-- Ilham Khoiri
Kehadiran kembali The Indonesian Dance Festival ke-10 masih memperlihatkan betapa sulitnya melangsungkan seni pertunjukan rutin di tengah kelemahan infrastruktur seni pertunjukan di Tanah Air.
Pe n a m p i l a n Meg Stuart dan Philip Gehmacher membawakan karya berjudul "M ay b e F o r e ve r" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (16/6). (KOMPAS/PRIYOMBODO)
Festival dua tahunan ini tetap dipertahankan demi menggerakkan regenerasi para koreografer baru. ”Bermula dari patungan dana di antara para pendiri tahun 1992, festival ini bisa bertahan sampai 18 tahun. Ini membanggakan,” kata Direktur The Indonesian Dance Festival (IDF) Maria Darmaningsih, saat jumpa pers beberapa hari sebelum pembukaan festival.
Upaya mempertahankan itu tidak mudah, terutama soal pendanaan. Maria bercerita, total biaya penyelenggaraan IDF 2010 ini mencapai Rp 1,1 miliar. Panitia sudah berjibaku dengan mendatangi para pengusaha besar demi mengumpulkan biaya itu. Namun, hingga hari ”H”, dana yang terkumpul baru sekitar Rp 800 juta. Artinya, masih kurang sekitar Rp 300 juta lagi. Panitia bingung.
”Bahkan, seminggu sebelum acara, ada sponsor yang tiba-tiba mundur. Kami terpaksa menghapus salah satu menu acara, yaitu diskusi kritik tari. Para pembicara yang sudah siap datang kami hubungi untuk dibatalkan kehadirannya,” katanya.
Hingga pembukaan IDF, Senin (14/6), soal itu belum terpecahkan. Untunglah, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyimak keluhan ini dan bersedia membantu. ”Kalau ada kekurangan dana dalam festival ini, Gubernur yang akan nombokin,” kata Fauzi dalam sambutan malam itu.
Begitulah, panitia terpaksa pontang-panting untuk menggenapi dana, bahkan hingga acara sudah dimulai. Di luar itu, masih banyak soal lain yang juga tak gampang ditangani, seperti mendatangkan koreografer dari luar negeri, mengurus akomodasi, dan banyak lagi.
Untunglah, IDF memiliki trio perempuan yang menjadi salah satu tulang punggung festival, yaitu Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti (pendiri IDF dan penasihat dana), dan Melina Surjadewi (pendiri IDF dan Wakil Rektor IV IKJ). Tentu, penting juga peran para pendiri IDF lain, seperti Sardono W Kusumo, Sal Murgiyanto, Tom Ibnur, dan Dedi Luthan.
Kenapa mereka ngotot menggelar IDF di tengah berbagai kesulitan tadi?
Menurut Nungki, festival ini penting sebagai ajang pertemuan koreografer dan penari dari lokal dan mancanegara. Ini bisa memacu dialog, kerja sama, dan kolaborasi seni lintas negara. Hingga kini, tercatat telah 19 negara yang pernah menjadi peserta festival ini, seperti dari Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Korea, Kanada, Perancis, Venezuela, China, Belanda, Australia, Belgia, Italia, dan India.
”Bagi penari Indonesia, festival ini bisa jadi batu loncatan untuk tampil ke dunia internasional,” katanya.
Memang, IDF telah menjadi ajang penggodok seniman generasi baru sebelum mereka menjelajah kancah lebih luas. Ini menjadi salah satu sumbangan festival bagi dunia tari di Tanah Air. Beberapa ”alumnus” festival kini bisa berkiprah di dunia internasional, seperti Martinus Miroto, Boi G Sakti, Eko Supriyanto, dan Jecko Siompo.
Para penari generasi menengah itu muncul secara nasional setelah mula-mula pentas di IDF. Beberapa tahun kemudian, mereka melanglang buana ke mancanegara. Jecko Siompo, misalnya, termasuk koreografer Indonesia yang karyanya mendapat apresiasi di luar negeri setelah sebelumnya muncul di festival itu.
”Saya pertama tampil di IDF tahun 1994 dan 1998. Penampilan itu memberikan kepercayaan diri dan pengalaman bergaul dengan penari dari negara lain,” kata Jecko.
Regenerasi
Bagaimana dengan koreografer generasi baru sekarang?
Dalam perhelatan IDF ke-10 ini, beberapa koreografer muda juga diberi tempat. Pada pertunjukan utama, tampil Muslimin Bagus Pranowo, Asri Mery, Andara F Moeis, Siti Ajeng, dan Fitry Setyaningsih. Sementara pada ajang pentas pendatang baru (emerging choreographers), ada Nursekreningsih, Santi Pratiwi, Serraimere Boogy, Joko Sudibyo, dan Shinta Maulita.
Karya mereka umumnya berangkat dari persoalan masyarakat urban yang menjadi habitat mereka saat ini. Berbeda dengan generasi lama yang sebagian masih kuat terikat pada tradisi, kawula muda ini bersikap lebih bebas. Mereka leluasa menggumuli kosakata gerak baru yang digamit dari kenyataan sehari-hari.
Muslimin Bagus Pranowo dalam karya berjudul ”The Young” misalnya, mengangkat gerak kaki, sepatu, dan kehidupan kaum muda di jalanan. Tariannya banyak mengolah gerak hip-hop atau breakdance yang cair.
Andara F Moeis, Siti Ajeng, dan Fitry Setyaningsih juga mengangkat kehidupan perempuan muda di kota. Karyanya mengisahkan kehidupan perempuan dalam arus budaya belanja di mal, pesta, atau beragam game baru. Namun, pada akhir adegan, mereka justru berjalan terantuk-antuk karena matanya ditutup semacam karung, kemudian menjatuhkan gelas-gelas penuh wine.
”Kami mengangkat kegelisahan sebagai anak kota zaman sekarang yang banyak menghabiskan waktu di mal,” kata Siti Ajeng.
Sardono W Kusumo, koreografer dan mantan Rektor IKJ, menilai, IDF patut terus dipertahankan lagi pada masa mendatang. Ajang ini masih dibutuhkan sebagai semacam laboratorium untuk menggodok dan memberi tempat bagi karya-karya eksperimental koreografer muda di Indonesia. ”Potensi koreografer muda cukup banyak. Tetapi, mereka perlu didorong dan diberi ruang pentas di depan publik lebih luas,” katanya.
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Juni 2010
No comments:
Post a Comment