INDONESIA memiliki Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, di mata budayawan Arswendo Atmowiloto peraturan itu kurang rinci. Pasalnya, klasifikasi barang yang dilindungi negara menjadi tidak rinci. Misalnya, barang yang berusia lebih dari 50 tahun dinilai memiliki nilai sejarah yang tinggi sehingga pembeli dan penjualnya harus mendapatkan izin, tapi pelaksanaannya menjadi sulit karena aturannya kurang spesifik.
"Pada kenyataannya peraturannya terlalu meluas, kurang spesifik. Sehingga operasional menjadi kurang dan dalam pelaksanaan menjadi sulit diawasi," ungkap Arswendo kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Alhasil, benda-benda bersejarah dan dilindungi negara kerap jatuh ke tangan kolektor nakal melalui jalur ilegal. Tak hanya itu, pemerintah dan masyarakat dinilai belum memiliki kesadaran akan benda warisan.
Contohnya, masyarakat yang mempereteli keraton-keraton, arca-arca candi di Indonesia dan menjualnya keluar negeri. Adapun upaya mengembalikan benda bersejarah kembali ke Tanah Air belum optimal termasuk pelindungannya di dalam negeri.
"Pemerintah melindungi yang ada di dalam (Indonesia) aja susah, apalagi mau mengembalikan barang heritage Indonesia yang ada di luar. Lindungi dulu yang di dalam, lewat penjagaannya, perawat, dan kuratornya," katanya.
Lebih lanjut, Arswendo menilai para kolektor lebih menghargai benda bersejarah dan memberi harga yang tinggi akan benda-benda antik dan bersejarah.
Selain mahakarya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan berdasarkan UU NO 11 Tahun 2010, masyarakat bias memiliki benda bersejarah, kecuali masterpiece yang harus dilindungi negara. Selain itu, benda itu hanya boleh dimiliki selama masih di Indonesia.
Pasalnya, dalam UU tersebut ada larangan dibawa ke luar negeri, kecuali mendapatkan izin pemerintah untuk pameran dan penelitian dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, masyarakat Indonesia diperbolehkan mengoleksi benda bersejarah dari luar negeri secara legal, misalnya melalui balai lelang resmi. Karena itu, setiap barang yang melalui lelang telah memiliki surat tesmu dan tidak dilindungi negara.
Prinsipnya setiap orang dilarang mencari cagar budaya di Indonesia, kecuali pemerintah. Masyarakat yang tidak sengaja menemukan benda bersejarah diharuskan melapor ke polisi atau kantor dinas terkait.
Biasanya, penemu benda bersejarah akan menerima imbalan atas temuannya. Para kolektor yang ingin membuat museum di Indonesia akan dibebaskan, selama memiliki sumber daya manusia, dana, lokasi, dan bangunan. Bentuk badan usahanya pun berupa yayasan yang memiliki dana tetap untuk melindungi pemeliharaan dan keberadaan benda-benda itu di masa yang akan datang.
Peraturan pemerintah tentang permuseuman seharusnya sudah disahkan selambat-lambatnya setahun setelah UU Cagar Budaya. Sayangnya hingga kini masih tak kunjung disahkan. Hal inilah yang membuat keseriusan pemerintah untuk melindungi cagar budaya dipertanyakan. (Sky/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013
"Pada kenyataannya peraturannya terlalu meluas, kurang spesifik. Sehingga operasional menjadi kurang dan dalam pelaksanaan menjadi sulit diawasi," ungkap Arswendo kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Alhasil, benda-benda bersejarah dan dilindungi negara kerap jatuh ke tangan kolektor nakal melalui jalur ilegal. Tak hanya itu, pemerintah dan masyarakat dinilai belum memiliki kesadaran akan benda warisan.
Contohnya, masyarakat yang mempereteli keraton-keraton, arca-arca candi di Indonesia dan menjualnya keluar negeri. Adapun upaya mengembalikan benda bersejarah kembali ke Tanah Air belum optimal termasuk pelindungannya di dalam negeri.
"Pemerintah melindungi yang ada di dalam (Indonesia) aja susah, apalagi mau mengembalikan barang heritage Indonesia yang ada di luar. Lindungi dulu yang di dalam, lewat penjagaannya, perawat, dan kuratornya," katanya.
Lebih lanjut, Arswendo menilai para kolektor lebih menghargai benda bersejarah dan memberi harga yang tinggi akan benda-benda antik dan bersejarah.
Selain mahakarya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan berdasarkan UU NO 11 Tahun 2010, masyarakat bias memiliki benda bersejarah, kecuali masterpiece yang harus dilindungi negara. Selain itu, benda itu hanya boleh dimiliki selama masih di Indonesia.
Pasalnya, dalam UU tersebut ada larangan dibawa ke luar negeri, kecuali mendapatkan izin pemerintah untuk pameran dan penelitian dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, masyarakat Indonesia diperbolehkan mengoleksi benda bersejarah dari luar negeri secara legal, misalnya melalui balai lelang resmi. Karena itu, setiap barang yang melalui lelang telah memiliki surat tesmu dan tidak dilindungi negara.
Prinsipnya setiap orang dilarang mencari cagar budaya di Indonesia, kecuali pemerintah. Masyarakat yang tidak sengaja menemukan benda bersejarah diharuskan melapor ke polisi atau kantor dinas terkait.
Biasanya, penemu benda bersejarah akan menerima imbalan atas temuannya. Para kolektor yang ingin membuat museum di Indonesia akan dibebaskan, selama memiliki sumber daya manusia, dana, lokasi, dan bangunan. Bentuk badan usahanya pun berupa yayasan yang memiliki dana tetap untuk melindungi pemeliharaan dan keberadaan benda-benda itu di masa yang akan datang.
Peraturan pemerintah tentang permuseuman seharusnya sudah disahkan selambat-lambatnya setahun setelah UU Cagar Budaya. Sayangnya hingga kini masih tak kunjung disahkan. Hal inilah yang membuat keseriusan pemerintah untuk melindungi cagar budaya dipertanyakan. (Sky/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013
No comments:
Post a Comment