JAKARTA, KOMPAS - Ancaman yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini bukanlah teologi yang buruk, tetapi pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu- rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan. Bangsa Indonesia adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tetapi harus dibangun.
Pandangan itu disampaikan Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta, I Gusti Agung Ayu Ratih, ketika menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk, ”Kita, Sejarah dan Kebinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan”, Senin (10/11) malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato Kebudayaan digelar Dewan Kesenian Jakarta, memperingati hari jadi ke-40 Taman Ismail Marzuki.
Menurut Ayu Ratih, dalam arena pertarungan ini perlu dibangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru yang didambakan, dengan cita-cita politik yang jelas. ” Kita harus tegaskan posisi kita terhadap hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan kerangka tegaknya republik ini,” kata Ayu Ratih.
Dari perjalanan, penelitian, dan praksis yang dilakukan Ayu Ratih selama hampir 20 tahun, dia menjelaskan, Indonesia adalah sebuah cita-cita, hasil imajinasi ”liar” perorangan yang diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan politik kolektif. Keindonesiaan bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi rangkuman niat, harapan, dan kesepakatan yang dari masa ke masa berubah oleh perdebatan, pertentangan ideologi, dan pengabdian aspirasi-aspirasi tertentu.
Ayu Ratih berpendapat, pada saat proklamasi kemerdekaan, rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang demokratis, egalitarian, dan sejahtera.
Demokrasi tidak hanya dicapai di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Baik Soekarno dan Hatta, misalnya, memperjuangkan ”demokrasi ekonomi” dan ”sosialisme”. Pancasila sepenuhnya merupakan pakta buatan manusia yang memberikan prinsip-prinsip acuan hidup bersama sebagai suatu bangsa.
Bangsa Indonesia, lanjut Ayu Ratih, adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tetapi harus dibangun, misalnya melalui kampanye pemberantasan buta huruf atau penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia. Inilah hal fundamental dalam nasionalisme Indonesia.
Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya dalam hantarannya mengatakan, kerja demokrasi dewasa ini belum mencerminkan kecerdasan, kebijakan, dan kekayaan kolektif bangsa Indonesia seluruhnya, yang terdiri dari berbagai orang per orang, komunitas, dan budaya.
”Sesudah reformasi, sesudah demokrasi, kita memperjuangkan kembali kebebasan masyarakat dari kekuasaan yang berlebihan, yang tidak mendengar, dan tidak mampu atau tidak mau mengelola kebinekaan yang justru merupakan dasar dari konsensus eksistensial negara-bangsa Indonesia,” katanya. (NAL/LOK)
Sumber: Kompas, Rabu, 12 November 2008
No comments:
Post a Comment