang memikat, dialog ’menjual’ dan ’membeli’, ’bertanya’ dan ’menjawab’," kata Jakob memaparkan.

Pada bagian lain ia pun mengkritisi segenap deskripsi sejarah dan adegan dalam ketiga novel tersebut, yang dalam pandangannya tidak sesuai dengan fakta-fakta sejarah. Paling tidak "fakta" seperti mengemuka dalam pantun-pantun Sunda, dari mulai kehidupan sehari-hari masyarakat, cara berpakaian, kepercayaan, tata krama, sampai arsitektur kerajaan dan tata ruangnya.

Memang benar, menurut Jakob, gambaran kota-kota kerajaan di daerah utara dan barat Sunda lebih maritim dan terdapat banyak perampok ketimbang daerah timur serta selatan yang merupakan daerah pertanian huma. Pemberontakan Galuh adalah tafsir yang cerdas atas perbedaan karakter kedua daerah ini. "Tapi yang jadi pertanyaan ketika digambarkan bahwa kaum pemberontak bangsawan Galuh ini juga menyebarkan tulisan-tulisan semacam pamflet pada rakyat untuk mendukung pemberontakan atas Pajajaran, terasa adanya bias pengalaman Angkatan `66 masuk ke dalam novel," ungkap Jakob, seraya menyebut sejumlah bias kehidupan modern lainnya yang terdapat dalam beberapa adegan, termasuk ketika Anggadipati menyelinap ke dalam keputren yang mengingatkan orang ketika Romeo menemui Juliet.

"Jilid pertama novel ini, Pangeran Anggadipati merupakan bagian yang terbaik. Tetapi dua jilid selanjutnya digarap berlarut-larut hanya untuk menceritakan bagaimana Banyak Sumba mengembara untuk mencapai balas dendamnya pada Anggadipati. Dua jilid tebal yang berlarut-larut ini oleh Sutarji Calzoem Bachri pernah dikomentari, ’Puragabaya remnya blong!’" ucap Jakob.

Diskusi kemudian mencoba lebih menelaah masuk korelasi antara karya dan pengarang serta konteks masa ketika Puragabaya terbit sebagai cerita bersambung di tahun 1970-an. Dalam pandangan Abdullah Mustappa, Puragabaya memang terlalu jauh jika hendak dikonotasikan dengan sejarah Pajajaran. Terlebih pada 1970-an itu, informasi ihwal Pajajaran itu amat langka. Karena itulah, agaknya, Puragabaya lebih merupakan idealisasi Saini K.M. yang merujuk pada kehidupan para kesatria Inggris.

Jarak yang jauh antara Puragabaya dan sejarah Pajajaran memang bisa dipahami, sebab, menurut Usep Romli, Saini K.M. bukanlah orang yang punya latar belakang sejarah. Ia sependapat dengan Jakob Sumardjo bahwa ketiga novel Saini K.M., memang lebih menekankan pada genre novel silat.

Diskusi pun akhirnya memberi penanda yang menarik pada salah satu ciri Puragabaya, yakni ia diharamkan berpolitik dan ikut campur dalam urusan negara. Semata-mata tugasnya adalah sebagai fungsi pertahanan. Kenyataan ini amat berbeda dengan konteks Indonesia pada 1970-an itu ketika tentara, atas nama dwifungsi, memasuki lapangan politik. Sayup-sayup terbaca, inilah cara Saini K.M. mengkritisi realitas yang terjadi di sekelilingnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 November 2008

Thursday, November 27, 2008

Generasi Muda Kurang Peduli Budaya Sendiri

JAKARTA, RABU - Rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya kurang tertanam di generasi muda Indonesia saat ini. Minat mereka untuk memperlajarinya kurang. Mereka lebih tertarik belajar kebudayaan asing. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia. Padahal Indonesia memiliki tujuh warisan budaya, tiga di antaranya warisan budaya dunia.

Seorang wisatawan mancanegara sedang menikmati keindahan Candi Borobudur. (TPG IMAGES)

Demikian benang merah yang diungkapkan Koordinator IndoWYN Lenny Hidayat, Program Specialist Unesco Office, Jakarta, Masanori Nagaoka, dan Wakil Koordinator IndoWYN Hindra Liu, pada jumpa pers Pelatihan dan Pendidikan Warisan Budaya untuk Kaum Muda Indonesia. Rabu (26/11) di Jakarta.

Pelatihan dan Pendidikan Warisan Budaya untuk Kaum Muda Indonesia itu, dilangsungkan di Villa Amitayus, Puncak, 28-30 November, diikuti 35 anggota IndoWYN, Jaringan Kaum Muda Peduli Warisan Budaya Dunia Indonesia (Indonesia World Heritage Youth Network) .

Lenny Hidayat mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang menjadi warisan dunia seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Manusia Purba Sangiran. Walau sudah dikenal luas di dunia, namun masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak paham makna yang terkandung di dalamnya.

Contoh yang paling terlihat adalah Borobudur. Sudah 30 tahun masa restorasi berlalu, tapi masih saja minimnya informasi yang tersedia di situs tersebut. Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas untuk melestarikan budaya, hanya saja semua pengetahuan masih tersimpan rapi di generasi pendahulu. "Tidak ada lagi sumber pendidikan budaya yang bisa menjadi referensi kaum muda," katanya.

Selain Borobudur, Prambanan, dan Situs Sangiran, empat warisan dunia lainnya yang ada di Indonesia adalah Pulau Komodo, Hutan Hujan Tropis Sumatera, Taman Nasional Lorenz, dan Taman Nasional Ujung Kulon. Ada 24 warisan budaya dalam daftar tentatif Pemerintah Indonesia untuk diajukan sebagai warisan dunia.

Masanori Nagaoka mengatakan, terdaftarnya suatu situs budaya dalam daftar warisan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah awal upaya pelestarian untuk generasi berikutnya. Unesco yang diberi mandat untuk membantu pemerintah dan rakyatnya dalam upaya perlindungan terhadap situs-situs warisan dunia, siap membantu pemerintah Indonesia memperkuat kapasitas dalam hal manajemen situs-situs warisan dunia yang ada di Indonesia, katanya.

Hendra Liu menambahkan, Pelatihan dan Pendidikan Warisan Budaya untuk Kaum Muda Indonesia, khususnya anggota IndoWYN, diharapkan bisa menggugah kepedulian generasi muda dan pemangku kepentingan, untuk melestarikan warisan budaya dunia di Indonesia.

Tindak lanjutnya, anggota jaringan IndoWYN akan melatih anggota lainnya dan memberikan presentasi di sekolah-sekolah terdekat. "Selain itu, IndoWYN akan terus aktif memberikan masukan dan kontribusi ke pemangku kepentingan," katanya.

Tahun 2009, IndoWYN akan melakukan riset sosial dan persepsi terhadap warisan budaya Indonesia. Kontribusi ke usaha pengadopsian warisan budaya sebagai kurikulum sekolah. Kemudian membuat buku dokumentasi foto-foto borobudur kolaborasi dengan para fotografer Indonesia.

Yurnaldi

Sumber: kompas.com, Rabu, 26 November 2008