-- Iwan Kurniawan
Seni kontemporer dan desain akan terus mengalami revolusi. Berbagai terobosan dilakukan seniman untuk menghadirkan karya yang bukan sekadar karya, melainkan memiliki nilai historis.
SUARA kecil buih-buih air menderu dari slang kecil, membuat air berkumpul pada satu titik, lalu berpendar di sekitar objek patung yang berada di dalam peti. Objek patung seakan nyata. Kulit-kulit sudah mengelupas. Bibir kering hingga kepala tak berambut.
Setiap patung berada di empat peti berbeda yang berjejer rapi. Semuanya terpisah, tetapi memiliki kesamaan. Patung-patung dalam empat peti seakan memiliki simbol tentang kehidupan setelah kematian.
Nuansa itu terdapat dalam instalasi berjudul Kotak Dollirium 2 karya cipta Croft Cusworth yang dipamerkan pada Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-4 di Grand Kemang Hotel, Jakarta, akhir pekan ini.
Pada pameran bertajuk Restart itu, selain Croft, ada pula 44 seniman lainnya yang turut hadir. Mereka menghadirkan karya yang berbeda, mulai kisah legenda, sejarah, hingga mitologi yang begitu kuat dalam kehidupan warga dunia.
Teknologi puluhan tahun juga dihadirkan kembali dengan balutan seni kontemporer. Ada berbagai sentuhan atas penafsiran kembali atas hal-hal yang ada di sekitar kehidupan kita.
Karya lelaki berdarah Indonesia-Australia itu memang tak lazim seperti karya lainnya. Ia mampu menghadirkan keangkeran yang dibalut dengan estetika tinggi. Sejenak, kita bisa saja melihat Kotak Dollirium 2 sebagai sebuah ‘kotak kematian’. Namun di balik itu, ada sebuah pesan tentang sebuah kotak yang memiliki ruang dan waktu.
Karya Kotak Dollirium 2 merupakan sekuel pamerannya dari ICAD tahun lalu. Kini, dia menangkap makna tema lewat ruang imajinasi dan artistik. Suara-suara yang ada seakan menunjukkan kepada kita untuk menuju pada sebuah perputaran hidup: waiting for an exit... Waiting for life... A start.
Karya-karya yang disuguhkan 45 seniman lain juga memiliki paradigma dan pandangan yang berbeda-beda. Selain instalasi, ada pula patung, lukisan, dan fotografi. Semua memiliki keunikan tersendiri karena dibuat dengan konsep yang matang pula.
Tengok saja instalasi The Battoolah Lamp karya seniwati Arab, Layla Mubarak. Ia piawai menghadirkan susunan topeng yang menyerupai sebuah lampu hias. Topeng yang berasal dari Arab itu dahulunya dipakai kaum perempuan untuk menunjukkan ketaatan mereka pada tradisi, agama, dan status sosial.
Topeng itu sudah hampir tak pernah digunakan lagi sejak dua generasi yang lalu, walau sekali terlihat dipakai oleh perempuan Arab yang sudah tua di Qatar dan Uni Emirat Arab.
Seperti battoolah yang menyembunyikan sekaligus mengetengahkan kecantikan perempuan Arab, lampu yang dibuat dari 200 battoolah itu membingkai dan menyebarkan cahaya yang bersinar dari dalamnya dengan struktur dan bentuk yang hampir mirip.
Daur ulang
Terlepas dari puluhan karya yang memenuhi setiap sudut-sudut hotel itu sejak 30 Agustus hingga 27 September mendatang, ada yang menarik bila kita memperhatikan karya Bambang Wibawarta berjudul Hikayat Mesin Tik.
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, itu menggunakan resin untuk menutupi dua mesin tik yang sudah tak berfungsi secara normal lagi. Karya yang terletak di depan pintu masuk sisi kiri lobi itu seakan mengingatkan pada kejayaan di era 80-an, saat orang-orang menggunakan mesin tik untuk bekerja.
“Selama ini manusia kebanyakan hanya menghargai hasil yang dicapai, bukan proses, apalagi produksinya. Mesin tik banyak berjasa membantu penulis menghasilkan karya-karya sastra, mencetak ilmuwan, bahkan menghasilkan pahlawan yang dilupakan,” ujar Bambang mengenai karyanya itu.
Dia menghadirkan daur ulang mesin tik yang membeku sehingga termumikan dalam derasnya perubahan zaman. Penggunaan resin untuk membuat mesin tik menjadi beku, tetapi tetap terlihat secara transparan.
Bambang seakan mau mengingatkan kepada banyak orang untuk melihat kembali fungsi teknologi yang sudah hampir dilupakan zaman itu. Terlepas dari kenangan yang seakan ingin diingat kembali lewat mesin tik, pematung Yani M Sastranegara menghadirkan patung yang hampir sama seperti objek patung pada Kotak Dollirium 2.
Bedanya, Yani bermain dengan objek patung perempuan lewat karya berjudul Kenangan-Pohon Kahyangan #2013. Ia menafsirkan pohon seumpama teman yang begitu dekat sekaligus benda yang disegani dan ditakuti. Hikayat pohon bersifat magis, religius, epik, dan ilmiah, serta tentunya, menjadi subjek yang berkembang dalam masyarakat tradisi kita.
Dalam karya itu, batang pohon bersandar pada sosok perempuan dengan posisi tunduk. Sosok hawa itu dihadirkan sebagai perlambangan akan ‘ibu’ yang memiliki banyak kesamaan dengan sifat pohon—sifat bumi—yang memberi tanpa pamrih. “Semua karya dalam pameran ini memang unik. Apalagi, ada seni dan desain sehingga membuat semuanya padu dengan konsep yang matang. Saya melihat ada unsur budaya dan adat istiadat yang kuat,” ujar salah satu pengunjung, Puri Ningtyas, yang juga desainer interior.
Pameran di hotel itu tak sekadar menghadirkan nilai seni. Mereka mampu menunjukkan karya yang melampaui batas imajinasi. Tak mengherankan bila Tia Chandra dalam catatan kuratorial pameran mengatakan karya dan seni bukan sebagai ekspresi kreativitas dan estetika semata. Bukan juga gaya hidup dengan konotasi yang glamor. Seni di sini, kata dia, menjadi serangkaian hubungan dengan kehidupan sehari-hari yang realistis. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013
Seni kontemporer dan desain akan terus mengalami revolusi. Berbagai terobosan dilakukan seniman untuk menghadirkan karya yang bukan sekadar karya, melainkan memiliki nilai historis.
SUARA kecil buih-buih air menderu dari slang kecil, membuat air berkumpul pada satu titik, lalu berpendar di sekitar objek patung yang berada di dalam peti. Objek patung seakan nyata. Kulit-kulit sudah mengelupas. Bibir kering hingga kepala tak berambut.
Setiap patung berada di empat peti berbeda yang berjejer rapi. Semuanya terpisah, tetapi memiliki kesamaan. Patung-patung dalam empat peti seakan memiliki simbol tentang kehidupan setelah kematian.
Nuansa itu terdapat dalam instalasi berjudul Kotak Dollirium 2 karya cipta Croft Cusworth yang dipamerkan pada Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-4 di Grand Kemang Hotel, Jakarta, akhir pekan ini.
Pada pameran bertajuk Restart itu, selain Croft, ada pula 44 seniman lainnya yang turut hadir. Mereka menghadirkan karya yang berbeda, mulai kisah legenda, sejarah, hingga mitologi yang begitu kuat dalam kehidupan warga dunia.
Teknologi puluhan tahun juga dihadirkan kembali dengan balutan seni kontemporer. Ada berbagai sentuhan atas penafsiran kembali atas hal-hal yang ada di sekitar kehidupan kita.
Karya lelaki berdarah Indonesia-Australia itu memang tak lazim seperti karya lainnya. Ia mampu menghadirkan keangkeran yang dibalut dengan estetika tinggi. Sejenak, kita bisa saja melihat Kotak Dollirium 2 sebagai sebuah ‘kotak kematian’. Namun di balik itu, ada sebuah pesan tentang sebuah kotak yang memiliki ruang dan waktu.
Karya Kotak Dollirium 2 merupakan sekuel pamerannya dari ICAD tahun lalu. Kini, dia menangkap makna tema lewat ruang imajinasi dan artistik. Suara-suara yang ada seakan menunjukkan kepada kita untuk menuju pada sebuah perputaran hidup: waiting for an exit... Waiting for life... A start.
Karya-karya yang disuguhkan 45 seniman lain juga memiliki paradigma dan pandangan yang berbeda-beda. Selain instalasi, ada pula patung, lukisan, dan fotografi. Semua memiliki keunikan tersendiri karena dibuat dengan konsep yang matang pula.
Tengok saja instalasi The Battoolah Lamp karya seniwati Arab, Layla Mubarak. Ia piawai menghadirkan susunan topeng yang menyerupai sebuah lampu hias. Topeng yang berasal dari Arab itu dahulunya dipakai kaum perempuan untuk menunjukkan ketaatan mereka pada tradisi, agama, dan status sosial.
Topeng itu sudah hampir tak pernah digunakan lagi sejak dua generasi yang lalu, walau sekali terlihat dipakai oleh perempuan Arab yang sudah tua di Qatar dan Uni Emirat Arab.
Seperti battoolah yang menyembunyikan sekaligus mengetengahkan kecantikan perempuan Arab, lampu yang dibuat dari 200 battoolah itu membingkai dan menyebarkan cahaya yang bersinar dari dalamnya dengan struktur dan bentuk yang hampir mirip.
Daur ulang
Terlepas dari puluhan karya yang memenuhi setiap sudut-sudut hotel itu sejak 30 Agustus hingga 27 September mendatang, ada yang menarik bila kita memperhatikan karya Bambang Wibawarta berjudul Hikayat Mesin Tik.
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, itu menggunakan resin untuk menutupi dua mesin tik yang sudah tak berfungsi secara normal lagi. Karya yang terletak di depan pintu masuk sisi kiri lobi itu seakan mengingatkan pada kejayaan di era 80-an, saat orang-orang menggunakan mesin tik untuk bekerja.
“Selama ini manusia kebanyakan hanya menghargai hasil yang dicapai, bukan proses, apalagi produksinya. Mesin tik banyak berjasa membantu penulis menghasilkan karya-karya sastra, mencetak ilmuwan, bahkan menghasilkan pahlawan yang dilupakan,” ujar Bambang mengenai karyanya itu.
Dia menghadirkan daur ulang mesin tik yang membeku sehingga termumikan dalam derasnya perubahan zaman. Penggunaan resin untuk membuat mesin tik menjadi beku, tetapi tetap terlihat secara transparan.
Bambang seakan mau mengingatkan kepada banyak orang untuk melihat kembali fungsi teknologi yang sudah hampir dilupakan zaman itu. Terlepas dari kenangan yang seakan ingin diingat kembali lewat mesin tik, pematung Yani M Sastranegara menghadirkan patung yang hampir sama seperti objek patung pada Kotak Dollirium 2.
Bedanya, Yani bermain dengan objek patung perempuan lewat karya berjudul Kenangan-Pohon Kahyangan #2013. Ia menafsirkan pohon seumpama teman yang begitu dekat sekaligus benda yang disegani dan ditakuti. Hikayat pohon bersifat magis, religius, epik, dan ilmiah, serta tentunya, menjadi subjek yang berkembang dalam masyarakat tradisi kita.
Dalam karya itu, batang pohon bersandar pada sosok perempuan dengan posisi tunduk. Sosok hawa itu dihadirkan sebagai perlambangan akan ‘ibu’ yang memiliki banyak kesamaan dengan sifat pohon—sifat bumi—yang memberi tanpa pamrih. “Semua karya dalam pameran ini memang unik. Apalagi, ada seni dan desain sehingga membuat semuanya padu dengan konsep yang matang. Saya melihat ada unsur budaya dan adat istiadat yang kuat,” ujar salah satu pengunjung, Puri Ningtyas, yang juga desainer interior.
Pameran di hotel itu tak sekadar menghadirkan nilai seni. Mereka mampu menunjukkan karya yang melampaui batas imajinasi. Tak mengherankan bila Tia Chandra dalam catatan kuratorial pameran mengatakan karya dan seni bukan sebagai ekspresi kreativitas dan estetika semata. Bukan juga gaya hidup dengan konotasi yang glamor. Seni di sini, kata dia, menjadi serangkaian hubungan dengan kehidupan sehari-hari yang realistis. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013
No comments:
Post a Comment