ANTOLOGI puisi "Isi Otakku" boleh jadi merupakan kumpulan puisi pertama yang terbit di Bandung dan mungkin di Indonesia, ditulis oleh seorang penyair difabel penyandang cerebral palsy, yaitu gejala fisik yang dalam istilah medis disebut lumpuh otak. Antologi puisi yang ditulis penyair Taufik Hidayat (Opik) ini diterbitkan Yayasan Sidikara Bandung bekerja sama dengan Penerbit Buku Ultimus. Antologi puisi tersebut diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jumat (4/6).
Acara peluncuran buku yang digelar Yayasan Sidikara bekerja sama dengan Pikiran Rakyat, Ultimus, GIM, dan Majelis Sastra Bandung, berlangsung cukup meriah. Dalam acara tersebut, tampil Kania Roesli (istri almarhum Harry Roesli), Iman Soleh, juga teman-teman Opik sesama difabel, membacakan sejumlah puisi yang ditulis Opik. Selain itu, beberapa puisi Opik ada juga yang dimusikalisasikan oleh Bengkel Kreasi Seni Gapat.
Menurut penyair yang juga pakar hukum, Yesmil Anwar, kehadiran Opik dalam peta perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia modern dewasa ini layak disambut dengan hangat. "Opik sebagaimana penyair lainnya yang hidup normal, mempunyai hak yang sama dalam berkebudayaan di negeri ini. Selain itu, puisi yang ditulis oleh Opik sendiri tidak kalah dengan apa yang ditulis penyair normal. Bahasa yang digunakan Opik cukup jernih dan cukup jelas," katanya.
Interaksi Opik dengan dunia seni, kata Yesmil Anwar lebih lanjut, membawa dirinya pada kondisi kebutuhan untuk mengisi ruang kosong yang ada di dalam dadanya. Selain menulis puisi dan melukis, Opik juga main teater. "Diakui atau tidak, Opik telah memberikan pelajaran yang cukup berharga bagi kita semua, yakni mengisi hidupnya dengan penuh makna!" ucap Yesmil yang juga pemain teater tangguh bersama Teater Lisette.
Hal yang sama diungkap teaterawan Iman Soleh. Yang membuat dirinya malu terhadap Opik adalah ia dengan penuh keberanian telah menerbitkan sejumlah puisi yang ditulisnya dalam satu buku dan apa yang ditulisnya itu tidak mengecewakan. Selain itu, Opik tidak hanya bicara soal dirinya sendiri, tetapi juga bicara tentang lingkungan hidup yang dirasa kejam. Termasuk di dalamnya bicara soal biaya pendidikan yang kian hari kian mahal yang harus ditanggung masyarakat yang akan menyekolahkan anaknya, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Soal mahalnya biaya pendidikan terungkap dalam puisi "Masalah Tahun Lalu," yang satu baitnya berbunyi, Tahun lalu/ banyak siswa siswi yang putus sekolah di tengah jalan/ karena faktor biaya yang terlalu tinggi//
**
BENARKAH Opik menderita lumpuh otak? Inilah pertanyaan yang muncul saat membaca antologi puisi "Isi Otakku" yang memuat 56 puisi (2006-2009). Apa yang ditulisnya itu memang terasa sederhana, tetapi sarat makna. Hal yang mengagumkan adalah dalam antologi puisi yang ditulisnya itu, Opik banyak menggunakan majas simile. Jangan-jangan Iman Soleh benar, bahwa dalam menulis puisinya itu, Opik tidak berpikir dengan otak, tetapi dengan hati. Kepekaan, itulah kunci utama yang membawa daya nalar Opik dalam menulis puisinya itu terasa lancar dan tidak dipaksakan.
Pengamat sastra Indonesia terkemuka asal Belanda, Prof. Dr. A. Teeuw pernah mengatakan, karya sastra ditulis tidak semata-mata menggunakan otak, tetapi hati.
Berkait dengan majas simele, pakar sastra Jan van Luxemburg dkk. (1991: 65) menyebutkan majas identitas dalam penulisan karya sastra, dalam hal ini puisi, mencakup perumpamaan dan metafora. Keduanya membandingkan objek atau pengertian dan menyamakannya secara semantis. Pada perumpamaan, caranya eksplisit. Pada metafora bagian yang harfiah sering kali tidak ada sehingga makna yang tidak ditunjukkan dalam teks harus kita tentukan sendiri agar tercapai pemahaman yang baik.
Majas identitas yang dimaksud Jan van Luxemburg ini pada satu sisi, yang mencakup perumpamaan itu, disebut juga majas simile. Nah puisi-puisi yang ditulis Opik pada satu sisi ada dalam tataran semacam ini, yang mustahil ditulis orang yang menderita lumpuh otak. Sebagai contoh, puisinya yang diberi judul "M.T.H.T (Mati Tidak, Hidup Tidak)" berbunyi: otakku tidak berfungsi/ seperti mesin yang berkarat dan macet// otakku tak mampu berpikir panjang.// Hatiku seperti padam/ dan gelap tanpa cahaya setitik pun// Hatiku atau jantungku/ detaknya semakin melemah/ dan lemah seperti ingin berhenti berdetak// Tubuhku/ seperti tidak bertenaga/ dan lemah tak berdaya// Terkapar/ tak bergerak sedikit pun/ seperti mati// (19 November 2006).
Tiga larik pertama dalam puisi tersebut yang berbunyi: otakku tidak berfungsi/ seperti mesin yang berkarat dan macet// otakku tak mampu berpikir panjang.// menunjukkan kemampuan Opik menggunakan majas simile atau identitas, yang mengumpamakan otak si aku lirik dengan mesin yang rusak sehingga tidak mampu berpikir panjang. Jelas sudah yang diekspresikan si aku lirik dalam puisi tersebut adalah pengalaman sang penyair. Menurut pengakuan Opik, pada suatu hari dirinya merasa tidak berguna. Ia merasa menjadi orang buangan. Yang menyelamatkan dirinya dari rasa putus asa semacam itu adalah teater dan menulis puisi. Untuk itu, lelaki kelahiran Bandung, 23 Maret 1975 ini merasa beruntung bisa bergabung dengan Yayasan Sidikara yang memfasilitasi dirinya untuk berkreasi, baik dalam bidang seni rupa, menulis puisi, maupun teater.
Dalam percakapannya dengan penulis, dibantu penerjemah dari Yayasan Sidikara, Opik mengatakan, dirinya kerap merasa menjadi orang tidak berguna ketika rasa cinta terhadap lawan jenis muncul di dalam hatinya, tetapi selalu bertepuk sebelah tangan. Rasa sepi dan sunyi semacam itu diungkap dalam sejumlah puisi yang ditulisnya dengan penuh perasaan. Salah satu puisinya itu diberi judul "Sepi". Bunyi puisi tersebut seperti ini: Jauh di sana/ aku berdiri/ tanpa setitik cahaya/ di sekelilingku// Aku di sini melawan awan gelap/ sepi/ tanpa suara terdengar// Tapi/ aku akan tetap di sini/ sampai batas waktu/ yang tidak tentu//.
Mbak Titi dan Budi Radjab, dari Yayasan Sidikara, mengatakan, orang-orang seperti Opik harus mendapat tempat dalam kehidupan. Berkait dengan itu, sukarelawan di Yayasan Sidikara berupaya sedemikian rupa menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan orang-orang difabel, bahwa dirinya setara dengan yang lain. Opik, sore itu, tampak bahagia dengan apa yang telah dikreasinya selama ini. Ia merasa setara dengan yang lain, merasa otaknya tidak macet. Itu dikatakannya sambil tertawa.
"Dalam upaya membantu kelompok marginal ini, kami memakai paradigma persahabatan. Dengan demikian, kami sejajar dengan mereka. Dalam keadaan seperti ini, kami bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan tujuan membangun kemandirian. Apa yang dicapai Opik bersama kawan-kawannya adalah membangun kemandirian itu, percaya diri itu," tutur Mbak Titi. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment