Sunday, September 15, 2013

Jerat Konsumsi

-- Beni Setia

SESEORANG, menjelang tengah malam, mengirim SMS?mungkin mem-forward?seperti begini: ?siaran iklan televisi saat ini dipenuhi dengan tayangan-tayangan yang sia-sia, seperti iklan air minum?dan disebutkannya beberapa merek?atau cuma gula?dan disebutkannya beberapa merek?, promosi untuk ihwal yang sesungguhnya telah jadi kebutuhan umum. Dan mungkin sebentar lagi produk oksigen kemas diiklankan?.

Entah apa motif SMS itu. Mungkin iseng karena tak bisa segera tidur padahal ingin terlelap. Semacam wacana pengantar tidur yang diharap mengusik, meski saya langsung tahu apa yang diabaikannya. Setidaknya dia melupakan: yang diiklankan itu bukan jenis produksi (air minum, gula, pakaian, obat sakit kepala, dan seterusnya), tapi merek dagang (dari) jenis produk tertentu?misalnya, nTarjua buat kopi instan jempol, atau nTaraje bagi jam tangan canggih, nTardulu untuk baju jadi berkualitas, dan seterusnya.

Ekspresi produk sama tapi yang memproduksinya berbeda, lantas pembeli digiring untuk membeli produk yang sama tapi berbeda sebab diproduksi secara berbeda, dengan bahan berkualitas lain oleh X sehingga hasilnya berbeda. Branding si yang memproduksi menyebabkannya memiliki corak keunggulan produksi. Karena itu, aneka iklan brand dari produk sejenis merajalela?dengan media apa saja. Senantiasa digalakkan meski beriklan itu mahal, tapi kuasa menciptakan mitos brand dari produk yang disikesankan telah dibuat secara eksklusif.

Lagi pula biaya beriklan, bea branding itu disihitung sebagai biaya produksi, yang selalu dibebankan ke konsumen?hingga harga jual produk meningkat. Iklan yang gencar sebanding keuntungan, sejajar fakta produk X, yang sama itu, punya harga lebih mahal. Keuntungan besar akibat propaganda?meski awalnya bermakna biaya produksinya lebih tinggi?itu disamarkan oleh ikon eksklusif brand yang membuat produk jadi berkualitas. Sekaligus sihir yang membuat konsumen jadi bocah yang didongengi (iklan), terbius dan membayar produk yang ditawarkan serta bea dongeng bualan si produser. Konyol sekali.

DALAM bisnis farmasi itu terkait dengan fakta harga obat paten lebih tinggi dari obat generik. Ajaibnya selisih itu dirasionalisasi ilusi ada bea riset?padahal obat generik pun beriset, dan jadi murah sebab tak melakukan branding iklan. Retorik memiliki tradisi riset ilmiah untuk menyembunyikan biaya iklan tersembunyi dalam perang propaganda?jor-joran memenangkan opini iklanistik bagi jenis produk yang sama.

Bea iklan?dan keuntungan iklan si pemilik media tempat beriklan?disembunyikan oleh kesan ilusif: ada banyak brand berkualitas dari (jenis) produk yang sama sehingga konsumen seperti bebas memilih produk. Pilihan yang sebenarnya amat tergantung daya beli, dan terutama ilusi kualitas yang disarankan iklan yang dicerna konsumen. Realisasi membeli yang seperti bebas memilih di tengah aneka brand?iklan yang menyugestikan?, yang menyiratkan konsumen punya hak memilih mutlak. Padahal pilihan itu bias dibatasi infomasi yang mengeksklusifkan produk sendiri serta mengsubrodinankan yang lain.

Semua cuma pengandaian yang disugestikan benar, faktual dan sudah tervalidisasi?macam: sekali teguk pil I sakit perut sembuh, pelayanan yang sangat prima dari maskapai U, dan seterusnya. Bahkan jual kibul itu terkadang terlalu gencar dan nyaris dengan nalar irasional, meski hanya bagi satu jenis produk yang sangat umum. Sehingga kualitas beras yang sama bisa dikesankan beda oleh si A dengan menekankan keutamaan Toko nTartut sehingga membeli beras di sana menyebabkan pembeli ditandai bercitra jempolan setara si pintar memilih beras eksklusif.

Ilusi-ilusi macam itu terus diciptakan, beriringan dengan upaya sadar meningkatkan kapasitas produksi. Bahkan, ilusi propaganda diaplikasikan terlebih dulu di depan realisasi peningkatan produk, dan semakin digencakan seiring realisasi peningkatan produk?agar mitos brand terjaga. Rekayasa psikologi wajib ketika si produsen menciptakan pasar baru dengan memompakan kesan citra diri konsumen paling mutakhir. Sesuai dengan tuntutan ekspresi terkini cuma dengan membeli produk tertentu. Kebutuhan mendesak penguasaan pasar yang relatif gratis karena semua biaya promosi akan ditanggung pembeli.

Momen Lebaran pun kehilangan kekhidmatan aspel religiositas saat semua produsen serentak beriklan menyarankan bahwa brand (mereka) paling camhhih di antara limpahan produk sejenis. Mungkin karena itu, ada teman yang meski percaya dan fanatik ke mitos brand produk pakaian tertentu?selalu beli dan mengenakannya?, berusaha mereduksinya dengan sadar mencopot label brand produk. ?Aku beli kualitas, tak sudi mengiklankan,? katanya. Saya tersenyum?brand itu terkadang menaikkan harga diri.

TADI saya menerima SMS. Saya tertawa mengenangkannya. Padahal, kini pokok persoalannya bergeser: kenapa masih menggantungkan identitas eksistensi pada kualitas dengan berpegang ke mitos dan ikon produk berkualitas dari sugesti brand hasil beriklan? Entah bagaimana saya ingat Mahatma Gandhi yang cuma berkolor itu?dengan kain yang ditenun sendiri?, karena itu saya percaya: ia telah sanggup memsibebaskan diri dari sihir sembabat akan sama terhormatnya dengan si penjajah hanya dengan selalu berpakaian ala si penjajah?dengan mengenakan produk yang dikenakan penjajah.

Penjajahan telah hilang, minderitas terjajah?oleh Gandhi malah ditonjolkan sebagai sistem nilai alternatif sebanding?tetap membayang. Bahkan itu dikekalkan secara kreatif oleh tim marketing dengan mitos brand, si pemicu berbelanja mesimanifestasikan dahaga kebanggaan berikon. Celakanya, kesadaran akan sihir nan manipulatif dari iklan itu, yang mengejar target penjualan produk yang diiklankan itu tak pernah dikritisi oleh si penyedia media beriklan. Jadi, tak aneh bila mendadak ada iklan hotel yang menjual view dan udara pegunungan, tidak peduli itu alamiah ada dan tidak perlu dibeli dengan bermalam.

Konyol. Tapi itulah alasan absurd orang belanja.

Beni Setia, pengarang
   
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013

No comments: