[JAKARTA] Bahasa Indonesia mengalami kekeringan makna. Sebab, bahasa yang dituturkan dalam pemakaian formal sering kali tidak dibarengi dengan tindakan. Akibatnya, makna berbahasa menjadi tereduksi dan tidak jujur.
"Perhatikan pemakaian bahasa para pemimpin yang kemudian tidak dibarengi dengan tindakan. Bahasa formal yang diucapkan kerap tidak menggunakan hati dan kejujuran. Inilah yang mereduksi makna yang terkandung dalam bahasa itu," kata budayawan Mudji Sutrisno SJ, kepada SP, di sela-sela penutupan "Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional, Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa", di Jakarta, Jumat (31/10).
Mudji menuturkan, bahasa yang digunakan para pemuda bangsa saat menyatakan tekad dalam Sumpah Pemuda merupakan bahasa yang diucapkan dengan hati. "Itulah bahasa kejujuran, karena di balik bahasa itu ada tindakan luhur yang dilakukan," ujar pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara ini.
Dia menegaskan, pembelajaran bahasa yang terbaik adalah dari orangtua. "Merekalah yang sebenarnya mengajarkan bagaimana kita berbahasa dengan tidak mereduksi makna. Sementara itu, guru bahasa Indonesia di sekolah merupakan penyempurnaan pembelajaran bahasa. Bangsa ini harus mulai mengubah pola pikir agar mampu berbahasa dengan baik, yakni berbahasa dengan jujur," ucapnya.
Kurang Peduli
Sementara itu, Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono, meminta guru menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saat mengajar di sekolah. Selama ini, katanya, perhatian terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik hanya dilakukan oleh guru bidang studi bahasa Indonesia, sedangkan guru bidang studi lainnya cenderung kurang peduli.
Dia mencontohkan, bahasa yang digunakan siswa ketika membahas soal bidang studi sains cenderung tidak formal di kelas. "Seharusnya guru meminta murid berbahasa baik di sekolah ketika di dalam maupun di luar kelas," tuturnya.
Di sekolah, katanya, siswa mendapatkan 30 persen kemampuan berbahasa. Selebihnya, didapatkan melalui lingkungan. Karena itu, lanjutnya, orangtua memiliki peran yang sangat besar untuk membentuk kemampuan berbahasa dan berkomunikasi.
"Anak yang sering berdiskusi lebih pandai berkomunikasi dibanding anak yang sering menonton televisi," katanya. Ditanya apa rekomendasi hasil kongres ini, Dendy mengemukakan, peserta kongres bahasa meminta RUU Kebahasaan segera dirampungkan. [W-12]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 1 Nopember 2008
No comments:
Post a Comment