Sunday, December 21, 2008

Naskah Kuno, Dokumentasi Budaya Versus Nilai Jual Yang Tinggi

-- Ria Febrina*

BEBERAPA tahun belakangan ini, muncul laporan dari para filolog yang menyatakan bahwa dunia pernaskahan dewasa ini menjadi pusat perhatian. Mulai dari pewaris naskah, pihak akademisi, filolog, bahkan pemerintah pun ikut memberikan sumbangan. Hal ini dikarenakan naskah menjadi salah satu dokumentasi budaya yang tidak hanya memuat nilai-nilai tradisi, tetapi juga memiliki nilai jual yang tinggi.

Pada awalnya, perhatian filolog, pihak akademisi, masyarakat dan pemerintah terhadap naskah kuno ini merupakan sebuah kajian yang mengungkapkan nilai budaya serta tradisi dari suatu kehidupan yang lain, yaitu bagaimana upaya mereka untuk menggali khazanah keilmuan, khususnya khazanah pengetahuan lama.

Belakangan ini, perhatian terhadap dunia pernaskahan menyangkut upaya penggalian khazanah kelimuan masih dilirik oleh civitas akademika. Mereka menjadikan disiplin ilmu filologi, sebagai salah satu pendekatan untuk penelitian sebuah naskah, yang mengkhususkan objek kajian pada naskah-naskah tulis tangan (manuscripts). Beberapa hasil penelitian sarjana menghasilkan out put yang bermanfaat bagi perkembangan naskah-naskah yang terdapat dalam masyarakat.

Misalnya komunitas IAIN, UIN, Unand, peneliti naskah di Riau, dan peneliti dari universitas lainnya di Indonesia, memusatkan bidang masing-masing untuk menggali informasi yang terdapat dalam sebuah naskah. Seperti yang dilaporkan Oman Fathurahman dalam Filologi dan Penelitian Teks-teks Keagamaan, komunitas IAIN dan UIN memusatkan perhatiannya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan menjadikan naskah kuno sebagai objek penelitian. Begitu pula dengan peneliti naskah dari UNAND, mereka melakukan kegiatan hunting naskah, membuat katalogus, dan juga melakukan penyelamatan terhadap naskah-naskah kuno yang ada di tangan masyarakat.

Penelitian ini berangkat dari sebuah pandangan awal mereka yang menganggap bahwa naskah memiliki nilai dan kandungan informasi yang penting untuk diteliti. Faktor lainnya, peneliti dari perguruan tinggi telah menyandang latar pendidikan tertentu, yang mewajibkan mereka untuk memberikan perhatian terhadap bidang-bidang kajian ilmu budaya, termasuk kajian pernaskahan.

Selain memberikan pandangan atau interpretasi dari hasil penelitian terhadap sebuah naskah, para filolog juga ikut mengumpulkan manuskrip, menyimpannya sebagai koleksi pribadi dan sebagian diserahkan kepada perpustakaan. Upaya ini dilakukan untuk penyelamatan beberapa naskah penting, namun ‘tercecer’ dalam masyarakat. Sebagian manuskrip yang terkumpul, lalu diteliti telah menghasilkan suntingan. Bahkan, hasil penelitiannya pun telah diterbitkan, dan sebagian lain didokumentasikan dalam bentuk asli. Koleksi manuskrip tersebutlah biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Namun belakangan ini, muncul sebuah fenomena yang menggerus hati, khususnya para akademisi. Bahwa dibalik arti penting sebuah naskah sebagai dokumentasi budaya, naskah pada hari ini menjadi barang baku untuk praktik jual beli, khususnya Sumatera Barat. Hal ini berkaitan dengan aktivitas beberapa peneliti asing yang berupaya mengumpulkan dan menginventarisasi naskah-naskah yang ada di Indonesia, khususnya naskah-naskah berbahasa melayu, termasuk naskah Minangkabau yang hampir seluruhnya ditulis dalam aksara Jawi dan Arab. Mereka membujuk dan memberikan nilai ganti rugi yang menggiurkan untuk beberapa naskah kuno yang kurang perawatannya itu. Bahkan tak pelak, alasan penyelamatan ikut mendoktrin pikiran masyarakat yang masih jauh dari pengetahuan tersebut.

Gencarnya praktik jual beli naskah ini dilaporkan oleh peneliti naskah yang menemukan bukti di lapangan, bahwa beberapa masyarakat telah menjual sebagian naskahnya kepada peneliti asing, khususnya peneliti dari Malaysia. Faktor yang dikemukakan pun sangat sederhana, bahwa mereka bisa memperoleh keuntungan dari hasil penjualan naskah tersebut. Maka, filolog (peneliti naskah dari akademis) membuka diri mereka untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang disinyalir memiliki koleksi naskah pribadi yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Faktor pendorong para akademisi ini dalam melakukan perburuan, penyelamatan dan penelitian terhadap naskah adalah adanya kekhawatiran semakin banyaknya masyarakat yang menjual naskah tersebut kepada peneliti asing.

Mereka —pewaris naskah— yang memiliki perekonomian yang minim dan juga tidak menganggap sebuah naskah itu penting, perlu diberikan sebuah pendekatan untuk mengembalikan kepercayaan mereka terhadap arti penting sebuah naskah. Salah satunya seperti yang dilakukan Jurusan Sastra Indonesia UNAND yang memiliki sederetan agenda untuk menyelamatkan naskah-naskah yang tersebar di masyarakat. Penyelamatan yang juga bekerjasama dengan pihak asing ini berupaya untuk melakukan digitalisasi terhadap naskah-naskah yang ‘sempat’ diselamatkan. Beberapa naskah kuno koleksi masyarakat dan milik perpustakaan yang bernilai sejarah tinggi diubah ke dalam bentuk digital, sehingga naskah asli bisa terhindar dari kerusakan.

Di samping sebagai bentuk inventarisasi dan penyelamatan, upaya ini juga untuk meminimalisir kekhawatiran mereka terhadap praktik jual beli naskah, yang mungkin saja akan tetap terjadi di masa datang. Dengan penyelamatan awal, kekhawatiran tersebut telah diatasi lebih dini, karena telah diubah ke dalam bentuk digital, yang masih bisa digunakan sewaktu-waktu.

Transformasi digital ini pun dianggap penting mengingat hampir keseluruhan naskah berusia sangat tua, dan fisiknya ada yang sudah rusak. Bahkan, perubahan ke bentuk digital diutamakan untuk naskah yang kondisi fisiknya sudah parah.

Meskipun beberapa naskah di tangan masyarakat tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah, tetapi beberapa upaya penyelamatan terhadap naskah ini telah mengurangi rasa khawatir. Bahwa, naskah kita yang memuat nilai budaya, tradisi dan sejarah lokal telah diselamatkan terlebih dahulu dalam bentuk digitalisasi.

Arti Lain dari Naskah Kuno

Naskah kuno, bagi peneliti asing memiliki banyak arti. Bagi mereka yang ‘tidak merebut dokumentasi budaya’ orang lain memberikan arti, bahwa naskah kuno adalah media untuk mengamati dan menelaah kebudayaan lain (termasuk kebudayaan kita). Misalnya, London. Beberapa waktu lalu, ahli filolog dari London memberikan perhatian terhadap dunia pernaskahan melayu, khususnya naskah yang berada di wilayah Riau.

Dalam beberapa manuskrip undang-undang melayu Riau, seperti Undang-Undang Kedah, Undang-Undang Melaka, Undang-Undang Johor dan Undang-Undang Laut Melaka, banyak teks menjelaskan bagaimana tradisi kehidupan orang melayu secara keseluruhan. Kumpulan naskah tersebut memberikan gambaran bagaimana wujud kehidupan masyarakat melayu masa lalu, yang kemudian diberikan penilaian dan sebuah interpretasi.

Seperti yang diungkapkan Jelani Harun, dalam “Kajian Naskah Undang-Undang Adat Melayu di London.” Peneliti asing dari London menerapkan undang-undang tersebut dalam kepentingan masyarakat London sendiri. Mereka menjadikan naskah undang-undang melayu sebagai sarana untuk memahami adat dan budaya hidup orang melayu. Sebagai peneliti yang berangkat dari naskah kuno, mereka pun melakukan komunikasi terhadap masyarakat pribumi asli (melayu) berdasarkan data yang diperoleh dari naskah. Dan dari hasil penelitian yang dilakukan, mereka membuahkan beberapa aturan yang dianggap baik dan ikut diterapkan dalam undang-undang mereka di London.

Sementara bagi negara tertentu, seperti Malaysia, mereka membeli naskah koleksi pribadi masyarakat Minangkabau untuk dikoleksi sendiri, agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti penafsiran identitas kebudayaan kita untuk diterapkan ke dalam kebudayaan mereka. Oleh karena itu, pemerintah Riau berupaya juga memanfaatkan naskah-naksah kuno untuk menelaah bagaimana kebudayaan mereka di masa lampau untuk disampaikan pada generasi mereka pada hari ini. Di samping itu, ulama dan cendekiawan melayu masih menjadikan beberapa naskah sebagai tumpuan atau pedoman ilmunya.

Bagi Riau, isi naskah memberikan pengaruh dewasa ini, seperti dalam bidang agama, bahasa, sastra, hukum, sejarah, adat, dan pendidikan. Bertolak dari hal tersebut, pemerintah Riau menggunakan naskah untuk membina dan menyatukan kembali nafas bahasa dan budaya melayu di Asia Tenggara, khususnya wilayah Riau dan sekitarnya.

Semakin dikemukakannya pandangan ini, lembaga-lembaga terkait seharusnya semakin bersinergi merawat dan menjaga naskah-naskah kuno yang tersebar di tangan masyarakat, khususnya Sumatera Barat. Seperti yang dilakukan Riau, banyak hal yang bisa dilakukan untuk membina dan menyatukan tonggak ke-Minangkabau-an kita. Melalui penggalian terhadap isi kandungan sebuah naskah, kita bisa memunculkan kembali nilai ABS SBK (Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah).

Seperti yang diutarakan Pramono, S.S., M.Si, dalam “Fenomena Jual Beli Naskah di Sumatera Barat” dalam Melayu Online, bahwa banyak naskah-naskah itu penting, baik secara akademis maupun sosial budaya. Naskah tersebut merupakan identitas, kebanggaan dan warisan budaya yang berharga. Secara sosial budaya, naskah memuat nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan sekarang.

Dan sebuah tanggung jawab telah berada di pundak kita untuk mengungkap ‘mutiara’ yang terkandung di dalamnya. Naskah kuno, di samping sebagai dokumentasi budaya juga bisa dijadikan objek penelitian untuk mengambil nilai-nilai dan kandungan di dalamnya. Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan dalam merelevansikan nilai kebaikan yang ada di masa lampau untuk diterapkan hari ini. Lalu, mengapa kita membiarkan naskah kuno menjadi komoditi praktik jual beli yang menguntungkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?

* Ria Febrina, mahasiswa Sastra Indonesia Unand, bergabung dalam Sanggar Sastra Pelangi Yayasan Citra Budaya Sumatera Barat

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 21 Desember 2008

No comments: