Wednesday, June 30, 2010

Sofyan Lubis Luncurkan Buku Pantun

TEMPO Interaktif, Bandung - Wartawan senior Sofyan Lubis meluncurkan buku pantun karyanya di Bandung, Jawa Barat, pada Rabu ini. Berjudul Pantun Asal2an...ala Bang Sofyan, buku setebal 130 halaman itu memuat 400-an pantun, puisi, juga diselingi ilustrasi karikatur.

Sofyan Lubis. (Dok.TEMPO/Robin Ong)

Pantun dan puisi Sofyan Lubis terbagi dalam tujuh bab. Pengelompokannya berdasarkan hari besar keagaamaan seperti Ramadhan, Idul Fitri, Natal, Imlek, serta pantun gaul.


Menurut Pemimpin Umum harian Poskota itu, isi bukunya berasal dari pantun dan puisi yang dikirimkan kepada kenalannya dan balasan mereka sebagai ucapan selamat hari raya. "Dari surat kemudian ke pesan pendek dikumpulkan, inilah yang dibukukan," ujarnya.


Menurut lelaki 59 tahun itu, pantun akhir-akhir ini marak dipakai, misalnya, oleh pejabat untuk mengakhiri pidatonya. Dengan pantun, acara menjadi tambah ramai. Dengan bukunya, tutur mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia 1993-1998 tersebut, orang tak perlu susah mencari bahan pantun untuk korespondensi atau pidato.

ANWAR SISWADI

Sumber: Tempo Interaktif, Rabu, 30 Juni 2010

Amandemen UU Sisdiknas

Visi Pendidikan Harus Diperkuat

Jakarta, Kompas - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus segera direvisi karena beberapa pasalnya dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, undang-undang tersebut juga tidak sesuai dengan semangat mencerdaskan bangsa.

Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam Seminar Nasional Redinamisasi dan Revitalisasi Penyelenggaraan Pendidikan Swasta Pasca-Pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Seminar tersebut berlangsung di Jakarta, Selasa (29/6), dan diselenggarakan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP PTSI).

Ketua Umum Asosiasi BP PTSI Thomas Suyatno mengatakan, pasal-pasal yang harus diamandemen, antara lain, yang menyangkut soal pembiayaan pendidikan, tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan, dan soal akreditasi pendidikan.

”Dalam soal pembiayaan pendidikan dasar, misalnya, harusnya pemerintah lebih berperan besar,” kata Thomas Suyatno.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam seminar tersebut mengatakan, masyarakat silakan mengadukan ke Mahkamah Konstitusi jika ada peraturan perundangan-undangan apa pun yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Tidak ”legowo”

Dalam seminar tersebut juga terungkap, pemerintah terkesan tidak legowo atau berlapang dada dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Hal itu, antara lain, terkesan dengan disusunnya rancangan atau draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Perppu tersebut hingga kini tidak dibahas karena mengandung beberapa kelemahan. Selain itu, rancangan Perppu yang sudah bocor ke masyarakat juga dikhawatirkan bakal menimbulkan banyak penolakan. Pemerintah kemudian menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Thomas mengatakan, BP PTSI pada prinsipnya akan menolak jika penyelenggaraan pendidikan diseragamkan. ”Biarkan pendidikan berkembang sesuai dengan potensi dan kondisi masyarakat,” kata Thomas Suyatno.

BP PTSI juga akan menolak perundang-undangan pendidikan yang etatisme atau semuanya serba negara, serta peraturan yang menghilangkan sejarah keberadaan yayasan.

”Perguruan Taman Siswa, Muhamaddiyah, dan penyelenggaraan pendidikan lainnya yang berupaya mencerdaskan bangsa sudah ada sebelum Indonesia Merdeka. Semestinya, keberadaan mereka dihargai,” kata Thomas Suyatno.

Visi pendidikan


Mantan Menteri Pendidikan Nasional Daoed Joesoef mengatakan, perlu visi pendidikan yang jelas untuk membangun bangsa ini. Saat ini terkesan pemerintah tidak mempunyai visi pendidikan dan lebih parah lagi mengidentikkan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) sehingga terjadi berbagai kerancuan kebijakan.

Praktisi pendidikan Dharmaningtyas mengatakan, setelah dibatalkannya UU BHP, pemerintah merasa seperti wayang kehilangan penopang atau wayang kelangan gapite. Karena semula UU BHP itu diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat untuk melakukan privatisasi pendidikan, terutama bagi Perguraun Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Selain itu, UU BHP juga menjadi landasan pelepasan tanggung jawab pendanaan pada sekolah-sekolah, terutama sekolah dan perguruan tinggi swasta.

”Barangkali karena keinginan untuk tetap menghidupkan roh UU BHP itulah yang membuat pemerintah terus berupaya mencari legitimasi demi tersusunnya perundang-undangan baru sebagai pengganti UU BHP,” ujarnya. (THY)

Sumber: Kompas, Rabu, 30 Juni 2010

Tuesday, June 29, 2010

Avianti Armand Raih Cerpen Terbaik "Kompas"

Teknik Penulisan Cerpen Berkembang Baik

JAKARTA, KOMPAS - Cerpen ”Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” karya Avianti Armand, seorang arsitek yang juga penulis sastra, memperoleh penghargaan Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2009. Adapun karya Eko Nugroho asal Yogyakarta terpilih sebagai Ilustrasi Cerpen Terbaik Kompas 2009.

Pengunjung mengamati karya-karya pada Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Senin (28/6). Pembukaan pameran tersebut juga ditandai dengan peluncuran buku Cerpen Terbaik Kompas 2009 dan penyerahan anugerah bagi penulis cerpen terbaik yang diraih Avianti Armand, ilustrator cerpen terbaik yang diraih Eko Nugroho, dan sastrawan berdedikasi yang diraih Gus tf Sakai. (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Penghargaan diumumkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Senin (28/6) malam. Ada juga penghargaan Sastrawan Berdedikasi untuk Gus tf Sakai, sastrawan kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat. Para pemenang mendapat hadiah uang serta piala khusus karya pematung Nyoman Nuarta.

Cerpen terbaik itu hasil penilaian tim juri yang terdiri dari pengajar filsafat politik dan ideologi Universitas Indonesia, Budiarto Danujaya, dan mantan Menteri Riset dan Teknologi RI Kusmayanto Kadiman. Pemilihan ilustrasi cerpen dilakukan pengamat seni rupa Jean Couteau dan Eddy Soetriyono.

Pada perhelatan yang bertepatan dengan ulang tahun ke-45 Kompas itu, diluncurkan buku kumpulan Cerpen Kompas Pilihan 2009 yang memuat 16 cerpen. Acara itu juga menandai pembukaan pameran ”Ilustrasi Cerpen Kompas 2009” di Bentara Budaya Jakarta, hingga 5 Juli. Pameran serupa bakal di Bandung, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Bali, serta di Balai Soedjatmoko Solo dan Galeri Orasis Surabaya.

Dalam sambutannya, Budiarto Danujaya mengungkapkan, banyak karya penulis cerpen yang relatif kurang dikenal yang karyanya dimuat di Kompas. Cerpen-cerpen yang terpilih memperlihatkan bermacam teknik penulisan yang berkembang baik serta kekuatan imajinasi dalam karya sastra.

”Kami tidak memakai kriteria macam-macam, kami memihak pada cerpen dengan imajinasi yang kaya. Sungguh menarik, di tengah situasi negeri seperti ini, imajinasi masih hidup,” katanya.

Jean Couteau juga menekankan soal imajinasi. Karya ilustrasi cerpen yang baik tak hanya merangkul unsur narasi cerita, tetapi juga mengembangkan bahasa visual yang menghidupkan imajinasi yang melampaui cerpen.

Menurut Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Trias Kuncahyono, munculnya cerpen dan ilustrasi setiap pekan di Kompas menunjukkan, sastra koran masih hidup. (IAM)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juni 2010

Cendekiawan Berdedikasi: Tak Mudah Pindah ke Tatanan Demokrasi

Jakarta, Kompas - Sosiolog Sediono MP Tjondronegoro mengakui, demokratisasi di Indonesia saat ini memang lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru. Akan tetapi, harus diakui, ternyata memang tidak mudah pindah dari masyarakat adat ke tatanan demokrasi.

Sediono mengungkapkan hal itu saat menerima penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi, Senin (28/6) di Hotel Santika Premiere, Jakarta. Penghargaan dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-45 Harian Kompas itu diserahkan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama.

Selain kepada Sediono (82), penghargaan cendekiawan berdedikasi tahun 2010 juga diberikan kepada ahli hukum Adnan Buyung Nasution (76), astronom Bambang Hidayat (76), arkeolog RP Soejono (84), dan sosiolog Mely G Tan (80). Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada cendekiawan yang dinilai memiliki dedikasi kuat pada bidangnya, serta memberikan inspirasi dan keteladanan kepada orang lain.

Sediono menyebutkan, lemahnya demokratisasi pada masa Orde Baru, saat ini mulai teratasi. Kini, masyarakat semakin terdorong demokratis, antara lain dengan terbentuknya sejumlah lembaga demokrasi dan pelaksanaan pemilihan umum.

”Hukum juga mulai lebih bertakhta. Tetapi, mohon maaf, sebagai orangtua, kok, masih kurang demokratis. Masalahnya, pindah dari adat ke tatanan demokrasi itu memang tidak mudah. Untuk orang yang belajar sosiologi seperti saya, periode ini sangat menarik,” ujar Guru Besar (Emeritus) Sosiologi Pertanian Institut Pertanian Bogor itu.

Jakob Oetama juga merisaukan demokratisasi di negeri ini, terutama karena penyelewengan kekuasaan tidak juga surut. ”Kenapa kekayaan alam yang begitu melimpah, ketika dimanfaatkan, disertai dengan perusakan lingkungan dan masalah pemerataan?” tanyanya.

Jakob memprihatinkan masih kurangnya keteladanan dari pimpinan masyarakat, termasuk dari lembaga demokrasi, seperti partai politik dan DPR. Bahkan, memprihatinkan lagi masih sering ditemukan tidak satunya kata dan perbuatan dari pemimpin bangsa itu. Bangsa ini kekurangan sosok yang memiliki karakter dan keteladanan.

Ingat hati nurani

Sebaliknya, Adnan Buyung mengingatkan pentingnya karakter yang bersumber dari hati nurani untuk menjaga negeri ini. Otak secerdas apa pun jika tanpa hati nurani bisa buta, bahkan menjadi kejahatan bagi manusia lainnya. Ilmu bisa digunakan untuk kepentingan kejahatan.

Adnan Buyung mengakui, Indonesia pernah melewati masa yang kacau- balau. Namun, hati nurani pula yang akhirnya menentukan sejarah negeri ini sehingga kondisinya menjadi lebih baik. Kejujuran dan kebebasan hati nurani harus terus dijaga.

Meski demikian, Adnan Buyung yang mengakui belum banyak memberikan sumbang sih untuk negeri ini terkadang malu dengan kondisi bangsa ini. Meski lebih baik dibandingkan dengan masa lalu, hukum tertulis yang sarat dengan etika dan moralitas masih sering tak konsisten dijalankan.

”Substansi hukum adalah keadilan yang mengedepankan etika. Saya harus mengakui, tetapi kondisinya kini makin menurun,” kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu.

Adnan Buyung mengingatkan, konstitusi di negeri ini tak ada maknanya jika warganya tak bisa menghayati maknanya dan melaksanakan. Makna konstitusi itu adalah jaminan pada hak asasi manusia. (BUR/TRA)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juni 2010

Monday, June 28, 2010

[Liputan Khusus] "Kompas", Referensi Sekaligus Guru

Referensi Kaum Intelektual
CPF Luhulima, Peneliti Senior

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cornelis PF Luhulima (80) masih menyimpan kliping tulisan pertamanya di Kompas. Tulisan berjudul ”Pendidikan Sardjana Sastra pada Djurusan Djerman FSUI” itu dimuat pada 28 Juni 1967.

Sebagai penulis dan peneliti LIPI sejak 1967, Luhulima menjadi pembaca setia Kompas. Bagi dia, level dan kualitas pemberitaan tidak menurun. Kompas tetap menjadi surat kabar nasional yang mewakili masyarakat Indonesia, terutama kelompok intelektual. Artikel atau data yang dimuat dapat menjadi referensi.

Persepsi bahwa Kompas mewakili kelompok intelektual dilihat sejak LIPI berdiri. Bahkan, sebelum LIPI terbentuk Agustus 1967, tulisan intelektual masa itu banyak termuat di Kompas. ”Interaksi kita dengan Kompas erat. Kita libatkan Kompas secara intensif, waktu mau mendirikan LIPI. Kita maunya namanya Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), bukan LIPI,” kata Luhulima yang waktu itu bersama peneliti Lie Tek Tjeng dan antropolog Koentjaraningrat berada di lingkungan Lembaga Riset Kebudayaan Nasional. Kompas pun terlibat dalam pembentukan LIPI.

Kebiasaan Luhulima sebagai pembaca Kompas, termasuk penulis di Kompas, juga ditularkan kepada anak-anaknya. Pada pagi hari, waktu membaca Kompas di meja makan, biasanya lembaran Kompas bertebaran di mana-mana. ”Anak-anak saya membaca. Saya katakan ada berita yang bagus. Lalu, kami juga membicarakannya,” kata Luhulima. Dari kebiasaan membaca dan akrab dengan Kompas di dalam keluarga, salah satu anaknya menjadi wartawan Kompas.

Kompas berperan dalam mengangkat isu politik luar negeri yang strategis. Kerja sama wartawan muda Kompas tahun 1980-an dengan Departemen Luar Negeri, khususnya Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, membuat Kompas menjadi ”terdepan” dalam pemberitaan luar negeri, khususnya ASEAN. Tahun 1980-an, liputan Kompas mengenai ASEAN paling lengkap. ”Kalau mau membaca berita ASEAN mutakhir waktu itu, ya, di Kompas,” katanya.

Pada era reformasi, kualitas Kompas tetap bertahan. Namun, dengan makin banyaknya wartawan, berita semakin banyak. Manajemen pemberitaan menjadi semakin sulit. Kini, analisis luar negeri kurang mendapat tempat karena banyaknya berita harian. ”Analisis atau artikel peneliti atau ahli mengenai luar negeri di Kompas sangat jarang,” katanya.

Kompas perlu memberikan tempat bagi peneliti atau penulis luar untuk memperkaya analisis mengenai luar negeri. Dengan demikian, Kompas, khususnya pemberitaan luar negeri, juga menjadi acuan berkaliber internasional.

Dengan adanya analisis luar negeri diharapkan lebih banyak pembaca dari mancanegara yang membaca Kompas. Apalagi, saat ini, Kompas sudah memiliki kelebihan, yaitu akses pemberitaan yang cepat melalui internet.

Kompas, bagi Luhulima, masih menjadi referensi berbagai kajian di UI. Sebagai gambaran, dua tahun lalu, ada proyek studi UI dengan bekerja sama dengan Asia Foundation mengenai Uni Eropa di Jakarta. Kompas menjadi salah acuan untuk melihat sejauh mana Uni Eropa dikenal di Jakarta melalui pemberitaan-pemberitaan.

(FER)



Bukan Hanya Sekadar Logo
Zulkarnain Adin, Dosen

Zulkarnain Adin (65) masih ingat perjumpaan pertamanya dengan Kompas yang dijual pedagang asongan di pinggir jalan pada 28 Juni 1965. Koran dengan judul muka bahasan rencana penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika II itu menarik perhatiannya. Variasi berita lebih beragam, unggul ketimbang koran yang ada saat itu. Namun, justru ”Amanat Hatinurani Rakjat” yang ada di halaman muka yang membuatnya jatuh hati.

”Saya terkejut karena koran yang baru terbit ini percaya diri ingin memperjuangkan masyarakat. Namun, perlahan saya merasakan hal itu tepat karena Kompas terbukti mampu menjadi penyambung lidah masyarakat Indonesia lewat beragam pemberitaan,” ujar pembaca di Bandung.

Tanpa berpikir lama, ia mencari informasi untuk berlangganan. Saat itu, harga langganan Rp 500 per bulan. Kompas terbit setiap pagi kecuali hari Minggu. ”Tidak ada sedikit pun keraguan. Saya yakin Kompas bisa membantu saya dan mungkin rakyat Indonesia,” ujar pengagum Jakob Oetama ini.

Sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, ia mengibaratkan Kompas sebagai guru tambahan memahami beragam permasalahan yang terjadi di Indonesia dan dunia, khususnya pertanian. Banyak ulasan dan realitas tentang tanah dan pertanian sesuai dengan teori pertanian dibahas Kompas. Itu berguna dalam memberikan contoh dan pemahaman pada mahasiswa tentang teori di kelas.

”Kebiasaan itu masih saya terapkan. Untuk memperkaya bahan pelajaran, saya terbiasa mencari referensi tambahan dari Kompas,” ujarnya.

Pengalaman lain yang membuatnya setia adalah inisiatif Kompas dekat dengan pembacanya. Hal itu diwujudkan dengan terbentuknya Forum Pembaca Kompas (FPK). Di dalam FPK, Kompas memberikan kesempatan pembaca melakukan kritik atau saran tentang pemberitaan.

Istri dan kedua anaknya mendapatkan pengalaman menarik bersama Kompas. Istrinya, Elin Halimah, mengatakan, Kompas seperti mengetahui kegemarannya memasak. Ia belajar tentang sajian dan cara pembuatan makanan lewat Kompas.

Ia meminta semua awak Kompas menjaga kemurnian ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Semboyan itu, bukan sekadar logo pemanis, melainkan memiliki arti sangat dalam. Kompas dituntut selalu ada di samping rakyat dengan tujuan akhir mencerdaskan dan menyejahterakan mereka. Bila hal itu tetap dijaga, Adin yakin, kesejahteraan dan kemajuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia pasti tercapai. (CHE)



Menu Sehari-hari
Tan Bie Gian, Pelukis

Tan Bie Gian (62) kenal Kompas sejak Kompas terbit perdana 28 Juni 1965. Awalnya, anak tunggal pasangan mendiang Tan Gwat Liang-Liem Han Nio ini terbiasa membaca Sinpo, koran yang dilanggani ayahnya.

Putusan memilih Kompas didasari pendiri Kompas yang eks pengelola majalah Star Weekly yang sudah diakui bobotnya. ”Sejak awal, sebelum terbit sudah dikasih tahu. Kabarnya ada koran baru yang kelihatannya bagus, pengelolanya eks Star Weekly,” kenang Bie Gian.

Sejak saat itu ia pun menjadi pelanggan setia Kompas. Mulai sekadar membaca Kompas yang terbit ala kadarnya sampai saat ini ketika Kompas sudah tampil sedemikian rupa seperti sekarang. ”Apalagi ulang tahun saya 27 Juni, berdempetan dengan ulang tahun Kompas. Jadi susah lupa,” kata Bie Gian yang sejak 15 tahun terakhir aktif melukis.

Selama 45 tahun, Kompas menemani perjalanan hidup Bie Gian. Karena itu, Bie Gian pun hafal dengan ”masa-masa susah” Kompas. Misalnya, ketika kerusuhan 1965 pecah, Kompas mesti cetak dengan fasilitas seadanya. ”Kertasnya pernah pakai kertas kuning dan biru,” kenang Bie Gian. ”Kalau kertasnya biru, itu paling susah dibaca.”

Bie Gian pun bisa menyandingkan perjalanan hidupnya dengan materi yang termuat di Kompas. Misalnya, masa ketika Bie Gian menemani ibunya yang sakit sampai kemudian meninggal pada 1985. ”Waktu itu, ibu saya membaca cerita Srintil (dalam cerita bersambung Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari),” kata Bie Gian.

Bie Gian menyadari, bagi sebagian kalangan, Kompas mungkin dianggap ”berat”. Hanya kalangan tertentu saja yang bisa memahami Kompas. Namun, tidak susah membuat Bie Gian ”mencandu” Kompas. Terbawa kebiasaan orangtua, sejak kecil Bie Gian pun terbiasa membaca koran serta buku dan bacaan berbobot lainnya.

”Tanpa disuruh, sudah baca dengan sendirinya,” katanya. ”Bagi keluarga kami (waktu itu) yang terbiasa membaca Sinpo, membaca Kompas itu seperti tidak ada peralihan, tidak ada kesulitan,” kata Bie Gian. ”Pas buat kami. Ibarat makanan, ini menu sehari-hari.”

Kebiasaan membaca Kompas itu terbawa kepada istri dan ketiga anak yang beranjak remaja itu pun terbiasa membaca Kompas. Tidak melulu Kompas Muda atau Kompas Anak yang ditujukan buat anak seusia mereka, ketiga anak Bie Gian akrab dengan rubrik umum lainnya di Kompas. ”Tidak mesti anak kecil hanya baca Kompas Muda atau Kompas Anak. Anak-anak saya sudah baca yang umum, dari depan,” kata Bie Gian.

Bie Gian mengakui Kompas konsisten menjaga keseimbangan. Substansi lebih dikedepankan ketimbang sensasi. Sikap kritis, meski ala Kompas, tetap terlihat dalam banyak kejadian, semisal saat kerusuhan 1998. Kompas tetap bisa jadi acuan, dengan gayanya sendiri mengungkapkan fakta, berani menyampaikan hal tersembunyi di saat sebagian menganggap itu tidak ada dan lebih baik ditutup saja. (DIK/WEN)



Hafal Inisial
Nancy Salindeho, Ibu Rumah Tangga

Perempuan kelahiran Surabaya, 53 tahun lalu, sudah membaca Kompas sejak usia 10 tahun, tepatnya ketika dia duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. ”Saya tahu Kompas sejak tahun 1968, artinya mulai membaca sendiri,” kata Anastasia Nancy Salindeho, yang sampai sekarang rutin mengkliping berita dan foto menarik.

”Saya tahu ada Kompas di rumah sejak belum duduk di bangku sekolah. Tapi baru membaca mulai dari berita utama hingga halaman terakhir setelah duduk di kelas IV SD Katolik Santa Maria Jalan Raya Darmo, Surabaya.”

Semua anggota keluarganya, menurut Nancy, begitu setia sebagai pembaca Kompas karena koran ini ibaratnya nasi yang mengenyangkan. Kalau belum membaca Kompas berarti belum kenyang. ”Semua anggota keluarga rela ”berjaga” di depan rumah dengan tujuan agar bisa lebih awal membaca begitu loper melemparkan koran ke teras rumah,” begitu Nancy mengungkapkan kesetiaan keluarga beranggotakan enam orang itu sebagai pembaca Kompas.

Diungkapkan, sang ibu yang kini berusia 84 tahun masih rutin membaca Kompas. ”Sampai sekarang kalau koran telat datang, mama pasti ’ribut’,” ujar perempuan yang menerima Kompas di rumahnya rata-rata pukul 06.00.

Kompas yang begitu bermakna bagi anggota keluarga sehingga hampir seluruh keluarga besarnya di mana pun berada tetap menjadi pelanggan Kompas. ”Ketika kami anak-anak, empat orang masih tinggal bersama, sering Kompas terbitan Minggu dibeli eceran hingga tiga eksemplar. Tujuannya, untuk berlomba mengisi teka-teki silang (TTS) bersama orangtua.

”Bagi yang lebih dulu selesai mengisi TTS, rasa bangga luar biasa karena semua kan pasti baca Kompas, tetapi masih saja ada yang kalah,” ujar Nancy, yang berharap Kompas mampu mempertahankan kualitas, meski di tengah persaingan media yang luar biasa.

(ETA) Bakdi Soemanto

Oleh-oleh untuk Anak

BAKDI SOEMANTO Guru Besar UGM

Begitu akrabnya Kompas bagi keluarga Bakdi Soemanto (68) yang tinggal di Deresan, Sleman, DI Yogyakarta. Setiap kali berkunjung ke rumah putri bungsunya yang tinggal terpisah, budayawan itu membawakan Kompas sebagai oleh-oleh.

Bukannya tak mampu membawa oleh-oleh lebih mahal. Bagi Bakdi, mengetahui informasi dan berita dari sumber yang bisa dipercaya merupakan keharusan. ”Kebetulan anak saya ini tidak berlangganan koran sejak tinggal di rumah sendiri. Jadi, saya bawakan Kompas supaya tetap tahu apa yang terjadi di seluruh Indonesia,” tutur Bakdi.

Puluhan tahun berlangganan, kehidupan keluarga Bakdi memang tidak bisa lepas dari Kompas. Pensiunan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang masih aktif mengajar itu berlangganan Kompas sejak awal terbit, 28 Juni 1965. Sejak Kompas terdiri satu lembar hingga rata-rata terbit 32 halaman.

Perkenalannya dengan Kompas bermula dari rekannya, Sudibyakto, adik WS Rendra, yang menjadi wartawan Kompas. Dia makin sering membaca Kompas saat berita dan aktivitas seni dan budaya menjadi bahan tulisan.

Bakdi menemukan kepuasan setelah membaca Kompas. Melalui Kompas, dia bisa meneropong pemikiran yang berkembang di Indonesia. ”Banyak pemikir yang memilih Kompas untuk menuangkan visi dan pemikirannya. Kompas juga menjadi barometer sastra di Indonesia melalui lembar cerita pendek dan puisinya,” ujarnya.

Bakdi pun pernah mewarnai lembar Kompas dengan cerita bersambung karyanya berjudul Kalung Tanda Silang ataupun berupa tulisan-tulisan mengenai budaya.

Dari sisi pemberitaan, Kompas hingga saat ini masih menjadi pedomannya untuk memperoleh informasi akurat dan netral. Akurasi dan netralitas itu mampu menepis simpang siur pemberitaan media yang makin bebas seperti sekarang ini.

Bakdi berharap, Kompas tetap menjadi pedoman dengan menjaga kredibilitas dan kualitas pemberitaan. Ia berharap Kompas tetap netral, tetap menjaga kejernihan berita, dan tidak turut arus kesimpangsiuran isu pemberitaan yang saat ini mengemuka. ”Saya berharap Kompas bisa berkembang seperti harian Le Monde di Perancis yang menjadi acuan kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Satu kritik disampaikan Bakdi adalah soal terbatasnya ruang penulisan pemikiran di Kompas. ”Tulisan orang luar kerap ditolak kalau satu acara sudah ditulis wartawannya. Padahal, topik penulisan sangat berbeda meskipun dari satu acara yang sama. Seharusnya bisa memperkaya pemberitaan,” katanya.

Selama hampir 45 tahun menjadi pembaca setia, Bakdi masih mewarnai hari-harinya dengan Kompas di meja makan keluarganya. Harapan dan kepercayaan itu masih akan terajut lebih panjang. (IRE)



Jangan Lupakan Sejarah
Viator Parera, Pensiunan

Benediktus Viator Parera, warga Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang lahir 6 Februari 1935, ini adalah salah satu dari ribuan penandatangan dukungan berdirinya Harian Kompas. ”Kami diminta Pastor Hendrik Djawa SVD membuat tanda tangan di sebuah buku tulis,” kenangnya saat ditemui di kediamannya di Maumere, Sabtu (5/6).

Beberapa hari kemudian, Frans Seda (alm), yang juga putra Sikka meminta dirinya untuk mengumpulkan tanda tangan. Karena itu, dia bersama dua rekan pemuda lain, yaitu EP da Gomes dan Sius da Cunha, berjalan kaki puluhan kilometer ke setiap paroki. ”Saya sudah lupa banyak hal sekitar ini, termasuk jumlah pasti penandatangan waktu itu, sekitar tahun 1964 atau 1965. Tetapi, ada ribuan orang,” kata Viator yang kini sudah berusia 75 tahun itu.

Viator mengaku membaca Kompas sejak tahun 1969 saat melanjutkan pendidikan di sekolah Pertanian di Pasar Minggu, Jakarta. Menurut dia, tulisan PK Ojong dan Jakob Oetama sangat tajam dan mengingatkan semua pihak waktu itu.

Ia pun berharap, Kompas pada usianya yang ke-45 ini tidak melupakan masyarakat Indonesia Timur. ”Bung Karno mengatakan, jangan sekali-kali melupakan sejarah,” ujarnya. (KOR)




Kehilangan Brouwer
Fajar Asrama Siahaan, Kolumnis

Kompas bagi kolumnis Fajar Asmara Siahaan merupakan koran berkelas. Tulisan yang muncul pun mendalam, cenderung investigatif, dan aktual. Oleh karena itulah dia setia membaca Kompas sejak tahun pertama koran itu terbit.

Dia membaca Kompas sejak tahun 1965 ketika jumlah halaman masih empat dan tulisannya masih buram. Saat itu, dia belum berlangganan, tetapi membelinya secara eceran dari kios. Selain Kompas, ia membaca sejumlah media dengan tujuan memperluas pengetahuan. Pengetahuan yang luas dibutuhkan karena saat itu dia menjadi aktivis Partai Nasional Indonesia dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Nasional, Jakarta.

Pada tahun 1970-an, dia pindah ke Medan dan baru tahun 1980-an, Fajar berlangganan Kompas. Saat itu dia juga berlangganan dan membeli koran lainnya. Banyaknya koran yang dibaca itu untuk memperkaya referensi sekaligus membaca situasi politik saat itu.

Dia memutuskan berlangganan Kompas karena isinya mencerahkan. Setelah membaca koran, artikel yang menarik, terutama tentang politik dan ekonomi, dia menggunting dan mengkliping hari itu juga. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang. ”Kekuatan Kompas yang membuat Saya tertarik adalah karena tidak beropini. Opini diserahkan kepada pembaca melalui kolom khusus,” kata Fajar di Medan.

Penulis opini di Kompas pun bukan sembarang orang. Dia tertarik dengan tulisan dua penulis opini di Kompas, yakni YB Mangunwijaya dan MAW Brouwer. Menurut Fajar, tulisan kedua orang itu sangat bermutu.

Setelah tak lagi menjadi eksportir. Fajar kemudian lebih banyak menulis dan berbicara di seminar dan pertemuan. Dia menggeluti dunia tulis-menulis sambil terus mempertahankan kebiasaannya membaca. Dari kebiasaan membaca itu dia tertarik untuk menulis. Saat ini, telah banyak buku bertema ekonomi dan politik telah ditulis. Dia juga menjadi penulis tetap di sebuah harian lokal ternama di Sumut. ”Kompas membantu saya dalam mencari ide tulisan,” katanya.

Bagi Fajar, kebiasaannya membaca, terutama membaca Kompas, tidak pernah secara khusus diajarkan kepada ketiga anaknya. ”Mungkin karena sering melihat saya membaca, akhirnya ketiga anak saya ikut rajin membaca dan berlangganan Kompas,” ujarnya.

Fajar menceritakan, sejak duduk di bangku sekolah dasar, kebiasaan membacanya terbilang tinggi dibandingkan dengan teman-temannya. Dia kerap berada di warung kopi untuk membaca koran yang biasanya dibaca pembeli. Dia juga meminta salah satu teman sekelasnya untuk membawa koran milik ayahnya ke sekolah. Kebetulan, ayah dari teman Fajar itu seorang kepala sekolah. Hal yang sama juga dia perlakukan kepada temannya yang ayahnya seorang asisten kebun dan berlangganan koran Mimbar Umum. ”Jadi, koran kemarin saya baca hari ini,” ujarnya. (MHF/MAR)



Jatuh Cinta karena Kartun
Yayah Sugihat, Kepala Sekolah

Keterpikatan Yayah Sugihat (61) kepada Kompas bermula dari kartun yang ditampilkan pada edisi Minggu. Kritik sosial melalui kisah Panji Koming, Timun, dan Konpopilan itulah yang pertama kali dibaca Yayah saat remaja.

”Kartun di Kompas merupakan sindiran cerdas. Saya mendapatkan informasi aktual yang menghibur,” tutur perempuan yang saat ini menjadi Kepala Sekolah SMK Telkom Sandhy Putera I Makassar, Sulawesi Selatan, di ruang kerjanya, Rabu (9/6).

Yayah mengenal Kompas dari almarhum kedua orangtuanya, Sutadi dan Etty, yang berlangganan sejak tahun 1965. Beragam informasi yang disajikan membuat Yayah yang kala itu duduk di bangku SMA menyukai Kompas. ”Waktu itu Kompas seperti membuka wawasan saya mengenai berbagai hal baru,” ungkap ibu dari tiga orang putra ini.

Saat diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1968, Yayah menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk berlangganan Kompas. Ulasan Kompas mengenai pertanian serta ilmu pengetahuan dan teknologi semakin menjadi favoritnya ketika bekerja di Pusat Penelitian Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Jakarta pada 1974.

Dua tahun kemudian, Yayah menikah dengan seorang pegawai PT Telkom, Anak Agung Gde Bagus (64), yang juga pembaca Kompas. Kegemaran membaca Kompas pun tetap terjaga meskipun Yayah harus mengikuti sang suami yang ditugaskan di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Bekal sebagai sarjana teknologi pangan mendorong Yayah menjadi guru sukarelawan di SMA Negeri Waingapu yang baru saja dibuka tahun 1976. Tinggal di tempat yang terpencil tak menyurutkan niat Yayah tetap berlangganan Kompas yang kala itu tiba dua hari sekali di Waingapu. ”Beberapa berita di Kompas saya butuhkan untuk memperkaya materi pengajaran,” kata Yayah.

Kebiasaan itu berlanjut ketika Yayah dipercaya mengajar di SMK Telkom Sandhy Putera II Makassar pada tahun 1995. Analisis dalam rubrik kesehatan dan pendidikan kadang kala menjadi salah satu acuannya dalam mengajar. Bahkan, koran Kompas langganannya selalu dibawa ke sekolah dan ditaruh di ruang tamu. ”Supaya semakin banyak orang yang mengenal Kompas,” ujar Yayah.

Kebiasaan membaca Kompas juga dikenalkan kepada tiga orang putranya.

”Apa yang sudah disajikan Kompas saat ini sudah bagus. Hanya saja, agar koran ini tidak dicap sebagai koran ’orang tua’, Kompas seyogianya menyediakan juga rubrik untuk remaja,” kata Yayah yang rutin mengikuti kegiatan Forum Pembaca Kompas ini. Selain itu, ia juga berharap Kompas tetap memanggungkan tokoh-tokoh inspiratif yang ada di Tanah Air. (RIZ)



Jangan Hanya Berita Buruk
JB Anggono, Dokter

Dokter JB Anggono MARS (65) membaca Kompas sejak mahasiswa kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1965. Ia kenal dengan Kompas pada tahun penuh gejolak menyusul peristiwa G30S. Ia tak ingat bulan pertama kali membaca Kompas. Yang pasti, tahun 1965—tahun terbit Harian Kompas—ketika ia masih kuliah tingkat II.

”Keluarga kami keluarga aktivis dan suka baca. Bapak saya aktivis Partai Katolik, sedangkan saya aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Waktu itu yang berlangganan Kompas adalah bapak, saya cuma numpang baca,” kata Anggono.

Beberapa hal membuat ia setia membaca Kompas.

Pertama, ikatan batin. Kedua, berita aktual dan akurat. Ketiga, masih dapat dipercaya posisinya terhadap sesuatu kasus.

”Membaca Kompas membuka wawasan. Membantu saya dalam pekerjaan dan mendapatkan informasi berbagai persoalan hangat. Saya percaya informasi dan analisis Kompas, meskipun kadang saya punya pendapat sendiri,” ungkapnya.

Ada satu alasan lagi yang membuatnya setia, karena Kompas memuat cerita bersambung dan kartun yang kritis. Cerbung membuatnya penasaran sehingga tak pernah ketinggalan membaca. Ia senang karena Kompas kembali memuat cerita bersambung.

Anggono beberapa kali putus langganan Kompas. Semua karena tugas, seperti kursus singkat di Budapest (1972) dan negara lain. Meskipun putus berlangganan, ia tetap membaca Kompas dengan membeli eceran atau meminjam. ”Di Hongaria, saya baca juga. Kompas ada di kedutaan waktu itu,” kata dia. Ia di sana empat bulan untuk kursus yang diadakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Terkait profesinya sebagai dokter, ia memiliki minat besar terhadap artikel kesehatan di Kompas. Sejumlah artikel kesehatan ia kliping lalu ditempelkan di papan pengumuman rumah sakit agar dibaca banyak orang.

Pada era teknologi digital seperti sekarang, posisi koran seakan tergeser televisi, radio, dan internet. Kecepatan informasi tak bisa ditandingi media format cetak.

Bagi dia, Kompas terkadang memuat topik kurang hangat atau terlalu banyak memuat berita buruk. Ungkapan bad news is good news, bagi Anggono, tak selamanya berlaku karena pembaca bisa bosan kalau terus-menerus membaca berita buruk.

Kesan mendalam bagi Anggono selama puluhan tahun membaca Kompas adalah peran media sebagai pembangun karakter bangsa. ”Di Kompas, saya temukan dalam tulisan opini, analisis, dan sosok. Tulisan-tulisan seperti itu harus selalu ada di Kompas,” kata kakek satu cucu itu. (WAD/GSA)



Ketularan Ayah
Willy Ranuhandoko, Manajer

Kehadiran Kompas dalam kehidupan keseharian seorang Uldericus Willy Ranuhandoko, manajer perusahaan manufaktur otomotif, sudah ”mendarah daging”. Willy, begitu dia disapa, mengenal Kompas sejak masih berusia delapan tahun, tahun 1967.

Saat dia masih duduk di kelas II sekolah dasar di Sukabumi, Jawa Barat. Setiap sore, Willy kecil punya kewajiban. Ayahnya yang seorang guru SD memintanya membeli koran Kompas di satu-satunya agen koran di Sukabumi, milik seorang bernama Suryadi. Karena mengenal ayah Willy sebagai seorang guru, sang pemilik agen yang baik itu sesekali menggratiskan korannya.

”Saya senang. Artinya, uang untuk membeli koran bisa saya belikan layang-layang di toko layangan terkenal di gang sebelahnya. Pengalaman membeli Kompas saat kecil boleh jadi pengalaman menyenangkan dan tak terlupakan,” kata Willy tersenyum.

Seiring waktu, Willy mengaku mulai ”ketularan” ayahnya gemar membaca Kompas. Apalagi, setelah sang ayah mengajarinya ”cara membaca koran”, yang benar, dengan menjelaskan apa itu kolom, baris, headline, atau rubrik.

Sekali waktu Willy mengaku pernah membaca berita dan foto Perdana Menteri Israel saat itu, Golda Meir. Golda, menurut pandangan Willy, jauh lebih mirip sebagai seorang laki-laki dengan sosok yang tinggi seperti tampak dari foto yang dimuat di Kompas edisi tersebut. Menurut pemahamannya kala itu, Kompas salah menulis Golda sebagai perempuan.

”Waktu itu saya kirim surat pembaca ke rubrik ’Redaksi Yth.’ Keesokannya, surat itu dimuat dengan jawaban balasan, Golda benar seorang perempuan. Tidak cuma itu, saya malah dikirimi surat oleh pembaca lain, yang di dalamnya terdapat foto Golda berseragam tentara perempuan Israel,” ujar Willy.

Willy senang karena merasa keingintahuannya dihargai dan dia malah banyak mendapat masukan informasi baru. Pengetahuan baru yang beragam juga diperolehnya dari kegemaran Willy mengisi teka-teki silang (TTS). Walau tidak pernah memenangi hadiah uang dari rubrik itu, kebiasaannya mengisi TTS membantu dalam mempersiapkan dirinya setiap akan ikut lomba cerdas cermat antarsekolah di Sukabumi mewakili sekolahnya.

Saat dewasa, Willy diminta terlibat dalam Forum Pembaca Kompas sejak tahun 2002 dan malah sempat sekali menjadi ketuanya. Ada beberapa hal yang menjadi kepedulian. Tidak hanya isi dan cara penulisan berita, Willy mengkritik sejumlah iklan. Beberapa iklan produk mewah tidak pas dengan visi-misi Kompas seperti tertulis dalam mottonya, ”Amanat Hati Nurani Rakyat”.

Dengan perkembangan teknologi informasi, kalau cuma mau cari berita baru dan up to date, hal itu bisa saja dilakukan setiap detik melalui berbagai layanan mobile internet di telepon genggam. ”Buat saya, pemberitaan Kompas menjadi semacam konfirmasi berita terkait kejadian atau peristiwa. Ada kedalaman, akurasi, sudut penulisan berbeda, dan kepercayaan saat membaca berita Kompas,” ujarnya. (DWA)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Liputan Khusus] Mely G Tan: Guru Kehidupan

Age is opportunity no less…..

POTONGAN puisi karya penyair AS, Henry Wadsworth Longfellow, itu rasanya tepat untuk mendeskripsikan Mely G Tan, PhD. Usia yang menapak 80 tahun pada tanggal 11 Juni itu tak menjadi halangan untuk terus bergerak, bahkan melakukan perjalanan jauh. Sendiri.

Tubuh yang diakui semakin rapuh, diringankan oleh selera humornya yang tak sedikit pun melemah. Semangatnya terjaga, suaranya tetap bertenaga.

”Waktu usia 60, saya merasa usia 80 tahun itu sudah tua benar, ya. Tetapi, sekarang, setelah mencapai 80 tahun, rasanya biasa saja, tuh. Memang sih, lututnya terasa lebih sakit dibanding umur 40-an he-he-he…,” tutur Mely, suatu petang di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan, yang semarak dengan rangkaian bunga dari teman-temannya.

Akhir bulan Maret lalu, ia berangkat ke AS untuk menengok kakaknya sambil menjemput adik laki-lakinya yang sudah enam bulan di sana. ”Baru sekarang saya minta bantuan kursi roda di bandara,” ujarnya.

”Sebenarnya masih bisa jalan, tetapi kan jauh sekali jalannya. Di Los Angeles, begitu turun pesawat, sudah ditunggu. Di imigrasi yang antre ada 1.500-an, bayangkan berapa jam. Tetapi, yang berkursi roda termasuk disabled, ada counter khusus, jadi cepat. Di luar sudah dijemput, langsung ke mobil, brrrr langsung deh ke rumah.”

Tak pernah pensiun

Suasana di beranda terasa seperti petang ketika kami menjumpainya, Oktober tahun lalu, saat ia dianugerahi Nabil Award 2009 atas jasanya mengembangkan proses pembangunan bangsa Indonesia melalui penelitian, penerbitan karya-karya ilmiah, dan aktivitas lain yang memberikan pencerahan kepada publik.

Sosiolog terkemuka Indonesia berpangkat ahli peneliti utama itu merasa tak pernah pensiun meski sudah pensiun sejak tahun 1997 dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) setelah bekerja lebih dari 32 tahun. Ia masih terus bekerja dan meneliti. Karya-karyanya mengalir.

Tahun lalu, ia menulis makalah tentang ”Peranakan Tionghoa dan Negara” untuk seminar di Singapura. Bulan Mei seharusnya ia menghadiri seminar International Society for the Study on Chinese Overseas di Singapura, tetapi tidak pergi karena baru kembali dari AS. ”Myra Sidharta pergi dan menulis paper. Dia hebat, usianya 83 tahun,” ujar Mely.

Sampai hari ini, Mely masih bekerja sampai tengah malam. Tulisannya bertema I have a dream baru selesai, dipersiapkan untuk antalogi tulisan para tokoh berusia di atas 78 tahun. Tanggal 1–6 Juli dia ke Batam untuk pertemuan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara—ayahnya adalah generasi kelima imigran China di Indonesia, bekerja sebagai akuntan di perusahaan Belanda—tradisi intelektual di dalam keluarga tumbuh berkat dukungan ibunya.

”Saya selalu bangun pukul enam pagi, tetapi hari ini kesiangan he-he-he...,” ujarnya melalui telepon, suatu pagi, sekitar pukul 07.30. Setiap Sabtu, ia bangun pukul 05.00 dan pukul 05.15, melakukan senam tera bersama tetangga.

Kalau ulang tahun ke-70 diisi kejutan para sahabat dengan perhelatan di Gedung Erasmus Huis, ulang tahun ke-80 diisi dengan syukuran oleh teman-temannya di PMP-LIPI.

Petang itu kami membicarakan berbagai hal; dari soal poligami sampai demokrasi dan kepemimpinan. Berbeda dengan pandangan umum, Mely tidak terjebak dalam notion ”benar-salah”.

”It takes two to tango,” ujarnya, ”Jujur saja, selama ada perempuan yang mau punya separuh, sepertiga, seperempat suami, akan selalu ada laki-laki yang mau ngibuli istrinya untuk kawin lagi. Sekarang, bahkan anak muda, yang tahu aspirasi kesetaraan, mau juga berpoligami. Dulu kita anggap itu sisa-sisa kebudayaan lama.”

Oleh karena itu, ”Orangtua harus membuat anak perempuannya mandiri, tidak tergantung sama laki-laki kalau menikah, bukan karena kekhawatiran ditinggal suami,” ujarnya, ”Kemandirian memberikan kekuatan dan kepercayaan diri kepada perempuan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.”

Mely melihat ada pengaruh faktor demografi terhadap poligami. ”Kalau jumlah perempuan usia menikah lebih banyak daripada laki-laki, gagasan ’perempuan harus dilindungi’ akan mendorong poligami.”

Namun, asumsi demografi itu bisa patah. Ketika jumlah perempuan dan laki-laki usia menikah berimbang, tetap ada perempuan muda, berpendidikan, mandiri, bisa cari nafkah sendiri, tahu arti kesetaraan, mau menikahi laki-laki beristri.

”Ini yang susah. Tetapi, kan biasanya laki-lakinya punya kekuasaan, apa pun bentuknya. Nah, kekuasaan punya sex appeal juga kan. Lihat saja film Berbagi Suami....”

Bagaimana Anda mengaitkan soal itu dengan demokrasi?

Kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan aspek hak asasi manusia dalam one woman one man, serta kesempatan sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memilih, adalah salah satu inti demokrasi substansial. Di Singkawang, anak-anak perempuan Tionghoa keluarga miskin dikawinkan dengan laki-laki Taiwan karena tak punya pilihan. Keluarganya miskin. Kalau ia mau menikah, keluarganya dapat uang. Kan, ada comblang.

Kita masih punya banyak masalah dengan kesetaraan. Di dokumen legal, perempuan harus memakai atribut ’nyonya’ kalau menikah, dan ’nona’ kalau tidak menikah. Laki-laki, mau menikah mau tidak, tetap saja ’tuan’. Bahasa Inggris sekarang banyak memakai Ms, bukan lagi Mrs. Dari sudut bahasa ini mendukung kesetaraan.

Bagaimana Anda melihat demokrasi politik dan pemimpin saat ini?

Secara kelembagaan dan mekanisme semua ada. Ada pemilihan umum, ada kebebasan pers, ada parlemen, dan lain-lain, tetapi semuanya cuma bentuk, tak ada isinya. ’P’ dalam DPR tak bisa semata-mata diterjemahkan ’Perwakilan’. Mereka tidak banyak berpihak pada kepentingan rakyat. Kepemimpinan lemah. Punya otoritas mengambil keputusan, tetapi tidak digunakan karena dipenjarakan kepentingan. Coba lihat kasus Lapindo yang malah dikategorikan sebagai bencana alam. Bagaimana ini?

Mengalir

Perempuan sosiolog pertama Indonesia lulusan Universitas Berkeley, AS, itu adalah salah satu saksi penting sejarah perubahan politik di Indonesia, terkait pengakuan pemerintah terhadap soal kekerasan terhadap perempuan, yang kemudian melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Oktober 1998. Ia menjadi salah satu komisioner periode 1998–2003.

Mendengar gayanya bercerita, semua terasa mengalir, apa adanya. Ia merasa tak ada yang disesali, termasuk pilihan hidup sendiri, meski keluarga sempat khawatir.

Mely sudah melewati hidupnya dengan penerimaan penuh. ”Sekarang rasanya semua jauh lebih ringan...,” ujarnya.

Maka kami lanjutkan sebait puisi Longfellow ini, untuk Mely:

Age is opportunity no less//

Than youth itself//though in another dress//

And as the evening twilight fades away//

The sky is filled with stars, invisible by day.


(Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Liputan Khusus] RP Soejono: Ahli Prasejarah Indonesia Pertama

LANGKAHNYA begitu pelan, mendaki satu per satu anak tangga di Gedung Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Pustlit Arkenas), Jalan Raya Condet Pejaten, Nomor 4, Jakarta Selatan, Rabu (23/6). Tangan kanannya memegang pagar tangga, sedangkan tangan kirinya menggenggam tongkat. Sejenak dia berhenti, tetapi terus melangkah lagi menuju kantornya di lantai dua, tepat di depan tangga. Hanya langkah lambat itu yang menandai usia menggerogoti fisik Prof Dr Raden Panji Soejono.

RP Soejono adalah salah satu arkeolog Indonesia pertama. Bahkan, pria kelahiran Mojokerto, 27 November 1926, itu adalah pakar prasejarah pertama negeri ini. Meski usianya sepuh, dia tidak memiliki penyakit degeneratif. Justru pada hari tuanya dia tetap sibuk, seperti menulis artikel dan memeriksa disertasi mahasiswa dari dalam dan luar negeri.

Ada kejadian lucu soal memberikan bimbingan kepada mahasiswa yang tengah menyusun disertasi. Mahasiswa itu berasal dari Malaysia. Untuk membimbing calon doktor seperti itu, Soejono sebagai pembimbing mendapat honor Rp 400.000 per mahasiswa. Nah, pembayaran dari Malaysia ternyata melalui bank yang tidak ada cabangnya di Indonesia. Alhasil, kiriman itu pun tidak sampai ke tangan Soejono.

”Saya tidak tahu kiriman uang itu sampai di mana. Saya juga tidak menagih. Entah kapan persisnya, saya sudah lupa,” kata Soejono di ruang kerjanya yang penuh berisi buku dan disertasi para mahasiswa.

Sebagai profesor prasejarah, Soejono membimbing banyak calon doktor dari berbagai negara. Dulu, dia membimbing mahasiswa, antara lain dari Perancis, Belanda, Australia, Amerika Serikat, India, Jepang, Malaysia, dan Indonesia. Semasa aktif, Soejono mengajar di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, dan beberapa universitas lainnya. Sekarang, dia hanya membimbing satu kandidat doktor dari Malaysia.

”Ada dua lagi dari Malaysia, tetapi saya tolak,” ujar Soejono. Dia menolak karena usianya terus meninggi dan fisiknya tidak sekuat dulu lagi. Padahal, sampai masa pensiun usia 65 tahun di Puslit Arkenas, Soejono masih aktif mengunjungi situs, termasuk mendatangi situs-situs yang berada di perbukitan atau pegunungan.

Perjalanan hidup

Perjalanan hidup mantan Kepala Puslit Arkenas itu penuh warna. Dia berpindah kota mengikuti ayahnya, Soeroso, dulu anggota Volksraad pada zaman Belanda dan Residen Kedu. Sekolahnya pun berantakan karena zaman bergolak. Namun, dia lancar berbahasa Belanda.

Ketika Soejono berusia 19 tahun, di daerah Malang, Jawa Timur, dia ditangkap Belanda. Dia dijebloskan ke dalam bui sebesar lemari pakaian berukuran sempit dan gelap. Namun, tentara Belanda yang menangkapnya bingung karena Soejono pandai berbahasa Belanda. Tentara tersebut akhirnya membebaskan dia.

”Tentara Belanda itu menganggap saya mungkin orang penting sehingga tidak berani membunuh saya. Saya pun selamat. That was the best year of our life,” kata Soejono mengenang.

Sebagai arkeolog senior, Soejono mengalami masa awal tumbuhnya arkeologi di Indonesia. Dari bangsa Belanda, bangsa Indonesia mengenal arkeologi dan memiliki arkeolog. Dia memilih spesialisasi prasejarah karena ketika itu tidak ada yang mengambil spesialisasi tersebut. R Soekmono dan Satyawati Suleiman mengambil spesialisasi klasik, sedangkan Boechari mendalami studi epigrafi. Alhasil, hanya dia yang menjadi murid HR van Heekeren.

”Enaknya, karena belum banyak teori tentang prasejarah Indonesia, saya tinggal bikin teori sendiri,” kata suami Hangarini Ambaroekmi Vascayati itu sembari terkekeh.

Dari situ, Soejono menilai bagi mahasiswa ingin melanjutkan studi mengenai Indonesia sebaiknya mengambil kuliah di dalam negeri, bukan di luar negeri. Alasannya, rakyat Indonesia lebih tahu perihal bangsanya sendiri. Biarkan saja bangsa asing yang sibuk berdatangan ke Indonesia untuk mempelajari betapa kayanya negeri ini.

”Akarnya ada di sini. Mengapa tidak mempelajari dari akarnya langsung di sini,” katanya singkat. Dia mencontohkan, disertasinya pada Juni 1977 tentang ”Sistem- Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali mengenai situs Gilimanuk” masih dapat diperbaiki oleh peneliti selanjutnya. Bukan berarti semua obyek yang sudah menjadi skripsi, tesis, dan disertasi tidak dapat digugat lagi. Justru penelitian tentang obyek tersebut harus terus dikembangkan.

”Situs Gilimanuk sangat luas dan perlu penelitian lebih lanjut. Apalagi situs lain di Indonesia,” imbuh penerima gelar doctor honoris causa dari Universite d’Aix Marseille II itu.

Lagi pula, meski sekarang banyak arkeolog muda dan ilmu arkeologi tidak lagi hanya dipelajari segelintir orang, tetap saja banyak kepurbakalaan di Nusantara yang perlu penelitian lebih lanjut. Kepurbakalaan di Indonesia timur, misalnya. Belum lagi menguak secara lebih menyeluruh dari aneka obyek arkeologi yang pernah diteliti.

”Negeri ini membutuhkan banyak arkeolog,” katanya.

Dia tidak ingin arkeologi Indonesia lebih dipahami bangsa asing. Apalagi jika bangsa lain menguasai kepurbakalaan Indonesia. Dia tidak memungkiri ada banyak tesis dan disertasi karya orang asing yang mengambil obyek Indonesia. Namun, akan lebih menggembirakan jika orang Indonesia sendiri yang menguasai, memahami, mengembangkan, dan memperkenalkannya kepada dunia internasional. Terutama karena Indonesia begitu heterogen dalam berbagai hal. Setiap daerah memiliki suku bangsa, bahasa, makanan, bentuk rumah, tradisi, dan pakaian khas yang berlainan.

Tidak banyak bangsa yang memiliki sejarah begitu kaya dan lengkap. Indonesia sangat beruntung karena memilikinya. Lihat saja, Indonesia memiliki manusia purba. Kepurbakalaan klasik Hindu-Buddha begitu banyak. Borobudur hanya satu-satunya di dunia ini. Coba cari, apa ada yang mirip dengannya? Bayangkan jika Indonesia tidak memiliki kekayaan tersebut. Mungkin akan mengaku-aku kekayaan bangsa lain,” urainya penuh semangat.

Sumbangan arkeologi bagi Indonesia ini adalah memberikan kebanggaan bahwa bangsa ini begitu besar. Tugas arkeolog adalah terus menguak betapa rakyat Indonesia senantiasa terlibat dalam perkembangan sejarah bangsa dan negaranya. Bahkan, sejarah bangsa ini selalu terkait dengan perjalanan sejarah dunia.

”Dalam setiap periode sejarah, rakyat dan pemimpin bangsa bersatu. Namun, kini pemimpin jauh dari bangsanya sendiri. Mereka hidup dalam dunia lain. Mengabaikan rakyatnya. Menyedihkan. Kalau tahu akan begini, mungkin para pejuang kemerdekaan akan sedih. Untuk apa mereka meraih kemerdekaan? Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran. Sayangnya, para pemimpin lebih senang menggerogoti emas jembatan tersebut sehingga jembatannya runtuh dan kemakmuran semakin jauh,” katanya. (Ida Setyorini)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Liputan Khusus] Bambang Hidayat: Merambah Lebih dari Astronomi

RANAH astronomi bagi Bambang Hidayat bisa jadi hanya merupakan sebuah pijakan awal bagi pemikirannya yang meluas, seluas ruang angkasa tempat rasi bintang bertakhta. Berbincang dengan profesor astronomi yang purnatugas tahun 2004 ini seperti menyelami ruang (angkasa) ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah, dan kebangsaan.

Kepedulian dan kiprahnya selama ini merupakan wujud dari keinginan mengembangkan dan mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus.

Kepala Observatorium Bosscha ITB di Lembang selama 31 tahun ini bertutur tentang upayanya mewujudkan School of Astronomy. ”Kalau school of thought lebih kurang sudah ada, tetapi untuk membangun gedung observatorium baru Anda perlu uang banyak.” Rintisannya membangun sebuah radiotelescope bekerja sama dengan India, dalam program Giant Equatorial Radio Telescope di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pupus akibat ketiadaan dana. Namun, Library of Astronomy di Bosscha bisa dibanggakan karena up to date. Di luar itu, Bambang merasa masih banyak yang harus dilakukan.

Pria yang lahir di Kudus, 18 September 1934 dan pernah menjabat sebagai Wakil Presiden International Astronomical Union (1994–2000) ini masih mencita-citakan ada suatu kelompok inti ilmuwan yang kuat yang bisa menjadi idola bangsa ini. Ilmuwan tersebut harus bisa memberikan nilai tambah pada ilmu pengetahuan untuk bisa diwariskan demi kontinuitas. ”Dan, jangan lupakan kontribusi pendahulu. Coba pahami logika yang mendorong sebuah keputusan di masa lalu,” ungkapnya.

Tahun 1966 merupakan awal dia menulis di harian ini. Pagi itu, belum lagi ia duduk di ruang tamunya yang dikelilingi ”dinding buku”, profesor astronomi itu langsung menyorongkan tulisan pertamanya di Kompas, sebuah surat pembaca berjudul ”Pentjabutan Gelar” (Kompas, 16/9/1966) di halaman 2. Surat itu menanggapi tuntutan agar gelar doktor honoris causa kepada presiden pertama RI, Soekarno, dicabut.

Sebagai ilmuwan yang berpegang pada kebenaran, Bambang tak gentar menuliskan pandangannya bahwa gelar akademis tak dapat dicabut karena ”kebenaran ilmiah adalah mutlak, dalam arti mengandung unsur yang dapat diverifikasikan.” ”Keadaan (politik) masih sulit waktu itu. Saya bukan membela Soekarno, melainkan saya membela kebenaran ilmiah,” ungkapnya. Tulisannya terus hadir di harian ini dalam berbagai bentuk, mulai dari surat pembaca, resensi buku, catatan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga opini.

Berdasarkan kebenaran ilmiah pula dia berhasil membendung pembangunan gedung Pertamina di kawasan Observatorium Bosscha di Lembang. Untuk itu dia senang karena, ”Pemerintah menghargai ilmu pengetahuan.” Masih soal kebenaran ilmiah, Bambang amat prihatin atas berbagai kasus plagiat yang melanda sejumlah perguruan tinggi papan atas di negeri ini. Dia menegaskan pentingnya ilmuwan memegang etika dan tanggung jawab di dunia ilmu pengetahuan. Etiknya melarang dilakukannya: fabrikasi (mengarang cerita), falsifikasi (pemalsuan data), dan plagiat (menjiplak karya orang lain).

Prinsip ilmiah yang dipegangnya itu diperluasnya ke berbagai ranah kehidupan, terutama sejarah. Dia berbicara tentang Soekarno, kenegaraan, kecintaan akan Tanah Air, tentang sejarah si pelaku (petit histoire), dan tentang bagaimana membentuk masyarakat ilmiah pada masa depan. Pengembaraannya itu telah mempertemukannya dengan Roeslan Abdulgani, Mohamad Rum, penulis novel berbahasa Jawa, Suparto Brata—yang sering diteleponnya—untuk diajak berdiskusi, dan berbagai tokoh nasional lainnya.

”Ilmu pengetahuan adalah untuk membuat orang bisa memilih”. Bukan untuk melakukan pemaksaan. Hal itu, antara lain, yang dimaksud Bambang seperti terungkap pada orasi 3 Juni 2010. Maka, dia pun prihatin menyaksikan demo mahasiswa yang menyertakan kekerasan.

”Mahasiswa mestinya bisa mengajukan argumen ilmiah untuk menguatkan pendapatnya agar orang lain paham. Bukan memaksakan kehendak dengan menggunakan otot.” Bambang pun prihatin. Dan, ia pun terus menulis dan menulis dari rumahnya yang asri di kompleks dosen ITB di Dago, Bandung, tentang berbagai hal, dengan sentralnya, ilmu pengetahuan. (Brigitta Isworo Laksmi)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Liputan Khusus] Adnan Buyung Nasution: Jadi Manusia Berkarakter

KETIKA merayakan hari ulang tahunnya yang ke-75, Juli 2009, Adnan Buyung Nasution mengakui, kadang merasa sendirian. Sendirian menyuarakan dan berusaha membuat kondisi hukum di negeri ini, yang bagaikan benang kusut dan tak berpihak kepada orang tersisih, menjadi lebih baik. Apalagi, ketika risikonya besar (Kompas, 2/8/2009).

Ketika dijumpai lagi di ruang kerjanya, di sebuah perkantoran di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, 10 Juni lalu, Adnan Buyung sebagai advokat memang menangani perkara yang tak banyak berbeda dengan advokat lain. Namun, dia memiliki kelebihan karena kepeduliannya kepada mereka yang tersisih. Hal ini konsisten dilakukannya lebih dari 50 tahun berkecimpung di bidang hukum. Salah satunya, mewujud dengan pendirian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tahun 1970. Melalui YLBHI, Adnan Buyung bukan hanya membela kepentingan mereka yang tersisih, tetapi juga membangun kesadaran baru dalam bidang hukum dan demokrasi. ”LBH harus menjadi kawah candradimuka lahirnya advokat yang mempunyai landasan moral, kemanusiaan, dan etika yang kuat. Meski tak bisa menyebut 100 persen berhasil, tetapi ada hasilnya. Banyak alumni LBH yang tersebar di berbagai bidang masih bertahan dengan idealisme,” katanya.

Tidak lebih baik

Ia mencontohkan dirinya. Ayah empat anak, kakek 11 cucu, dan buyut tiga cicit itu, meski diakui mumpuni, tidak pernah terdengar menginginkan menjadi bagian dari kekuasaan. Setelah tak lagi menjadi jaksa dan pernah menjadi anggota DPR, dia tercatat hanya pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Namun, jabatan itu tak mengurangi kekritisannya kepada pemerintah.

”Abang (Adnan Buyung biasa menyebut dirinya) tidak mencari jabatan. Di mana pun bisa berbuat, tergantung watak. Jabatan itu kesempatan berbuat kebaikan, sesuai dengan kebenaran yang abang yakini, baik secara rasional, ilmu, maupun keyakinan. Kalau ada kebenaran dan kebaikan yang harus disampaikan kepada Presiden, apa pun akibatnya, akan Abang sampaikan. Akibatnya, bukan masalah. Yang penting pesannya sampai,” katanya.

Ia mengakui, kondisi hukum di negeri ini masih memalukan. Bahkan, meski lebih dari 50 tahun berkecimpung di bidang hukum, sebagai bidang perjuangan untuk menegakkan cita-cita dan nilai hidup yang utama, Adnan Buyung mengakui, dibandingkan saat pertama kali sebagai jaksa tahun 1957, keadaan kini bukan tambah baik. Tambah buruk.

Ukurannya, pertama dedikasi yang menyangkut pengabdian pada tujuan hidup. Seorang sarjana hukum semestinya berdedikasi pada tegaknya negara hukum, tegaknya keadilan dan kebenaran melalui nilai hukum yang bebas dan tidak memihak. Adil. Dedikasi itu hanya bisa diperjuangkan orang yang memang cita-citanya menegakkan keadilan dan kebenaran.

Namun, kini makin sedikit orang di negeri ini yang mempertahankan nilai itu. Kebanyakan, dalam 30 tahun terakhir, apalagi belakangan banyak advokat papan atas yang kaya raya, sarjana hukum punya idam-idaman ingin cepat kaya. Bahkan, jika bisa dipadukan dengan kekuasaan, misalnya menjadi petinggi partai politik atau pejabat lain. Cita-cita penegakan hukum dan keadilan menjadi tersisih, atau menjadi dalih saja.

Kondisi itu berpulang pada sistem pendidikan di negeri ini. Belum ada suatu pendidikan hukum, baik untuk menjadi advokat, hakim, maupun jaksa, yang memiliki kesamaan persepsi tentang tugas, tanggung jawab, dan fungsi profesi hukum. Padahal, semestinya mereka dididik bersama untuk memiliki filosofi yang sama, mempunyai landasan, etika, dan moral yang kuat.

”Saya pernah usulkan hal ini kepada Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh. Ia mengakui susah karena kualitas sarjana hukum beragam. Bahkan, banyak jaksa yang lulusan perguruan tinggi antah berantah. Jadi, kualitasnya tidak bisa dibanggakan. Kalau di kejaksaan begitu, di kepolisian, kehakiman, dan advokat juga begitu, berarti menyeluruh. Ini memerlukan pemikiran visioner ke depan bagaimana memperbaikinya,” katanya.

Dengan sering bersuara lantang, Adnan Buyung mengakui ”godaan” memang datang padanya agar ia tak lagi kritis dan berani. Namun, selama ini ia bisa mengabaikannya. Kuncinya adalah didikan orangtua.

”Ayah saya juga guru saya. Guru etika dan moral. Dari kecil saya dididik keras untuk mempunyai karakter. Ayah hanya akan meninggalkan tiga hal, satu otak. dalam arti ilmu yang harus dikejar sekuat-kuatnya. Kedua, karakter, moral, dan etika. Ketiga, keimanan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, ”Ayah saya yakin pada kebebasan nurani manusia. Apa pun yang kau pilih, kalau itu dari hati nurani, harus diterima dengan ikhlas. Otak itu, ada yang besi, loyang, dan baja. semuanya bisa diasah dan bisa tajam. Namun, otak dan ilmu tak bermata. Yang bermata itu hati nurani. Dari hati nurani itulah karaktermu. Mau jadi orang baik atau orang jahat, tergantung nuranimu.”

Kalau memang manusia jahat, ilmu bisa dipakai untuk kejahatan. Jadi, tergantung pada karaktermu. Orang pintar di Indonesia itu banyak. Namun, yang berwatak sedikit sekali. Ini kelemahan bangsa ini. Orang berilmu dan berwatak kuat, dia ibarat berlian. Di mana pun dicampakkan. bahkan ditaruh di lumpur, akan berkilau terus.

”Ada juga faktor istri. Dulu teman-teman jaksa banyak yang bisa kaya. Istri Abang tahu, tetapi tak pernah meminta apa-apa. Abang baru bisa beli perhiasan untuknya setelah menjadi advokat. Bisa membeli rumah, setelah hampir 50 tahun hidup bersama. Sebelum itu kontrak, sampai 14 kali pindah. Ada duit untuk perjuangan, termasuk membela perkara yang Abang yakini benar. Istri sabar. Saya baru punya rumah persis tahun 2001,” katanya lagi.

Jadilah manusia berkarakter. Apa pun ilmu yang didapat itu tergantung karakter, bisa menjadi kebaikan, tetapi bisa juga mencelakakan manusia. Karakter yang utama.

Adnan Buyung, meski terkadang merasa sendirian, sampai kini merasa tak lelah untuk terus menyuarakan pentingnya karakter untuk memperbaiki bangsa ini. Seperti juga yang dicontohkan oleh pendahulunya, seperti advokat Tasrif, Lukman, dan Yap Thiam Hien, atau Muchtar Lubis dan PK Ojong, selama masih ada orang yang berkarakter dan tak lelah, negara ini masih bisa diperbaiki.

”Kalau semua orang sudah menyerah, siapa lagi yang mau peduli dengan negara ini? Harus ada satu atau dua orang yang terus bersuara. Lihatlah revolusi Perancis. Hanya lima orang yang memulainya, tetapi negara itu bisa maju. Asal masih ada orang yang mempunyai dedikasi, komitmen, dan memberikan contoh, mudah-mudahan masih bisa membangun negeri ini. Memang tak ada jaminan, tetapi kita mesti ikhtiar. Hidup ini, kan, ikhtiar,” katanya. (Tri Agung Kristanto)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Liputan Khusus] Sediono MP Tjondronegoro: Merisaukan Alam Demokrasi

RUMAH yang dinaungi pohon-pohon rindang di Kota Bogor, tak jauh dari mulut pintu Tol Jagorawi, itu kini tak lagi sepi seperti satu setengah tahun lalu ketika Kompas berkunjung ke sana. Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro tak lagi tinggal sendiri karena anak tertuanya, beserta istri dan dua anak mereka, tinggal di situ juga.

”Sekarang jadi lebih ramai sedikit,” kata Prof Tjondro. Jumat (4/6) sore itu dua cucunya yang masih kecil bermain-main di ruang tengah. ”Ibu mereka, menantu saya, dokter kandungan, berpraktik di dua rumah sakit. Dia sering dipanggil untuk menolong persalinan. Saya jadi ragu, apa iya pertumbuhan penduduk kita sudah benar terkendali,” kata Prof Tjondro.

Sebelumnya, guru besar emeritus bidang sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB) itu tinggal sendiri setelah istrinya, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro, meninggal 10 tahun lalu dan dua anak lelakinya mandiri. Hari-harinya, hingga kini usianya melewati 82 tahun, tetap diisi dengan kegiatan akademis dan meneliti. Hari ini pun, sesudah menerima penghargaan dari Kompas sebagai ilmuwan berdedikasi, Prof Tjondro segera kembali ke Bogor untuk menguji mahasiswi S-3 IPB bimbingannya.

Meskipun tidak lagi terjun langsung ke lapangan, ia masih ikut dalam merancang dan membahas hasil penelitian di lembaga nonpemerintah, seperti Bina Desa, Yayasan Akatiga, Yayasan Padi Mandiri, dan Lembaga Pengkajian Pertanahan.

Di luar itu, dia menjadi Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) setelah sebelumnya menjabat Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI.

Melewati pengalaman hidup yang begitu panjang, Prof Tjondro merisaukan alam demokrasi setelah tahun 1998 yang dimaknai sebagian besar anggota masyarakat sebagai kebebasan individu saja. Maka, jumlah partai politik menjadi 38. Pemimpinnya kurang pengalaman dan tidak punya visi jelas yang ditandai, antara lain, dengan merekrut artis yang tak punya pengetahuan politik sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif dalam pilkada. ”Itu berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata penerima Bintang Jasa Utama (1994) ini.

Keadaan tersebut disebabkan banyak anggota masyarakat kekurangan pendidikan dan pengetahuan. Terjadi perpindahan cepat dari masyarakat desa yang berpegang pada adat, ke organisasi masyarakat modern. Situasi diperburuk modernisasi ekonomi yang terlalu cepat ketika masyarakat didorong ke dunia konsumtif. Doktor sosiologi dari Universitas Indonesia ini menggunakan istilah anomie untuk kondisi masyarakat saat ini yang kehilangan pegangan moral dan hukum. ”Hukum itu konsep modern, sementara adat hukum tak tertulis, tetapi dipatuhi,” ujar. Kita masih butuh kepemimpinan yang tegas dan kuat, tetapi sekaligus juga lebih bebas dan demokratis. Istilahnya enlightened despotism.”

Bagaimana penjelasannya?

Ada kepemimpinan tegas, panutan, kekeluargaan, tetapi juga ada ciri organisasi sehingga warga negara menerima dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran. Moralitas masih menjadi pegangan warga. Birokrasi yang ketat karena itu belum berlaku, walau keteraturan masyarakat menjadi kenyataan.

Bagaimana memandang masa depan?

Situasi anomie tidak akan terjadi ketika pendidikan lebih baik. Mungkin perlu waktu 30–40 tahun, asal kita tidak dijajah bangsa asing lagi. Kita harus sangat hati-hati terhadap modal asing. Intinya, setelah merdeka tahun 1945, kita harus jadi bangsa mandiri. Alam kita kaya, penduduk banyak. Kekayaan itu harus kita manfaatkan sebaik mungkin secara mandiri untuk pangan, pendidikan, kesehatan sehingga mengurangi kemiskinan dan kebodohan.

Sekarang, pertumbuhan ekonomi tidak langsung dinikmati rakyat. Subsidi diberikan untuk raskin, bantuan langsung tunai, BBM, tetapi itu tidak menolong. Sifatnya sementara. Seharusnya rakyat diberi aset, yaitu tanah dan laut yang merupakan modal pokok kita. Rakyat hidup dari aset itu, punya pekerjaan. Saat ini, penguasaannya bukan oleh petani dan nelayan kita. Saya baru kembali dari Ternate, kaya ikan, tetapi produsen terbesar Thailand, bukan Indonesia. Sawit, eskportir terbesar Malaysia. Transportasi arahnya kendaraan pribadi, bukan transportasi umum, kereta api. Semua modal asing. Kita hanya jadi tempat perakitan dan pasar.

Bagaimana arah pembangunan?

April 2009 saya diundang Badan Pertimbangan Presiden, saya sampaikan ketidaksetujuan atas amandemen UUD 1945, seluruh pasalnya. Celakanya UUD kita tidak mengenal pasal amandemen perubahan ke dalam UUD. Di AS, ada pasal yang menegaskan, amandemen tidak bisa mengubah isi UUD, amandemen harus dibuat terpisah dari isi asli UUD. Pasal 37 UUD 1945 bisa diinterpretasi sebagai membuat UU amandemen terpisah dari isi asli UUD 1945.

Sisi positif?

Kemajuan setelah periode Orde Baru adalah kebebasan yang sangat saya hargai. Kebebasan pers, intelektual, berorganisasi, kemajuan komunikasi, dan pendidikan dalam arti banyak orang Indonesia belajar ke China.

Di sisi lain, masih banyak hambatan pembangunan yang sekarang tidak lagi berencana seperti zaman Orde Baru. Tidak ada lagi GBHN dan Pelita, diganti sasaran kebijaksanaan kabinet yang bisa berubah tiap lima tahun.

Yang dibutuhkan rencana jangka panjang. Tetapi, saya khawatir, dengan 38 parpol serta DPR dan DPRD yang coraknya seperti sekarang, rencana jangka panjang sulit disusun dan dipatuhi. Memang enlightened centralism dalam politik pun masih dibutuhkan. (Ninuk Mardiana Pambudy)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

Langkan: Cerpenis Harris Effendi Thahar Jadi Guru Besar

PENULIS cerita pendek (cerpenis) terkemuka Indonesia, Harris Effendi Thahar (60), Kamis (24/6) di Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, dikukuhkan Rektor Universitas Negeri Padang Prof Dr Z Mawardi Effendi, M.Pd sebagai guru besar tetap dalam bidang pendidikan sastra Indonesia. Harris yang meraih gelar doktor pendidikan sastra di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta tahun 2006, karya-karya sastranya dimuat dalam buku-buku kumpulan cerpen terbaik Kompas. Kumpulan cerpennya berjudul Si Padang, diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2003. ”Saya akan sampaikan pidato pengukuhan ”Merangkai Kata Membangun Indonesia: Membenahi Pembelajaran Menulis di Sekolah”,” katanya, Rabu (23/6). Harris kini juga menjabat Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

Penghargaan Kompas: Cendekiawan Berdedikasi 2010

-- St Sularto

TIDAK bermaksud menyederhanakan masalah, kami tidak ingin memasuki wacana tentang cendekiawan. Tidak juga ingin membuat antagoni cendekiawan dan intelektual, cendekiawan dan noncendekiawan. Wacana antagonistis itu selama berabad-abad sudah dikupas dengan pendekatan masing-masing sejak abad ke-19 oleh para pemikir. Analisis dan pendapat mereka benar, masing-masing dengan pendasaran yang logis.

Serupa seperti pertanggungjawaban sejak Kompas memberikan penghargaan ini, tahun 2008, kami hanya bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada sejumlah cendekiawan yang kami nilai tekun bekerja sama dengan komitmen dan dedikasi.

Selama puluhan tahun mereka memberikan kontribusi yang sifatnya win win solution, simbiosis mutualistik—antara mereka dan harian Kompas. Ada pertemuan saling memperkaya, saling mendukung, dan saling menguntungkan. Jati diri Kompas sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berupaya mencerahkan kehidupan masyarakat, jati diri cendekiawan sebagai anak kandung masyarakat dan pelita kehidupan, berada dalam koridor yang sama.

Dengan keterbatasan masing-masing, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, dengan kesempatan masing-masing berada dalam posisi sebagai pendidik. Kontribusi kita menyadarkan, mencerahkan, dan mengembangkan bersama-sama yang dilandasi kepedulian dan komitmen kemajuan.

Ketika kepakaran seseorang yang disebut sarjana, sujana, atau terpelajar dikenakan pada seseorang yang sudah menamatkan jenjang pendidikan, ada legalitas yang memungkinkan seseorang disebut ilmuwan. Mereka diandaikan ahli dalam salah satu disiplin ilmu.

Akan tetapi, seberapa jauh yang bersangkutan disebut ilmuwan amatlah tergantung dari kepedulian, keseriusan, dan motivasi masing-masing, yang kemudian dibedakan antara ilmuwan murni dan ilmuwan tukang. Disebut murni karena dianggap konsisten dengan aturan main sebagai ilmuwan berikut kriterianya, tidak murni bahkan disebut tukang karena memanfaatkan kepakarannya untuk kepentingan politik yang sering dipraktikkan tanpa nurani didorong sifat kekuasaan yang cenderung korup.

Dengan cendekiawan, secara semantik ilmuwan memang berbeda. Berbeda tidak oleh genealogi atas kepakaran, tetapi terutama oleh kontribusi yang diberikan untuk tumbuhnya penghargaan atas kemanusiaan dan martabat manusia. Merekalah ilmuwan dalam arti karena dihasilkan dari disiplin akademis, karena kepedulian yang bobot kepakarannya sejajar dengan kualifikasi sarjana. Tidak hanya itu! Mereka mengatasi kriteria seorang ilmuwan. Mereka keluar dari kerangkeng kepakaran ilmu, dan pada saat yang sama memanfaatkan kepakaran untuk mendidik masyarakat, memberikan sumbangan di luar lingkup keilmuan yang diemban.

Harian Kompas dengan moto Amanat Hati Nurani Rakyat, dengan cara kerja yang kami rumuskan sejak awal humanisme transendental atau kemanusiaan yang imani, menemukan teman seperjalanan. Merekalah para cendekiawan yang dengan penuh dedikasi dan komitmen berjuang bersama Kompas, bertahun-tahun dan berkesinambungan. Mereka menjadi kontributor yang memproduksi ide-ide, disampaikan dalam bentuk artikel-artikel opini, dalam bentuk wawancara, dan dalam bentuk sarana lainnya. Mendidik berarti melakukan perubahan dan penyadaran yang dilakukan bersama-sama selama ini.

Setiap tahun sejak 2008 dipilih lima orang. Mengapa 5, tidak 7, tidak sekalian 10? Pilihan jumlah tidak didasarkan atas tebakan togel, simsalabim, tetapi spontanitas yang didasari keterbukaan untuk penambahan atau bahkan pengurangan. Kriteria pada penghargaan yang pertama, kami lebih fokus pada mereka yang selama ini sudah bertahun-tahun mengirimkan tulisan dan dimuat, tanpa sengaja menjadi rubrik tetap yang ditunggu pembaca. Karena itu, pada penghargaan pertama kita temukan nama-nama penulis besar—sengaja kami ambil yang belum meninggal—yang pernah jaya di era tertentu, dan surut oleh munculnya penulis-penulis berusia lebih muda.

Dalam era itu tersebut nama MT Zen, Sayogyo, Soetandyo Wignyosubroto, Thee Kian Wie, dan Satjipto Rahardjo. Merekalah yang di tahun-tahun awal Kompas terbit aktif menulis dengan bahan baku keilmuan disiplin masing-masing selama puluhan tahun.

Di tahun 2009, kami perluas wilayah, tidak hanya mereka yang aktif sebagai kontributor artikel, tetapi juga yang memperjuangkan ide tanpa kenal lelah dan terlihat ada hasil bagi keadaban masyarakat. Terpilih Kartono Mohamad, Liek Wilardjo, Maria Sumardjono, Saparinah Sadli, dan Sjamsoe’oed Sadjad.

Bagaimana dengan penghargaan tahun 2010? Selain kriteria penghargaan pertama dan kedua, kami tambahkan pula kriteria upaya membangun budaya akademis agar masyarakat semakin menyadari pentingnya penelitian. Terpilih nama Adnan Buyung Nasution, Bambang Hidayat, Mely G Tan, Sediono MP Tjondronegoro, dan Raden Panji Soejono.

Mereka bukanlah nama asing. Mereka sudah menjadi milik masyarakat, barangkali juga sudah memperoleh penghargaan dari instansi-instansi lain termasuk pemerintah dan lembaga internasional. Mereka dedikatif memberikan sesuatu untuk masyarakat Indonesia agar semakin bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, well informed, dan berkeadaban.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

45 Tahun Kompas: Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia

-- Jakob Oetama

MERAJUT Nusantara, Menghadirkan Indonesia. Dua kalimat itu sengaja diangkat ke permukaan. Tak ada maksud gagah-gagahan dan sok dengan jargon dan slogan, tetapi terutama karena itulah realitas, rasa-perasaan yang mengentak di saat merayakan usia 45 tahun harian Kompas.

Merajut Indonesia dipilih sebagai tema tahun ini menyadari realitas kemajemukan. Indonesia ibarat hasil rajutan potongan- potongan kain perca dari berbagai bahan, dari bahan sutra asli hingga belacu. Jadilah ibarat kutang nenek tua, karya instalasi indah. Perca kain sutra dan belacu menjadi indah dan berharga mahal, tidak ketika masing-masing sendirian, tetapi ketika tersambung bersama, ketika dirajut dengan hati, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kemajemukan sudah taken for granted, realitas yang harus diterima sebagai kenyataan yang perlu disyukuri. Walaupun kemajemukan memungkinkan potensi gampang terjadinya bentrok, dan konflik, realitas merupakan anugerah yang kita perkaya dan kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Para Bapak Bangsa mewariskan keyakinan mensyukuri keragaman dengan falsafah Pancasila. Kompas yang terbit pertama kali tanggal 28 Juni 1965 memungut realitas kemajemukan sebagai batu sendi dan batu penjuru eksistensialnya. Eksistensi kemanusiaan yang imani, humanisme transendental, menjadi falsafah yang ditimba dari realitas Indonesia, sumber referensi dan inspirasi.

Realitas kemajemukan sudah banyak diomongkan, disampaikan dalam pidato, dan diseminarkan. Seiring dengan itu sudah tersaji kepada publik lewat media massa, termasuk media cetak Kompas, realitas menjadi kasatmata, terlihat dan terasakan publik. Dia tidak hanya diomongkan, tetapi juga dihidupi dan dihayati pelan-pelan menjadi built in, menyatu sebagai kesatuan eksistensial bangsa Indonesia, menjadi sesuatu yang hidup dalam sanubari manusia dan bangsa Indonesia.

Mengenal Tanah Air, topik yang setahun terakhir mewarnai rapat-rapat newsroom, Kompas berada dalam satu tarikan napas dengan Merajut Nusantara dan Menghadirkan Indonesia. Mengenal Tanah Air, berarti menunjukkan kepada publik kekayaan alam, kreativitas, dan kebudayaan Indonesia. Itulah potongan-potongan kain perca Indonesia yang dirajut, dan dengan demikian media menghadirkan Indonesia—membenarkan keyakinan Mc Luhan bahwa media itu pesan.

Menyelenggarakan ekspedisi- ekspedisi, terakhir Ekspedisi Musi, melaporkan, mengembangkan, memberi makna, memberikan arahan dan menganalisis peristiwa berada di bawah payung menghadirkan Indonesia dengan falsafah kemanusiaan yang imani. Secara khusus dalam konteks dan kerangka itu pementasan drama musikal Diana digarap untuk perayaan 45 tahun Kompas.

Jati diri lembaga media massa, termasuk surat kabar—sebagai bagian dari ekstensi masyarakat (de Volder)—adalah berubah. Tidak hanya berubah dalam cara, menyampaikan kritik with understanding, teguh dalam perkara lentur dalam cara (fortiter in re suaviter in modo), juga dalam sarana atau alat menyampaikan.

Ketika faktor kemasan apik menjadi daya tarik dalam konteks cara menyampaikan yang lebih produktif, ketika faktor kenikmatan membaca menjadi tuntutan masyarakat, Kompas di tahun 2005 melakukan perubahan format dan penampilan. Pengecilan ukuran, penyajian dengan visualisasi lebih atraktif dan menggigit dilakukan dalam koridor meningkatkan potensi tersampaikannya pesan-pesan lebih produktif kepada khalayak.

Di tahun 2010 ini, bertepatan 45 tahun, dengan semakin mudahnya orang mengakses informasi tidak hanya dari media cetak dan elektronik (televisi), prediksi beberapa tahun lalu menjadi kenyataan. Informasi tidak hanya diperoleh lewat kertas, seperti yang disajikan Kompas lebih dari 40 tahun, tetapi juga beragam sarana alat komunikasi, mulai dari yang paling sederhana dan murah hingga yang paling rumit, pintar (smart), dan dengan harga yang relatif tetap terjangkau. Saat ini tidak kurang dari 30 juta orang Indonesia mengakses internet. Jumlah itu terus bertambah sejalan dengan semakin murahnya harga alat teknologi.

Kompas cetak dengan sarana utama kertas tidak menempatkan perkembangan hasil teknologi informasi sebagai pesaing. Tidak melejitnya jumlah oplah cetak justru memompa adrenalin dan semangat memutar otak melakukan penyesuaian-penyesuaian. Tidak saja dalam hal peningkatan kompetensi di ranah sumber daya manusia, tetapi juga pengembangan sarana noncetak menjadi komplementer menyampaikan misi Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia.

Perilaku yang begitu dinamis dalam cara orang memperoleh informasi mendorong Kompas melakukan ”revolusi” internal. Karena itu, sejak awal tahun 2010—sesuai tema korporat ”Membawa KG ke Dunia Digital”—Kompas menerapkan kebijakan 3M (triple M): multichannel, multiplatform, dan multimedia. Singkatnya, konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobile phone, dan lain-lain). Bentuk konten yang akan di-deliver ke berbagai jenis media tidak hanya berupa teks dan foto, tetapi juga grafis, video, atau gabungan dari semuanya.

Selain dalam bentuk cetak, Kompas juga memiliki wahana internet, Kompas.com—portal berita yang telah maju jauh dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Satu platform yang tidak dimiliki Kompas secara penuh, tetapi masih sangat penting sebagai content delivery channel adalah TV. Untuk melengkapi kebijakan multiplatform, Kompas ingin memasuki industri televisi, yang terutama didorong faktor keharusan dan kecepatan menyampaikan misi pencerahan lebih produktif, efisien, dan cepat.

Dengan platform yang lengkap, Kompas sebagai content provider dapat bergerak lincah dalam menyampaikan konten-kontennya yang unggul ke semua segmen masyarakat. Tidak hanya terbatas kepada masyarakat pembaca, tetapi juga kepada masyarakat pendengar dan masyarakat penonton, dan tidak tersekat oleh faktor geografis.

Kehadiran Kompas secara multimedia adalah niscaya dan mutlak. Bukan besok, tetapi hari ini. Kompas masa depan hadir secara multimedia. Lewat beragam sarana dan saluran itu, niscaya semakin produktif, efektif, dan efisien upaya Kompas sebagai lembaga yang organik dan organis, ekstensi masyarakat yang punya misi Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia.

Kebahagiaan usia 45 tahun, selain kesempatan mengucapkan syukur atas penyelenggaraan Allah selama ini, terima kasih atas kerja sama berbagai pihak, terutama para pemangku kepentingan, seperti pelanggan, pemasang iklan, percetakan, agen, dan pengecer.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

[Nama & Peristiwa] Sapardi Djoko Damono: Distribusi Langsung

PENYAIR Sapardi Djoko Damono (70) tengah menikmati eksperimen yang disebutnya sebagai cara baru menjual buku. Sejak 2009, ia mengumpulkan kembali puisi-puisinya yang berada di tangan penerbit untuk diterbitkan sendiri dalam bentuk buku. ”Ada 30 sampai 40 buku yang akan saya terbitkan ulang,” katanya.

Sapardi Djoko Damono (KOMPAS/ IRENE SARWINDANINGRUM)

Untuk cara baru itulah, Sapardi hadir di Yogyakarta, pekan lalu. Bertempat di Teater Garasi, Sapardi meluncurkan kembali buku kumpulan puisinya yang berjudul Hujan Bulan Juni. Peluncuran kembali buku kumpulan puisi itu dihadiri puluhan pencinta sastra di Yogyakarta. Mereka dihibur dengan musikalisasi puisi Sapardi yang ditampilkan dengan musik keroncong hingga musik digital.

Menurut Sapardi, buku-buku yang dicetak ulang sendiri itu akan dijual langsung kepada peminat bukunya. Salah satu caranya dengan mendistribusikan langsung melalui komunitas pencinta sastra seperti malam itu. Dengan begitu, buku-buku itu tidak akan ditemukan di toko buku. ”Kalau masuk ke toko buku, harganya sudah dipotong dulu,” tambahnya.

Selain lewat distribusi langsung, buku-buku tersebut juga akan ditawarkan melalui internet. Pola itu, kata Sapardi, sudah umum dilakukan di luar negeri. Ia juga tidak menampik kemungkinan menerbitkan puisinya dalam format buku digital. (ARA)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi

TEMPO Interaktif, Jakarta - Meskipun selama ini puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah, sering dimasukkan sebagai karya sufistik, pengamat sastra Arief Bagus Prasetyo cenderung menolaknya.

Buku Sastra Sufi: Sebuah Antologi karya Abdul Hadi

"Amir Hamzah bahkan dimasukkan dalam antologi sastra sufi yang disusun oleh Abdul Hadi W.M.. Tapi, menurut saya, Amir Hamzah menjadi satu-satunya pengarang yang bukan sufi dalam antologi itu," kata Arif dalam diskusi "Mendaras Amir Hamzah" di Freedom Institute, Jakarta, Kamis (24/6) malam. Acara yang dipandu Nirwan Dewanto itu juga menghadirkan Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara.

Buku Sastra Sufi: Sebuah Atologi karya Abdul Hadi itu memuat karya-karya penyair mistikus dan filsuf Islam terkemuka, seperti Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabiah Al-Adawiyah, Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II dan Raja Ali Haji.

Arif juga mengutip pandangan Goenawan Mohamad yang menekankan keresahan Amir Hamzah dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai masalah pokok dalam karya Amir. A Teeuw, kata Arif, juga mengakui hubungan Amir dengan kesastraan sufi.

Namun, Arif menunjukkan bahwa ada kontras yang nyata antara puisi sufistik dan puisi Amir. Dia mengutip "Syair Perahu" karya Hamzah Fansuri yang menyatakan "Hamba dan Tuhan tiada berbeda sebagai ekspresi persatuan penuh antara Tuhan dan manusia. Tapi, puisi "Turun Kembali" karya Amir justru mempertanyakan persatuan mistis itu ("Adakah begini jadinya/aku hamba engkau penghulu") dan kemudian disangkal ("Aku dan engkau berlainan").

Menurut Arif, kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir mengantisipasi lahirnya puisi-puisi yang disebut Afrizal Malna berspirit "teologi-tanpa-bersama-dewa" dalam khazanah sastra Indonesia. Sejak Amir, terbentang jalan panjang kesunyian teologis, suatu kontinum religiusitas penuh luka, yang dilalui banyak penyair, seperti Chairil Anwar, Surtardji Calzoum Bachri, dan Acep Zamzam Noor.

Adapun Sapardi menampilkan puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap. "Bukan karena puisi Amir sukar dipahami karena belum menguasai sepenuhnya bahasa Indonesia, tapi justru oleh penguasaan tingkat tinggi," kata penyair yang puisinya paling sering dikutip di kartu undangan perkawinan itu.

Sapardi mencontohkan puisi "Hanya Satu" karya Amir yang dimuat dalam antologi sajak "Puisi Baru" yang disusun Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir merasa perlu memberi 10 catatan kaki untuk puisi itu, terutama untuk arti kata yang dianggap sulit oleh pembaca karena arkhaik.

Kurniawan


Sumber: Tempo Interaktif, Senin, 28 Juni 2010

Sunday, June 27, 2010

[Buku] Ingat Norman, Juga Rekan Lain

-- Rudy Badil*

BESOK ulang tahun ke-45 ”Kompas”. Bagi rekan yang terlibat, tentunya akan sibuk dan bahagia. Bagi teman-teman yang tidak sempat, pasti dalam hati tetap bangga.

Bangga terhadap hari jadi lembaga yang telah menempa dan menyatukan wartawannya, agar terlibat dan terjun dalam denyut pembangunan bangsa ini, sebagai penemu, pencari, peliput, penulis, dan pemberita segala kejadian penting bagi banyak orang.

Saya memandang cukup lama sampul buku berisi karya-karya tulisan Norman Edwin, serta ilustrasi foto karya hebat Kartono Ryadi atau KR pada akhir tahun 1978. KR sekitar 32 tahun lalu memotret Norman dalam ”ekspedisi” penyusuran 10 sungai di Jakarta, untuk bahan peliputan Kompas.

Kalau tidak salah, foto action Norman di sampul buku itu, saat Norman menarik tali penyelamat ketika H Dedy Pristiwanto atau PR tercebur di Sungai Ciliwung. Waktu itu kami menyusuri sungai untuk membuat foto dan meliput kehidupan warga Jakarta di tepian Sungai Ciliwung, Pasanggrahan, Cipinang, dan lainnya, untuk laporan sungai-sungai yang 32 tahun lalu sudah berupa bak sampah besar.

KR jagonya merekam momen, menurut kalimat bercandaan kami: ”Tahu enggak kenapa KR matanya jeli, karena dia sipit dan gampang fokusnya.”

Sementara Norman yang menjadi fotomodel KR, sebetulnya sudah akrab sejak Juni 1977, ketika kami ngawal KR hunting foto satwa liar di Banten. Waktu pulang dari Pulau Dua, KR terperosok ke lumpur tetapi sempat ditolong Norman dengan kayu serta ikatan tali. ”Untung ada Norman, kalau enggak mungkin gua tambah kejeblos dan tenggelam,” ujar KR.

Juga sekitar 18 tahun lalu di Bandara Cengkareng, saat KR menjemput jenazah Norman Edwin atau NOR dan Didiek Samsu yang meninggal di dekat Puncak Aconcagua Maret 1992, KR membawa foto Norman berbingkai yang dipegang saat peti jenazah NOR tiba. KR yang pendiam sempat bertanya setengah bergurau: ”Peti itu pasti jenazahnya Norman, enggak ketuker Didiek, kan.”

Sayangnya NOR yang dimakamkan April di Tanah Kusir 1992, mendahului KR yang meninggal 15 Juli 2005. Sayangnya juga NOR tidak tahu, pada tahun 2005 kemarin itu, Sjafei Hassanbasari atau yang dijuluki Norman ”Bang IIE Pemuda Dangdut”, sudah meninggal pada 28 Oktober 2005 juga. Pada hari dan tanggal yang sama, juga AMD atau AM Dewabrata meninggal dunia. Norman yang baru menjadi NOR dan warga ”Red PalmS” alias Redaksi Palmerah Selatan awal 1990, tentunya berkesan terhadap IIE yang kritis soal bahasa, serta AMD yang ”hafal” bahasa hukum dan peradilan.

Komentar NOR saat dulu: ”Pemuda dangdut itu dosen Bahasa Indonesia ya. AMD yang I Am Dewo Broto, sip tuh kalau jadi sipir bui he-he.”

Memang waktu menuntut satu per satu wartawan Kompas menutup usia, baru-baru ini Irving Noor atau IR yang kami sapa akrab ”Pinky”, juga telah berpulang pada 27 Februari 2010. NOR masih ingat saat ditegur IR: ”Entar kalau lo kagak betah jadi wartawan metro, pindah ke desk olahraga. Lo bisa meliput olahraga ekstrem, kalau ada panjat gunung juga oke,” begitu kira-kira ajakan IR, sekitar 19 tahun lalu.

Juga waktu santer-santernya berita Norman Edwin (37) dan Didiek Samsu (30) hilang di Gunung Aconcagua, Argentina, sekitar Maret 1992, dalam aktivitas ekspedisi ke-5 proyek UI ”7 Summits in the World”, IR dan kawan-kawan lainnya pernah terpikirkan untuk membukukan catatan perjalanan Norman Edwin menjadi buku: ”Ente aja penulisnya yang kenal Norman lama, ente kan salah satu manajer ’Seven Summits’ itu,” ucap Irving.

Selesai cetak

Waktu terus bergulir, setelah 18 tahun kemudian, beberapa saat menjelang HUT ke-45 Kompas, buku Norman Edwin—Catatan Sahabat Sang Alam—KPG dan Mapala UI 2010 sudah selesai cetak dan beredar. Naskah buku ini sudah selesai 19 Januari 2010 lalu, kado khusus ultah ke-55 tahun NOR. Berisikan 62 artikel pilihan (dari 135 artikelnya), cocok menjadi buku kenangan dan pegangan bagi pengembara dan pencinta alam Indonesia.

Isinya silakan nilai sendiri, tetapi bagi mereka yang ”senior” dalam urusan ”ekspedisi jalan-jalan”, kumpulan tulisan NOR dalam bidang pendakian gunung, pengembara ilmiah, pengarung jeram, penelusur goa, pemanjat tebing, pelayar lautan, dan penulis andal yang sudah punya ”umat” sendiri, sungguh pantas dijadikan referensi, terutama saat lagi ramai-ramainya kelab ekspedisi berlomba-lomba mendaki ke ”Tujuh Puncak Dunia”.

Justru di awal bab buku ini, sebagai penulis NOR sejak April 1983 menjelaskan rinci pengalamannya mendaki Puncak Jayawijaya dan Puncak Carstensz, juga NOR menjelaskan gamblang pendakiannya di Kilimanjaro, Afrika (1985), MacKinley di Kanada (1989), dan Elbrus di Uni Soviet (1990), serta percobaannya mendaki ke Aconcagua. Ia meninggal dunia di dekat puncaknya pada Maret 1992.

Di Aconcagua, Norman dan Didiek yang sudah mendaki empat puncak dunia meninggal di dekat puncak dunia kelimanya. Di tanah sepi dingin ini, Norman dan Didiek berpulang tanpa kebisingan puja-puji. Selamat ultah ke-45 Kompas, meski perayaan kali ini tanpa NOR, KR, IIE, AMD, IR, dan rekan almarhum wartawan lainnya. Amin!

* Rudy Badil, Wartawan Senior

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010

Art Hongkong 2010: Ada Pasar, Ada Wacana

-- Alia Swastika*

DALAM perkembangan seni rupa kontemporer global satu dekade terakhir, ada perubahan yang cukup signifikan berkaitan dengan peran pasar, terutama yang menyangkut dinamika pertumbuhan infrastruktur seni. Sejarah seni kontemporer Barat yang mapan dan punya perjalanan lebih panjang menunjukkan bahwa institusi-institusi yang terlalu mapan, seperti museum dan galeri besar, merupakan institusi yang ringkih terutama karena beban birokrasi dan kepentingan politis yang disandangnya.

Dalam situasi yang serba terbatas dari institusi-institusi mapan, pasar dengan cara tertentu telah mengambil alih peran museum dan menjadikan dirinya sebagai peletak tolok ukur yang memengaruhi seluruh infrastruktur seni rupa global. Jika beberapa tahun lalu ukuran yang terlalu pasar dan komersial acapkali mendapatkan cibiran sinis dari mereka yang mengelola museum dan institusi nonkomersial lainnya, dalam lima tahun terakhir ini pasar menunjukkan bagaimana ia menyerap seluruh diskursus dan pendekatan yang digunakan dalam ranah nonkomersial untuk mendapatkan derajat kewibawaan yang nyaris seimbang. Karena itu, peran peristiwa seni, semacam art fair, sekarang ini hampir setara dengan peranan yang dijalankan oleh biennale dan triennale internasional, terutama berkaitan dengan mempromosikan dan mengomunikasikan pencapaian dan dobrakan-dobrakan baru dalam perkembangan seni rupa global.

”Art fair”

Akhir Mei 2010, tepatnya tanggal 27 hingga 30 Mei lalu, di Hongkong baru saja selesai penyelenggaraan peristiwa seni Art HK 2010. Fokus dari Art HK 2010 ini tentu saja adalah art fair, yang dengan demikian langsung merujuk pada pasar, dan, lebih khusus lagi, perdagangan karya seni. Jika demikian, yang menjadi tolok ukur keberhasilan tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan angka: jumlah transaksi, persentase penjualan, rekor harga, dan semacamnya. Reputasi sebuah art fair disebut baik jika angka- angka itu menunjukkan indeks yang tinggi, yang artinya peristiwa tersebut mampu mendatangkan dan merawat pasar untuk jangka waktu tertentu.

Dengan latar belakang pemahaman semacam ini, Art HK menjadi salah satu peristiwa seni (komersial) yang penting di Asia. Tahun 2010 ini saja tak kurang dari 150 galeri berpartisipasi, termasuk di dalamnya galeri-galeri yang disebut sebagai pemain utama dalam medan seni rupa dunia, yang menelurkan seniman-seniman besar seperti Andy Warhol, Damien Hirst, Takashi Murakami, ke wilayah pasar dengan harga-harga yang melambung tinggi. Sebut saja galeri kenamaan seperti White Cube dari London, Gagosian Gallery, Max Protecht Gallery, dan James Cohan Gallery dari New York, atau Ota Gallery dari Tokyo.

Galeri-galeri semacam mereka memberi panggung bagi tampilnya bintang seni rupa tadi pada audiens Asia. Pada tahun 2010 ini, selain nama-nama klasik yang nyaris selalu ada di semua art fair besar di seluruh dunia, bisa disebut pula galeri seperti Arario (Korea), Marianna Goersky (New York), Pekin Fine Arts (Beijing), atau Osage (Hongkong/Singapura) yang menampilkan karya seniman seperti Yoshitomo Nara, Subodh Gupta, Tsang Kin Wah, Donna Ong, dan lain sebagainya. Dari Indonesia, tampil Ark Galerie, Langgeng Gallery, dan Nadi Gallery menampilkan seniman mulai dari Agus Suwage hingga generasi termuda seperti Pramuhendra.

Karya-karya seniman Indonesia merupakan salah satu tampilan yang cukup menarik dalam Art Hongkong 2010 ini. J Ariadhitia Pramuhendra, yang tampil bersama Platform 3 dalam sesi khusus yaitu Art Future, mendapat cukup banyak perhatian melalui karyanya, Ashes to Ashes. Banyak pengamat mengatakan bahwa karya Hendra pantas memenangkan kategori khusus sebagai penampil terbaik dalam kategori ini, yang pada akhirnya dimenangkan seniman senior Sazkia Shikander. Demikian pula karya dari Yuli Prayitno, The Tin(g) King, yang membuat orang banyak terkagum dengan imajinasi dan ketekunannya. Karya Eko Nugroho dan Agustinus Kuswidananto aka Jompet, dari booth Ark Galerie, juga mendapat banyak perhatian dari khalayak dan media massa karena unik dan berbeda dari booth-booth yang lain.

Yang menarik, meski mendasarkan ukuran-ukurannya pada angka ekonomis, sekarang ini ada kecenderungan bahwa art fair juga menjalankan strategi tertentu untuk mendapatkan kewibawaan diskursusnya. Mereka tak hanya mengundang galeri komersial, tetapi menawarkan kesempatan pada kurator-kurator untuk membuat proposal yang berorientasi pada proyek seni. Salah satu yang tampil dalam Art Hongkong 2010 ini adalah Rirkrit Tiravanija yang dipromosikan oleh kurator Joseph Ng dari Tang Contemporary Art Bangkok. Karya Rirkrit untuk proyek ini tampil dalam visualisasi yang serupa dengan karyanya yang dipamerkan di banyak museum atau biennale/triennale internasional lainnya.

Selain mengundang seniman berbasis proyek, art fair juga menggelar serangkaian acara diskusi dan seniman bicara (artist’s talk) dan juga program panduan tur yang membantu audiens untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang kecenderungan terkini seni rupa global dan konsep yang menyertai karya-karya seniman. Tak tanggung-tanggung, untuk acara diskusi semacam ini pun panitia mendatangkan para kurator, kritikus, dan seniman kenamaan dari seluruh penjuru dunia. Martha Rosenthal, seorang seniman terkemuka dari New York, misalnya, memberikan presentasi dalam satu sesi diskusi mengenai peran seniman dalam membangun dialektika dalam ranah sosial politik. Tema semacam ini tentu saja dulunya tak mampir dalam peristiwa-peristiwa seni yang berorientasi pasar.

Industri

Karena reputasinya yang semakin baik, tak heran jika Art Hongkong kali ini menjadi ruang bertemu bagi hampir semua pemain dalam ”industri” seni rupa dunia. Tak hanya galeri, seniman dan kolektor, pemain utama dalam ”pasar dagang” itu saja, melainkan juga para kurator, kritikus, direktur museum, sejarawan seni, dan kelompok lain yang biasa sedikit alergi pada pasar. Pada hari pertama pembukaan saja, ribuan orang mendatangi acara ini, yang dapat dipastikan datang dari seluruh penjuru dunia, mulai dari Kanada hingga Australia. Pada hari berikutnya, masyarakat umum berbondong-bondong datang menyaksikan satu demi satu karya dalam areal pameran, mencari pengalaman estetika baru yang sensasinya berbeda dengan memasuki museum.

Sekarang ini, pasar justru menjadi jawaban terhadap persoalan besar yang dihadapi oleh seni kontemporer ketika ia makin mengarah pada kecenderungan konseptual, dan merentang jarak yang semakin jauh dengan publiknya. Ketika berkembang menjadi industri, dengan pengemasan dan strategi promosi yang baru terhadap seni konseptual dan gagasan dasarnya, maka audiens menjadi lebih mudah untuk dirangkul dan tumbuh bersama dalam infrastruktur dan dinamika seni kontemporer sekarang ini.

Semakin berkembangnya pasar seni rupa juga memberi kesempatan pada kerja jaringan yang semakin besar di seluruh dunia. Dengan demikian, setiap galeri ini menampilkan seniman dari penjuru dunia yang lain, lintas benua, lintas ras, lintas budaya. Seni rupa global yang ditampilkan, dalam pandangan personal saya, tak bisa lagi membuat kita benar-benar mengenali—terutama dalam lintasan sekilas—mana yang karya seniman Asia, mana yang Amerika, mana yang Eropa. Semua saling bertemu, menginspirasi, mengapropriasi, menemukan bentuk-bentuk baru yang mempertemukan berbagai kategori yang pada beberapa waktu lalu memang dipercaya ada.

* Alia Swastika, Kurator

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010