-- Ajip Rosidi
SUDAH diakui secara umum bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia banyak yang diambil dari bahasa-bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa-bahasa ibu yang terdapat di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang mengemukakan pendapat bahwa sembilan dari sepuluh kata Indonesia berasal dari bahasa asing (Lihat buku Alif Danya Munsi atau Remy Silado yang nama aslinya Yapi Tambayong berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).
Akan tetapi sampai sekarang setahu saya belum ada orang yang meneliti atau mencatat tentang kapan dan bagaimana kata-kata itu mulai digunakan dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan W.J.S. Poerwadarminta (Balai Pustaka, Jakarta, 1952) misalnya di belakang entri yang berasal dari bahasa asing atau dari bahasa daerah diberi tanda dengan huruf yang menunjukkan bahasa asing atau bahasa ibu yang menurut pendapatnya asal kata itu. Yang dicatat oleh Poerwadarminta sebagai sumber kata-kata yang masuk ke dalam bahasa Indonesia adalah A (Arab), Dj (Djakarta), Djw (Djawa), E (Eropa), Lat (Latin), M (Minangkabau), Pal (Palembang), S (Sunda), Skr (Sangsekerta), dan T (Tionghwa). Dalam edisi yang sudah diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1976), daftar sumber itu tidak bertambah. Sehingga timbul pertanyaan apakah entri yang dalam KUBI diberi keterangan "Djw" itu benar masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dari bahasa Jawa seperti "alap-alap", "alum", "bedel", "bende", "dengkul", "jotos", "embel-embel", "garap", "irit", "kabeh", "kolor", "lawas", "mendong", dan banyak lagi, karena kata-kata tersebut terdapat juga dalam bahasa Sunda, bahasa Jakarta, dan mungkin dalam bahasa lain lagi. Kalau sekadar menyatakan bahwa kata tersebut terdapat dalam bahasa yang lain, maka harusnya di sampingnya diberi tanda tidak hanya satu bahasa sumber saja, melainkan nama semua bahasa yang mempunyainya. Jadi tak cukup hanya dengan mencantumkan "Djw" saja, melainkan juga mencantumkan "Dj", "S", dan basa lain yang mempunyai kata yang menjadi entri itu. Niscaya akan merepotkan, tetapi dengan demikian penyusun berbuat konsisten. Kata-kata yang menjadi entri itu selain terdapat dalam sesuatu bahasa terdapat juga dalam bahasa-bahasa ibu yang lain. Begitu juga dengan kata-kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya kata-kata yang terdapat dalam bahasa Latin banyak yang terdapat juga dalam bahasa-bahasa Eropa yang lain.
Akan tetapi kita juga tidak tahu apakah dicantumkannya keterangan itu karena kata tersebut memang digunakan dalam teks bahasa Indonesia, ataukah hanya menunjukkan bahwa penyusun tahu bahwa kata tersebut tercantum juga dalam kamus bahasa sumber itu. Seharusnya kata-kata yang dicantumkan sebagai entri kamus, hanyalah kata-kata yang memang dipergunakan dalam teks atau dalam percakapan publik bahasa tersebut.
Mungkin karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka dalam KBBI edisi Pusat Bahasa (1988), tanda bahasa sumber entri tidak lagi dicantumkan. Tiap kata yang menjadi entri tidak ada yang diberi keterangan tentang asalnya.
Akan tetapi dalam edisi keempat (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008), bahasa sumber yang dianggap sebagai asal kata yang menjadi entri dicantumkan lagi. Kalau dalam KUBI Poerwadarminta, yang disebut sebagai sumber pengambilan kata-kata yang menjadi entrinya hanya sepuluh, maka dalam KBBI edisi keempat itu yang disebut sebagai bahasa sumber itu jauh lebih banyak, ada tujuh macam bahasa Melayu, ada 38 bahasa daerah dan ada 10 bahasa asing. Kalau dalam KUBI bahasa-bahasa Barat (kecuali yang klasik seperti Latin) hanya disebut sebagai e (Eropa), maka dalam edisi keempat itu disebut namanya secara khusus, yaitu Bld (Belanda), Dm (Denmark), Ing (Inggris), It (Italia), Jm (Jerman), Nr. (Norwegia), Pr (Perancis), Rs (Rusia), Skot (Skotlandia), dan Sp (Spanyol). Dari yang klasik kecuali Lat (Latin) disebut juga Yn (Yunani). Di samping bahasa Ar (Arab), disebut juga bahasa Ib (Ibrani) dan Par (Parsi). Di samping bahasa Skt (Sansekerta) disebut juga bahasa Kw (Kawi). Dan di samping bahasa Cn (Cina) disebut bahasa Jp (Jepang).
Namun, para penyusun cukup hati-hati dengan memberikan keterangan bahwa, "Kamus ini bukan kamus etimologis. Dengan demikian label itu tidak menunjukkan sejarah kata-kata bersangkutan." Jadi tidak menunjukkan dari bahasa apa sebenarnya kata tersebut masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Yaitu kata-kata yang terdapat dalam dua atau lebih bahasa ibu, karena dalam KBBI itu seperti juga dalam KUBI Poerwadarminta hanya disebut satu bahasa ibu sebagai sumber.
Yang istimewa pada akhir KBBI edisi keempat ini setelah Pustaka Acuan kita temukan "Kata dan Ungkapan Daerah" dan "Kata dan Ungkapan Asing", seakan merupakan lampiran, tetapi tanpa keterangan apakah yang dimuat dalam lampiran itu memperlengkap isi kamus itu memuatkan semua kata dan ungkapan yang tidak termasuk sebagai entri kamus. Susahnya dalam "Kata dan Ungkapan Daerah" dan "Kata dan Ungkapan Asing" itu kita dapati kata dan ungkapan yang dimuat dalam entri dan juga yang tidak. Banyak pula ungkapan baik dalam bahasa daerah maupun dalam bahasa asing, yang tidak pernah kita dapati dalam teks atau percakapan publik bahasa Indonesia.
Dengan begitu meskipun sudah diperlengkap, KBBI edisi keempat itu tidaklah dapat memenuhi kebutuhan kita yang ingin tahu bagaimana dan kapan kata-kata dan ungkapan bahasa daerah atau asing masuk menjadi kekayaan perbendaharaan bahasa Indonesia. Kita tahu kata-kata masuk ke dalam bahasa kita, sehingga menjadi populer, tetapi setelah beberapa lama dia menghilang, sedangkan kita belum sempat mencatatnya. Kesadaran akan sejarah bukanlah hanya terhadap yang diceritakan sebagai sejarah saja, melainkan juga terhadap bahasa yang digunakan untuk menuliskannya. Sebagai bangsa kita memang kurang mempunyai kesadaran sejarah.
* Ajip Rosidi, budayawan.
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juni 2010
No comments:
Post a Comment