Saturday, June 19, 2010

Hilangnya Sebuah Generasi

-- Alexander Supelli

ARY Mochtar Pedju (Kompas, 16/6/2010) mengontraskan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puspiptek, Serpong (20/1/2010), dengan artikel seorang cendekiawan (Koran Tempo, 20/11/2009). Di satu sisi, kita dengar pentingnya penguasaan teknologi agar tidak terlindas derap sejarah yang terutama digerakkan teknologi. Di sisi lain, ada kegerahan akan ketergantungan Indonesia pada sumber daya manusia, teknologi, dan modal asing.

Kontras berubah menjadi ironi kalau kita tengok peristiwa 15 tahun lalu. Jutaan orang baik di dalam maupun di luar negeri hampir-hampir tidak percaya menyaksikan prototipe pesawat N250 mengudara. Itulah salah satu karya rancang bangun anak bangsa di tangga teknologi tinggi. Apa yang tersisa dari peristiwa 10 Agustus 1995 mungkin hanya Keppres No 71 Tahun 1995 tentang Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.

Sukses itu tidak lepas dari ”nasionalisme” yang mau menjadikan industri dirgantara simbol kemajuan bangsa. Namun, di belakang yang simbolik, tertanam jerih payah insinyur dan ahli teknik PT Industri Pesawat Terbang Nusantara serta ratusan ribu jam kerja dan modal yang tidak sedikit.

Cerai berai

Tanpa perlu masuk ke perdebatan ”IPTN era 90-an” sukses atau gagal, butir yang kadang lepas dari perdebatan adalah peran IPTN dalam membangun sumber daya manusia (SDM) setara SDM negara-negara maju, khususnya dalam bidang rancang bangun/teknologi pesawat komersial berpenumpang 19 sampai dengan 70 orang. Sesudah krisis ekonomi-politik 1997/1998, IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PTDI) memangkas 80 persen jumlah karyawannya.

Ke mana perginya tenaga terdidik teknologi yang kalau mengutip SBY disebut intangible intellectual resources? Lebih dari 200 insinyur dan ahli teknik eks PTDI kini tersebar di pabrik-pabrik pesawat terbang dunia. Boeing (AS) mempekerjakan 30 orang, Bombardier (Kanada) merekrut 20 orang, EADS-AIRBUS Industries (Jerman, Inggris, dan Spanyol) 75 orang. Tahun 2000 s/d 2005 tercatat hampir 100 orang bekerja di Embraer, Brasil, untuk program ERJ 170/190. Tidak sedikit di Belanda, Belgia, Swiss, UAE, Riyadh, Turki, Malaysia, dan Singapura.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan diperkirakan mencapai 5 persen-6 persen per tahun. Pertanyaannya, untuk negara kepulauan sebesar Indonesia, jenis transportasi efisien apa yang dapat ikut memicu pembangunan daerah terpencil? Rute di bawah 500 kilometer efisien ditempuh menggunakan pesawat berbaling-baling. Untuk Indonesia, yang paling sesuai adalah pesawat berpenumpang 19 orang dengan daya kargo 2-3 ton dan daya jelajah 1.000–1.500 kilometer. Perawatan pesawat jenis ini mudah dan murah. Harga beli dan biaya operasi langsungnya pun rendah.

Tidak mengherankan jika pesawat jenis inilah yang berdatangan ke pasar Indonesia. Polri membeli 10 Skytruck (Polandia). Sebuah perusahaan penerbangan swasta punya dua buah LET 42 (Czech). Belasan DHC-6 Twin-Otter (Kanada) dibeli untuk rute penerbangan perintis. China giat menawarkan Harbin Y-12, dan Merpati Nusantara menggunakan M60 (sejenis N250) buatan China untuk rute Indonesia Timur. TNI juga sedang mengkaji pembelian pesawat jenis itu.

Kini, PTDI serius mengkaji kelayakan Program N219. Alasannya adalah fakta di atas serta prakiraan bahwa dalam 15 tahun mendatang Indonesia butuh 250 pesawat jenis ini untuk mengganti pesawat-pesawat sekelas yang menua serta pertumbuhan armada. Dana program pengembangan N219 di bawah 200 juta dollar AS. Fase perancangan, pembuatan prototipe, uji coba, sertifikasi laik terbang, sampai akhirnya punya nilai komersial memerlukan waktu tiga tahun. Dengan perencanaan matang, analisis titik impas bisa tercapai pada penjualan unit ke-200.

Hidup bersama

Menyangkut produksi dalam negeri biasanya muncul pendapat bukankah lebih untung beli dari luar? Sikap itu kiranya perlu diimbangi pertanyaan seserius apa kita mau menjalankan alih teknologi, membangun SDM, dan memicu inovasi?

Dalam sistem ekonomi yang sepenuhnya mementingkan profit, waktu adalah taruhan. Meski menyiapkan SDM melibatkan skala panjang waktu, tidak berarti logika SDM tidak bisa diinjeksikan ke gairah mencari profit. Tentu ada konsekuensi. Profit jangka pendek menurun, demi produktivitas jangka panjang. Dengan kata lain, logika SDM menuntut agar ke dalam rancangan profit jangka pendek ditanamkan kebutuhan menciptakan ”rumah-rumah produksi”, apakah itu di bidang otomotif, pertahanan, kedirgantaraan, energi surya, peralatan medis, dan sebagainya. Brasil, Rusia, India, dan China mengambil pilihan ini.

Kita tahu sifat sumber daya pengetahuan berbeda dengan sumber daya tak terbarukan yang menipis dengan meningkatnya penggunaan. Tenaga terdidik teknologi yang tercerai berai di banyak negara adalah sumber daya yang semakin digunakan, semakin meningkat keunggulannya. Sepuluh tahun sesudah mereka meninggalkan Indonesia dan berkarya di pabrik-pabrik terkemuka luar negeri, kita mengelus dada membayangkan seberapa berlipat ganda ”nilai tambah” mereka. Mereka berpotensi besar mengalihkan keunggulan kepada generasi berikut.

Tanpa kenal sejarah ilmu-ilmu dan teknologi, memang sulit memaknai kata ”pakar”. Mereka bukan hanya orang-orang yang menjalankan tugas sesuai keahlian, melainkan menjalankan tugas dan pada saat bersamaan membuat kompetensinya berkontribusi bagi hidup bersama.

Argumen bahwa hidup bersama bukanlah urusan ekonomi hanya muncul dari sayap teknokratik ekonomi. Dari sejarahnya, kita tahu ekonomi juga punya sayap intelektual. Di sayap inilah ekonomi melekat pada hidup bersama. Dari sayap itu pula ekonomi melahirkan pemihakan. Saat kemajuan teknologi negara-negara kaya semakin tak berimbang dibanding negara-negara miskin, adalah masuk akal jika SDM unggul teknologi dipekerjakan bagi mereka yang ada di posisi kemajuan lebih rendah. Tidak terkecuali Indonesia.

Ini bukan soal nasionalisme, bukan juga soal profit versus pengembangan SDM. Persoalannya adalah mengatur masa depan hidup bersama. Itulah makna luas oeconomicus.

* Alexander Supelli, Mahasiswa MBA SBM-ITB

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Juni 2010

No comments: