TERMINAL Senen, Jakarta Pusat, hiruk-pikuk, Rabu (23/6) siang itu. Ratusan bus dan mobil angkutan umum datang dan pergi. Teriakan para kernet bertarung dengan deru kendaraan. Asap hitam dari knalpot menguar di udara.
Siang itu sungguh terik. Orang-orang gobyos keringatan. Para penumpang sibuk mengejar bus. Pedagang asongan hilir mudik menjajakan cemilan, minuman, atau rokok. Penunggu buku bekas menggoda orang-orang yang melintas.
Ruang yang sesak di Ibu Kota itu bagaikan panggung teater yang dramatis. Tanpa sutradara, orang-orang itu sibuk dengan berbagai peran sesuai kepentingan masing-masing. Bus, manusia, tumpukan buku bekas, jalan, dan gedung-gedung tinggi menjadi properti pentas yang nyata.
Di tengah keriuhan itu, di sebuah warung semipermanen, seorang pemuda menangis sesenggukan. Kaus putih oblongnya basah oleh keringat. Celana dan sandal jepitnya penuh debu.
”Abang saya hilang!” katanya. Dengan suara parau, pemuda bertubuh kerempeng itu bercerita, dia sengaja merantau ke Jakarta demi mencari abangnya yang hilang di kota ini beberapa tahun lalu.
”Bagaimana kalau Abang punya saudara, terus pergi dan tak pernah kembali?” pemuda itu bertanya kepada segerombol orang yang nongkrong di warung.
”Ya, sedihlah,” sahut salah satu orang itu.
Tangis pemuda itu menjadi-jadi. Seorang perempuan, mungkin pemilik warung, menyodorkan kertas tisu. ”Hapus dulu air matanya!”
”Sudahlah, jangan menangis. Malulah dilihat orang,” tukas seorang lagi.
Pemilik warung lantas menyodorkan segelas air putih. Pemuda tadi langsung meneguknya. Tetapi, kesedihannya tak juga mereda.
”Carilah terus saudaramu itu. Tapi, nikmati juga hidup ini,” kata seorang lelaki. ”Enak tidak air putih itu?”
”Enak,” jawab pemuda itu. ”Nah, begitulah rasa hidup itu. Enak,” kata lelaki itu menambahkan.
Adegan
Adegan di sebuah warung di Terminal Senen itu adalah bagian dari Festival Monolog di Ruang Publik di Jakarta, 20-27 Juni lalu. Kegiatan yang diselenggarakan Federasi Teater Indonesia (FTI) itu digelar di 16 lokasi di Jakarta, seperti di terminal, kebun binatang, kampung nelayan, mal, taman kota, atau di kuburan. Diikuti 24 peserta, masing-masing orang bermain teater sendirian di ruang terbuka kota dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di situ.
Pemuda yang menangis di Terminal Senen itu bernama Muh Ichsan, aktor kelompok Teater Slow. Monolognya berjudul Sketsa-sketsa Urban. Dia berusaha untuk menjadi bagian dari penghuni terminal, bercerita tentang kesedihan akibat hilangnya saudara, dan mencoba memancing respons orang-orang di sekitarnya.
Ichsan mengaku kesulitan meyakinkan orang-orang di terminal bahwa dia benar-benar mencari abangnya. Soalnya, mereka cenderung individual dan susah percaya kepada orang lain. Untunglah, dia sempat menginap di terminal dua malam sebelumnya sehingga bisa beradaptasi dan memahami kondisi sebenarnya.
”Saya berpikir positif, sekeras apa pun wataknya, mereka tetap manusia yang punya sisi baik,” katanya.
Akting Ichsan memang belum menjadi tontonan yang mampu menyedot minat banyak orang. Namun, setidaknya beberapa orang di warung itu tersentuh oleh ceritanya dan sebagian malah berusaha menghibur. Monolog itu berhasil memancing munculnya kembali kesadaran kemanusiaan yang tergerus oleh kerasnya hidup di terminal.
”Saya tergugah cerita pemuda tadi, jadi saya berusaha menghiburnya. Saya juga ingin membuktikan meski kehidupan terminal itu keras, kami juga punya hati nurani,” kata Mangunsong (34), pedagang, yang ikut merespons monolog tadi.
Terlibat
Koordinator Festival Monolog di Ruang Publik Ahmad Olie Sopan menjelaskan, kegiatan ini merespons makin berkurangnya aktor teater yang kuat. Kalaulah ada, mereka sudah semakin tua. ”Ini media untuk menjaring dan mematangkan aktor-aktor muda,” katanya.
Festival ini dinilai tim juri yang terdiri dari Afrizal Malna, Andi Bersama, dan Meritz Hindra. Bagi Andi, kegiatan ini dapat mengembalikan teater ke tengah masyarakat sekaligus mematangkan para aktor. Mereka ditantang nyemplung dalam kehidupan nyata dan bermain dengan setting apa adanya.
Bagi Afrizal Malna, monolog semacam ini bisa membawa aktor menghadapi teks yang hidup di ruang publik. Aktor dipaksa memiliki strategi pembacaan atas teks di ruang publik dan mengolahnya menjadi imaji-imaji. Aktor didesak untuk membujuk publik agar memasuki imaji-imaji itu sehingga terjadi pengolahan gagasan antara aktor dan publik.
Monolog semacam ini menjadi penting karena dapat membawa seni ke tengah ruang publik. Seni dihadirkan untuk mendistraksi berbagai proses transaksi sosial ekonomi di ruang publik dan menggodanya ke arah memunculkan kepedulian, pertemuan sesama manusia.
(ilham khoiri)
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010
No comments:
Post a Comment