Friday, November 14, 2008

Nabil Award bagi Mary Somers dan Leo Suryadinata

Setelah memberikan penghargaan kepada Dr Claudine Salmon dari Prancis pada 2007, Yayasan Melly-Eddie Lembong untuk Nation Building (Nabil), untuk kedua kalinya, memberikan Nabil Award kepada kalangan yang dinilai telah berjasa memberikan sumbangan dalam proses pembangunan kebangsaan (nation building) di Indonesia.

Leo Suryadinata (www.chengho.org)

Penghargaan kali ini diberikan kepada Dr Mary Somers Heidhues, seorang ilmuan sosial dari Jerman dan Prof Dr Leo Suryadinata dan seorang penulis berdarah Tionghoa yang telah menyumbangkan pemikirannya tentang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia yang dikenal sebagai kaum minoritas.

Mary Somers Heidhue (swww.brucesellscars.com)

Mary Somers Heidhues adalah seorang peneliti profesional yang sejak tahun 1961, konsisten menulis tentang masalah etnik Tionghoa di Indonesia. Karya awal Mary menjadi disertasi doktoralnya yang diberi judul Peranakan Chinese Politics in Indonesia. Karya ini secara komprehensif menggambarkan tentang masyarakat Tionghoa pada zaman revolusi dan partisipasi, serta representasinya dalam arena politik di Indonesia dari abad 20 hingga awal 1960-an.

Perhatian Marry beralih pada komunitas Tionghoa yang cukup besar di daerah pedesaan, seperti Bangka dan Kalimantan Barat, yang sangat berbeda dengan etnis Tionghoa di Jawa yang kebanyakan merupakan kaum urban dan minoritas.

Kajiannya mengenai Bangka dan Kalimantan Barat mem- berikan sumbangsih yang berharga tentang komunitas yang penting, namun sangat sedikit diketahui perannya dalam daerah dan masyarakat lokal di mana mereka hidup.

Dengan demikian, sesuai tema Nabil Award 2008 yang bertemakan "Nation Building melalui Penyilangan Antarbudaya", maka karya-karya Marry dianggap sangat mengena, mengingat dua daerah tersebut adalah contoh terbaik penyilangan antarbudaya.

Hingga Oktober 2008, Mary sudah telah menghasilkan 60 judul karya ilmiah yang terbit antara 1960 dan 2007. Pada umumnya, karya Mary merupakan kajian atas etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan khususnya Indonesia.

Sedangkan, Leo Suryadinata selama 45 tahun karier akademisnya, pemilik gelar Doktor dari Universitas Indonesia dan salah satu universitas di Amerika ini secara terus menerus berkarya hingga berhasil menempatkan diri sebagai sumber rujukan utama bagi hal ihwal etnis Tionghoa di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, dalam budaya politik Indonesia, etnisitas dan identitas, serta hubungan internasional Tiongkok di Association of South East Asian Nation (ASEAN).

Pemikiran-pemikirannya mengenai hal ihwal kelompok minoritas misalnya, tertuang dalam puluhan karyanya, diantaranya berjudul Peranakan Chinese Politics in Java, The Chinese Minority in Indonesia, dan Political Thinking of The Indonesian Chinese, serta masih banyak lagi.

Kepedulian Leo tentang masalah Nation Building dalam relasinya dengan Indonesia dan etnis Tionghoa terentang di hampir semua karyanya.

[DHF/WWH/M-15]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 14 November 2008

No comments: