Monday, June 14, 2010

[Lipsus] RSBI Masih Lekat dengan Citra Sekolah Mahal

-- Achmad Zaenal M

Semarang, 14/6 (ANTARA) - Anggapan sekolah di SD, SMP, SMA, atau SMK berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) bertarif mahal itu tidak sepenuhnya keliru.

Pada tahun lalu saja, sebuah SMPN di Semarang mematok biaya masuk hingga Rp 8 juta meskipun pada akhirnya komite sekolah dan sekolah memberi keringanan kepada orang tua yang berat hati membayar uang masuk itu.

Selain uang masuk yang mahal, SMPN berlabel RSBI itu juga mengutip iuran bulanan yang tidak murah, yakni Rp 260.000. Sementara, siswa di SMP biasa bebas dari iuran bulanan karena sudah ditutup oleh bantuan operasional sekolah (BOS).

Kutipan yang tidak murah tersebut juga sering memunculkan pertanyaan, karena selama menyandang label RSBI, mereka juga mendapat bantuan khusus dari pemerintah, yang besarnya bervariasi, Rp 300 juta hingga Rp 600 juta setiap tahun.

Oleh karena biaya RSBI nyaris setara dengan SPP di perguruan tinggi, sejumlah orang tua mengurungkan niat menyekolahkan anaknya di sana meski anaknya punya prestasi akademik.

Meski demikian, bagi sebagian orang label RSBI telah membuat mereka tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah yang menjanjikan fasilitas dan pelayanan plus yang bermuara pada terciptanya lulusan yang lebih unggul.

Di SMPN 21 Semarang, misalnya, satu kelas dihuni 22-24 siswa atau hanya setengah dari kelas biasa yang satu kelasnya rata-rata disesaki 40 siswa.

Selain itu, setiap kelas juga dilengkapi pengatur suhu udara (AC) sehingga proses belajar mengajar lebih nyaman. Setiap kelas juga dilengkapi peranti teknologi informasi yang memungkinkan siswa mengakses data atau modul yang dibutuhkan.

Lantas apakah dengan segenap fasilitas dan layanan plus itu RSBI memang mampu mencetak lulusan yang lebih unggul?

Hingga kini belum ada laporan evaluasi menyeluruh dari sekitar 1.100 RSBI dari berbagai jenjang.

Sebagian dari RSBI itu telah berubah menjadi sekolah berlabel internasional (SBI), sebagian kecil lagi turun predikat menjadi sekolah standar nasional (SSN), dan sebagian besar tetap RSBI.

Bila melihat sejumlah SMP serta SMA berlabel RSBI di Kota Semarang, mereka memang memiliki sejarah panjang prestasi akademik dan ekstrakurilkuler. Tanpa berstatus RSBI pun mereka tetap mampu menghasilkan lulusan unggul.

SMPN 2 Semarang, misalnya, sebelum menjadi RSBI pada 2007, sekolah itu merupakan kumpulan dari siswa lulusan SD/MI dengan nilai akademik sangat baik. SMP itu tidak segan-segan memindahkan siswanya yang gagal menyesuakan diri dengan kemajuan akademik teman-temannya.

Begitu pula SMAN 3 Semarang. Rata-rata lulusan sekolah itu tidak mengalami kesulitan berarti untuk diterima di perguruan tinggi negeri terkemuka. SMN 2 dan SMAN 3 Semarang memang beruntung, sebab memperoleh peserta didik berkualitas dari jenjang di bawahnya.

Persoalannya, apakah setelah sekolah-sekolah yang memang memiliki sejarah panjang di bidang prestasi akademik itu setelah jadi SBI mampu menghasilkan lulusan bertaraf internasional atau sekadar menghasilkan lulusan dengan kemampuan bahasa Inggris lebih baik?

Jika lulusan RSBI atau SBI ternyata tidak secara mencolok memberi nilai plus bagi peserta didiknya, tidaklah keliru bila RSBI cenderung sebagai label untuk memobilisasi dana masyarakat.

Sejauh ini Kementerian Pendidikan Nasional belum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap output yang dihasilkan RSBI. Evaluasi yang sudah dilakukan baru menyangkut proses pembelajaran, penggunaan dwibahasa, sarana dan prasarana, serta kepemimpian kepala sekolah.

Dalam perjalanannya, dari sekitar 1.100 RSBI tidak semuanya berlangsung mulus. Beberapa RSBI juga gagal meluluskan 100 persen siswanya dalam UN 2010 pada tahap pertama.

Sejak awal memang ada sekolah yang ditengarai memaksakan diri untuk melabeli sekolahnya dengan RSBI, yang memiliki hak untuk mengutip iuran dari peserta didik.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto menyebutkan, hasil evaluasi tahunan menunjukkan ada 12 RSBI tidak memenuhi persyaratan. Ini berarti sekolah tersebut harus turun derajat menjadi SSN lagi.

Demi menjaga mutu sekolah berstatus RSBI, Suyanto tak mau berkompromi. "Penilaiannya, terus atau tidak. Kami ingin membangun sekolah berkualitas sehingga tidak boleh sembarangan," kata Suyanto.

Bagi pemerintah, RSBI tidak boleh dihentikan meskipun ada desakan dari berbagai praktisi pendidikan untuk meniadakan RSBI dengan berbagai alasan, terutama tudingan bahwa RSBI menciptakan kasta pada dunia pendidikan.

RSBI dan SBI merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya menyebutkan, pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Populer

Di tengah kian populernya RSBI, yang terlihat dari banyaknya peserta didik yang mendaftar pada tahun ajaran 2010, tekanan untuk menghapuskan RSBI juga menguat.

Pemerhati pendidikan Darmaningtyas menilai, RSBI menciptakan kastanisasi pendidikan karena sekolah jenis ini hanya bisa diakses siswa dari keluarga mampu.

Menurut dia, siswa dikotak-kotakkan dengan sistem pendidikan dan secara sistematis telah meminggirkan siswa miskin, baik yang berkemampuan akademik bagus maupun tidak.

Meskipun satuan pendidikan berlabel RSBI mendapat alokasi anggaran khusus, kenyataannya mereka memungut sumbangan berjuta-juta rupiah pada awal masuk sekolah dan iuran bulanan yang tidak kecil.

Ancaman biaya besar yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa itu tentu menjadi penghalang siswa dari keluarga pas-pasan yang ingin ikut seleksi masuk RSBI.

Menurut Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang Dr Rasdi Ekosiswoyo, citra RSBI atau SBI sebagai sekolah mahal bisa dihindari bila sekolah mampu menerapkan besaran iuran dan sumbangan secara rasional dan tetap mengalokasikan sebagian kuotanya untuk siswa kurang mampu.

Mantan Rektor IKIP Semarang itu mengemukakan, dari sisi gagasan, RSBI punya tujuan jelas yakni menciptakan lulusan bertaraf internasional dan bisa bersaing di dunia internasional pula.

Rasdi tidak sependapat RSBI menciptakan kastanisasi. "Sepanjang siswa lulus seleksi, sekolah wajib menerima siswa tanpa melihat kemampuan ekonomi keluarganya," katanya.

Ia mengakui alokasi bantuan yang diberikan pemerintah pada RSBI relatif kecil sehingga sekolah perlu memungut iuran dari masyarakat untuk menutup kebutuhan.

"SMAN 1 Semarang `hanya` memungut iuran Rp 300.000/bulan, sedangkan biaya masuknya sekitar Rp 4 juta. Saya kira jumlah ini rasional untuk ukuran sekolah berlabel RSBI," kata Rasdi yang juga Ketua Komite SMAN 1 Semarang.

Kesan RSBI atau SBI mahal, menurut dia, karena ada sekolah yang memungut iuran dan sumbangan uang masuk secara gila-gilaan, misalnya, iuran bulanan Rp 750.000 dan memungut sumbangan hingga belasan juta rupiah.

"Itu ekses. Kita tidak boleh meniadakan sesuatu yang baik karena ada ekses. Kewajiban pemerintah untuk menghapus ekses itu," katanya.

Sumber: Antara, Senin, 14 Juni 2010

No comments: