-- Dick van der Meij*
NASKAH Indonesia merupakan suatu gejala global. Di seantero dunia terdapat koleksi naskah-naskah yang berasal dari Indonesia, baik di perpustakaan universitas, museum, dan di perpustakaan nasional. Tentu saja koleksi naskah penting dilestarikan, baik di perpustakaan maupun menjadi koleksi pribadi di Indonesia, tetapi keberadaan koleksi naskah Indonesia di luar negeri juga tidak kalah penting.
Keberadaan naskah di luar Indonesia sangat bermanfaat agar khazanah kesusastraan Indonesia dan terutama isinya dapat dipelajari oleh orang Indonesia maupun orang asing. Kalau keberadaan naskah terbatas pada negara asalnya dan jika terjadi suatu musibah—seperti tsunami di Aceh yang banyak memusnahkan manusia, tetapi juga khazanah naskah yang tersimpan di Beranda Mekah itu— sehingga kebudayaan tertulis terancam musnah. Akibatnya, tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan naskah-naskah tersebut. Kalau khazanah naskah tersebar di mana-mana tidak mungkin kekayaan karya leluhur ini akan rusak semuanya. Misalnya, contoh yang paling hebat dalam sejarah manusia adalah koleksi naskah terbesar di dunia yang ada di kota Aleksandria, Mesir, yang terbakar habis sehingga semua isi naskah itu hilang untuk selamanya.
Naskah Indonesia tidak hanya dibawa ke luar negeri oleh orang asing, tetapi juga oleh orang Indonesia sendiri. Itu yang terjadi dengan naskah-naskah, ataupun salinannya yang masih tersimpan di Afrika Selatan. Akhir- akhir ini memang semakin banyak diketahui pentingnya peran kelompok orang Melayu di Afrika Selatan asal Indonesia dalam menyebarkan kebudayaan Melayu, dan tentu saja juga kebudayaan Islam di negeri tersebut.
Untuk waktu cukup panjang, keberadaan naskah di Afrika Selatan tersebut sudah banyak diketahui, tetapi katalog naskahnya tidak tersedia. Hingga akhirnya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) menerbitkan Katalog Naskah: Koleksi Masyarakat Keturunan Indonesia di Afrika Selatan, yang disunting Mukhlis PaEni dan disusun oleh Drs Ahmad Rahman, M.Ag. dan Syahriah, M.Hum.
Kita perlu sangat berterima kasih kepada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata atas kepeduliannya terhadap kebudayaan leluhur ini. Katalog ini merupakan usaha terbaru tentang keberadaan naskah di Afrika Selatan. Katalog ini bagus, formatnya kecil, dan dihiasi foto naskah yang dibicarakan. Deskripsi naskah singkat, tepat dan menyebutkan judul, nomor, bahasa, jenis huruf (rata-rata Arab dan Jawi), nama pemilik, jumlah halaman, ukuran dan jenis kertas serta informasi lain seperti isi. Katalog ini merupakan alat yang baik untuk mendapatkan gambaran awal tentang masing-masing naskah dengan informasi yang paling dasar. Apakah naskah ini juga dapat dirisetkan di kemudian hari tidak menjadi jelas, sayangnya. Tentu saja katalog ini merupakan langkah awal dalam usaha berkelanjutan untuk menggali, memetakan, dan mempelajari naskah masyarakat keturunan Indonesia di Afrika Selatan.
Koleksi pribadi
Sebagaimana terjadi juga dengan katalog-katalog lain yang baru-baru ini terbit tentang naskah Aceh, Minangkabau, dan Palembang, keberadaan naskah- naskah tersebut banyak sekali yang tersimpan sebagai koleksi pribadi. Mukhlis PaEni memang paling berpengalaman berkaitan dengan keberadaan naskah koleksi pribadi di Sulawesi Selatan. Hal ini ia lakukan sewaktu menyusun katalog tentang naskah- naskah di daerah tersebut yang jumlahnya lebih dari 4.000 buah. Naskah pribadi biasanya tidak banyak diketahui keberadaannya sehingga peta kita tentang dunia naskah Indonesia, walaupun sudah mulai makin baik, masih tetap bersifat sementara.
Katalog ini berisi 114 naskah dari koleksi pribadi 12 keluarga Melayu keturunan Indonesia di Cape Town, SimonsTown, dan Port Elisabeth. Semua naskah membicarakan aspek-aspek agama Islam sehingga klasifikasi yang dibuat dalam katalog ini terdiri atas pengelompokan Al Quran, Doa, Tasawuf, Fikih, dan Tauhid, serta ilmu-ilmu Islam yang lain. Menarik untuk melihat bahwa jumlah naskah Doa dan Tauhid jauh lebih besar daripada naskah tema lain. Hal ini mungkin merujuk ke tradisi agama yang praktis dan lebih banyak dianut masyarakat diaspora. Naskah berisikan kesusastraan Melayu Islam sama sekali tidak ada dalam katalog ini. Keberadaan naskah berisikan topik selain topik Islam ini belum dicatat dalam katalog lain, tetapi mungkin saja juga ada di Afrika Selatan. Naskah seperti Isra' Mi'raj dan Nabi Bercukur pasti juga ada di Afrika Selatan karena merupakan teks yang penting dalam kehidupan orang Muslim dahulu maupun sekarang. Di Indonesia naskah ini banyak sekali ditemukan dan terutama Isra Mi’raj merupakan topik yang sering dibahas. Secara politik Isra Mi’raj juga penting karena topik ini sering digunakan sebagai bahan pidato pejabat atau tokoh-tokoh di Indonesia untuk menyampaikan pesan bagi masyarakat Indonesia yang biasanya dibawakan pada 26 Rajab. Mungkin saja hal ini juga terjadi di Afrika Selatan.
Sejarah keberadaan naskah- naskah Nusantara di Afrika Selatan tersebut masih gelap, tetapi diperkirakan bahwa naskah tersebut dibawa ke Afrika Selatan oleh tokoh-tokoh Indonesia yang masih belum banyak diketahui peranannya dalam penyebaran agama Islam ke Afrika Selatan, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari, Imam Abdullah bin Kadi Abdussalam, alias Tuan Guru dari Kesultanan Tidore, Imam Abdul Karim bin Imam Jalil bin Imam Ismail, alias Tuan Ismail Dea Malela dari Kesultanan Sumbawa, dan Syekh Abdurrahman Matibisa dari Sumatera Barat. Mungkin saja dalam perjalanan sejarah masih banyak orang Nusantara lain yang juga membawa naskah-naskah Nusantara ke sana.
Kebudayaan Melayu
Lintasan sejarah tokoh yang paling terkenal di antara mereka adalah Syekh Yusuf al-Makassari, dipaparkan oleh editor buku ini. Syekh Yusuf al-Makassari, tokoh bangsawan Sulawesi Selatan ini, lahir pada tanggal 3 Juli 1626. Ibunya seorang wanita Makassar, sedangkan ayahnya seorang pedagang Arab yang bernama Abdul Khaidir. Asal usul Syekh Yusuf masih agak gelap dan perlu diteliti kembali secara lebih terperinci. Pentingnya, Syekh Yusuf berkelana di seantero dunia Islam pada zamannya, khususnya ke Mekkah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Ia pulang ke Nusantara tahun 1672, tetapi tidak ke Sulawesi Selatan, melainkan ke Banten di mana ia menjadi mufti di bawah sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa. Waktu Banten mengalami konflik dengan VOC (Belanda). Syekh Yusuf sangat giat berperang melawan VOC sehingga tahun 1683 ia dibuang ke Seilon (Sri Lanka) yang waktu itu masih dikuasai orang Belanda juga. Belanda kurang puas dengan pembuangannya ke sana karena banyak orang Nusantara singgah di Seilon waktu pergi atau pulang dari Mekkah. Ia kemudian dibuang ke Afrika Selatan dan berpulang di sana, dan dikuburkan di Zandvliet, distrik Stellenbosch yang sekarang diketahui dengan nama Macassar Duinen (Bukit Makassar).
Hasil katalog sederhana ini diperoleh dari proyek singkat (Agustus-September 2006). Saya harap ada dana dan kemungkinan untuk menelusuri lebih mendalam keberadaan naskah Melayu/Nusantara di Afrika Selatan. Hal ini dilakukan dalam rangka revitalisasi kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan dunia, usaha ini akan sangat berharga untuk meningkatkan perhatian, penghargaan, dan pengetahuan dunia terhadap naskah Nusantara yang hebat ini. (Dick van der Meij, Center for the Study of Religion and Culture, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Sumber: Kompas, Senin, 17 November 2008
No comments:
Post a Comment