-- Kasijanto Sastrodinomo
FINAL pemilihan Miss Indonesia 2010 tempo hari menarik diberi catatan. Tiga finalis yang diunggulkan sebagai calon miss dan runner up ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan berbahasa Inggris yang diajukan pembawa acara. Ketiganya tak paham arti kata endurance yang merupakan inti soal ”ujian akhir” itu. Bukan hal aneh karena pemenang kontes serupa dalam ajang yang lebih besar, Miss Universe dan Miss World, juga tak selalu fasih berbahasa Inggris. Bahkan, panitia memberikan toleransi dengan menyediakan jasa penerjemah.
Mafhumi saja kekurangan putri-putri jelita itu dengan keyakinan bahwa mereka tentu akan belajar lagi jika tak ingin malu berkepanjangan. Justru sikap berbahasa pasangan pembawa acara yang patut disayangkan karena tak tertata semestinya. Kemampuan berbahasa Inggris keduanya jelas prima, tetapi jadi anjlok nilainya ketika molah-malih ke bahasa gaul sekenanya. Sapaan ”kamu” kepada para kontestan, misalnya, jelas bukan pilihan estetika bahasa yang elok untuk acara resmi yang dirancang anggun. Akan terasa indah jika mereka berduet berdwibahasa, Indonesia dan Inggris, secara utuh, baik, dan benar tanpa mengurangi keluwesan.
Nomina endurance yang berarti ”daya tahan”, ”ketahanan”, dan ”kesabaran” boleh jadi jarang muncul dalam percakapan sehari-hari bahasa Inggris di sini. Frase contoh dalam Kamus Inggris-Indonesia Echols-Shadily mengisyaratkan kata itu bertalian dengan tujuan atau situasi tertentu yang kritis. Misal, endurance test atau ujian tentang ketahanan cocok untuk mengukur kekuatan mesin otomotif. Beyond endurance, ”tak tertahankan lagi”, memerikan penderitaan atau kesakitan yang luar biasa. Demikian pula to have great powers of endurance atau ”tabah sekali, memiliki daya tahan yang besar” hanya terasakan mendalam bagi yang (pernah) menderita lahir-batin.
Dalam wacana sosio-humaniora, endurance tepat menakrifkan ketabahan golongan terpinggirkan seperti petani subsisten (istilah James Scott), petani gurem (Sajogyo), massa apung kota (Hans Dieter-Evers), dan mereka yang senasib lainnya. Di pundak dan batin merekalah endurance tertanam kuat untuk menghadapi musim paceklik, banjir, hama, spekulan, dan semacamnya. Dalam situasi seperti itu, endurance bertaut erat dengan subsistence ethic, meminjam istilah Scott, yakni berbagi beban di antara mereka yang didera petaka sebagai ”a consequence of living so close to the margin” (dalam suntingan Teodor Shanin, Peasants and Peasant Societies, 1987).
Menimbang, mengingat, dan memerhatikan kenyataan sosial kita yang masih berkelam kabut kemiskinan, kelaparan, dan bencana, layak rasanya jika ”kuman” endurance terus dibiakkan untuk menumbuhkan optimisme hidup. Tentu harus dibarengi kerja keras para pemimpin mengangkat kaum papa dari kehidupan yang halai-balai. Percayalah, yang mereka perlukan bukan dana aspirasi, melainkan kejujuran dan ketulusan bertindak yang nyata.
Pertanyaan panitia pemilihan Miss Indonesia ihwal ”stamina” tersebut bermakna serius. Di tengah isu kekerasan terhadap perempuan dan gerakan kesetaraan jender yang kian kencang, kata endurance menjadi konsep imperatif bagi miss kinyis-kinyis itu.
* Kasijanto Sastrodinomo, Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Juni 2010
No comments:
Post a Comment