-- Sayyid Fahmi Alathas
Keindahan Sastra
MESKIPUN seorang tokoh terkemuka Hopkins pernah mengemukakan bahwa keindahan dalam karya sastra merupakan suatu hasil dari intresa dan inscape, di mana ‘’interesa’’ adalah pengaruh nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang seniman; sedangkan ‘’inscape’’ adalah pemahaman atau kekuatan melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran sebagai puncak realitas dalam cita seni berdasarkan kebenaran Tuhan (Muhsin Ahmadi, 1984;126).
Mengingat mengalami persamaan dengan seorang tokoh fenomenal Plato, dengan pernah mengemukakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Republik atau negara yang mengacu kepada dunia ide atau dunia gagasan yang identik dengan kebenaran tertinggi sejatinya terdapat kepada puncak dunia ide atau dunia Illahi.
Akan tetapi dengan merujuk kepada tokoh peletak dasar teori pertentangan kelas atau sosialisme komunis, Karl Marx dengan pernah mengemukakan ‘’bagaimana kita mengubah dunia’’. Beserta tokoh-tokoh lainnya seperti, George Lukacs, Plekhanov dan Lucien Goldman seorang tokoh para marxis dengan pernah menghubungkan karya sastra sebagai suatu struktur terhadap sejarah dan mengeluarkan pendekatan ‘’strukturalisme genetik’’.
Bagaimanakah benang merahnya dengan seorang tokoh Frederik Engels dan Hegel yang tidak sesuai garis-garis besar partai komunis dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra harus dihargai integritasnya sebagai hasil seni terlebih dahulu kemudian baru pencerminan masyarakat.
Apabila ada seorang tokoh kaum Formalis Rusia Roman Jakobson, dengan menarik pada teks karya sastra dapat disulap sampai menimbulkan efek pengasingan atau penyulapan seorang pengarang terhadap pembaca dengan memiliki persamaan dengan seorang tokoh perkembangan linguistik modern berkebangsaan Swiss Ferdinand De Saussure, yang terletak kepada fungsi estetika dan fungsi sosial kearah konteks historis sosial. Apakah dalam suatu karya sastra makna berpusat kepada bahasa yang dicapai. Dimanakah letak dampak atas perkembangan ilmu linguistik modern yang digunakan terhadap karya sastra?
Apabila ditelusuri dari kedua orang tokoh berkebangsaan Romawi kuno Plato dan Aristoteles dengan mengenai satu ruang dalam sejarah perkembangan ilmu sastra; prospek dan perspektif teori ilmu pengetahuan yang masih bersifat taraf pemikiran filsafat belum sampai kearah sistematika ilmu. Dimanakah Plato dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra merupakan kenyataan sehari-hari meniru dunia ide atau dunia Illahi. Dimanakah muridnya Aristoteles dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra bukanlah kenyataan sehari-hari sebagaimana adanya.
Akan tetapi pada prosesnya, kajian ilmu sastra dalam mencapai hakekat kebenaran meletakkan karya sastra kepada kenyataan fenomenal sesuai kerja penyair. Apabila ditelusuri dengan melalui pendekatan objektif yang pernah dikemukakan seorang tokoh seperti, Abrams dengan menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang otonom!. Akan tetapi pendekatan objektif tersebut telah ada sejak Aristoteles menulis sebuah buku berjudul ‘’Poetic’’.
Apabila dihubungkan dengan yang pernah dikemukakan oleh Ferdinand De Sasususre, dengan meletakkan dasar-dasar kuat kajian ilmu linguistik modern, dengan memperkenalkan bahasa terdiri dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan; petanda (signifian) dan penanda (signifie). Dikarenakan minat para pakar sastra meneliti karya sastra sebagai struktur yang otonom sebelum adanya seorang tokoh berkebangsaan Swiss yang telah memperkenalkan teori strukturalnya di bidang kajian ilmu linguistik tersebut.
Sehingga dengan melalui pendekatan objektif, sasarannya adalah kematangan sebuah karya tanpa menghubungkan dimensi-dimensi lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat dan lain sebagainya. Apabila melalui pendekatan historis sebagai suatu kajian yang memiliki unsur sejarah, dan apabila melalui pendekatan sosiologis dari berbagai segi sosial baik dari dalam maupun dari luar karya sastra. Apakah menunjukan suatu hubungan dalam kajian ilmu sastra melalui beberapa tahap pendekatan sebagaimana yang pernah dikemukakan seorang tokoh Gramatika bahasa, Noam Chomsky, dengan pernah mengemukakan bahwa penguasaan bahasa didalam otak sesuai aturannya (Competence), dan pelahiran bahasa oleh seseorang (Performance).
Bagaimanakah dengan seorang tokoh kaum Formalis Rusia, Roman Jakobson dengan pernah mengemukakan bahwa sumber-sumber puitis yang tersembunyi di dalam struktur morfologi dan sintaksis sering kali tidak diketahui oleh pakar bahasa tetapi dikuasai dengan baik oleh penulis penulis kreatif. Ahli bahasa dan pakar sastra yang bersikap dingin terhadap masalah linguistik adalah mereka yang membuat kesalahan anakronis (Simanjuntak, 1982;38).
Konkretisasi Makna
Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Roman Ingarden,dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, yang memberi peluang kepada pembaca untuk memberi arti terhadapnya. Namun struktur karya sastra sementara belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca sehingga di perlukan suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemungkinan makna yang disediakan oleh struktur objektif tadi.
Di sini kegiatan makna karya dibatasi oleh struktur itu sendiri; karena struktur objektif itu hanya satu maka konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat.Akan tetapi kesimpulan yang terdapat pada karya sastra menekankan keberlangsungan teori. Dikarenakan kajian mengenai teori resepsi sastra dalam menentukan kalimat yang mudah ditangkap oleh seorang pembaca selaku pemberi makna. Dimana karya sastra tidak ubahnya serupa artefak atau benda mati.
Di mana diperlukan proses konkretisasi, dimana mesti mengartikan kode-kode makna yang sesuai apa yang ada dihadapannya. Dimana menyangkut kosakata bahasa kedalam proses konkretisasi pada kalimat dengan membentuk makna mencakup tema serta bahasa. Ada salah seorang tokoh pelopor sejarah sastra berkebangsaan Jerman Barat, bernama Hans Robert Jausz, dengan melalui pokok pokok bahasanya mengenai penekanan pembaca selaku pemberi makna terhadap karya sastra. Apabila dalam sebuah makalahnya berjudul Literatur Geiscichte Als Provokation yakni sejarah sastra sebagai tantangan, yang berisikan mengenai ‘’dinamika sastra’’ yang timbul oleh seorang pembaca berdasarkan diakronis dan sinkronis.
Meskipun dari segi estetik karya sastra sebagai karya seni, pembacalah yang menentukan apakah karya sastra dapat diterima atau ditolak, apakah karya sastra bernilai atau tidak, apakah yang tertonjol itu nilai estetik atau nilai kegunaannya. Dengan mengemukakan pula bahwa interpretasi seorang pembaca terhadap sebuah teks sastra ditentukan oleh apa yang disebutnya dengan Horison Penerimaan. Di mana dibaginya kedalam dua bagian yakni, pertama yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra. Kedua yang tidak bersifat estetik atau yang tidak berada di dalam teks sastra tetapi sesuatu yang melekat pada pembaca.
Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Feliks Vodicka, yang merupakan seorang murid tokoh dari kaum strukturalis Praha mengenai perkembangan lanjutan dari kaum formalis Rusia,yang lebih menekankan terhadap fungsi estetik bahasa dengan konteks sosial,dengan mengemukakan bahwa karya sastra tak ubahnya artefak, benda mati. Pembacalah yang menghidupkannya melalui proses konkretisasi. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya; ia baru jelas atau konkret setelah berinteraksi dengan pembaca.
Meskipun Jan Mukarovsky dengan pernah mengemukakan, bahwa karya sastra sangat berkaitan dengan konteks sosial, sehingga fungsi estetik dan puitika bahasa tidak terlepas dari fungsi sosial sementara fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan fungsi sosial itu sendiri. Fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah pada suatu masyarakat sepanjang zaman. Kadang-kadang lebih mementingkan fungsi sosial dan kadang kala lebih mementingkan fungsi estetik (Teeuw, 1984:185-7).
Dikarenakan dalam suatu masyarakat fungsi bahasa kerap berkaitan dengan fungsi estetik dan fungsi sosial dalam suatu lingkungan masyarakat. Apabila keindahan seni yang terletak pada karya sastra bermain dalam proses ruang bahasa berhadapan langsung dengan kenyataan kosakata bahasa itu sendiri, yang apabila digunakan oleh seorang pengarang dalam setiap kali menciptakan karya sastra dalam menemukan makna.
Sehingga proses konkretisasi kedalam ruang bahasa dalam membentuk kalimat. Apakah proses kosakata bahasa yang apabila pendapat dari salah seorang tokoh ilmu tata bahasa yakni, ‘’Transformatif Generatif’’ bernama Noam Chomsky. Dengan pernah mengemukakan bahwa setiap penutur bahasa asli sesuatu bahasa alami telah menyimpang dari rumus gramatis bahasa yang ada dalam otaknya, dengan pernah mengemukakan pula bahwa pada dasarnya bahasa mempunyai dua struktur yakni,struktur dalam (Deep Structure) dan struktur permukaan (Surface Structure),yang dapat disamakan dengan istilah, Comptence atau penguasaan bahasa dalam otak sesuai dengan aturannya, dan Performance atau pelahiran bahasa oleh seseorang. Orang yang sama mungkin berbeda dalam Performance atau Surface Structure.
Dari sinilah menimbulkan gaya bahasa pada seorang pengarang. Maka pada akhirnya proses kosakata bahasa pada karya sastra menghambat proses konkretisasi untuk sampai pada titik hakekat sebuah pencapaian estetika bahasa kedalam kata, untuk sampai pada proses kosakata bahasa dalam pemakaian bahasa dalam karya sastra yang berbeda dengan pemakaian bahasa biasa pada umumnya. n
Sayyid Fahmi Alathas, Dilahirkan di Labuhan-Maringgai, Lampung-Timur. Alumnus Faklultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Universitas Bandar Lampung. Menulis Puisi dan esai sejak tahun 2004 sampai sekarang. Dimana puisi dan esai terpublikasi di sejumlah belasan media massa lokal dan nasional.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 September 2013
Keindahan Sastra
MESKIPUN seorang tokoh terkemuka Hopkins pernah mengemukakan bahwa keindahan dalam karya sastra merupakan suatu hasil dari intresa dan inscape, di mana ‘’interesa’’ adalah pengaruh nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang seniman; sedangkan ‘’inscape’’ adalah pemahaman atau kekuatan melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran sebagai puncak realitas dalam cita seni berdasarkan kebenaran Tuhan (Muhsin Ahmadi, 1984;126).
Mengingat mengalami persamaan dengan seorang tokoh fenomenal Plato, dengan pernah mengemukakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Republik atau negara yang mengacu kepada dunia ide atau dunia gagasan yang identik dengan kebenaran tertinggi sejatinya terdapat kepada puncak dunia ide atau dunia Illahi.
Akan tetapi dengan merujuk kepada tokoh peletak dasar teori pertentangan kelas atau sosialisme komunis, Karl Marx dengan pernah mengemukakan ‘’bagaimana kita mengubah dunia’’. Beserta tokoh-tokoh lainnya seperti, George Lukacs, Plekhanov dan Lucien Goldman seorang tokoh para marxis dengan pernah menghubungkan karya sastra sebagai suatu struktur terhadap sejarah dan mengeluarkan pendekatan ‘’strukturalisme genetik’’.
Bagaimanakah benang merahnya dengan seorang tokoh Frederik Engels dan Hegel yang tidak sesuai garis-garis besar partai komunis dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra harus dihargai integritasnya sebagai hasil seni terlebih dahulu kemudian baru pencerminan masyarakat.
Apabila ada seorang tokoh kaum Formalis Rusia Roman Jakobson, dengan menarik pada teks karya sastra dapat disulap sampai menimbulkan efek pengasingan atau penyulapan seorang pengarang terhadap pembaca dengan memiliki persamaan dengan seorang tokoh perkembangan linguistik modern berkebangsaan Swiss Ferdinand De Saussure, yang terletak kepada fungsi estetika dan fungsi sosial kearah konteks historis sosial. Apakah dalam suatu karya sastra makna berpusat kepada bahasa yang dicapai. Dimanakah letak dampak atas perkembangan ilmu linguistik modern yang digunakan terhadap karya sastra?
Apabila ditelusuri dari kedua orang tokoh berkebangsaan Romawi kuno Plato dan Aristoteles dengan mengenai satu ruang dalam sejarah perkembangan ilmu sastra; prospek dan perspektif teori ilmu pengetahuan yang masih bersifat taraf pemikiran filsafat belum sampai kearah sistematika ilmu. Dimanakah Plato dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra merupakan kenyataan sehari-hari meniru dunia ide atau dunia Illahi. Dimanakah muridnya Aristoteles dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra bukanlah kenyataan sehari-hari sebagaimana adanya.
Akan tetapi pada prosesnya, kajian ilmu sastra dalam mencapai hakekat kebenaran meletakkan karya sastra kepada kenyataan fenomenal sesuai kerja penyair. Apabila ditelusuri dengan melalui pendekatan objektif yang pernah dikemukakan seorang tokoh seperti, Abrams dengan menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang otonom!. Akan tetapi pendekatan objektif tersebut telah ada sejak Aristoteles menulis sebuah buku berjudul ‘’Poetic’’.
Apabila dihubungkan dengan yang pernah dikemukakan oleh Ferdinand De Sasususre, dengan meletakkan dasar-dasar kuat kajian ilmu linguistik modern, dengan memperkenalkan bahasa terdiri dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan; petanda (signifian) dan penanda (signifie). Dikarenakan minat para pakar sastra meneliti karya sastra sebagai struktur yang otonom sebelum adanya seorang tokoh berkebangsaan Swiss yang telah memperkenalkan teori strukturalnya di bidang kajian ilmu linguistik tersebut.
Sehingga dengan melalui pendekatan objektif, sasarannya adalah kematangan sebuah karya tanpa menghubungkan dimensi-dimensi lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat dan lain sebagainya. Apabila melalui pendekatan historis sebagai suatu kajian yang memiliki unsur sejarah, dan apabila melalui pendekatan sosiologis dari berbagai segi sosial baik dari dalam maupun dari luar karya sastra. Apakah menunjukan suatu hubungan dalam kajian ilmu sastra melalui beberapa tahap pendekatan sebagaimana yang pernah dikemukakan seorang tokoh Gramatika bahasa, Noam Chomsky, dengan pernah mengemukakan bahwa penguasaan bahasa didalam otak sesuai aturannya (Competence), dan pelahiran bahasa oleh seseorang (Performance).
Bagaimanakah dengan seorang tokoh kaum Formalis Rusia, Roman Jakobson dengan pernah mengemukakan bahwa sumber-sumber puitis yang tersembunyi di dalam struktur morfologi dan sintaksis sering kali tidak diketahui oleh pakar bahasa tetapi dikuasai dengan baik oleh penulis penulis kreatif. Ahli bahasa dan pakar sastra yang bersikap dingin terhadap masalah linguistik adalah mereka yang membuat kesalahan anakronis (Simanjuntak, 1982;38).
Konkretisasi Makna
Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Roman Ingarden,dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, yang memberi peluang kepada pembaca untuk memberi arti terhadapnya. Namun struktur karya sastra sementara belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca sehingga di perlukan suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemungkinan makna yang disediakan oleh struktur objektif tadi.
Di sini kegiatan makna karya dibatasi oleh struktur itu sendiri; karena struktur objektif itu hanya satu maka konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat.Akan tetapi kesimpulan yang terdapat pada karya sastra menekankan keberlangsungan teori. Dikarenakan kajian mengenai teori resepsi sastra dalam menentukan kalimat yang mudah ditangkap oleh seorang pembaca selaku pemberi makna. Dimana karya sastra tidak ubahnya serupa artefak atau benda mati.
Di mana diperlukan proses konkretisasi, dimana mesti mengartikan kode-kode makna yang sesuai apa yang ada dihadapannya. Dimana menyangkut kosakata bahasa kedalam proses konkretisasi pada kalimat dengan membentuk makna mencakup tema serta bahasa. Ada salah seorang tokoh pelopor sejarah sastra berkebangsaan Jerman Barat, bernama Hans Robert Jausz, dengan melalui pokok pokok bahasanya mengenai penekanan pembaca selaku pemberi makna terhadap karya sastra. Apabila dalam sebuah makalahnya berjudul Literatur Geiscichte Als Provokation yakni sejarah sastra sebagai tantangan, yang berisikan mengenai ‘’dinamika sastra’’ yang timbul oleh seorang pembaca berdasarkan diakronis dan sinkronis.
Meskipun dari segi estetik karya sastra sebagai karya seni, pembacalah yang menentukan apakah karya sastra dapat diterima atau ditolak, apakah karya sastra bernilai atau tidak, apakah yang tertonjol itu nilai estetik atau nilai kegunaannya. Dengan mengemukakan pula bahwa interpretasi seorang pembaca terhadap sebuah teks sastra ditentukan oleh apa yang disebutnya dengan Horison Penerimaan. Di mana dibaginya kedalam dua bagian yakni, pertama yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra. Kedua yang tidak bersifat estetik atau yang tidak berada di dalam teks sastra tetapi sesuatu yang melekat pada pembaca.
Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Feliks Vodicka, yang merupakan seorang murid tokoh dari kaum strukturalis Praha mengenai perkembangan lanjutan dari kaum formalis Rusia,yang lebih menekankan terhadap fungsi estetik bahasa dengan konteks sosial,dengan mengemukakan bahwa karya sastra tak ubahnya artefak, benda mati. Pembacalah yang menghidupkannya melalui proses konkretisasi. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya; ia baru jelas atau konkret setelah berinteraksi dengan pembaca.
Meskipun Jan Mukarovsky dengan pernah mengemukakan, bahwa karya sastra sangat berkaitan dengan konteks sosial, sehingga fungsi estetik dan puitika bahasa tidak terlepas dari fungsi sosial sementara fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan fungsi sosial itu sendiri. Fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah pada suatu masyarakat sepanjang zaman. Kadang-kadang lebih mementingkan fungsi sosial dan kadang kala lebih mementingkan fungsi estetik (Teeuw, 1984:185-7).
Dikarenakan dalam suatu masyarakat fungsi bahasa kerap berkaitan dengan fungsi estetik dan fungsi sosial dalam suatu lingkungan masyarakat. Apabila keindahan seni yang terletak pada karya sastra bermain dalam proses ruang bahasa berhadapan langsung dengan kenyataan kosakata bahasa itu sendiri, yang apabila digunakan oleh seorang pengarang dalam setiap kali menciptakan karya sastra dalam menemukan makna.
Sehingga proses konkretisasi kedalam ruang bahasa dalam membentuk kalimat. Apakah proses kosakata bahasa yang apabila pendapat dari salah seorang tokoh ilmu tata bahasa yakni, ‘’Transformatif Generatif’’ bernama Noam Chomsky. Dengan pernah mengemukakan bahwa setiap penutur bahasa asli sesuatu bahasa alami telah menyimpang dari rumus gramatis bahasa yang ada dalam otaknya, dengan pernah mengemukakan pula bahwa pada dasarnya bahasa mempunyai dua struktur yakni,struktur dalam (Deep Structure) dan struktur permukaan (Surface Structure),yang dapat disamakan dengan istilah, Comptence atau penguasaan bahasa dalam otak sesuai dengan aturannya, dan Performance atau pelahiran bahasa oleh seseorang. Orang yang sama mungkin berbeda dalam Performance atau Surface Structure.
Dari sinilah menimbulkan gaya bahasa pada seorang pengarang. Maka pada akhirnya proses kosakata bahasa pada karya sastra menghambat proses konkretisasi untuk sampai pada titik hakekat sebuah pencapaian estetika bahasa kedalam kata, untuk sampai pada proses kosakata bahasa dalam pemakaian bahasa dalam karya sastra yang berbeda dengan pemakaian bahasa biasa pada umumnya. n
Sayyid Fahmi Alathas, Dilahirkan di Labuhan-Maringgai, Lampung-Timur. Alumnus Faklultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Universitas Bandar Lampung. Menulis Puisi dan esai sejak tahun 2004 sampai sekarang. Dimana puisi dan esai terpublikasi di sejumlah belasan media massa lokal dan nasional.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 September 2013
No comments:
Post a Comment