-- Sudarmoko*
BEBERAPA hari yang lalu, saya menerima sebuah surat elektronik dari Pak Umar Junus. Beliau menanyakan sesuatu yang tidak saya duga, meski saya telah memikirkannya sebelumnya, namun tidak sampai pada alasan yang ditanyakan. Kenapa saya memilih untuk menggunakan sebuah peta dalam buku saya, Roman Pergaoelan (Insist Press, Juli 2008), yang diambil dari sumber Belanda, dengan keterangan dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Pak Umar menjelaskan sedikit latar belakang pertanyaan itu. Sekitar tahun 1985, beliau ke Padang dan mencari peta Sumatra Barat, namun tidak ada informasi yang menghantarkannya untuk mendapatkan peta itu. Pertanyaan itu bagi saya sangat penting, meski saya tidak serta merta ingin membuat peta atau mencarinya. Peta dalam pandangan saya, adalah sebuah sumber informasi yang menerangkan dimana posisi saya, atau posisi sebuah tempat di antara tempat yang lain. Mungkin bukan hanya peta lokasi, namun juga peta sejarah, politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Jika ada yang tidak termaktub dalam sebuah peta, biasanya kita, orang atau benda atau tempat, kemudian bertanya, apakah saya atau tempat itu tidak masuk hitungan? Kemudian siapa yang memetakan? Adakah alasan politis atau yang lain? Dan banyak pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan peta.
Jawaban saya atas pertanyaan Pak Umar Junus itu mungkin tidak menggembirakan. Soal peta Sumatra Barat memang menjadi perhatian saya, tidak hanya untuk buku saya itu, namun juga persoalan yang saya hadapi ketika di Padang juga, susah sekali mencari peta, dan jika ada di toko buku, harganya sangat mahal. Sementara untuk mendapatkan peta yang diperbaharui secara ajeg juga sedikit susah. Dan saya juga menyukai sebuah bidang ilmu sosial yang lain, urban symbolism, yang di dalamnya juga membicarakan banyak hal mengenai kota, fenomena kota, semiotika landmark dan tata ruang, mental map, dan sisi-sisi kehidupan kota lainnya.
Di Belanda, dan beberapa kota yang lain, peta sangat mudah didapatkan, seperti di halte (bahkan ada beberapa tempat di sejumlah negara yang menyediakan layanan peta ini dalam bentuk online di halte-halte), tempat wisata, dan sebagian besar gratis, bahkan di internet setiap ada alamat seperti universitas atau informasi konferensi selalu disediakan peta dan rute perjalanan. Saya juga mengoleksi beberapa peta beberapa kota yang saya kunjungi. Untuk peta di buku saya, saya mendapatkannya di lampiran buku Westenenk, dan saya sangat menyukai itu, sebuah peta yang dicetak oleh biro perjalanan di Batavia. Saya lalu membandingkannya dengan peta di buku Rusli Amran (Pemberontakan Pajak) dan yang lainnya, namun akhirnya saya memutuskan untuk memakai peta dalam buku Westenenk itu.
Selain karena bagus, relatif lengkap nama-nama daerahnya, juga karena buku itu secara khusus berbicara tentang Bukittinggi dan Sumatra Barat. Selain itu juga memberikan konteks dalam buku saya dan buku Westenenk, dalam periode pembicaraan yang relatif berdekatan. Selain itu, sebenarnya saya ingin memberikan tambahan informasi, atau sekadar memberitahu bahwa Bukittinggi menjadi tempat yang mengesankan bagi banyak orang, terutama Belanda pada waktu itu, dan perjalanan yang dicatat oleh Westenenk setidaknya membuktikan hal itu.
Saya tidak tahu apakah keinginan saya ini dapat diterima atau tidak, namun pada akhirnya beberapa pertimbangan ini yang kemudian membuat saya memutuskan untuk mengambil peta itu dari sumber Belanda. Saya pikir Belanda selain rajin membuat catatan juga rajin dan cermat membuat peta, mungkin untuk kepentingan penjajahan atau juga untuk ilmu pengetahuan. Sementara kita (maksud saya kondisi yang terjadi di Sumbar dan daerah lain) mengabaikan hal ini. Karena itu mungkin juga potensi kita tak berkembang, berjalan tak tentu arah, mengulang-ulang hal yang sama.
Pertanyaan Pak Umar Junus ini membuat saya berpikir, bahwa banyak orang yang ternyata mengalami hal yang sama dalam memandang sebuah fenomena. Peta ternyata menghantarkan orang untuk kembali, atau mencari sesuatu yang belum ditemukan. Dan dalam konteks sejarah intelektual dan sejarah sastra, ternyata banyak hal yang belum saya eksplorasi dalam buku Roman Pergaoelan itu. Demikian juga dengan keterbatasan penafsiran yang saya miliki, kaitan antara satu persoalan atau tempat dengan persoalan atau tempat yang lain.
Sejarah intelektual di Sumatra Barat tidak bisa dilepaskan dari dukungan penerbitan buku-buku yang menjadi sarana utama dalam penyediaan bahan bacaan. Setelah pendidikan diperkenalkan, baik itu pendidikan berbasis agama maupun yang berbasis sistem barat, para lulusan itu kemudian tetap membutuhkan bacaan. Bacaan yang ada dan diterima dari daerah lain belum memuaskan dahaga ilmu dan informasi. Demikian juga dengan karya-karya para intelektual dan sastrawan belum sepenuhnya bisa diakomodir oleh penerbit-penerbit di luar Sumatra. Karena itulah, penerbitan di Sumatra Barat dan daerah lain seperti Medan, mendapatkan sambutan yang luar biasa.
Salah satu informasi yang belum saya olah, karena keterbatasan waktu dan tenggat dari penerbit, adalah sebuah biografi yang tidak banyak dibicarakan dalam sastra atau sejarah Indonesia. Judulnya “Pengalaman Seorang Perintis Kemerdekaan Generasi Terakhir Menempuh Tujuh Penjara”. Pengarangnya Maisir Thaib, atau biasa juga dikenal sebagai Martha. Salah seorang guru, aktivis pendidikan, dan aktivis politik pada masa sebelum kemerdekaan. Salah satu romannya berjudul Kamang Affair saya analisis dengan sederhana dalam buku saya, Roman Pergaoelan.
Biografi ini berisi banyak informasi yang berguna dan penting. Tentang pengalamannya sekolah di Normal Islam dan Islamic College, berkarir di dunia pendidikan di Kalimantan, aktivitasnya di PERMI, dan juga dalam proses kreatifnya mengarang yang kemudian karena kasus salah satu romannya, Leider Mr. Semangat, membawa Martha digelandang dari Kalimantan ke Bukittinggi untuk diadili di Landrood, dan kemudian divonis setahun enam bulan di Sukamiskin, Bandung. Cerita mengenai sekolah Normal Islam dan Islamic College di Padang ini cukup banyak dibahas oleh Martha. Dan informasi ini tampaknya dapat digunakan untuk menelusuri kembali sejarah pendidikan di Padang, dan dunia mahasiswa pada masa penjajahan. Banyak juga cerita lucu yang ditulis oleh Martha dalam buku ini.
Dari buku ini saya juga mendapatkan gambaran bagaimana kehidupan para mahasiswa pada masa penjajahan, kehidupan di penjara, tabiat para penjajah, baik Belanda maupun Jepang, dan masih banyak lagi. Ada satu bagian cerita di penjara Muaro Padang, yang menarik bagi saya, bahwa para tahanan harus berbaris dengan telanjang bulat, untuk bekerja dan makan, dan bagaimana ilustrasi ini memberikan sebuah gambaran kehidupan penjara pada masa itu yang sangat berat.
Perjumpaan Martha dengan banyak tokoh di penjara, sebagian besar adalah tahanan politik, seperti Dr. Haka (Ayah Buya Hamka) di penjara Bukittinggi, Nur Alamsyah, Samaun Bakri, dan tokoh-tokoh seperti Ilyas Yacub, dan sebagainya, terasa hadir dengan ilustrasi yang sederhana namun hidup. Martha dan nama-nama lain ini sebenarnya membuka peluang untuk kajian sejarah sosial dan pergerakan di Sumatra Barat. Tentu saja para ahli sejarah sedikit banyak telah merangkum nama dan peristiwa ini.
Namun masih dibutuhkan lagi kerja keras dalam memetakan dan menjelaskan bagaimana sejarah Sumatra Barat dalam seluruh sisinya. Pelurusan sejarah dan pencalonan pahlawan semakin marak. Namun masalahnya tidak begitu banyak informasi dari buku atau penelitian yang diupayakan untuk membuka informasi sejelas mungkin. Misalnya saja novel Bidadari Padri yang baru saja diterbitkan oleh Pustaka Republika belum banyak dibicarakan.
Di Sukamiskin Martha juga bertemu dengan Hasbullah Parinduri, atau Matu Mona, salah seorang penggiat sastra di Medan, yang menulis seri Rol Patjar Merah, sebuah kisah terkenal tentang Tan Malaka. Matu Mona dipenjara karena menerbitkan artikel Hadariah M dari Kalimantan berjudul “Suasana Kalimantan”. Dan ancaman untuk para penulis dan wartawan seperti Martha dan Matu Mona adalah artikel karet 153 bis, yang menjerat tulisan-tulisan yang dinilai provokatif dan subversif.
Kasus Matu Mona ini saya kira tidak kalah hebat dengan kasus Jassin yang juga mau melindungi pengarang Ki Panjikusmin. Dan ini juga menunjukkan dedikasi para penulis dan wartawan pada masa itu. Mungkin suatu saat akan ada yang mau meneliti dan membandingkan kasus Matu Mona dan Jassin ini dalam sejarah sastra kita.
Saya tidak tahu pasti apakah buku biografi ini banyak beredar atau tidak, tapi jarang saya baca dalam referensi sejarah atau sastra kita. Dicetak tahun 1982 oleh penerbit Syamsa di Padang, buku ini mungkin dapat menghangatkan pikiran dan imajinasi kita terhadap kehidupan aktivis dan pengarang pada suatu masa. Tulisan ini saya maksudkan untuk membuka ruang kemungkinan lain yang belum sempat saya olah dalam buku Roman Pergaoelan. Tersebab keterbatasan dalam banyak hal sehingga buku tersebut belum sepenuhnya memberikan gambaran yang lengkap tentang sejarah sastra di Sumatra Barat.
Karena saya merasa ketika buku tersebut selesai, banyak hal yang belum masuk di dalamnya, dan membuat saya terus berpikir tentang banyak hal tersebut. Demikian juga dengan referensi yang baru belakangan saya peroleh, seperti buku Martha tersebut, yang memberikan informasi tambahan yang sangat penting. Namun tentu saja ini akan menjadi sebuah pengalaman penting dalam menulis dan melakukan penelitian tentang sejarah sastra di masa datang.
Sejarah sastra, baik di Indonesia secara umum dan Sumatra Barat secara khusus, memang dalam kenyataannya masih belum terpetakan dan tercatat dengan baik. Semoga saja tulisan ini dan buku Roman Pergaoelan tersebut dapat membuka dan menambah referensi dalam sejarah sastra kita, walau hanya sekelumit.
* Sudarmoko, peneliti sastra Indonesia, pengajar di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unand, sedang menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Yongin, Korea.
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 09 November 2008
No comments:
Post a Comment