Friday, December 19, 2008

Kelembagaan: Kebudayaan di Arena Kongres

BUKAN salah Eka Budianta kalau membanding-bandingkan pelaksanaan Kongres Kebudayaan 1948 dan 2008. Rentang waktu yang begitu jauh, 60 tahun, harus diakui telah mengubah banyak hal. Tidak saja model pelaksanaan kongres, tetapi juga keterlibatan masyarakat pada agenda kebudayaan tersebut.

Pada Kongres Kebudayaan 1948 di Magelang, Jawa Tengah, yang tercatat sebagai kongres pertama setelah terbentuknya Republik Indonesia, semua peserta harus membayar sendiri ongkos perjalanannya. Dalam suasana revolusi, pemerintahan belum stabil dan tidak memiliki anggaran memadai, Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Dalam Negeri harus mengerahkan staf dan masyarakat setempat untuk mencukupi kebutuhan akomodasi dan berbagai keperluan kongres.

Ketika itu, kata Eka, filantropi alias semangat kedermawanan kepada sesama sangat berperan. Warga Magelang bahu-membahu menyiapkan balai-balai desa serta rumah-rumah pribadi untuk menampung para pembicara dan peserta kongres. Di balai-balai desa itu pula sidang-sidang digelar.

Nunus Supardi dalam bukunya berjudul Kongres Kebudayaan (1918-2003) bahkan mencatat, bantuan itu tidak hanya datang dari penduduk Magelang, tetapi juga dari Temanggung dan sekitarnya, baik berupa pinjaman piring, cangkir, sendok, kursi dan pemasangan lampu-lampu penerang, maupun tukang angkut air ke balai-balai (desa) tempat peserta kongres. Bantuan juga datang dari masyarakat Solo dan Yogyakarta

”Sekarang, pada Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor, para peserta disediakan transportasi dan mendapat akomodasi yang cukup. Semua kegiatan berlangsung di hotel berbintang. Ibu- ibu di Bogor dan sekitarnya tentu saja tidak perlu membentuk dapur umum seperti pada kongres di Magelang, 60 tahun silam. Kini semua sudah diurus oleh EO (event organizer),” tutur Eka, penyair yang kini bergiat dalam penggalangan filantropi budaya.

Di luar perbedaan yang kasatmata d tersebut, ketika membolak-balik catatan-catatan kusam terkait pelaksanaan kongres pada masa-masa awal kemerdekaan, muncul kesan kian melunturnya kepedulian masyarakat pada umumnya terkait pelaksanaan kongres kebudayaan. Di luar para peserta kongres, mereka yang berlalu lalang di sekitar Hotel Salak, Bogor—tempat pelaksanaan Kongres Kebudayaan 2008 dipusatkan—sepertinya tidak peduli. Sikap apatis begitu terasa saat beberapa di antara mereka diajak ngobrol tentang agenda kebudayaan yang diperbincangkan di arena kongres.

Bukan itu saja, semangat yang menyertai pelaksanaan kongres pun cenderung bergeser; dari semula sebagai forum untuk memperjuangkan eksistensi kebudayaan nasional menjadi sekadar perhelatan di pengujung tahun anggaran. Apalagi, pada saat pembukaan, kesan yang menonjol justru semacam ritus dari sebuah upacara seremonial tanpa ada laporan pelaksanaan keputusan ataupun evaluasi terhadap rekomendasi hasil kongres sebelumnya.

Belum lagi bila mencermati perbincangan di sidang-sidang kelompok. Tema besar yang diusung kongres kali ini, ”Kebudayaan untuk Kemajuan dan Perdamaian Menuju Kesejahteraan”, malah dimanfaatkan sekadar cantelan untuk ”berkeluh kesah” tentang berbagai persoalan kebudayaan yang dihadapi bangsa ini.

Alih-alih mencari solusi, dengan gagasan-gagasan bernas untuk mencari jalan keluar dari keterpurukan, yang dimunculkan justru lebih banyak tuntutan agar pemerintah melakukan berbagai regulasi. Alih-alih menumbuhkan sikap optimistis bagi upaya menyongsong masa depan bangsa, yang disuarakan oleh beberapa panelis—sebutlah seperti di sidang yang membahas topik film/seni media—justru kerangka berpikir pesimistis.

”Seakan-akan semua persoalan tidak ada solusinya. Apakah perlu ada reformasi budaya, perlu menteri (ke-)budaya(-an)? Apakah tidak ada langkah-langkah yang lebih konkret agar rasa pesimistis (itu) hilang?” komentar seorang penanya dalam forum diskusi.

Berbagai materi sajian para panelis, yang dirangkum panitia kongres ke dalam 14 pokok bahasan, kebanyakan semacam daur ulang dari perbincangan-perbincangan yang sudah bergulir di berbagai forum diskusi dan seminar. Usulan untuk membangun kebudayaan berbasis kemajemukan, membangun masyarakat multikultural—yang belakangan menjadi bagian dari kerangka rumusan kongres untuk butir ”Melanjutkan Pengembangan Kebudayaan Nasional”—tak ubahnya bagai anggur lama dalam botol yang baru.

Tak berlebihan bila perupa Hardi mengaku geregetan, bahkan kecewa, menyaksikan perhelatan Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor. Perbincangan yang muncul di beberapa sidang kelompok ia nilai kurang terarah, seperti tidak ada tujuan, bahkan tak sedikit panelis yang sibuk berbicara tentang diri dan pengalaman masing-masing.

”Materi seperti ini untuk diskusi di TIM (maksudnya Taman Ismail Marzuki Jakarta), bukan untuk kongres kebudayaan,” kata Hardi.

Pola pikir kreatif

Memang tak ada yang benar-benar baru di bawah matahari, tetapi pengulangan yang disengaja tanpa menghadirkan sajian dengan cara pandang baru tentu bukanlah peristiwa kebudayaan yang menarik untuk dinikmati. Untunglah ada pergulatan pemikiran yang dimunculkan pada beberapa sidang kelompok lain, seperti bahasan tentang kebijakan dan strategi kebudayaan serta topik yang lagi hangat: ekonomi kreatif/industri budaya!

Menarik apa yang disajikan Ipang Wahid. Lewat paparannya berjudul ”Industri Kreatif Vs Pola Pikir Kreatif: Mengoptimalkan Multimedia dalam Industri Kreatif Indonesia”, Ipang menyentak kesadaran kita bahwa pola pikir kreatif jauh lebih penting daripada industri kreatif.

Pengelompokan industri kreatif menjadi 14 sektor, sebagaimana jadi acuan pengembangan oleh pemerintah saat ini, bahkan hanya membuat sekat pemisah seolah-olah pekerja di 14 sektor itulah yang boleh kreatif. Padahal, kreativitas tidak hanya berlaku pada bidang-bidang tertentu, tapi harus diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, kata Ipang, persepsi di masyarakat bahwa: kreatif dan kreativitas adalah domain kesenian; hanya orang-orang tertentu yang bisa kreatif; dan kreativitas hanya dibutuhkan di bidang tertentu, harus diubah. Karena ’kreatif’ melahirkan terobosan-terobosan baru bagi masyarakat, setiap orang Indonesia harus bisa menjadi kreatif. Dan, memang, agar bisa bangkit dari keterpurukan, Indonesia butuh terobosan-terobosan yang berawal dari pemikiran kreatif.

Kasus Firmansyah asal Yogyakarta yang sukses menapaki waralaba penganan singkong ”TelaKrezz”-nya lewat gagasan berkreasi dengan produk pangan sepanjang musim itu adalah contoh pola pikir kreatif. Begitu pula kasus H Sarkum, pengusaha ternak sapi di Truneng, Magetan, Jawa Timur, yang semula kewalahan menangani kotoran sapinya. Berkat ide kreatifnya mengolah kotoran sapi menjadi pupuk berbagai jenis tanaman, jenis usaha barunya ini bahkan tak kalah menguntungkan dibandingkan dengan usaha ternaknya sendiri.

”Apakah usaha mereka masuk dalam kategori 14 kelompok industri kreatif versi pemerintah? Tidak! Tapi, apakah keduanya kreatif? Sangat kreatif! Keduanya telah melakukan terobosan yang mendatangkan manfaat bagi dirinya dan orang lain,” ujar Ipang Wahid.

Artinya, Indonesia tidak hanya butuh industri kreatif, tetapi—lebih dari itu—membutuhkan timbulnya pola pikir kreatif di seluruh lapisan masyarakat. Industri kreatif akan muncul dengan sendirinya jika pola pikir kreatif sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Departemen Kebudayaan

Terlepas dari adanya perbedaan yang terlihat begitu kontras, dengan problematika dan tantangan zaman yang harus diakui memang berbeda, bila dicermati sesungguhnya, ada semacam ”benang merah” antara kongres yang satu dan yang lainnya. Salah satunya terkait makna penting kebudayaan bagi perjalanan sebuah bangsa.

Dalam konteks Indonesia, ada keinginan kuat untuk menjadikan bidang kebudayaan sebagai ikon bangsa. Kesadaran ini juga muncul pada Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor. Semangat untuk menjadikan kebudayaan sebagai ”panglima”, meski disadari masih sebatas impian, harus selalu diperjuangkan.

Tidak aneh bila keinginan agar bidang kebudayaan berada di bawah departemen tersendiri, lepas dari pendidikan—apalagi pariwisata—terus disuarakan dari kongres ke kongres. Suara itu sudah muncul sejak 1948 di Magelang dan kembali digaungkan 60 tahun kemudian di Bogor. Akankah rekomendasi kongres kali ini akhir dari perjuangan panjang itu? (ken)

Sumber: Kompas, Jumat, 19 Desember 2008

No comments: