Judul Buku: Vodka, Cinta, dan Bunga
Penulis: M. Aji Surya dan Khoirul Rosyadi
Penerbit: Jaringpena, Surabaya
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xviii + 253 halaman
''DI perberhentian stansia Teatral'naya, lelaki muda itu turun. Di tempat penungguan penumpang, perempuan cantik semampai telah menantinya. Mawar merah pun dihadiahkan sang lelaki kepada sang perempuan. Selanjutnya mereka pun berpelukan dan berciuman; romantis dan seksi.'' Begitu, antara lain, ungkap penulis buku ini dalam bab Romantisme Pergaulan.
Bagi warga Rusia, begitu ungkapan berikutnya, bunga adalah gambaran hati. Bunga adalah simbol cinta, kasih, dan sayang. Tidak ada yang lebih agung daripada sebuah bunga yang menyuarakan hati terdalam dari seseorang untuk sang pujaan. ''Adalah hal yang lebih indah dari sebuah bunga?'' tanya Natalia, gadis Rusia.
Di halaman lain, penulis menggambarkan pengalaman pertamanya masuk metro (kereta api bawah tanah) di Moskow, tempat 7 juta warga memanfaatkannya setiap hari. Setiap penumpang harus menuruni eskalator pada kisaran 30-40 meter. ''Curamnya minta ampun. Ada dua eskalator menuju bawah dan dua lainnya ke atas. Saat mau turun, waow... para penumpang yang ada di bawah kelihatan cebol-cebol. Goyangan tangga berjalan ini membuat setiap orang harus berpegangan,'' tulisnya.
Nasionalisme dan kepercayaan diri warga Rusia? Jangan tanya soal itu. Dalam soal bahasa, misalnya, orang Rusia sangat bangga. Mayoritas mereka bangga jika bahasanya digunakan orang asing, apalagi yang tinggal di negerinya. Hampir semua orang Rusia, lebih-lebih generasi tuanya, enggan bicara dengan bahasa asing. Meski mereka bisa berbahasa Inggris, Spanyol, atau Prancis, tapi ketika bertemu dengan orang asing mereka selalu bicara dengan bahasa Rusia. Mereka tidak mau tahu orang asing itu mengerti bahasa Rusia atau tidak. ''Ini Rusia,'' kata Natalia, guru bahasa Rusia.
Citra tentang Rusia bagi orang Indonesia mungkin cenderung negatif. Maklum, selama puluhan tahun Rusia dipersepsikan sebagai ''negara komunis'', musuh besar Indonesia. Bahkan, setelah lama komunisme ambruk. Tapi, buku ini bisa menghilangkan citra itu.
Boleh jadi, ada yang berpikir, Rusia adalah negeri yang bangkrut dan memiliki masa depan suram. Pandangan itu jelas keliru. Sebagai gambaran, pada 2008 GDP Rusia mencapai USD 2.225 triliun dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen dan surplus perdagangan USD 97,6 miliar. Selain itu, negara yang tidak punya utang tersebut memiliki cadangan devisa sebesar USD 386,6 miliar dan dana stabilisasi USD 221 miliar. Penghasilan per kapita penduduknya sekitar USD 11.000!
Dua penulis buku ini, M. Aji Surya (seorang diplomat) dan Khoirul Rosyadi (mahasiswa program doktor di Moskow), menyuguhkan kisah-kisahnya dengan kaya warna. Termasuk kisah tentang hubungan muda-mudi di Rusia dan makna minuman vodka bagi masyarakatnya. Pembaca pasti akan senyum-senyum sendiri saat membaca buku ini.
Memang, Rusia bukan negeri tanpa cacat. Di tengah merasuknya sistem dan gaya hidup kapitalis di negeri itu, jutaan rakyat Rusia masih tersaruk-saruk. Sebagian mereka pun memimpikan kembalinya sistem ekonomi komunis, saat mereka menikmati berbagai subsidi. Sekolah gratis, rekreasi setiap tahun dibayari, dan tidak ada masalah kesehatan.
Namun, Rusia tetaplah negeri yang sangat menarik. Termasuk sebagai alternatif tujuan untuk menuntut ilmu bagi para calon mahasiswa. Menurut penulis buku ini, pilihan pada Rusia bisa menjadi alternatif jawaban bagi peta pembangunan Indonesia sekarang yang timpang; positivistik, kapitalistik, dan dehumanistik.
Digambarkan pula sisi-sisi unik pendidikan Rusia, seperti patriotisme. Bagi Rusia, patriotisme adalah sisi penting untuk membangun kekuatan jati diri sebuah negeri. Semua mahasiswa asing maupun dalam negeri wajib mengambil mata kuliah sejarah Rusia, belajar bagaimana Rusia menang melawan Hitler, menekuk ekspansi Mongol, dan sebagainya. Para mahasiswa juga wajib mengunjungi museum-museum. Dengan demikian, mereka belajar mencintai dan merasa bangga atas ke-Rusia-an. Indonesia bisa belajar dari Rusia, kata penulis buku ini.
Dalam mengungkapkan kisah-kisahnya yang terangkai dalam 28 bab, kedua penulis tidak sekadar menjadi pelukis. Mereka menyisipkan pandangan dan pikiran mereka. Saat berkunjung ke rumah tua peninggalan pengarang terkemuka Leo Tolstoy, misalnya, penulis sangat terkesan. Di depan pintu rumah, terdapat kutipan kata-kata Tolstoy: ''Selamat datang kawan, selamat datang di rumah kami, nikmati apa yang ada. Perkenalkan kami.''
Kisah Tolstoy memang menarik. Lahir dari keluarga ningrat kaya raya yang memiliki ribuan hektare tanah, Tolstoy akhirnya meninggalkan dunia tuan tanah dan melepaskan ratusan petaninya. Dia memilih jalan sunyi, menjadi pengarang, jalan yang jauh dari tepuk tangan dan sanjungan duniawi.
Di rumah warisan yang jadi tujuan banyak wisatawan itu, Tolstoy tampak amat memperhatikan pendidikan 13 anaknya. ''Aku akan bahagia jika engkau bagus dalam pendidikanmu,'' seru Tolstoy yang terdengar samar dalam rekaman yang selalu diputar setiap ada tamu yang berkunjung ke rumah tuanya. Suara itu merupakan petuah sekaligus harapan Tolstoy terhadap anak-anaknya. Harapan tentang peradaban yang dibangun di atas dunia pendidikan.
Sebuah buku yang sangat menarik dan enak diikuti. Buku yang akan lebih menyadarkan bahwa Rusia adalah negara terbesar di dunia. Bisa dibayangkan bila Indonesia, negara paling besar di belahan bumi selatan, bisa lebih bersahabat dengan Rusia. (*)
Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku, tinggal di Surabaya, Minggu, 13 Juni 2010
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment