-- Wahyu D/Aju
Sebagian bahasa yang tersebar di Nusantara belum didokumentasikan sehingga dikhawatirkan akan punah.
“Entah apa maksud pemerintah, mungkin supaya singkat,” kata Johny ketika dihubungi SH saat sedang menyiapkan makalah literasi di sebuah acara di Bali, Kamis (5/9). Namun apa mau dikata, kalaupun diberi masukan bisa jadi pemerintah tetap bergeming dengan keputusannya.
Jumlah bahasa di Indonesia menurut versi etnologi ada 719, tapi 13 di antaranya sudah punah atau bahasa yang masih dituturkan tinggal 706.
Separuh atau 50 persen dari bahasa tersebut kini masih digunakan oleh para orang tua, tetapi anak-anak muda sudah tidak menggunakan bahasa ibu tersebut. Johny mencontohkan, bahasa Jawa kromo inggil yang sudah hampir punah karena saat ini hanya digunakan oleh para orang tua.
“Indikatornya penggunaan pada anak-anak. Kalau anak-anak sudah tidak memakai bahasa ibu, artinya bahasa itu sudah terancam. Kromo inggil di Jawa sudah tidak pakai lagi oleh anak-anak,” ia menambahkan.
Tentu saja kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran akan punahnya suatu bahasa setelah para orang tua tersebut meninggal nanti. Padahal, sebagian dari bahasa itu belum didokumentasikan. Kalaupun sudah ada yang mengabadikan dalam bentuk tulisan, kebanyakan dilakukan oleh para ahli dari luar negeri.
“Untuk budaya memang ada yang sudah didokumentasikan, tapi bahasa belum. Sebagian kecil masyarakat saja yang sadar untuk mendokumentasikan bahasa, adat istiadat, dan local wisdom atau kearifan lokal,” kata Johny.
Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila suatu bahasa sudah tidak dipakai lagi maka otomastis budayanya akan ikut hilang. Karena, bahasa merekam budaya itu. Misalnya, cara berpikir dan kearifan lokal dituangkan dalam bahasa. Sayangnya, banyak tata krama yang dituangkan dalam bahasa kini sudah hilang dan anak-anak muda tidak memakainya lagi.
Pendapat serupa dituturkan oleh antropolog dari Universitas Muhammadyah, Pontianak, Kalimantan Barat, Dr Zainuddin Isman. Ia menyatakan tradisi lisan masyarakat suku Dayak sangat banyak, tapi tidak sampai 2 persen yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Padahal kenyataannya, penutur sastra lisan di kalangan Suku Dayak Uud Danum di Kalbar yang masih hidup sekarang ini tidak lebih dari sepuluh orang.
Komunitas Dayak Uud Danum di Kalbar tersebar di Kecamatan Serawai dan Kecamatan Ambalau di Kabupaten Sintang, serta Kecamatan Menukung dan Kecamatan Ellahilir, Kabupaten Melawi. Tjilik Riwut (2003:63-64) menyebutkan Suku Dayak di Kalimantan terdiri dari tujuh suku, yaitu Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayaan, Dayak Iban atau Dayak Heban atau Dayak Laut, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan, dan Dayak Uud Danum.
Ketujuh suku terdiri dari 18 anak suku yang sedatuk, yang terdiri dari 405 suku kekeluargaan. Untuk mempermudah pemahaman, pembagiannya berdasarkan suku asal atau Dayak, suku besar, suku kecil, suku kekeluargaan.
Tetapi baru Suku Dayak Kayaan di pehuluan Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu yang sastra lisannya sudah didokumentasikan. Pendokumentasian dilakukan oleh Aloysius Ding, seorang biarawan Katolik yang bukunya sudah dicetak oleh pihak Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namanya Syair Lawe’ yang sekarang menjadi rujukan para antropolog dari dalam dan luar negeri.
Didokumentasikan
Sebagai solusi, menurut Zainuddin, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan kesadaran masyarakat Dayak untuk mendokumentasikan sastra lisan. Jika hanya mengandalkan para penutur, sangat sulit dilestarikan karena sumber kajian selalu berasal dari dokumen tertulis. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan mendorong upaya pendokumentasian sastra lisan, dengan tujuan akhir masyarakat Dayak terpacu untuk mencatatnya.
“Sastra lisan biasanya menggunakan gaya bahasa sastra yang sebagian besar tidak dimengerti generasi yang lebih muda. Hanya para penutur yang bisa menerjemahkan ke dalam bahasa profan karena setiap kata mengandung makna tersendiri,” kata dia.
Diakui, minat tulis yang rendah bisa memicu kepunahan sastra lisan dan kebudayaan setempat. Apalagi saat ini sebagian besar usia para penutur sudah uzur sehingga semakin mengancam hilangnya kebudayaan.
Untuk jalan keluarnya, Johny Tjia bersama SIL International menerapkan pengajaran di sekolah memakai bahasa ibu setempat. “Untuk belajar bahasa tulis akan lebih mudah memakai bahasa mereka sendiri. Itu dipakai sampai anak SD dan orang dewasa yang buta huruf seperti pada program kejar paket A. Isi pelajarannya juga memakai bahasa mereka sendiri,” jelas Johny.
Hal tersebut karena 10 persen saja orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa daerah atau bahasa pertama. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa kedua. Malah, di Papua ada lebih dari 200 bahasa, dan di Maluku lebih dari 100 bahasa.
Memang, bahasa Indonesia tetap perlu digunakan, dengan demikian bahasa ibu hanya dipakai sebagai jembatan untuk mengembangkan ketrampilan dan konsep anak. Metode lainnya adalah, kalau di suatu wilayah masih ada sepuluh orang tua yang menggunakan bahasa ibu, sebaiknya ditulis atau dibuat dalam bentuk audio visual. “Di Papua kami bikin buku tentang penyakit malaria dengan memakai bahasa setempat,” Johny mencontohkan.
Aceh Kembali Bangkit
Di Aceh, salah seorang budayawannya yang bernama Khairuddin, mengungkapkan budaya menulis pernah lama menghilang di Aceh, khususnya saat rezim Orde Baru berkuasa. Karena, saat itu warga Aceh kerap dicap sebagai pendukung DI/TII atau pendukung Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Ditiro.
“Saat itu tidak ada orang yang berani menulis kritis, hingga akhirnya budaya untuk menulis di Aceh tenggelam,” ungkap Khairuddin. Namun setelah Orde Baru tumbang, budaya menulis masyarakat Aceh kembali bangkit.
Penulis-penulis bermunculan untuk menyuarakan penderitaan rakyat akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. “Budaya tersebut terus meningkat hingga saat ini, bahkan masyarakat kecil sekarang sudah mulai menulis,” sebutnya.
Aceh terkenal dengan keunikan adat dan budayanya, di mana sulit dipisahkan dengan agama Islam. Ini bisa dilihat dari huruf tulisan yang digunakan masyarakat Aceh pada masa lalu. Sebagian besar buku pada masa kerajaan Aceh menggunakan huruf Arab Melayu atau biasa disebut huruf Jawi. Hurufnya huruf Arab, namun dibaca dalam bahasa Melayu.
“Buku itu biasanya tentang keagamaan, sejarah, dan hukum adat,” sebut Sulaiman Iskandar, pemerhati sejarah di Aceh.
Penggunaan huruf Arab Melayu atau Jawi untuk menulis awalnya dilakukan oleh para ulama di Aceh untuk menjelaskan tentang agama Islam.
Setelah agama Islam berkembang pesat di sana, huruf Jawi semakin sering digunakan terlebih setelah rakyat bisa membaca tulisan Arab. Bahkan saat pengajian di masjid, warga menggunakan huruf Arab Jawi. Namun, sejak 1873 ketika Belanda berusaha masuk Aceh, rakyat mulai meninggalkan kebiasaan menulis dan lebih memilih melawan Belanda.
“Warga juga mulai jarang mempelajari agama karena tinggal di hutan-hutan untuk menghindari tentara Belanda. Para ulama pun ikut memberikan perlawanan pada Belanda sehingga tidak lagi menulis,” ungkap Sulaiman.
Setelah Belanda pergi meninggalkan Aceh, penggunaan bahasa Jawi semakin jarang karena bahasa Melayu yang dulu menjadi bahasa persatuan kerajaan Aceh telah ditulis dengan huruf latin seperti saat ini. Masyarakat juga jadi malas menulis karena sudah terlalu lama meninggalkan kebiasaan tersebut.
Saat ini memang masih ada beberapa buku dalam bahasa Jawi, namun hanya digunakan oleh ulama sebab tidak semua orang Aceh dapat membaca huruf Jawi. “Sekarang orang sudah terbiasa dengan huruf latin,” sebut Sulaiman.
Tradisi Lisan
Pandangan berbeda dilontarkan oleh Ketua Umum (Ketum) Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar, yang memandang tradisi tulisan mengancam kelangsungan identitas bangsa, sementara tradisi lisan justru mampu melanggengkan suatu identitas.
Dalam perbincangan dengan SH, Jumat (6/9), ia mengungkapkan tradisi lisan memang tumbuh di lingkungan masyarakat adat. Tetapi jangan kemudian menganggap masyarakat adat buta huruf.
“Orang-orang yang berada di dalam masyarakat adat Melayu Riau ini bukannya buta huruf dan mengandalkan kelisanan. Mereka juga orang-orang yang terdidik, jadi tidak bisa kita katakan identik antara tradisi lisan dengan masyarakat adat.”
Pria yang pernah mengenyam pendidikan doktoral di Universitas Leiden, Belanda, ini menambahkan, tradisi lisan mengandalkan pada ingatan, sementara tradisi tulis mengandalkan pada bentuk-bentuk yang tertulis.
Pada generasi yang lahir sampai tahun 1970-an masih dirasakan pewarisan pengetahuan di lingkup keluarga dilakukan secara lisan melalui pengalaman langsung sehingga merasuk ke dalam diri kita.
“Nah, di keluarga sekarang pewarisan itu tidak ada lagi. Anak-anak tidak lagi mengandalkan orang tua untuk mewariskan pengetahuan dan pengalaman, tapi mengandalkan apa yang dipelajarinya di sekolah yang berwujud dalam bentuk tertulis,” katanya.
Saat ditanya mengapa masyarakat adat lebih terbiasa dengan tradisi lisan dibandingkan tulisan, Al Azhar menyebutkan, pertama, tradisi lisan dalam semua masyarakat sudah lahir atau sama usianya dengan manusia itu sendiri.
Kedua, Nusantara mengenal cukup banyak jenis tulisan, tapi tradisi ini hanya untuk segelintir orang yang berpendidikan. Maka dengan sendirinya tradisi baca tulis tidak pernah menyebar meluas ke Nusantara.
Ia menambahkan, tradisi lisan hidup di tengah masyarakat yang guyub, sedangkan tradisi tulis seperti mengasingkan orang ke ruang-ruang individu. Maka, individualisme didorong juga oleh mendalamnya tradisi tulis. Al Azhar memang mengakui manfaat tradisi tulis untuk merekam ilmu pengetahuan.
“Keuntungan tradisi tulis itu ialah, kalau sesuatu itu ditulis maka ia relatif hidupnya bertahan lama, terdokumentasi dengan baik. Kalau itu disimpan dalam memori penutur maka bisa hilang seiring meninggalnya orang yang mengingatnya,” katanya.
Sementara itu, pengamat tradisi lisan Riau yang juga Kepala Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Yoserizal Zein, menilai pertumbuhan tradisi lisan dan tulisan di daerah sama baiknya. Ketika ia masih menjadi Kepala Bidang di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau, kajian dan pendokumentasian tradisi lisan giat dilakukan.
Hanya saja tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat adat seperti sastra lisan, hukum ulayat, tata cara perkawinan, dan tradisi lainnya sangat banyak. (Junaidi Hanafiah/Deden Yamara)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 07 September 2013
Sebagian bahasa yang tersebar di Nusantara belum didokumentasikan sehingga dikhawatirkan akan punah.
“Entah apa maksud pemerintah, mungkin supaya singkat,” kata Johny ketika dihubungi SH saat sedang menyiapkan makalah literasi di sebuah acara di Bali, Kamis (5/9). Namun apa mau dikata, kalaupun diberi masukan bisa jadi pemerintah tetap bergeming dengan keputusannya.
Jumlah bahasa di Indonesia menurut versi etnologi ada 719, tapi 13 di antaranya sudah punah atau bahasa yang masih dituturkan tinggal 706.
Separuh atau 50 persen dari bahasa tersebut kini masih digunakan oleh para orang tua, tetapi anak-anak muda sudah tidak menggunakan bahasa ibu tersebut. Johny mencontohkan, bahasa Jawa kromo inggil yang sudah hampir punah karena saat ini hanya digunakan oleh para orang tua.
“Indikatornya penggunaan pada anak-anak. Kalau anak-anak sudah tidak memakai bahasa ibu, artinya bahasa itu sudah terancam. Kromo inggil di Jawa sudah tidak pakai lagi oleh anak-anak,” ia menambahkan.
Tentu saja kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran akan punahnya suatu bahasa setelah para orang tua tersebut meninggal nanti. Padahal, sebagian dari bahasa itu belum didokumentasikan. Kalaupun sudah ada yang mengabadikan dalam bentuk tulisan, kebanyakan dilakukan oleh para ahli dari luar negeri.
“Untuk budaya memang ada yang sudah didokumentasikan, tapi bahasa belum. Sebagian kecil masyarakat saja yang sadar untuk mendokumentasikan bahasa, adat istiadat, dan local wisdom atau kearifan lokal,” kata Johny.
Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila suatu bahasa sudah tidak dipakai lagi maka otomastis budayanya akan ikut hilang. Karena, bahasa merekam budaya itu. Misalnya, cara berpikir dan kearifan lokal dituangkan dalam bahasa. Sayangnya, banyak tata krama yang dituangkan dalam bahasa kini sudah hilang dan anak-anak muda tidak memakainya lagi.
Pendapat serupa dituturkan oleh antropolog dari Universitas Muhammadyah, Pontianak, Kalimantan Barat, Dr Zainuddin Isman. Ia menyatakan tradisi lisan masyarakat suku Dayak sangat banyak, tapi tidak sampai 2 persen yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Padahal kenyataannya, penutur sastra lisan di kalangan Suku Dayak Uud Danum di Kalbar yang masih hidup sekarang ini tidak lebih dari sepuluh orang.
Komunitas Dayak Uud Danum di Kalbar tersebar di Kecamatan Serawai dan Kecamatan Ambalau di Kabupaten Sintang, serta Kecamatan Menukung dan Kecamatan Ellahilir, Kabupaten Melawi. Tjilik Riwut (2003:63-64) menyebutkan Suku Dayak di Kalimantan terdiri dari tujuh suku, yaitu Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayaan, Dayak Iban atau Dayak Heban atau Dayak Laut, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan, dan Dayak Uud Danum.
Ketujuh suku terdiri dari 18 anak suku yang sedatuk, yang terdiri dari 405 suku kekeluargaan. Untuk mempermudah pemahaman, pembagiannya berdasarkan suku asal atau Dayak, suku besar, suku kecil, suku kekeluargaan.
Tetapi baru Suku Dayak Kayaan di pehuluan Sungai Mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu yang sastra lisannya sudah didokumentasikan. Pendokumentasian dilakukan oleh Aloysius Ding, seorang biarawan Katolik yang bukunya sudah dicetak oleh pihak Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namanya Syair Lawe’ yang sekarang menjadi rujukan para antropolog dari dalam dan luar negeri.
Didokumentasikan
Sebagai solusi, menurut Zainuddin, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan kesadaran masyarakat Dayak untuk mendokumentasikan sastra lisan. Jika hanya mengandalkan para penutur, sangat sulit dilestarikan karena sumber kajian selalu berasal dari dokumen tertulis. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan mendorong upaya pendokumentasian sastra lisan, dengan tujuan akhir masyarakat Dayak terpacu untuk mencatatnya.
“Sastra lisan biasanya menggunakan gaya bahasa sastra yang sebagian besar tidak dimengerti generasi yang lebih muda. Hanya para penutur yang bisa menerjemahkan ke dalam bahasa profan karena setiap kata mengandung makna tersendiri,” kata dia.
Diakui, minat tulis yang rendah bisa memicu kepunahan sastra lisan dan kebudayaan setempat. Apalagi saat ini sebagian besar usia para penutur sudah uzur sehingga semakin mengancam hilangnya kebudayaan.
Untuk jalan keluarnya, Johny Tjia bersama SIL International menerapkan pengajaran di sekolah memakai bahasa ibu setempat. “Untuk belajar bahasa tulis akan lebih mudah memakai bahasa mereka sendiri. Itu dipakai sampai anak SD dan orang dewasa yang buta huruf seperti pada program kejar paket A. Isi pelajarannya juga memakai bahasa mereka sendiri,” jelas Johny.
Hal tersebut karena 10 persen saja orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa daerah atau bahasa pertama. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa kedua. Malah, di Papua ada lebih dari 200 bahasa, dan di Maluku lebih dari 100 bahasa.
Memang, bahasa Indonesia tetap perlu digunakan, dengan demikian bahasa ibu hanya dipakai sebagai jembatan untuk mengembangkan ketrampilan dan konsep anak. Metode lainnya adalah, kalau di suatu wilayah masih ada sepuluh orang tua yang menggunakan bahasa ibu, sebaiknya ditulis atau dibuat dalam bentuk audio visual. “Di Papua kami bikin buku tentang penyakit malaria dengan memakai bahasa setempat,” Johny mencontohkan.
Aceh Kembali Bangkit
Di Aceh, salah seorang budayawannya yang bernama Khairuddin, mengungkapkan budaya menulis pernah lama menghilang di Aceh, khususnya saat rezim Orde Baru berkuasa. Karena, saat itu warga Aceh kerap dicap sebagai pendukung DI/TII atau pendukung Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Ditiro.
“Saat itu tidak ada orang yang berani menulis kritis, hingga akhirnya budaya untuk menulis di Aceh tenggelam,” ungkap Khairuddin. Namun setelah Orde Baru tumbang, budaya menulis masyarakat Aceh kembali bangkit.
Penulis-penulis bermunculan untuk menyuarakan penderitaan rakyat akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. “Budaya tersebut terus meningkat hingga saat ini, bahkan masyarakat kecil sekarang sudah mulai menulis,” sebutnya.
Aceh terkenal dengan keunikan adat dan budayanya, di mana sulit dipisahkan dengan agama Islam. Ini bisa dilihat dari huruf tulisan yang digunakan masyarakat Aceh pada masa lalu. Sebagian besar buku pada masa kerajaan Aceh menggunakan huruf Arab Melayu atau biasa disebut huruf Jawi. Hurufnya huruf Arab, namun dibaca dalam bahasa Melayu.
“Buku itu biasanya tentang keagamaan, sejarah, dan hukum adat,” sebut Sulaiman Iskandar, pemerhati sejarah di Aceh.
Penggunaan huruf Arab Melayu atau Jawi untuk menulis awalnya dilakukan oleh para ulama di Aceh untuk menjelaskan tentang agama Islam.
Setelah agama Islam berkembang pesat di sana, huruf Jawi semakin sering digunakan terlebih setelah rakyat bisa membaca tulisan Arab. Bahkan saat pengajian di masjid, warga menggunakan huruf Arab Jawi. Namun, sejak 1873 ketika Belanda berusaha masuk Aceh, rakyat mulai meninggalkan kebiasaan menulis dan lebih memilih melawan Belanda.
“Warga juga mulai jarang mempelajari agama karena tinggal di hutan-hutan untuk menghindari tentara Belanda. Para ulama pun ikut memberikan perlawanan pada Belanda sehingga tidak lagi menulis,” ungkap Sulaiman.
Setelah Belanda pergi meninggalkan Aceh, penggunaan bahasa Jawi semakin jarang karena bahasa Melayu yang dulu menjadi bahasa persatuan kerajaan Aceh telah ditulis dengan huruf latin seperti saat ini. Masyarakat juga jadi malas menulis karena sudah terlalu lama meninggalkan kebiasaan tersebut.
Saat ini memang masih ada beberapa buku dalam bahasa Jawi, namun hanya digunakan oleh ulama sebab tidak semua orang Aceh dapat membaca huruf Jawi. “Sekarang orang sudah terbiasa dengan huruf latin,” sebut Sulaiman.
Tradisi Lisan
Pandangan berbeda dilontarkan oleh Ketua Umum (Ketum) Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar, yang memandang tradisi tulisan mengancam kelangsungan identitas bangsa, sementara tradisi lisan justru mampu melanggengkan suatu identitas.
Dalam perbincangan dengan SH, Jumat (6/9), ia mengungkapkan tradisi lisan memang tumbuh di lingkungan masyarakat adat. Tetapi jangan kemudian menganggap masyarakat adat buta huruf.
“Orang-orang yang berada di dalam masyarakat adat Melayu Riau ini bukannya buta huruf dan mengandalkan kelisanan. Mereka juga orang-orang yang terdidik, jadi tidak bisa kita katakan identik antara tradisi lisan dengan masyarakat adat.”
Pria yang pernah mengenyam pendidikan doktoral di Universitas Leiden, Belanda, ini menambahkan, tradisi lisan mengandalkan pada ingatan, sementara tradisi tulis mengandalkan pada bentuk-bentuk yang tertulis.
Pada generasi yang lahir sampai tahun 1970-an masih dirasakan pewarisan pengetahuan di lingkup keluarga dilakukan secara lisan melalui pengalaman langsung sehingga merasuk ke dalam diri kita.
“Nah, di keluarga sekarang pewarisan itu tidak ada lagi. Anak-anak tidak lagi mengandalkan orang tua untuk mewariskan pengetahuan dan pengalaman, tapi mengandalkan apa yang dipelajarinya di sekolah yang berwujud dalam bentuk tertulis,” katanya.
Saat ditanya mengapa masyarakat adat lebih terbiasa dengan tradisi lisan dibandingkan tulisan, Al Azhar menyebutkan, pertama, tradisi lisan dalam semua masyarakat sudah lahir atau sama usianya dengan manusia itu sendiri.
Kedua, Nusantara mengenal cukup banyak jenis tulisan, tapi tradisi ini hanya untuk segelintir orang yang berpendidikan. Maka dengan sendirinya tradisi baca tulis tidak pernah menyebar meluas ke Nusantara.
Ia menambahkan, tradisi lisan hidup di tengah masyarakat yang guyub, sedangkan tradisi tulis seperti mengasingkan orang ke ruang-ruang individu. Maka, individualisme didorong juga oleh mendalamnya tradisi tulis. Al Azhar memang mengakui manfaat tradisi tulis untuk merekam ilmu pengetahuan.
“Keuntungan tradisi tulis itu ialah, kalau sesuatu itu ditulis maka ia relatif hidupnya bertahan lama, terdokumentasi dengan baik. Kalau itu disimpan dalam memori penutur maka bisa hilang seiring meninggalnya orang yang mengingatnya,” katanya.
Sementara itu, pengamat tradisi lisan Riau yang juga Kepala Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Yoserizal Zein, menilai pertumbuhan tradisi lisan dan tulisan di daerah sama baiknya. Ketika ia masih menjadi Kepala Bidang di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau, kajian dan pendokumentasian tradisi lisan giat dilakukan.
Hanya saja tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat adat seperti sastra lisan, hukum ulayat, tata cara perkawinan, dan tradisi lainnya sangat banyak. (Junaidi Hanafiah/Deden Yamara)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 07 September 2013
No comments:
Post a Comment