Sunday, June 20, 2010

[Pustaka] Remaja Membaca "Ronggeng Dukuh Paruk"

BEBERAPA siswa tampak membaca secara seksama sebuah novel bergambar ronggeng yang sedang menari. Sesekali dia membuka buku dan mencatat kata-kata yang dianggapnya sulit. Selang beberapa waktu salah satu peserta mengutarakan kepada seorang pemandu perihal kata-kata, istilah, atau hal-hal yang tidak ia pahami.

Demikian gambaran kegiatan perdana reading group (membacakaji bersama) novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) oleh Divisi Kajian Novel, Komunitas Lerengmedini, Boja, Kendal di Pondok Maos Guyub, Bebengan, Boja Selasa
(15/6) sore. Trilogi novel "masterpiece" karya sastrawan asal Banyumas Ahmad Tohari yang dimulai pada pukul 16.00 WIB ini diikuti oleh sekurangnya 12 peserta yang kebanyakan merupakan siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan dua orang guru.

Dalam kegiatan yang akan digelar secara rutin tiap Selasa sore ini, masing-masing peserta membaca seksama novel yang telah disediakan oleh penyelenggara. Acara dipandu oleh Nurdin Paradiksa (39), seorang pencinta sastra yang juga berprofesi sebagai guru sosiologi dan Kepala Sekolah SMK PGRI 03 Boja. Acara dimulai dengan peserta membaca seksama kurang lebih 15 menit dari halaman 1 sampai 10.

Selesai itu, pemandu menuturkan isi dan alur cerita dari kisah dari halaman 1 - 10 novel tersebut. Kemudian di tengah pemandu menjelaskan, terjadi diskusi yang mengalir. Apa yang tadi oleh peserta dicatat saat membaca, mereka kemukakan dan tanyakan kepada pemandu atau jika ada peserta yang tahu, si peserta boleh mengemukakan pendapatnya.

Di tengah diskusi, pemandu juga menyuguhkan visualisasi terkait kata-kata yang diperlukan. Hal ini terlihat saat pemandu menjelaskan perihal trilogi novel yang merupakan gabungan dari penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala, si penulis, dan juga soal apa itu ronggeng dan seperti apa. Nurdin menunjukkan visualisasi gambaran ketiganya melalui gambar-gambar yang telah ia siapkan di notebook-nya. Tak jarang pula jika ditemukan kata-kata sulit, pemandu juga membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga yang juga telah disiapkan.

Andina Deviani Sari (16) salah satu peserta dari SMAN 1 Singorojo mengakui, sebelumnya ia belum memahami arti kata-kata seperti jelaga, embacang, krokot, dan sebagainya. Setelah mengikuti acara ini, ia jadi tahu jika jelaga merupakan butiran arang berwarna hitam yang halus dan lunak yang terjadi dari asap lampu berbahan minyak tanah, embacang merupakan tanaman sejenis mangga.

"Dan, krokot merupakan tanaman seperti rumput berwarna kemerah-merahan yang tumbuhnya rata dengan tanah yang juga bisa untuk dibuat sayur dan enak jika dimakan pakai sambal gula pada," paparnya.

Lain halnya dengan Andina, menurut Fachri Husaini (22), seorang trainner Pramuka dan PMR, ia mengikuti acara sastra ini karena ingin menggali apa yang terkandung dlm novel tersebut. Sebab, menurut teman yang sudah membaca, di dalamnya mengandung unsur-unsur yang dapat dipelajari dan diteladani. Fachri sendiri, mengenal novel Ronggeng Dukuh Paruk ini baru-baru ini. Meski demikian terkait dengan istilah ronggeng, ia tahu sejak kecil karena pernah hidup di Jawa Barat yang juga ada ronggeng.

"Selain dapat belajar bersama dan mengkajinya, kita yang sebelumnya tidak tahu kata dan sitilah di dalam novel itu sekarang jadi tahu," ujar Fachri saat ditanya kesan mengikuti acara ini.

Beberapa kata dan istilah yang kini ia ketahui antara lain, Juring dalam kata-kata, ".... buah Randu pecah jadi tiga Juring." Juring berarti juga ulas yang maknanya selubung atau kulit buah. Juga, istilah Bromocorah yang berarti penjahat yang sehari-harinya bergaul dengan masyarakat, tetapi pada suatu saat, tidak segan-segan melakukan kejahatan, seperti merampok.

Mengapa memilih novel dengan tokoh utama Srintil ini, Nurdin Paradiksa yang telah membaca novel tersebut pada tahun 80-an mengatakan, karya RDP ini memiliki beberapa aspek yang menarik. Pertama, ada unsur romantisme, begitu membaca ingat masa kecil di desa. Kedua, mengandung nilai filosofis pendidikan yang tinggi, serta nilai-nilai lokal dan kultural yang tumbuh di suatu masyarakat tertentu.

"Setiap budaya yang tumbuh dalam masyarakat biasanya mencerminkan kondisi masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan latar belakang masyarakat tersebut. Masyarakat tradisional kental dengan semangat mistisismenya. Karya Ahmad Tohari ini penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal," kata Nurdin.

Nurdin berharap, setelah membaca novel ini, orang punya kepekaan sosial bahwa ternyata ada banyak saudara kita yang hidup di bawah garis ketidakmakmuran. Kemudian, kita bisa menggali kearifan lokal dan mengemasnya untuk konsumsi publik. Sebab, kearifan lokal tidak kalah dengan kearifan global.

"Semoga, peserta bisa belajar dan menulis seperti Ahmad Tohari," ungkapnya..

Koordinator Komunitas Lerengmedini HC Santosa menambahkan, kegiatan ini terbuka untuk publik sastra sebagai upaya apresiasi sastra dalam hal ini novel secara intens. Peserta yang sebagian besar merupakan pelajar diharapkan mampu membaca, mengkaji, dan mendalami sebuah teks sastra secara baik.

"Sehingga, dalam proses belajar sastra, ada pengkayaan melalui kata, istilah, ungkapan-ungkapan, serta spirit menulis melalui karya yang telah diakui oleh publik," ujarnya.

Konsep reading group menurut Dia, sebenarnya mengambil dari khasanah kajian dan menafsirkan makna kitab kuning di pesantren yang juga sudah dikembangkan oleh Barat. Di pesantren terdapat kajian bandungan kitab kuning, di mana seorang ustadz atau kyai "ngabsahi" (memaknai kitab kuning gandul) kepada para santrinya. Dengan memakai ilmu gramatika Arab meliputi nahwu, shorof, dan balaghoh, para kyai mencoba menggali kata per kata, sampai kalimat per kalimat.

Sedangkan, di Barat tepatnya di kantor Yayasan Joyce di kota Zürich (Zürcher James Joyce Stiftung) juga terdapat reading group novel Ullysses karya pengarang Irlandia James Joyce. Novel setebal kurang lebih 644 halaman dan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa tersebut dalam proses pembacaan dengan konsep reading group memakan waktu tiga tahun untuk membacanya.

"Menurut kami, di sinilah menariknya, dalam sebuah teks tersimpan tafsir dan kerumitan-kerumitan. Ketika membaca dan mengkaji bersama itu, tanpa harus terburu-buru mengejar segera selesai, dengan memecahkan tafsir dan kerumitan itu ada keindahan tersendiri" tandasnya. n Heri CS


Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 20 Juni 2010

No comments: