Sunday, December 28, 2008

Lagu Jenaka Minangkabau

-- Deddy Arsya*

WISRAN Hadi dalam sebuah tulisan menyimpulkan, ada beberapa ciri atau karakteristik jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Jenaka Minangkabau tidak mengeksploitir atau mengeritik kekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi; menekankan pada “permainan” kata dan makna; tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang; kritik terhadap sesuatu keadaan, kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualan yang terjadi di sekeliling kehidupannya. Menurut Wisran lagi, jenaka hanya merupakan “bungkus” saja dari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikan isinya, itulah tujuan utamanya.

Lalu bagaimana lirik-lirik lagu Minang yang mengandung unsur-unsur kejenakaan berkembang dari waktu ke waktu, sampai kepada lirik-lirik lagu jenaka Minang kontemporer hari ini? Lewat pemetaan ini sesungguhnya dapat membaca bagaimana perubahan dan dinamika kebudayaan Minangkabau sendiri dalam unsur Sistem Komunikasi (bahasa) secara luas.

Jika orang Minang dikatakan tidak mau berbahasa berterus-terang karena orang yang berbicara berterus-terang adalah orang yang baru tahu berbahasa, dan belum mencapai tahap bisa atau pandai dan lincah, adab dan seni berbahasa. Namun bagaimana kredo itu dapat bertahan ketika bahasa yang berbelit-berbelit dan pelik (dengan bunga-bunga bahasa atau metafor-metafor yang rumit) dianggap menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Karena dunia hari ini menginginkan yang serba praktis dan efisian, termasuk dalam berbahasa, dapat menggantikan yang rumit dan pelit tersebut. Adakah anggapan itu terbukti dengan mengambil sampel lirik-lirik jenaka lagu Minang sebagai cerminan. Di tahun 1959, dipopulerkan oleh Oslan Husein, ada lagu dengan judul Geleang Geleang Sapik.

Liriknya seperti ini: Iyo … si buyuang anak Siguntua/Karuak-karuak di halamannyo/Si buyuang untuang ka mujua/Induak baruak ka tunangannyo//Geleang-geleang sapik/Babulu talingonyo/Dima si buyuang sakik/Di rumah mintuonyo//Iyo … ati-ati lah jo ula sanca/Takaca mangko manggigik/Batunangan jo gadih rancak/Labiah elok makan karidik.//

Di tahun yang sama dipopulerkan pula lagu yang berjudul Sinandi Nandi. Liriknya seperti ini: Nan kok iyo lah sinandi nandi/Kuciang balang baranak balang/Golek-golek di ateh niru/Urang gaek mancilok lamang/Luko bibia dek sambilu//Nan kok iyo lah sinandi nandi/Biduak balayia ka Pulau Pandan/Muatan sarek buah kuliki/Kini zaman indak karuan/Nenek-nenek mamakai jengki//Indak den sangko rigo-rigo/Pipik sinanduang mamakan padi/Indak den sangko sinan bak iko/Tuo jo mudo makin manjadi//Nan kok iyo lah sinandi nandi/Buah mangga jo buah manggih/Elok dimakan di hari patang/Sajak lah mancik jadi angku haji/banyak lah kuciang nan sumbayang.

Lagu Sinandi-nandi di tahun-tahun kemudian turut dipopulerkan Betharia Sonata dengan beberapa perubahan pada aransemen musik. Sementara Geleang-geleang Sapik tidak ditemukan dipopulerkan lebih lanjut oleh penyanyi lain.

Lirik kedua lagu ini masih memakai bentuk pantun dengan bersajak a-b-a-b, pantun jenaka yang ironi. Pengarangnya berusaha mengalihkan realitas zamannya ke dalam bentuk lirik. Jika kita menduga lirik ini diciptakan pada masa revolusi Nasakom, maka dapat dikatakan, kondisi sosial Minangkabau berada pada tataran di mana integrasi moral dan agama sedang dipertaruhkan. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia secara umum sedang dilanda pengaruh asing yang hebat, maupun keinginan untuk hidup dalam kebudayaan sendiri yang sepenuhnya terlepas dari kebudayaan kolonial. Percobaan-percobaan dilakukan di antaranya termasuk mengintegrasikan komunis ke kebudayaan Indonesia yang berTuhan. Sehingga kemudian menghasilkan kejanggalan-kejanggalan di sana-sini. Kondisi inilah mungkin yang tercermin dari lirik-lirik seperti: Indak den sangko sinan bak iko/Tuo jo mudo makin manjadi. Atau pada lirik Sajak lah mancik jadi angku haji/banyak lah kuciang nan sumbayang.

Di tahun setelah itu, setelah PRRI kalah dalam perang saudara tiga setengah tahun, nyaris tak tersebut lagi lagu-lagu jenaka yang dipopulerkan. (Tetapi di luar yang tercatat dan dipopulerkan, tentu lirik-lirik jenaka akan terus berkembang apalagi dalam kondisi sosial yang tragis menjadikan manusia melarikan diri kepada kejenakaan). Tema-tema lagu Minang ketika itu pada umumnya berkisah perihal kepulangan dan kepergian, yang berangkat dan yang menanti, ratap-ratap ditinggalkan, atau kerinduan pada kampung halaman.

Tema-tema di atas tercermin misalnya dalam lagu-lagu: Barangkek Kapa, Takana Juo, Rang Talu, Kambanglah Bungo, maupun lagu-lagu yang datang lebih belakangan seperti: Lakehlah Pulang, Di Taluak Bayu, Minang Maimbau, Takana Adiak, Mandeh, Dangalah Minang Maimbau, dan lainnya.
Gelombang migrasi orang Minang keluar daerah pasca perang saudara itu memang meningkat. Dalam catatan sejarah dikatakan, Teluk Bayur menjadi pelabuhan paling ramai, menjadi transit yang mengantarkan orang-orang Minang keluar daerah mereka. Sayang ka kampuang ditinggakan. Setidak-tidaknya, itulah ungkapan yang terkenal untuk konteks ini yang banyak ditransmormasikan ke dalam lirik-liri lagu Minang.

Bahkan realitas pasca perang tersebut tidak saja direduksi menjadi teks atau lirik lagu-lagu Minang oleh orang-orang Minang sendiri, tetapi juga direduksikan ke dalam lirik lagu berbahasa Indonesia. Lagu yang terkenal dan masih diingat sampai hari ini dengan penggalan lirik sebagai berikut: selamat tinggal Teluk Bayur permai/daku pergi ke negeri seberang/dst...

Baru setelah tahun 80-an (setidak-tidaknya dalam catatan saya) beberapa lagu Minang yang menawarkan lirik-lirik jenaka mulai dipopulerkan kembali. Di sekitaran tahun ini muncul Edy Cotok yang masih populer hingga kini. Sejak bernyanyi tahun 1979, ia setidak-tidak telah melahirkan 18 album. Salah satu keunikan Edy Cotok yang jarang dimiliki penyanyi lain, ia memiliki sembilan jenis karakter suara, begitu laporan sebuah milis. Dengan modalnya itu, ia bisa membawakan lagunya dengan kocak dan penuh humor. Salah satu lagunya, Jan Bajudi liriknya berbunyi: Jan bajudi juo, Da/jan bahampok juo, Da/anak alah banyak/sadarlah oi Uda// Induak-induak komah/samo jo padusi/ heboh se muncuangyo/co murai banyanyi//Baa dak kaeboh aden tiok hari/pitih ka balanjo Uda baok bajudi/utang den di lapau lah salilik pinggang/kok tarimo gaji bon sajo nan pulang//Soal utang tu diak lah soal biasao/tanyo ka Pak Wali kok indak picayo/sadangkan negara lai bautang juo/ kunun kok awak rakyat biaso.

Di tahun 2000-an, Opetra menghadirkan album Kecek-kecek Amae. Keunggulan Opetra karena ia berhasil menampilkan lirik-lirik yang jenaka namun miris dalam membaca realitas sosial—karakter yang paling menonjol dalam jenaka Minang. Di samping itu, ia dengan berani memplesetkan lagu-lagu India dalam lirik-lirik humor yang bernada satir. Misalnya ia mengetengahkan bagaimana kondisi supir angkutan dan kondisi bus yang sesak muatan, bus kelas ekonomi tentu saja, yang diisi oleh berbagai lapisan dan kelas sosial. Penggalan liriknya: ado panjang ado pendek/ado gadang ado bondek/nan bagayuik cando cigak/nan tasapik angok sasak/dst.... Sementara dalam lirik lagu Kecek-kecek Amae sendiri, bercerita tentang seorang lelaki yang putus cinta, karena si lelaki orang yang tak berpunya, lantas memelihara dendam kepada orangtua dari si gadis yang yang gila harta yang membuat cinta mereka putus.

Seiring dengan tahun itu, muncul Nedi Gampo. Menurut sebuah milis, Nedi Gampo sampai saat ini menghasilkan delapan album. Lagu ciptaannya yang dinyanyikan sendiri dan menjadi hits antara lain Jawinar, Uwie-uwie Minta Jatah, Aki Soak.

Dalam beberapa lagu, Nedi Gampo mencoba berbicara tentang kondisi terkini daerah maupun negara, baik dalam konteks politik, budaya, maupun moral. Ia dengan kelakar mengomentari krisis moneter, kondisi para supir, nasib mahasiswa miskin, nasib pegawai honor, dan lain sebagainya. Ia menampilkan selingan jenaka di antara lagu, baik berupa teka-teki maupun anekdot-anekdot; hal yang sesungguhnya kemudian menjadi ciri khas beberapa lagu jenaka Minang. Misalnya Nadi Gampo lewat lagunya mempopulerkan anekdot tentang beo yang menirukan apa saja yang menjadi kebiasaan tuan rumah: baik itu kebiasan nyonya menggosipkan suaminya, sampai kepada suara tuan dan nyonyanya berhubungan intim.

Di tahun yang lebih belakangan, Ajo Andre yang berduet dengan beberapa penyanyi perempuan dalam beberapa album masih tetap berhasil menampilkan kejenakaan yang khas Minang, dalam bentuk teka-teki maupun cerita-cerita jenaka yang tidak membodohi pendengarnya, tetapi mampu menggugah daya nalar.

Busyet sebagai generasi yang datang paling mutakhir dalam menghadirkan lirik-lirik jenaka dalam lagunya, melagukan lirik-lirik verbal yang terbuka kulit akan tampak isi, hantam saja, nyaris tanpa kiasan, tanpa metafor. Di beberapa lagu, banyak kata-kata seperti baruak ang, matilah ang, dalang ang, dst.

Lihat misalnya lirik lagu yang berjudul Tenggen yang berbunyi: Pakerakpakeren/lets me negen/ma tau den/aden tenggen/manga ang tanyo lo ka den?// Meskipun kita berkata bahwa lirik-lirik tersebut kasar dan verbal, tetapi hal itu sesungguhnya bisa menjadi cerminan kondisi berbahasa generasi mutakhir.

Di bagian lain dalam lagu yang sama berbunyi: Jaman kini babahayo Da/ketek-ketek pakai narkoba/sirawa tangga nyo kabek saja/hiduik jo style gaya nagari lua/jiko mabuak tiok sabanta/maengak-engak di tangah pasa/dst...

Generasi mutakhir Minangkabau rupanya punya cara tersendiri menanggapi realitas dengan bahasa mereka yang campur-aduk alias gado-gado. Dalam beberapa lirik lagu Busyet yang telah dikutipkan di atas, akan kelihatan gado-gado bahasa generasi yang dipakai: Arap, Inggris, semi-Inggirs, semi-Indonesia, semi-Minang.

Apa yang dicemaskan banyak ahli bahasa dewasa ini bahwa bahasa ibu baik bahasa daerah maupun bahasa nasional telah terpinggirkan oleh bahasa yang datang dari luar, maupun kecemasan akan ketidak-becusan berbahasa generasi Mutakhir. Kecemasan itu pula sesungguhnya yang tampak dan mungkin ingin di hadirkan dalam beberapa lirik lagu Busyet. Barangkali itulah hasil reduksi Busyet terhadap membaca perkembangan realitas kekinian tempat mereka hidup.

Atau malah semakin mempopulerkan ketidak-becusan berbahasa yang selama ini dicemaskan itu?
Dalam lagu lain yang berjudul Carai, liriknya berbunyi begini: bini den bulek sabana padek/ jikok diesek inyo mahonjek/badan e ketek bantuak katupek/ iduang e bulek mancuang saketek.//ajo den gagah bantuak pak lurah/bukak kupiah bantuak pak ogah/kapalo sabana sulah/dek acok mandi jo aie kulah/

Di bagian ini, Busyet menampilkan garah yang bertendensi mengekplotasi tubuh, kejelekkan badaniyah, tak ubahnya apa yang diterapkan pelawak-pelawak nasional kita di televisi seperti Thukul yang sekarang lagi naik daun. Pola seperti ini juga terlihat pada beberapa lirik lagu Mak Lepoh dan Mak Itam (generasi berikutnya atau mendahulu Buyet?). Karakteristik jenaka yang sesungguhnya tidak begitu kentara atau jarang dipakai sebagai ciri jenaka Minangkabau.

Namun bagaimana pun, yang mutlak dari kebudayaan adalah perubahan. Perubahan simbol dan makna yang kita lihat dalam lirik-lirik jenaka lagu Minang hingga dewasa ini yang terutama pelopori Busyet (dapat dikatakan begitu) sesungguhnya bisa menjadikan parameter bagaimana sesungguhnya generasi Minang hari ini berbahasa. Bagaimana bahasa sebagai sistem simbol dan makna terus berkembang dan berdinamika mereduksi realitas.

Padang, 2008

* Deddy Arsya, mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang, tinggal diPadang.

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 Desember 2008

No comments: